Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ardina Yunita Kartikasari
"Kajian ini membahas mengenai citra Indonesia di mata Tiongkok dalam isu sengketa Laut China Selatan (LCS). Dalam sengketa di LCS, Indonesia bukan negara penggugat atau non-claimant state. Namun klaim Tiongkok atas sembilan garis putus atau Nine-dashed Line di LCS beririsan dengan sebagian Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di kepulauan Natuna. Dalam periode 2010-2016, sejumlah insiden sempat terjadi dan menimbulkan ketegangan. Meski bersikeras bahwa kedua negara memiliki tumpang tindih kepentingan di perairan Natuna, Tiongkok tetap memiliki citra positif tentang Indonesia dan Tiongkok cenderung berhati-hati dalam merespon Indonesia dalam isu tersebut. Terkait hal ini, meski sudah banyak penelitian mengenai kebijakan Tiongkok terhadap Indonesia, namun hanya sedikit kajian yang menulis secara spesifik mengenai persepsi Tiongkok mengenai Indonesia dalam sengketa LCS. Melalui kerangka analisis teori citra atau image theory dan metode penelitian causal process tracing, kajian ini menunjukkan bahwa citra Indonesia di mata Tiongkok adalah ally image. Dalam ally image, Indonesia dipandang sebagai aktor yang memiliki tujuan, kapabilitas dan dimensi kultural yang relatif sepadan. Hal ini mempengaruhi pilihan strategi yang diambil Tiongkok terhadap Indonesia terkait insiden-insiden yang terjadi di perairan Natuna, di mana Tiongkok lebih mengedepankan hubungan baik dan kemitraan kedua negara. Dalam kaitannya dengan isu sengketa LCS secara umum, Tiongkok memandang Indonesia sebagai teman yang mampu bersikap adil terhadap pihak-pihak yang bersengketa.

This study analyses Indonesia's image from China's perspective on the South China Sea (SCS) dispute. Indonesia is a non-claimant state in SCS dispute. China's claim on Nine-dashed Line, however, overlaps with Indonesia's EEZ in Natuna islands. Tensions following some incidents occured in Natuna waters within 2010-2016. China insisted two countries have overlaping interest claim in those area, while Indonesia persisted on its position as non-claimant state. Nevertheles, China still perceives Indonesia in positive image and tend to be cautious when dealing with Indonesia on this issue. Although there are many studies on the SCS dispute and China's policy towards Indonesia, few if any of them discuss specificaly on China's perception towards Indonesia in this regard. Adopting image theory as an analytical framework and causal-process tracing on research method, this study figures that China captures Indonesia's image as an ally. In ally image, Indonesia is perceived as an actor who has positive goal compatibility with similar capability and cultural dimension as well. This perception affects the strategic options taken by China against Indonesia regarding the Natuna incidents in which China prioritize good relation and partnership between both countries. While on the SCS issue, China perceives Indonesia as a good friend capable of being fair to the parties in the dispute."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adnan Hudianto
"Tulisan ini membahas tentang perubahan perilaku China dalam menegakkan klaim nine-dash line di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang terjadi pada rentang waktu Desember 2019 s.d. Januari 2021. Pihak China yang melakukan penegakan klaim dengan mengirimkan kapal perang ke ZEE Indonesia justru melakukan appeasement setelah mendapat pengusiran oleh pihak Indonesia. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data melalui studi pustaka. Sedangkan analisis penelitian dilakukan menggunakan teori foreign policy decision making yang melihat variabel pengambilan keputusan, faktor psikologis, faktor internasional dan faktor domestik sebagai faktor pendorong perilaku sebuah negara. Dari sisi lingkungan keputusan, pengambil keputusan China mendapat interactive setting berupa pengusiran, mengalami familiarity dan berupaya menghindari risiko. Dari sisi faktor psikologis, pengambil keputusan di China memiliki keyakinan untuk menghindari risiko serta berorientasi ke masa depan dan images bahwa Indonesia adalah sekutu. Dari segi faktor internasional, klaim China atas ZEE Indonesia mendapatkan extended immediate deterrence dari AS. Kemudian dari sisi faktor domestik, China memiliki kepentingan ekonomi yang besar terhadap Indonesia. Keempat faktor tersebut mendorong China melakukan appeasement terhadap Indonesia dalam penegakan klaim nine-dash line. Penelitian ini berkontribusi terhadap studi tentang perilaku appeasement negara besar dan studi tentang pencegahan konflik bersenjata di Laut China Selatan (LCS).

It examines China’s behavior when they try to enforce a nine-dash line claim on Indonesia’s Exclusive Economic Zone (EEZ) between December 2019 and January 2021. China choosed the appeasement policy while endeavoring to enforce its claim to Indonesia's EEZ right after Indonesia’s side sent its warship to the disputed zone. In this study, the qualitative method and archival data collection were used to analyze changes in China's behavior. Moreover, the case was analyzed based on Foreign Policy Decision Making theory, which focuses on decision environment, psychological, international, and domestic factors. In terms of the decision environment variable, the collected data showed that Chinese decision-makers were shaped by an interactive situation, experienced familiarity, and avoided risky decisions. The psychological factor analysis found that Chinese decision-makers viewed Indonesia as an ally in a risk-averse, future-oriented manner. In addition, international factor analysis demonstrated that the US did extend immediate deterrence towards China regarding its claim over Indonesia's EEZ. Finally, domestic factor analysis discovered that China had a substantial economic interest in Indonesia. All four factors pushed China to choose an appeasement policy towards Indonesia regarding the claim enforcement in Indonesia EEZ. These findings contribute to the study of appeasement behavior by big countries and the prevention of armed conflict in the South China Sea."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizal Valentino
"Sejak awal pendiriannya di tahun 1948, Israel memiliki hubungan yang konfliktual dengan negara-negara Arab. Hal tersebut berkaitan dengan didirikannya negara tersebut pada wilayah bangsa Arab, yakni Palestina. Kondisi tersebut akhirnya memantik munculnya berbagai isu keamanan di antara Israel dan negara-negara Arab. Ketegangan tersebut terus berlanjut hingga Liga Arab menyodorkan proposal Inisiatif Perdamaian Arab (IPA) di tahun 2002. Proposal tersebut memuat prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi Israel sebelum dapat menormalisasikan hubungannya dengan negara Arab. Di tahun 2020, UEA selaku negara yang turut menandatangani IPA secara mengejutkan menormalisasikan hubungan diplomatiknya dengan Israel melalui Abraham Accords (AA), meski Israel belum memenuhi prasyarat yang tertulis dalam IPA. Dari permasalahan di atas, tulisan ini akan mengupas faktor-faktor yang mendorong UEA untuk mengambil kebijakan demikian. Dengan menggunakan analisis Realisme Neoklasik, penelitian ini berargumen bahwa terdapat dorongan struktural yang kemudian diterjemahkan melalui kondisi domestik UEA, sehingga mendorong terjadinya pengambilan keputusan normalisasi dengan Israel. Tekanan struktural menciptakan kebutuhan bagi UEA untuk berkoalisi dengan Israel selaku sekutu AS, untuk mengamankan diri dari ancaman Iran. Sedangkan kondisi domestik akan memperlihatkan kapasitas rezim MBZ dalam merespons stimulus eksternal. Melalui pertimbangan faktor-faktor di atas, keputusan UEA dapat dilihat sebagai upaya bandwagoning untuk mendapatkan keuntungan berupa insentif ekonomi dan militer dari koalisi AS.

Since its establishment in 1948, Israel has had conflicting relations with Arab countries. This is related to the formation of the state on the territory of the Arab nation, namely Palestine. This condition finally sparked the emergence of various security issues between Israel and Arab countries. These tensions continued until the Arab League presented the Arab Peace Initiative (API) proposal in 2002. The proposal contained prerequisites that Israel had to meet before it could normalize its relations with Arab states. In 2020, the UAE as a signatory to the IPA surprisingly normalized its diplomatic relations with Israel through the Abraham Accords (AA), even though Israel has not yet met the prerequisites written in the IPA. From the problems above, this paper will explore the factors that encourage the UAE to take such a policy. By using Neoclassical Realism analysis, this research argues that there is a structural impetus which is then translated through the UAE's domestic conditions, thus encouraging normalization decision making with Israel. The structural pressures create the need for the UAE to form a coalition with Israel as an ally of the US, to secure itself from the Iranian threat. Meanwhile, domestic conditions will capture the regime capacity to respond structural stimulus. By considering the above factors, the UAE's decision can be seen as a bandwagoning effort to gain economic and military incentives from the US coalition."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Azhar Zhafira
"Konfrontasi adalah peristiwa konflik bersenjata yang melibatkan Indonesia dan Malaysia pada 1963-1966. Konflik antar negara (interstate conflict) adalah konflik antara dua negara atau lebih dengan adanya persengketaan bersenjata. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu bentuk konflik antar negara, yakni konflik antara Indonesia dan Malaysia. Konflik ini juga melibatkan beberapa negara lain, yakni Inggris, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Jepang, Uni Soviet, dan Tiongkok. Peristiwa Konfrontasi terjadi akibat rencana pembentukan Federasi Malaysia dengan menggabungkan Malaya, Singapura, Sabah, dan Sarawak yang kemudian mendapat penolakan dari Filipina dan Indonesia atas tuduhan usaha neo-kolonialisme oleh Inggris. Tulisan ini bertujuan untuk meninjau perkembangan literatur mengenai Konfrontasi Indonesia-Malaysia berdasarkan 23 literatur yang telah penulis kumpulkan. Terdapat tiga tema utama yang penulis temukan, yakni tinjauan historis Konfrontasi Indonesia Malaysia, keterlibatan aktor eksternal dalam Konfrontasi Indonesia Malaysia, dan penggunaan propaganda dalam Konfrontasi Indonesia Malaysia. Tinjauan kepustakaan ini bertujuan untuk memaparkan konsensus, perdebatan dan kesenjangan dalam litarut mengenai Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Melalui tulisan ini, penulis menemukan adanya tren penyebaran literatur pada negara-negara yang terlibat dalam Konfrontasi, terutama Inggris dan Australia. Penulis juga menggarisbawahi kesenjangan minimnya penggunaan kerangka teori dalam literatur-literatur mengenai Konfrontasi Indonesia-Malaysia.

Konfrontasi was an armed conflict involving Indonesia and Malaysia in 1963-1966. Interstate conflict is a conflict between two or more countries with armed disputes. Konfrontasi Indonesia-Malaysia is a form of conflict between countries, namely the conflict between Indonesia and Malaysia. This conflict also involved several other countries, namely England, the United States, Australia, New Zealand, Japan, the Soviet Union and China. Konfrontasi occurred as a result of plans to form a Malaysian Federation by combining Malaya, Singapore, Sabah and Sarawak which received rejection from the Philippines and Indonesia due to accusations of Britain’s neo-colonialism. This article aims to review the development of literature regarding the Indonesia-Malaysia Confrontation based on 23 pieces of literature that the author has collected. There are three main themes that the author found, namely a historical overview of the Indonesia-Malaysia Confrontation, the involvement of external actors in the Indonesia-Malaysia Confrontation, and the use of propaganda in the Indonesia-Malaysia Confrontation. This literature review aims to explain the consensus, debate and gaps in the literature regarding Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Through this article, the author finds a trend in the distribution of literature in countries involved in the Konfrontasi, especially England and Australia. The author also highlights the gap in the minimal use of theoretical frameworks in the literature about Konfrontasi Indonesia-Malaysia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syaiful Muhammad Khadafi
"Penelitian ini bertujuan menjelaskan dan menjawab pertanyaan mengapa Arab Saudi menerima shuttle diplomacy China sebagai media untuk mengembalikan hubungan diplomatiknya dengan Iran, padahal sebelumnya telah ada upaya mediasi oleh negara-negara lain. Menggunakan kerangka analisis ‘tripartite approach’ yang diajukan oleh Carlsnaes (1992) penelitian ini dibahas secara kualitatif deduktif yang berangkat dari kerangka analisis tersebut. Sebelumnya telah ada literatur yang mengkaji terkait bagaimana hubungan, pengaruh dan kebijakan China di Timur Tengah dan ditemukan empat poin utama yang menjadi fokus dalam topik ini yaitu: Pengaruh China di Timur Tengah, Aspek Ekonomi-Politik Kebijakan China di Timur Tengah, Pragmatisme dalam Kebijakan China di Timur Tengah, dan Sino- Arab Saudi dan Sino-Iran. Untuk mengisi gap yang ada, penelitian ini kemudian menemukan bahwa dari kondisi objektif Arab Saudi dan pengaturan institusional mempengaruhi persepsi dan value yang kemudian menilai bahwa China memiliki peran signifikan dengan tanpa adanya catatan historis buruk di kawasan, maka Arab Saudi dengan preferensinya memilih untuk menerima China sebagai mediator perbaikan hubungan dengan Iran.

This research aims to explain and answer the question of why Saudi Arabia accepted China's shuttle diplomacy as a medium to restore its diplomatic relations with Iran, even though previously there had been mediation efforts by other countries. Using the 'tripartite approach' analytical framework proposed by Carlsnaes (1992), this research was discussed qualitatively deductively starting from this analytical framework. Previously there had been literature that examined China's relations, influence, and policies in the Middle East and found four main points that were the focus of this topic, namely: China's Influence in the Middle East, Economic-Political Aspects of China's Policy in the Middle East, Pragmatism in China's Policy in the Middle East, and Sino-Saudi Arabia and Sino-Iran. To fill the existing gap, this research then found that Saudi Arabia's objective conditions and institutional arrangements influenced perceptions and values ​​which then assessed that China had a significant role without a bad historical record in the region, so Saudi Arabia with its preference chose to accept China as a mediator to improve relations with Iran."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Ratna Cahyani
"Tesis ini bertujuan untuk memahami gugatan Uni Eropa terhadap kebijakan pemberhentian ekspor bijih nikel Indonesia tahun 2020, meski kebijakan pemberhentian dan pelarangan ekspor bijih nikel yang dijalankan oleh Indonesia tidak secara khusus ditujukan untuk mendiskriminasi Uni Eropa dalam perdagangan internasional dan rata-rata kuantitas impor bijih nikel Uni Eropa dari Indonesia relatif kecil. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah “mengapa Uni Eropa menggugat kebijakan pemberhentian ekspor bijih nikel Indonesia tahun 2020?”. Pertanyaan tersebut dibahas dengan teori analisis kebijakan luar negeri Eropa dari Brian White (2004) dengan menekankan variabel aktor dan proses pembuatan kebijakan, kapabilitas dan instrumen, serta konteks yang melatarbelakangi kebijakan. Tesis ini berkesimpulan bahwa gugatan Uni Eropa terhadap kebijakan pemberhentian ekspor bijih nikel Indonesia tahun 2020 dipengaruhi oleh pandangan Komisi Eropa dan Dewan Uni Eropa bahwa Indonesia telah mendukung Tiongkok dalam sektor nikel, sehingga pengaruh Uni Eropa terhadap Indonesia melemah. Uni Eropa juga memiliki kapabilitas dan instrumen penggunaan penyelesaian sengketa melalui WTO dalam menggugat Indonesia. Selain itu, gugatan Uni Eropa terhadap Indonesia juga dilatarbelakangi oleh kepentingan Uni Eropa dalam industri baja dan dominasi Tiongkok di sektor nikel Indonesia.

This thesis aims to understand the European Union's lawsuit against Indonesia's nickel ore export ban policy in 2020, even though the policy of halting and banning nickel ore exports implemented by Indonesia was not specifically intended to discriminate against the European Union in international trade, and the average quantity of nickel ore imports by the European Union from Indonesia is relatively small. The research question posed is "why did the European Union file a lawsuit against Indonesia's nickel ore export ban policy in 2020?". This question is addressed using Brian White's (2004) theory of European foreign policy analysis, emphasizing the variables of actors and policy-making processes, capabilities and instruments, and the context underlying the policy. This thesis concludes that the European Union's lawsuit against Indonesia's nickel ore export ban policy in 2020 was influenced by the perception of the European Commission and the Council of the European Union that Indonesia had supported China in the nickel sector, thereby weakening the European Union's influence over Indonesia. The European Union also has the capability and instruments to use dispute resolution through the WTO in challenging Indonesia. Additionally, the European Union's lawsuit against Indonesia was also motivated by the European Union's interests in the steel industry and China's dominance in Indonesia's nickel sector."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khaira Anisa
"Tulisan ini menganalisis mengapa Jepang mengubah pendekatan kebijakan keamanannya pada tahun 2022 dari sebelumnya anti militerisme menjadi militerisme. Perubahan pendekatan tersebut merujuk pada dokumen strategis yang diresmikan Jepang pada Desember 2022 yaitu National Security Strategy . Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deduktif. Untuk analisis, tesis ini menggunakan teori perumusan kebijakan keamanan Jepang untuk melihat perubahan yang terjadi melalui dua indikator yaitu struktur negara dan konteks normatif. Pada indikator struktur negara yang dilihat adalah proses mekanisme koordinasi dan mekanisme kontrol. Sedangkan indikator konteks normatif yang akan dilihat adalah implementasi norma sosial dan opini publik. Dalam melihat perubahan yang terjadi, tesis ini membanding dengan perumusan kebijakan sebelumnya yakni NSS 2013. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Jepang mengubah pendekatan kebijakannya pada tahun 2022 karena indikator struktur negara  yaitu mekanisme koordinasi yang mendorong terjadinya perubahan pendekatan kebijakan keamanan Jepang.

This paper analyzes why Japan changed its security policy approach in 2022 from anti-militarism to militarism. The change in approach refers to the strategic document that Japan formalized in December 2022, the National Security Strategy. The research method is qualitative research with a deductive approach. For the analysis, this thesis uses the theory of Japan security policy formulation to examine the changes through two indicators; state structure and normative context. The state structure indikator includes coordination mechanisms and control mechanisms. Meanwhile, the normative context indicator includes the implementation of social norms and public opinion. To understand the changes that occurred, this thesis compares the formulation of the 2022 policy with the previous NSS 2013. The results of this study show that Japan changed its policy approach in 2022 due to the state structure indicator, specifically the coordination mechanisms that drove the change in Japan's security policy approach.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nida Tsabitah
"Setelah bergabung dengan World Trade Organization (WTO) tahun 2001, Cina mendapat label non-market economy (NME) karena sistem ekonominya yang terpusat. Penerapan metodologi NME yang diterima Cina, berlaku selama 15 tahun terhitung sejak aksesi. Pada tahun 2015, Uni Eropa merumuskan sebuah dokumen resolusi 2017/C399/12 yang berjudul, “Developing a sustainable European Industry of Base Metals” dan memperbarui instrumen pertahanan perdagangannya melalui, “The Basic Antidumping Regulation (BAR)” di tahun 2016. Kebijakan perdagangan yang dilakukan Uni Eropa tersebut bertepatan dengan berakhirnya metodologi NME Cina di tanggal 11 Desember 2016. Penelitian ini membahas alasan di balik diskriminasi Uni Eropa terhadap logam dasar Cina, meski penerapan metodologi NME telah berakhir. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan teori neo-merkantilisme milik Friedrich List. Teori neo-merkantilisme bertujuan memaksimalkan penggunaan sumber daya yang dimiliki suatu negara untuk mencapai tingkat kekayaan dan kekuasaan tertinggi. Temuan penelitian ini menunjukkan terdapat tiga penyebab yang mendorong Uni Eropa tetap menerapkan diskriminasi perdagangan terhadap Cina. Pertama ancaman Cina terhadap industri logam dasar Eropa, kedua, tingkat perkembangan perekonomian Uni Eropa yang terganggu oleh dominasi Cina di sektor logam dasar, dan terakhir, diskriminasi perdagangan Uni Eropa terhadap Cina di bidang logam dasar merupakan bagian dari instrumen pertahanan perdagangan untuk mengoptimalkan kekuatan produktif dalam memberikan perlindungan pada Industri Logam Dasar. Penelitian ini berkontribusi untuk memahami pola kebijakan Uni Eropa terhadap mitra dagangnya.

After joining the World Trade Organization (WTO) in 2001, China was labeled a non-market economy (NME) due to its central planned economic system. The implementation of the NME methodology in which China accepted, is validated for 15 years since accession. In 2015, the European Union drafted a resolution document 2017/C399/12 entitled, "Developing a Sustainable European Industry of Base Metals" and updated its trade defense instruments through, "The Basic Antidumping Regulation (BAR)" in 2016. Trade policy The European Union's implementation coincided with the end of the Chinese NME methodology on December 11 2016. This research discusses the reasons behind the European Union's discrimination against Chinese base metals, even though the application of the NME methodology has ended. This research uses qualitative methods and Friedrich List's neo-mercantilism theory. Neo-mercantilism theory aims to maximize the use of a country's resources to achieve the highest level of wealth and power. The findings of this research show that there are three reasons that encourage the European Union to continue implementing trade discrimination against China. Firstly, China's threat to the European base metals industry, secondly, the level of development of the European Union economy which is disrupted by China's dominance in the basic metals sector, and finally, the European Union's trade discrimination against China in the base metals sector is part of the trade security instrument to optimize productive forces in providing protection to the Basic Metal Industry. This research contributes to understanding the European Union's policy patterns towards its trading partners.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naomi Theodora Wahyutomo
"China-Mauritius Free Trade Agreement merupakan sebuah kerja sama perdagangan bebas pertama antara China dengan salah satu negara Afrika yaitu Mauritius. Disahkan pada tahun 2019, dan mulai diimplementasi di kedua negara tahun 2021, perjanjian tersebut mengatur beberapa ketentuan seperti perdagangan barang, perdagangan jasa, investasi, serta kerja sama ekonomi. Meskipun demikian, di kawasan Afrika, Mauritius bukan merupakan satu-satunya mitra dagang China. Perdagangan China di Afrika justru secara signifikan lebih banyak dengan negara-negara Afrika lainnya seperti Afrika Selatan, Nigeria, Mesir, dan lain sebagainya, dibandingkan dengan Mauritius yang nilai perdagangannya dengan China tidak terlalu signifikan. Pertanyaan penelitian yang muncul kemudian adalah mengapa China menjadikan Mauritius sebagai mitra FTA pertama di Afrika meskipun Mauritius bukan merupakan mitra dagang yang kuat dibandingkan negara-negara lainnya di Afrika. Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatif yang berfokus kepada data kualitatif. Penelitian ini menggunakan teori Cross-Regionalism dari Mireya Solís dan Saori N. Katada untuk mengeksplorasi motif China di balik pemilihan mitra FTA yaitu Mauritius sebagai negara Afrika pertama. Dua motif yang diteliti adalah motif ekonomi serta motif keamanan dan diplomasi. Penelitian menunjukkan bahwa pemilihan Mauritius sebagai mitra FTA didasari pada motif ekonomi seperti keinginan China untuk mengakses pasar yang lebih luas, menghindari trade diversion ke India serta meningkatkan pengaruh BRI di Afrika. Sementara itu, motif keamanan dan diplomasi didominasi oleh keinginan China untuk meningkatkan pengaruh di Samudera Hindia yang berkaitan dengan comprehensive security China.

China-Mauritius Free Trade Agreement is the first free trade agreement between China and one of African countries which is Mauritius in 2019. However, in African region, Mauritius is not the only China’s trade partner. China’s value trade with other African countries is more significant than with Mauritius. Therefore, this research raised a question, why did China choose Mauritius as its first FTA partner in Africa even though Mauritius is not the strongest trade partner among other African countries. Thus, this research aims to explore China’s motives when chose Mauritius as its first FTA partner in Africa This research is categorized as an explanatory-research that focuses on qualitative data. This research uses theory from Mireya Solís and Saori N. Katada called Cross-Regionalism to explore China’s motives. This research explored two motives, which are economic motives and security and diplomatic motives. This research finds that China’s partner choice as an FTA partner, which is Mauritius, are based on China’s economic motives (greater access to African market, avoid trade diversion to India, and intensifying BRI to Africa) and security and diplomatic motives (intensifying its influence in Indian Ocean to fulfil its comprehensive security)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puspita Sari Ningrun
"Tesis ini membahas strategi buck-passing yang dilakukan Amerika Serikat (AS) di kawasan Asia Timur pada periode presiden George W. Bush I dan II pada tahun 2001-2009. Penelitian ini adalah penelitian diskriptif kuantitatif dengan desain diskriptif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mengapa AS menggunakan strategi tersebut. Kemudian, penelitian ini mengulas strategi yang digunakan AS sebagai hegemon pada struktur polar di Asia Timur dengan memberi data-data berupa aplikasi dari strategi tersebut juga data yang menunjukkan struktur polar di kawasan ini. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa AS menggunakan strategi buck-passing karena struktur multipolar tidak seimbang (unbalanced multipolar) terjadi di kawasan ini.

This research focuses on the buck-passing strategy used by United States during Bush administration in 2001 to 2009 in East Asia. The objective of this thesis is to analyze why the U.S applies this strategy and uses quantitative descriptive methodology. Furthermore, concerning on the context in East Asia where the U.S is the hegemon, this thesis provides the number of the military deployment (troops), the military balance among the U.S allians data to help the writer to analyze the current structure in this region. Finally, this thesis comes up to the conclusion that the U.S. uses buck-passing strategy in this regions influenced by unbalanced multipolarity."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T30362
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>