Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dudy Syafruddin
Abstrak :
Globalisasi yang berkembang Pascaperang Dunia II telah meningkatkan mobilitas manusia dan informasi secara masif serta menyebabkan pertukaran budaya yang semakin luas dan intens. Masifnya pergerakan dan pertukaran tersebut mengubah paradigma dalam memandang ruang, waktu, dan budaya. Semua itu tidak lagi dianggap sebagai entitas yang homogen dan statis melainkan cair dan heterogen. Transkulturalitas menjadi salah satu fenomena yang muncul sebagai pembacaan ulang atas postkolonialisme yang telah berkembang sejak dua dekade akhir abad ke-20. Transkulturalitas melihat pertemuan budaya lebih dicirikan oleh porositas, pertukaran, keterjeratan, dan hibriditas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konstruksi wacana kolonial dalam novel Sturm über Südwest-Afrika, karya Ferdinand May (1962) yang terbit di Jerman Timur dan Morenga karya Uwe Timm (1978) yang terbit di Jerman Barat Pascaperang Dunia II melalui pendekatan transcultural. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis representasi dan rekonstruksi memori kolonial Jerman Pascaperang Dunia II dalam kedua novel tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan transkultural yang mencoba mendekonstruksi konsep-konsep pertemuan budaya dan memori budaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di ruang koloni terjadi relasi yang saling terjerat dan meresap sehingga memungkinkan adanya kesalingtergantungan di antara pendatang Jerman dan penduduk pribumi di Afrika Barat Daya. Kompleks pemukiman dan lahan pertanian menunjukkan adanya kesaling tergantungan tersebut. Sementara pertemuan spiritualitas kristen dan animisme menunjukkan adanya pori yang memungkinkan menyerapnya pengaruh ke dalam ajaran Kristen. Demikian pula dengan kapal dan pelabuhan yang menunjukkan keterjeratan antara metropolitan dan pinggiran melalui komoditas kolonial. Pertemuan budaya di ruang koloni tersebut telah berusaha dijembatani oleh para perantara budaya. Namun demikian, transkulturalitas secara makro tidak terbentuk karena transkulturalitas secara mikro masih belum dimiliki oleh kebanyakan pendatang Jerman. Sementara itu, konstruksi memori kolonial dalam kedua novel menunjukkan adanya pergerakan dan kesalingpengaruhan dalam memaknai memori kolonial. Kedua novel dibangun oleh kesamaan ideologi antikapitalisme dan antifasisme. Namun demikian terdapat perbedaan dalam mengungkapkan keduanya. Di Jerman Timur konstruksi memori kolonial terbentuk karena batasan yang dibuat oleh negara, Sementara di Jerman Barat memori kolonial lebih tampak sebagai memori yang dipengaruhi secara terbuka oleh berbagai pihak. ......Globalization developing after World War II has increased human mobility and massive information. In addition, it also contributes to cultural encounter which becomes wider and more intensive. This massive movement and exchange change paradigm in viewing space, time, and culture. All of those are no longer viewed as homogeny and static, but fluid and heterogenic. Transculturality has become one of the phenomena appearing as re-reading of post-colonialism which has developed since the last two decades at the end of the 20th century. Transculturality perceives that cultural encounter is marked as porosity, exchange, entanglement, and hybridity. This research aimed to analyze colonial discourse construction in the novel Sturm über Südwest-Afrika by Ferdinand May (1962) published in East German and Morenga by Uwe Timm (1978) published in West German after World War II through a transcultural approach. Moreover, this research also analyzed the representation and reconstruction of German colonial memory after World War II in those both novels. Furthermore, this research employed a transcultural approach attempting to deconstruct concepts of cultural encounters and cultural memory. The research result proved that in colonial space, entanglement might have happened, and then it was absorbed. As a result, it allowed interdependence among the German immigrants and native people of Southwest Africa. As a matter of fact, settlement complex and farming land identified the interdependence. On the other hand, Christian spirituality and animism showed a space allowing the influence to be absorbed in Christian values. Likewise, ships and harbors also indicated entanglement between metropolitan and suburban through colonial commodities. That cultural encounter in colonial space had been bridged by cultural agents. Nevertheless, macro transculturality was not established since micro transculturality was not owned by most German immigrants. Colonial memory construction in both novels identified movement and interdependence in interpreting the colonial memory. Both novels were created by similar ideologies; anti-capitalism and anti-fascism. Nonetheless, there are differences in expressing those terms. In East Germany, colonial memory construction was shaped due to restrictions made by the state. On the other hand, in West Germany it was viewed as a memory influenced openly by various parties.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Suzen Hartaty Rotoea
Abstrak :
Mangongkal Holi merupakan ritual Batak Toba yang hanya bisa dilakukan di kampung halaman marga suku Batak Toba yang terletak di sekitar wilayah Danau Toba. Syarat khusus pelaksanaan Mangongkal Holi menyebabkan popularitas pelaksanaannya menurun di kalangan suku Batak Toba diaspora di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Berkaitan dengan hal itu penelitian ini berupaya untuk menemukan artikulasi Mangongkal Holi sebagai wahana identitas Batak Toba Jabodetabek. Dengan memanfaatkan teori ritual Catherine Bell dan konsep artikulasi identitas kultural Stuart Hall, artikulasi suatu ritual oleh masyarakat pemilik ritual dapat dipahami sebagai sarana konstruksi identitas. Lebih lanjut, dapat diketahui pula bahwa Mangongkal Holi memberikan representasi identitas bagi suku Batak Toba. Dengan kata lain Mangongkal Holi tampak memiliki relasi sebagai sarana resistensi perubahan identitas Batak Toba yang berada di diaspora. Ritualisasi Mangongkal Holi menunjukkan adanya rekontekstualisasi nilai-nilai budaya yang dipengaruhi oleh keyakinan dominan Batak Toba. Rekontekstualisasi dilakukan dengan cara pengubahan narasi utama pelaksanaan ritual dari hal yang berbau mitos menjadi narasi alkitabiah. Rekontekstualiasi Mangongkal Holi dapat dinyatakan tidak sempurna sebab masih ada ritualisasi yang didasarkan pada keyakinan Batak Toba sebelumnya yakni hasipelebeguan. ketidaksempurnaan rekontekstualisasi disebabkan masih adanya penganut keyakinan Batak Toba masa lalu dan tahapan ritualisasi yang tidak jauh berbeda. Dalam skala yang lebih luas, dampak ketidaksempurnaan rekontekstualisasi berdampak pada artikulasi Batak Toba Jabodetabek yang mengalami kontingensi atas pelaksanaan Mangongkal Holi. Kontingensi dalam artikulasi individu Batak Toba Jabodetabek melahirkan dikotomi-dikotomi yang kemudian menjadi stereotip dalam masyarakat Batak Toba Jabodetabek seperti kota-desa, hasipelebeguan-kristen, dan bona pasogit-perantauan. Meskipun demikian, pada akhirnya Mangongkal Holi menjadi sarana resistensi yang digunakan oleh suku Batak Toba untuk menjaga konstruksi identitas esensial. Berdasarkan rekontekstualisasi dan kontingensi Mangongkal Holi maka ritual dapat didefinisikan sebagai manifestasi dari wacana dominan dan mengandung catatan historis dan dinamika sosial serta pergulatan wacana yang ada dalam masyarakat tertentu khususnya wacana identitas. Sementara itu, bangunan tugu yang menjadi sarana pelaksanaan ritual menunjukkan kecenderungan menghadirkan tiga corak arsitektur: i) Penggunaan corak nasional tugu yang merupakan simbol lingga dan yoni dengan simbol lain pada bangunan tugu yang mengandung falsafah Batak; ii) Penggunaan simbol dalam bangunan untuk mengisahkan sejarah marga atau klan; dan iii) Penggabungan unsur arsitektur khas suku Batak Toba dengan corak nasional tugu. Selain itu, tugu Batak Toba merupakan lanskap sakral sekaligus lanskap pragmatik bagi marga suku Batak Toba. ......Mangongkal Holi is a Toba Batak ritual that can only be performed in the hometown of the Toba Batak clan located around the Lake Toba region. The special requirements for the implementation of Mangongkal Holi have caused the popularity of its implementation to decline among the Toba Batak diaspora in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi (Jabodetabek). In this regard, this research seeks to find an articulation of Mangongkal Holi as a vehicle for Batak Toba identity in Jabodetabek. By utilising Catherine Bell's ritual theory and Stuart Hall's concept of cultural identity articulation, the articulation of a ritual by the ritual owner community can be understood as a means of identity construction. Furthermore, it can also be seen that Mangongkal Holi provides a representation of identity for the Toba Batak tribe. In other words, Mangongkal Holi appears to have a relationship as a means of resistance to changes in Toba Batak identity in the diaspora. The ritualisation of Mangongkal Holi shows the recontextualisation of cultural values influenced by the dominant beliefs of Batak Toba. Recontextualisation is done by changing the main narrative of ritual from mythological to biblical narratives. The recontextualisation of Mangongkal Holi can be declared imperfect because there are still ritualisations based on previous Batak Toba beliefs, namely hasipelebeguan. The imperfection of recontextualisation is due to the existence of adherents of past Batak Toba beliefs and ritualisation stages that are not much different. On a broader scale, the impact of the imperfection of recontextualisation has an impact on the articulation of the Jabodetabek Batak Toba who experience contingency over the implementation of Mangongkal Holi. Contingency in the articulation of Jabodetabek Batak Toba individuals gave birth to dichotomies which later became stereotypes in the Jabodetabek Batak Toba community such as city-rural, hasipelebeguan-christian, and bona pasogit-diaspora. Nevertheless, in the end Mangongkal Holi became a means of resistance used by the Toba Batak tribe to maintain essential identity construction. Based on the recontextualisation and contingency of Mangongkal Holi, the ritual can be defined as a manifestation of the dominant discourse and contains historical records as well as social dynamics and discourse struggles that exist in a particular society especially the discourse of identity. Meanwhile, The Tugu that are a means of performing rituals show a tendency to present three architectural styles: i) The use of the national style of the monument which is a phallus and yoni symbol with other symbols on the monument building containing Batak philosophy; ii) The use of symbols in the building to tell the history of the clan or clan; and iii) The combination of typical Toba Batak architectural elements with the national style of the monument. In addition, the Toba Batak monument is a sacred landscape as well as a pragmatic landscape for the Toba Batak clan.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library