Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Diah Madubrangti
Abstrak :
ABSTRAK
Nojuu Shinsaku, dari Pusat Penelitian Bimbingan Kehidupan Anak di Jepang mengatakan tentang apa yang disebut ijime sebagai berikut : ( 1989: 44 )

Penjelasannya:
"Yang disebut ijime berbeda dengan perkelahian, tetapi merupakan suatu perbuatan seseorang yang mempunyai kekuatan dalam beberapa bentuk untuk dapat melakukan penyerangan searah terhadap yang menjadi lawannya. Orang yang berada dalam posisi yang kuat menyerang orang yang berada dalam posisi yang lemah baik seoara fisik maupun mental, dan mempunyai ciri bahwa yang melakukan itu merasa senang apabila melihat lawannya menderita atau menjadi kesal. Ijime mempunyai ciri bukan dilakukan dengan berakhir dalam satu kali perbuatan seperti halnya dalam suatu perkelahian, tetapi dilakukan dalam masa yang panjang.
Ijime berbeda dengan apa yang disebut perkelahian, karena berkelahi di dalam suatu perkelahian biasanya dilakukan oleh satu lawan satu orang, tetapi ijime kelihatannya semacam perkelahian yang dilakukan oleh sekelompok besar orang terhadap sekelompok kecil orang atau oleh beberapa orang terhadap satu orang. Selain itu, ijime tidak hanya dilakukan satu kali perbuatan, tetapi dilakukan berkali-kali dalam masa yang panjang.
Ijime sekarang menunjukkan bentuk tersendiri pada masyarakat anak sekolah di Jepang akhir-akhir ini dalam melakukan suatu perbuatan atau tindakan di lingkungan sekolahnya sendiri dalam bentuk gendai no ijime `ijime masa kini'. Di dalam gendai no ijime lebih menunjukkan adanya dochokeiko 'kebersamaan yang kolektif' dalam melakukan suatu perbuatan atau tindakan secara bersama yang disebut doohokodo 'perbuatan secara bersama-sama.
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Etty Kustiaty
Abstrak :
ABSTRAK
Benedict mengatakan bahwa kebudayaan Barat menekankan "dose", sedangkan kebudayaan Jepang adalah kebudayaan yang menekankan "malu". "Halu" (dalam bahasa Jepang disebut "haji"), adalah reaksi atas kritik atau pandangan orang lain, dalam masyarakat Jepang menjadi suatu pertimbangan penting dalam menata pola kelakuan { Benedict, 1948:104-106).

Sakuta yang mengkritik pandangan Benedict tentang "haji no bunka" atau kebudayaan "malu" Jepang mengatakan bahwa sebenarnya malu bagi orang Jepang atau "haji" tidak hanya disebabkan oleh adanya kritik orang lain saja, melainkan berasal dari adanya perhatian yang khusus dari orang lain, tidak peduli apakah berupa kritikan ataupun pujian. Apabila orang Jepang dalam posisi diperhatikan maka akan "hajiru" atau merasa malu. (Sakuta Koichi, 1972, 200-207). Dikatakannya bahwa Benedict hanya melihat malu orang Jepang dari satu sisi saja, yaitu malu karena adanya tekanan atau kritik dari "kokai" atau umum yang disebut "kochi" atau malu umum. Adapun terhadap argumentasi Benedict yang menyimpulkan bahwa Kebudayaan Jepang adalah kebudayaan malu, Sakuta kurang puas, karena nenurutnya Benedict masih perlu menyusun suatu konsep malu yang lebih tepat untuk dapat mencakup bentuk gejala malu sebagai reaksi atas pujian. Hal ini disebabkan karena orang Jepang akan merasa malu bukan hanya ketika mandapat kritikan dari orang lain melainkan "wareware wo hajisaseru no wa isshuu tokubetsu no tsushi de aru" , yang berarti bahwa, "yang menimbulkan rasa malu itu adalah adanya perhatian khusus". Demikian menurut Sakuta, sehingga apa yang dikemukakan Benedict dianggap belum tentu dapat menjawab atau menerangkan berbagai bentuk gejala malu yang ditampilkan orang Jepang. Selanjutnya Sakuta mengatakan bahwa ada 2 kriteria "haji" yaitu "kochi" atau "main publik" yang timbul karena kehadiran orang lain dan "shuchi" atau "malu pribadi" muncul dari diri sendiri, yang disebabkan karena keadaan lingkungannya, atau .dalam kedudukannya bila dibandingkan dengan orang lain, walaupun sebenarnya belum tentu hal tersebut dianggap "haji" oleh orang lain (shikono kui chigai). (Sakuta Koichi, 1972; 296).
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library