Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
Heriawan
"Tesis ini meneliti fenomena pengesahan undang-undang penjaga pantai Tiongkok pada tahun 2021 yang kontradiktif dengan hukum internasional. Undang-undang ini memberi penjaga pantai kewenangan untuk menghancurkan infrastruktur dan kapal asing di wilayah perairan yang diklaim Tiongkok. Karenanya, banyak yang memprediksi dan berspekulasi bahwa undang-undang penjaga pantai dapat membawa ketidakstabilan di kawasan. Tapi, setelah satu tahun sejak efektif disahkan, tidak banyak yang berubah. Tesis ini kemudian mempertanyakan “mengapa Tiongkok mengesahkan undang-undang penjaga pantai pada tahun 2021?” Demi menjawab pertanyaan tersebut, tesis ini berpijak pada teori realisme neoklasik, menganalisis baik faktor sistemik dan faktor unit. Penulis berpendapat bahwa ada tiga faktor unit yang berkontribusi terhadap keputusan Tiongkok mengesahkan undang-undang penjaga pantai di tahun 2021: (1) persepsi Tiongkok mengenai faktor sistemik; (2) reformasi agensi penegak hukum laut; (3) perjuangan kekuatan Xi Jinping. Metodologi yang digunakan pada tesis ini adalah studi kasus dengan model penelusuran kausal dan alir. Tesis ini menemukan bahwa Tiongkok mengesahkan undang-undang penjaga pantai pada tahun 2021 untuk mengimbangi tekanan sistemik yang terus meningkat dan memberi landasan hukum kepada penjaga pantai yang baru direstrukturisasi untuk melindungi hak serta kepentingan Tiongkok di laut sengketa.
The present thesis scrutinises the phenomenon of the enactment of the China Coast Guard Law in 2021 which contradicts international law. The law allows the coast guard to demolish other countries' structures built and foreign vessels in water claimed by China. Hence, many have predicted and speculated that the law will bring instability to the region. But After one year of being effective, nothing much has changed. This thesis then asked the question “why China passed the coast guard law in 2021?” To answer the question, this thesis is grounded in neoclassical realism, analysing both systemic and domestic factors. The author argues that there are three domestic factors that contribute to China’s decision to pass the coast guard law in 2021: (1) China’s perception regarding systemic factor; (2) maritime law enforcement reform; and (3) Xi Jinping power struggle. The methodology used in this thesis is case study with process tracing and flow model. This thesis found that China enacted the coast guard law in 2021 to balance the ever-increasing systemic pressures and to provide the newly reinstituted coast guard a legal foundation to safeguard the rights and interests in the disputed."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Ibrahim Abduh
"Konsep perbatasan dalam hubungan internasional telah mengalami transformasi signifikan dari pembahasan marjinal ke sentral. Awalnya, perbatasan dipahami secara sempit sebagai garis batas negara berdaulat dalam kerangka geografis-politis, dipengaruhi oleh dominasi pendekatan Realis dan Positivis. Namun, pemahaman ini mulai ditantang oleh akademisi dari disiplin lain seperti geografi, antropologi, dan sosiologi yang melihat perbatasan sebagai fenomena sosial-kultural yang kompleks. Perbatasan telah termasuk dalam pembahasan HI sejak awal mula disiplin, namun hanya pada akhir abad ke-20, perbatasan menjadi pembahasan tersendiri. Memasuki era 2000-an, kemunculan Studi Perbatasan Kritis oleh akademisi HI menunjukkan momentum pergeseran dalam pembahasan konsep perbatasan dalam HI. Perbatasan kini dibingkai ulang sebagai proses, wacana, dan praktik yang dinamis dan diperebutkan, meluas ke isu-isu seperti migrasi, identitas, hak asasi manusia, dan relasi kuasa. Perspektif kritis ini tidak hanya mendekonstruksi ‘perbatasan’, tapi juga merekonstruksi perbatasan sebagai proses dalam ‘memperbatasi’ sebagai tindakan etis-politis. Tulisan ini akan menelusuri transformasi konsep perbatasan dari masa awal hingga kini, dengan memetakan tema, perdebatan, dan kontribusi kunci di setiap periode. Tujuannya adalah merefleksikan bagaimana pergeseran cara pandang terhadap perbatasan mencerminkan dan membentuk pergeseran dalam memahami hubungan internasional secara luas.
The concept of borders in international relations has undergone a significant transformation from marginal to a central. Initially, borders were narrowly understood as the boundary lines of sovereign states within a geographical-political framework, influenced by the dominance of Realist and Positivist approaches. However, this understanding is increasingly challenged by scholars from other disciplines, such as geography, anthropology, and sociology who view borders as complex socio-cultural phenomena. Whilst borders have been incorporated into IR discussions since the field’s inception as an academic discipline, it was only in the late 20th century that borders emerged a topic of discussion in their own right. Since the 2000s, the emergence of Critical Border Studies by IR scholars marked a discursive shift of borders in the discipline. Borders are now reframed as dynamic and contested processes, discourses, and practices, reaching into multifaceted issues such as migration, identity politics, human rights, and power relations. This critical perspective not only deconstructs borders, but also reconstructs processes of ‘bordering’ as an ethical-political act. This paper will trace the transformation of the concept of border from its early days to the present, mapping out the key themes, debates, and contributions in each period, aiming to reflect on how the transformation shapes the broader understanding of international relations."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Averio Nadhirianto
"Tulisan ini menelisik respons kebijakan Indonesia pada periode meletusnya pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Piagam Perjuangan Semesta (Permesta) dan keterlibatan terang-terangan Amerika Serikat di dalamnya. Dengan menggunakan teori omnibalancing, tulisan ini bertujuan untuk menelaah respons Indonesia terhadap intervensi AS tersebut. Studi ini kemudian menunjukkan bahwa pilihan normalisasi yang diambil Indonesia pasca keterlibatan Amerika Serikat dalam pemberontakan PRRI/Permesta semata merupakan strategi taktis yang diambil untuk menjamin keselamatan rezim yang sedang dilanda krisis legitimasi dan ancaman disintegrasi negara. Omnibalancing dijalankan dengan dua cara, yaitu balancing internal berupa pemberantasan anasir PRRI/Permesta dan penataan ulang sistem politik yang menciptakan Demokrasi Terpimpin dan balancing eksternal yang berwujud normalisasi hubungan dengan Amerika Serikat pasca intervensinya diketahui. Omnibalancing rezim Sukarno kemudian berhasil memastikan bertahannya kekuasaan pemerintah dan integrasi negara dengan menumpas PRRI/Permesta sembari secara bersamaan mempertahankan hubungan dengan Amerika Serikat
This study examines Indonesia’s policy response during the outbreak of the rebellion of the Revolutionary Government of the Republic of Indonesia (PRRI) and the Universal Struggle Charter (Permesta) and the involvement of the United States in it. By using omnibalancing theory, this paper seeks to investigate Indonesia’s policy responses to US’ intervention. This study shows that the normalization path taken by Indonesia after US’ involvement in the PRRI/Permesta rebellion was a tactical strategy made to ensure regime survival which was being jeopardized by a crisis of legitimacy and threatened by state disintegration. Omnibalancing is carried out in two ways, i.e. internal balancing in the form of eradicating PRRI/Permesta elements and rearranging the political system to create Guided Democracy and external balancing in the form of normalizing relations with the United States after its intervention is publicly known. Sukarno’s omnibalancing regime then succeeded in ensuring the survival of government in power and annihilating the PRRI/Permesta while also maintaining relations with the United States."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Angela Calista
"Jepang sejak pasca Perang Dunia dikenal sebagai negara pasifis. Hal ini terkait Pasal 9 Konstitusi Jepang yang menjadi dasar identitas Jepang. Kebijakan luar negeri Jepang tampak berfokus pada instrumen dan kebijakan ekonomi dalam mencapai kepentingan nasional. Semenjak Shinzo Abe menjabat sebagai Perdana Menteri di tahun 2012, literatur dan media menyoroti perubahan dalam kebijakan luar negeri Jepang yang diawali oleh pengajuan revisi Abe terhadap Pasal 9 sebagai tonggak identitas Jepang. Selain itu, kepemimpinannya turut disoroti sebagai Perdana Menteri dengan masa jabat terlama di Jepang. Untuk menelaah dinamika kebijakan luar negeri Jepang di era kedua Abe, tulisan ini memetakan 44 literatur dalam bentuk artikel jurnal dengan metode taksonomi yang dikategorisasikan ke lima tema utama, yaitu (1) elemen domestik dalam kebijakan luar negeri, (2) hubungan luar negeri Jepang, (3) isu keamanan dalam kebijakan luar negeri Jepang, (4) isu ekonomi dalam kebijakan luar negeri Jepang, dan (5) isu sosial budaya dalam kebijakan luar negeri Jepang. Dari tinjauan kelima tema utama ini, penulis memetakan konsensus, perdebatan, refleksi, dan sintesis untuk menelaah dan memaknai temuan dari persebaran literatur. Literatur-literatur utamanya memperlihatkan kontra terhadap pandangan negatif media massa dan literatur lainnya terhadap Jepang di era kepemimpinan Shinzo Abe. Penulis menemukan bahwa dinamika perubahan yang terjadi dalam kebijakan luar negeri Jepang di era Abe pada periode 2012-2020 dapat dijelaskan oleh faktor geopolitik dan signifikansi Abe sebagai pemimpin negara yang terletak pada peran pengatur proses pembentukan kebijakan luar negeri dalam politik domestik Jepang. Dari temuan tersebut, tulisan ini merekomendasikan beberapa analisis lanjutan dan pentingnya untuk tidak terfokus hanya pada unit analisis struktur ataupun individu, tetapi faktor domestik menjadi signifikan pula untuk dieksplorasi dalam analisis kebijakan luar negeri.
Japan has been known as a pacifist country since the post-World War II period, largely due to Article 9 of the Japanese Constitution, which serves as the foundation of Japan's identity. Japan's foreign policy appears to prioritize economic instruments and policies to pursue national interests. Since Shinzo Abe assumed the position of Prime Minister in 2012, literature and media have highlighted changes in Japan's foreign policy, initiated by Abe's proposal to revise Article 9 as a cornerstone of Japan's identity. Additionally, his leadership has been noted for being the longest-serving Prime Minister in Japan. To examine the dynamics of Japan's foreign policy in Abe's second era, this paper maps 44 literature pieces in the form of journal articles, using a taxonomy method categorized into five main themes: (1) domestic elements in foreign policy, (2) Japan's foreign relations, (3) security issues in Japan's foreign policy, (4) economic issues in Japan's foreign policy, and (5) socio-cultural issues in Japan's foreign policy. From the review of these five main themes, the author identifies consensus, debates, reflections, and syntheses to analyze and interpret the findings from the distribution of literature. The main literature shows contrasting views against the negative perceptions of mass media and other literature towards Japan during Shinzo Abe's leadership. The author finds that the dynamics of change in Japan's foreign policy during Abe's era from 2012 to 2020 can be explained by geopolitical factors and Abe's significance as a leader shaping foreign policy processes in Japan's domestic politics. Based on these findings, this paper recommends several further analyses and emphasizes the importance of not solely focusing on structural or individual units of analysis, but also exploring domestic factors in foreign policy analysis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Hayyin Yahya
"Pada kajian awal dalam ilmu hubungan internasional (HI), paradigma realisme mendominasi dengan menempatkan negara sebagai unit analisis utama. Hal ini mengabaikan peran individu dan wawasan psikologis. Walaupun demikian, kajian mengenai hal tersebut tetap berkembang seiring dengan pengakuan yang semakin besar terhadap psikologi politik. Cabang ilmu ini mengintegrasikan studi politik dan studi psikologi, dengan salah satu objek utama pembahasannya mengenai peran emosi dalam memengaruhi perilaku politik dan proses pengambilan keputusan. Tulisan ini berupaya untuk membedah dan memetakan 45 literatur yang telah lolos melewati proses penelaahan sejawat internasional dan memiliki bahasan yang relevan dengan topik emosi dalam hubungan internasional. Menggunakan metode tinjauan pustaka, tulisan ini dibuat untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana perkembangan kajian emosi dalam hubungan internasional? Dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut, tulisan ini menganalisis kumpulan literatur yang mengkaji emosi dalam hubungan internasional dengan menerapkan pendekatan taksonomi ke dalam tiga fokus tema utama: (1) peran emosi dalam diplomasi dan negosiasi; (2) emosi dalam dinamika sosial dan politik; serta (3) pengaruh emosi terhadap kebijakan dan persepsi publik. Hasil dari analisis dalam tinjauan pustaka ini menunjukkan bahwa emosi tidak hanya menjadi faktor penting dalam keputusan diplomatik dan konflik, tetapi juga dalam pembentukan identitas nasional dan persepsi publik terhadap kebijakan luar negeri. Studi ini berkontribusi dalam memperkaya pemahaman tentang integrasi emosi dalam analisis HI serta menyoroti pentingnya pendekatan interdisipliner yang menggabungkan ilmu hubungan internasional dengan ilmu-ilmu lain mencakupi, tetapi tidak terbatas pada, ilmu psikologi, ilmu ekonomi, ilmu sejarah, ilmu geografi, dan ilmu komunikasi.
In the initial studies of international relations (IR), the realist paradigm dominated by positioning the state as the primary unit of analysis. This approach neglected the role of individuals and psychological insights. Nevertheless, research in this area continued to evolve with increasing recognition of political psychology. This interdisciplinary field integrates political science and psychology, focusing significantly on the role of emotions in influencing political behavior and decision-making processes. This paper aims to examine and map 45 peer-reviewed international publications that are relevant to the topic of emotions in international relations. Employing a literature review methodology, this paper seeks to address the question: How has the study of emotions in international relations evolved? To answer this question, the paper analyzes the body of literature on emotions in international relations by applying a taxonomic approach across three main thematic focuses: (1) the role of emotions in diplomacy and negotiation; (2) emotions in social and political dynamics; and (3) the impact of emotions on policy and public perception. The findings from this literature review indicate that emotions are not only critical factors in diplomatic decisions and conflicts but also play a significant role in the formation of national identity and public perceptions of foreign policy. This study contributes to enhancing the understanding of integrating emotions into IR analysis and underscores the importance of interdisciplinary approaches that combine international relations with other disciplines, including, but not limited to, psychology, economics, history, geography, and communication studies."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library