Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Simarmata, Vini Onmaya
"Latar belakang. Akne vulgaris adalah kelainan kulit yang sering ditemukan dengan beragam pilihan terapi. Tujuan. Membandingkan penambahan fototerapi LED kombinasi sinar biru dan merah pada paduan terapi lini pertama dengan tanpa fototerapi pada akne vulgaris derajat sedang (AVS). Metode. Penelitian analitik dengan desain uji klinis acak terkontrol membandingkan dua sisi wajah (split-face). Subyek diberikan paduan terapi lini pertama. Sisi wajah fototerapi diberikan fototerapi LED kombinasi sinar biru dan merah satu kali per minggu selama empat minggu berturutan, sedangkan sisi wajah kontrol tanpa fototerapi. Hasil. Pada minggu ke-4 dan 8, efektivitas penambahan fototerapi berbeda bermakna dibandingkan dengan tanpa fototerapi pada lesi noninflamasi (54,42% dan 75,59%) maupun pada lesi inflamasi (75% dan 89,44%). Efek samping minimal dan bersifat sementara. Rasio inkremental efektivitas-biaya sebesar Rp. 19.447,- untuk mendapatkan perbedaan persentase penurunan jumlah lesi AVS 1% lebih besar. Kesimpulan. Penambahan fototerapi LED kombinasi sinar biru dan merah pada paduan terapi lini pertama AVS lebih efektif, aman, namun tidak memiliki efektivitas-biaya lebih baik dibandingkan dengan tanpa fototerapi.

Background. Acne vulgaris is a common disease with varied therapeutic regiments. Aim. To compare adjuvant of blue and red light combination light emitting diode (LED) phototherapy to first line therapy regiment with no phototherapy in moderate acne vulgaris patients. Method. This is an analytic study with randomized control trial design comparing both halfface (split-face). Subjects were given first line therapy regiment. Half-face was given blue and red light combination LED phototherapy once a week for four weeks, while the other half-face with no phototherapy. Result. Significant reductions achieved between phototherapy effectivities compared to no photo therapy at 4th and 8th weeks in noninflamed lesions (54,42% and 75,59%) as in inflamed lesions (75% and 89,44%). Side effects are minimal and temporary. Cost-effectiveness ratio is Rp. 19.447,- to gain more 1% percentage reduction in lesion count . Conclusion. Adjuvant of blue and red light combination LED phototherapy to first line therapy regiment is more effective, safe, but doesn't have better costeffectiveness compared with no phototherapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suksmagita Pratidina
"Chlamydia trachomatis (CT) merupakan bakteri penyebab infeksi menular seksual (IMS) yang paling sering terjadi, dengan perkiraan angka kejadian 50 juta kasus per tahun di seluruh dunia. Lebih dari 3 juta kasus baru dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1995. Hal ini membuat infeksi CT tidak hanya sebagai penyakit infeksi menular seksual (IMS) terbanyak, tetapi juga penyakit infeksi tersering di Amerika Serikat. Penelitian meta-analisis di tahun 2005 melaporkan bahwa prevalensi infeksi CT berkisar antara 3,3% hingga 21,5%.
Terdapat 2 Cara transmisi infeksi CT yaitu secara horizontal dan vertikal. Infeksi horizontal umumnya terjadi melalui hubungan seksual lewat vagina dan anus tanpa pelindung, sedangkan infeksi vertikal terjadi saat proses kelahiran. Meskipun infeksi Iebih sering terjadi pada genital dan konjungtiva, temyata permukaan mukosa faring, uretra dan rektum juga merupakan lokasi kolonisasi CT. Hubungan orogenital awalnya tidak dipikirkan sebagai jalur transmisi CT, sehingga pemeriksaan skrining rutin untilk infeksi CT faring belum dianjurkan pada pedoman di Amerika Serikat dan Inggris. Namun dengan semakin banyaknya praktek fellatio dan jarangnya penggunaan kondom, kemungkinan transmisi CT pada orofaring dapat terjadi. Chlamydia trachomatis sering merupakan penyebab infeksi anorektum (proktitis akut) yang ditularkan secara seksual, khususnya pada populasi men who have sex with men (MSM) yang melakukan hubungan seksual lewat rektum tanpa perlindungan kondom.
Selain MSM, waria juga merupakan kelompok risiko tinggi yang rentan terhadap infeksi tersebut. Waria memiliki jumlah pasangan seksual Iebih banyak dibandingkan dengan kelompok risiko tinggi lain (penjaja seks wanita dan MSM), Iebih banyak bekerja menjajakan seks demi uang, memiliki pendapatan paling rendah, banyak yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Waria adalah istilah yang hanya digunakan di Indonesia, yaitu singkatan dari wanita-pria. Walaupun hingga saat ini belum ada data yang akurat mengenai jumlah populasi waria di Jakarta, namun menurut data yang didapat diperkirakan sekitar 8000 orang yang bermukim di Jakarta dan sekitarnya. Pasangan seksual waria adalah laki-laki heteroseksual, waria tidak pernah berhubungan seksual dengan sesama waria atau dengan laki-laki homoseksual. Waria melakukan hubungan seksual secara orogenital dan anogenital reseptif dan memiliki perilaku seksual yang sangat berisiko." Banyak waria di Jakarta terlibat dalam hubungan seks komersial lewat oral dan anal reseptif tanpa pelindung/kondom. Masalah perilaku seksual tersebut merupakan pintu masuk bagi penularan IMS pada kelompok waria. Meskipun perilaku ini meningkatkan risiko untuk terkena IMS dan HIV, sangat sedikit data yang ada mengenai prevalensi infeksi ini berikut perilaku seksualnya. Pada kelompok ini angka prevalensi panting untuk diketahui karena prevalensi 1MS merupakan salah satu indikator yang memberi gambaran prevalensi infeksi HIV/AIDS.
Sebagian besar individu yang terinfeksi CT bersifat asimtomatik, sehingga merupakan sumber penyebaran infeksi yang potensial. Guna mencegah penyebaran infeksi, perlu diperhatikan diagnosis dini berdasarkan tes laboratorik yang akurat dan pengobatan yang efektif. Hingga tahun 80-an, diagnosis infeksi CT hanya berdasarkan pada isolasi organisme dengan kultur jaringan. Meskipun kultur masih merupakan baku emas untuk pemeriksaan CT, teknik ini membutuhkan pengambilan spesimen yang teliti dan kondisi transpor yang ketat. Selain itu pemeriksaan kultur belum distandarisasi dan dapat terjadi variasi hasil antar laboratorium. Uji nonkultur untuk deteksi CT pertama kali diperkenalkan sekitar tahun 80-an dan perkembangannya sangat baik karena tidak membutuhkan organisme hidup, sehingga mengatasi masalah pengambilan dan transportasi spesimen yang berhubungan dengan metode kultur."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18013
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roro Inge Ade Krisanty
"Gupta dkk (2000) melakukan uji in vitro suseptibilitas spesies Malassezia terhadap obat antijamur ketokonazol, itrakonazol, vorikonazol dan terbinafin. Hasil uji memperlihatkan adanya varfasi suseptibiilitas spesies Malassezia terhadap antijamur tersebut. Walaupun masih harus dibuktikan lebih lanjut dengan pengamatan in vivo, data ini mungkin dapat menjelaskan perbedaan rata-rata kesembuhan mikofogis pada pasien PV dengan terapi antijamur. Savin di New york dan Budimulja di Jakarta melakukan penelitian efektivitas pengobatan solusio terbinafin 1% yang digunakan 2 kali sehari seiama 1 minggu pada pasien PV. Budimulja dkk melaporkan angka kesembuhan sebesar 65%, sedangkan Savin 70-80%. Belum diketahui secara pasti apakah perbedaan ini semata-mata terkait dengan faktor geografik atau melibatkan faktor-faktor lain.
Selain menggunakan metode biomolekular, identifikasi spesies Malassezia dapat dilakukan dengan teknik biokimia. Guillot memperkenalkan metode biokimia praktis dengan memanfaatkan perbedaan morfologi, toleransi terhadap suhu tinggi, kemampuan aktivitas katalase, serta kemampuan tumbuh pada berbagai media Tweenn. Faergemann melakukan modifikasi metoda Guillot dengan cara menghilangkan tahapan biakan pada media Tween®, dan menggantikannya dengan pemeriksaan difusi Cremophor EL® dan pengamatan aktivitas 13 - g l u kos idase.
Sejauh pengetahuan peneliti, di Indonesia belum pernah dilakukan identifikasi spesies Malassezia pada pasien PV. Hal tersebut menjadikan dorongan bagi peneliti untuk melakukan penelitian
RUMUSAN MASALAH
Di antara tujuh spesies Malassezia, spesies manakah yang ditemukan pada Iesi PV di Poliklinik Divisi Dermatomikologi 1KKK FKUI 1 RSCM ?
TUJUAN PENELITIAN
Identifikasi spesies Malassezia pada pasien PV yang berobat di Poliklinik Divisi Dermatomikologi 1KKK FKUI 1 RSCM."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Chairunnisa
"Latar belakang: Alopesia androgenetika merupakan kelainan kerontokan rambut yang paling sering ditemukan, dengan karakteristik kebotakan yang berpola. Kelainan ini sering ditemui pada pria. Hubungan alopesia androgenetika dengan penyakit kronik antara lain resistensi insulin terutama pada pasien pria alopesia androgenetika awitan dini telah dilaporkan pada beberapa penelitian tetapi dengan hasil yang beragam.
Tujuan: Untuk mengetahui proporsi resistensi insulin menggunakan indeks homeostasis model assestment (HOMA), serta korelasi resistensi insulin dengan derajat keparahan alopesia androgenetika pada kelompok pria alopesia androgenetika awitan dini.
Desain: Penelitian deskriptif analitik dengan rancangan potong lintang
Hasil: Didapatkan 41 subyek penelitian (SP), skala Norwood Hamilton paling banyak adalah skala III (41,5 %), diikuti oleh skala IV (26,8 %), dan skala V (12,2 %). Pada penelitian ini terdapat 10 SP (24,4%) dengan resistensi insulin. Berdasarkan analisis statistik, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara derajat alopesia dengan resistensi insulin. (r2 = 0.14, p > 0.05).
Kesimpulan: Resistensi insulin dapat ditemukan 24,4 % pasien pria alopesia androgenetika awitan dini tetapi tidak didapatkan korelasi derajat alopesia dengan tingkat resistensi insulin.

Background: Androgenetic alopecia is the most commonly found hair loss with patterned baldness. This disorder usually found in men. The relation between androgenetic alopecia with chronic disease among others is insulin resistance in male early onset androgenetic alopecia patient has been reported by several studies with varied results.
Purpose: This study is to investigate the proportion of insulin resistance based on homeostasis model assestment (HOMA) index and its correlation with the degree of alopecia in male early onset androgenetic alopecia.
Study design: This is an analytic descriptive study, sampling method is cross sectional.
Result: The subjects are 41 men with androgenetic alopecia, aged 18-35 years. The percentage of the Norwood Hamilton scale among the patients is 41,5 % for grade III, 26,8 % for grade IV, and 12,2 % for grade V. The insulin resistance is present in 10 subject (24,4%). Based on statistical analysis, there is no significant correlation between alopecia’s degree with insulin resistance (r2 = 0.14, p > 0.05).
Conclusion: the insulin resistance can be found on 24,4 % of male with early onset androgenetic alopecia patients. However there is no correlation between alopecia’s degree and insulin resistance level.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Satya Wydya Yenny
"ABSTRAK
Penyebab PV adalah Malassezia spp. atau disebut juga Pityrosporum orbiculare dan Pityrosporum ova/a, merupakan jamur serupa ragi yang bersifat saprofit, dalam kondisi tertentu berubah menjadi bentuk miselium yang bersifat patogen. Dalam hal kesembuhan, PV prognosisnya baik tetapi masalah utama adalah kekambuhan yang sangat tinggi. Tingkat kekambuhan pada tahun pertama setelah pengobatan 60% dan pada tahun kedua setelah pengobatan 80%. Hal ini terjadi karena Malassezia spp. merupakan flora normal pada kulit, kadang terdapat lebih dalam pada folikel rambut, selain itu juga karena faktor predisposisi yang tidak dapat dihindari.
Berbagai faktor yang berperan pada penyakit ini antara lain faktor lingkungan yang lembab dan panas, pakaian tertutup, genetik, hormonal, imunodefisiensi, kulit berlemak, malnutrisi, hiperhidrosis, pengobatan dengan kortikosteroid atau imunosupresan, dan penggunaan antibiotika jangka lama, serta pemakaian kontrasepsi oral. Faktor lingkungan yang berperan pada PV antara lain adalah lingkungan mikro pada kulit, misalnya kelembaban kulit. Kelembaban kulit dinilai dengan mengevaluasi skin capacitance (SC) dan transepidermal water loss (TEWL). Pada kulit normal SC dan TEWL seimbang, pada kulit lembab SC meningkat sedangkan TEWL berkurang. Pada pasien PV diduga kelembaban kulit tinggi.
Sepengetahuan penulis belum ada penelitian mengenai hubungan PV dengan kelembaban kulit. Diharapkan dengan hasil penelitian ini dapat membantu memberikan asupan dalam penatalaksanaan PV.
Malassezia spp. merupakan flora normal pada kulit. Pada kondisi tertentu bentuk ragi berubah menjadi bentuk miselia yang memberi gambaran Minis PV. Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan ini adalah kelembaban kulit yang tinggi, yang dicerminkan oleh SC dan TEWL.
Perumusan masalah
Apakah ada perbedaan skin capacitance dan transepidermal water loss kulit non-lesi pasien pitiriasis versikolor dengan non-pitiriasis versikolor?."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21447
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aninda Undiah Hasanah
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Xerosis atau kulit kering merupakan masalah
kesehatan yang sering dijumpai pada usia lanjut. Prevalensi xerosis pada usia
lanjut berkisar antar 30 ? 58%. Salah satu faktor yang dijumpai pada kulit kering
adalah penurunan ekspresi aquaporin-3 (AQP3). Bahan herbal pegagan atau
Centella asiatica ekstrak etanol dalam nanopartikel kitosan (CAEENPK) secara in
vitro diketahui dapat meningkatkan ekspresi AQP3 pada keratinosit yang berperan
dalam hidrasi kulit. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas dan
keamanan krim pelembap yang mengandung Centella asiatica ekstrak etanol
dalam nanopartikel kitosan 1%, Centella asiatica ekstrak etanol (CAEE) 1%, dan
krim pelembap dasar pada populasi geriatri dengan kulit kering.
Metode: Penelitian uji klinis acak tersamar buta ganda dilakukan pada 43 orang
penghuni panti werdha di Jakarta. Evaluasi skin capacitance (SCap), specified
symptom sum score (SRRC), derajat gatal, dan efek samping dilakukan pada awal
terapi, minggu kedua, dan keempat. Setelah prakondisi selama satu minggu, setiap
subjek penelitian mendapatkan tiga pelembap yang berbeda secara acak pada tiga
lokasi di tungkai bawah.Hasil: Tidak didapatkan peningkatan nilai SCap yang berbeda bermakna antara
ketiga kelompok pengobatan. Penurunan nilai SRRC setelah empat minggu tidak
berbeda bermakna antara ketiga kelompok perlakuan. Derajat gatal pada minggu
kedua menurun pada ketiga kelompok, hingga menjadi tidak gatal pada seluruh
SP (100%) setelah minggu keempat. Tidak ditemukan efek samping subjektif dan
objektif pada ketiga kelompok perlakuan.
Kesimpulan: Efektivitas krim pelembap yang mengandung CAEENPK 1% tidak
lebih tinggi dibandingkan dengan krim pelembap yang mengandung CAEE 1%
atau krim pelembap dasar, serta memiliki keamanan yang sama dalam mengatasi
kekeringan kulit pada populasi geriatri.
Kata kunci: Centella asiatica, nanopartikel, aquaporin-3, hidrasi kulit, geriatri

ABSTRACT
Background and objectives: Xerosis or dry skin is a common health issue found
in the elderly. The prevalence rate of xerosis in the elderly ranges between 30 -
58%. One of the factors found on dry skin is decreased expression of aquaporin-3
(AQP3). The herbal plant Centella asiatica ethanol extract in chitosan
nanoparticle (CAEENPK) has been found to increase the expression of AQP3 on
keratinocytes in vitro which plays a role in skin hydration. This study aims to
compare the effectiveness and safety of moisturizing cream containing 1%
Centella asiatica ehanol extract in chitosan nanoparticle, 1% Centella asiatica
ethanol extract (CAEE), and moisturizing cream base in geriatric population with
dry skin.
Methods: A double-blind randomized controlled trial was conducted on 43
residents of a nursing home in Jakarta. The evaluation of skin capacitance (SCap),
specified symptom sum score (SRRC), pruritic degree, and side effects were
measured at baseline, week-2, and week-4 after therapy. After a week of
preconditioning, each test subject received three different randomized
moisturizing creams to be applied on three separate locations on the lower limbs.Results: There was no significant increase in SCap value among the three
treatment groups. The decrease in SRRC value after four weeks did not differ
among the three treatment groups. The pruritic degree decreased at the second
week of treatment in all three groups and completely diminished after the fourth
week among all the test subjects (100%). No objective and subjective side effects
were found among the three treatment groups.
Conclusion: The efectiveness of moisturizing cream containing 1% CAEENPK is
not higher when compared to moisturizing cream containing 1% CAEE or
moisturizing cream base. It is also as safe in treating dry skin of geriatric
population;;ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Xerosis atau kulit kering merupakan masalah
kesehatan yang sering dijumpai pada usia lanjut. Prevalensi xerosis pada usia
lanjut berkisar antar 30 ? 58%. Salah satu faktor yang dijumpai pada kulit kering
adalah penurunan ekspresi aquaporin-3 (AQP3). Bahan herbal pegagan atau
Centella asiatica ekstrak etanol dalam nanopartikel kitosan (CAEENPK) secara in
vitro diketahui dapat meningkatkan ekspresi AQP3 pada keratinosit yang berperan
dalam hidrasi kulit. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas dan
keamanan krim pelembap yang mengandung Centella asiatica ekstrak etanol
dalam nanopartikel kitosan 1%, Centella asiatica ekstrak etanol (CAEE) 1%, dan
krim pelembap dasar pada populasi geriatri dengan kulit kering.
Metode: Penelitian uji klinis acak tersamar buta ganda dilakukan pada 43 orang
penghuni panti werdha di Jakarta. Evaluasi skin capacitance (SCap), specified
symptom sum score (SRRC), derajat gatal, dan efek samping dilakukan pada awal
terapi, minggu kedua, dan keempat. Setelah prakondisi selama satu minggu, setiap
subjek penelitian mendapatkan tiga pelembap yang berbeda secara acak pada tiga
lokasi di tungkai bawah.Hasil: Tidak didapatkan peningkatan nilai SCap yang berbeda bermakna antara
ketiga kelompok pengobatan. Penurunan nilai SRRC setelah empat minggu tidak
berbeda bermakna antara ketiga kelompok perlakuan. Derajat gatal pada minggu
kedua menurun pada ketiga kelompok, hingga menjadi tidak gatal pada seluruh
SP (100%) setelah minggu keempat. Tidak ditemukan efek samping subjektif dan
objektif pada ketiga kelompok perlakuan.
Kesimpulan: Efektivitas krim pelembap yang mengandung CAEENPK 1% tidak
lebih tinggi dibandingkan dengan krim pelembap yang mengandung CAEE 1%
atau krim pelembap dasar, serta memiliki keamanan yang sama dalam mengatasi
kekeringan kulit pada populasi geriatri.
Kata kunci: Centella asiatica, nanopartikel, aquaporin-3, hidrasi kulit, geriatri

ABSTRACT
Background and objectives: Xerosis or dry skin is a common health issue found
in the elderly. The prevalence rate of xerosis in the elderly ranges between 30 -
58%. One of the factors found on dry skin is decreased expression of aquaporin-3
(AQP3). The herbal plant Centella asiatica ethanol extract in chitosan
nanoparticle (CAEENPK) has been found to increase the expression of AQP3 on
keratinocytes in vitro which plays a role in skin hydration. This study aims to
compare the effectiveness and safety of moisturizing cream containing 1%
Centella asiatica ehanol extract in chitosan nanoparticle, 1% Centella asiatica
ethanol extract (CAEE), and moisturizing cream base in geriatric population with
dry skin.
Methods: A double-blind randomized controlled trial was conducted on 43
residents of a nursing home in Jakarta. The evaluation of skin capacitance (SCap),
specified symptom sum score (SRRC), pruritic degree, and side effects were
measured at baseline, week-2, and week-4 after therapy. After a week of
preconditioning, each test subject received three different randomized
moisturizing creams to be applied on three separate locations on the lower limbs.Results: There was no significant increase in SCap value among the three
treatment groups. The decrease in SRRC value after four weeks did not differ
among the three treatment groups. The pruritic degree decreased at the second
week of treatment in all three groups and completely diminished after the fourth
week among all the test subjects (100%). No objective and subjective side effects
were found among the three treatment groups.
Conclusion: The efectiveness of moisturizing cream containing 1% CAEENPK is
not higher when compared to moisturizing cream containing 1% CAEE or
moisturizing cream base. It is also as safe in treating dry skin of geriatric
population.
Keywords: Centella asiatica, nanoparticle, aquaporin-3, skin hydration,geriatrics"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Dwi Wahyuni
"Latar belakang. Dermatofitosis adalah infeksi jamur yang disebabkan dermatofita, yang banyak terjadi di negara tropis dan masih menjadi masalah kesehatan kulit di masyarakat, terutama di Indonesia. Infeksi yang disebabkan dermatofita memerlukan pengobatan antijamur yang lama, dan dapat terjadi kekambuhan dan kronisitas. Oleh karena itu, uji kepekaan dermatofita terhadap antijamur sangat menunjang untuk penatalaksanaan pasien. Metode standar untuk uji kepekaan dermatofita yang diakui oleh Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) adalah metode mikrodilusi kaldu (M38-A2). Metode berbasis agar seperti metode difusi cakram adalah metode alternatif lain yang menjanjikan, karena lebih sederhana, memiliki reprodusibilitas tinggi, murah, dan lebih cepat dibandingkan metode mikrodilusi kaldu.
Tujuan penelitian. Penggunaan metode difusi cakram untuk alternatif uji kepekaan dermatofita terhadap flukonazol.
Metode Penelitian. Desain penelitian ini adalah studi potong lintang. Sampel diperoleh dari pasien dengan diagnosis dermatofitosis di poliklinik Departemen Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo, Jakarta, selama kurun waktu November 2012- Agustus 2013
Hasil dan Pembahasan. Jumlah sampel dermatofita yang diuji adalah 40 sampel yang diisolasi dari 113 spesimen klinik, yang terdiri dari kerokan kulit, kuku, dan rambut. Dilakukan uji kepekaan terhadap flukonazol menggunakan metode difusi cakram dan metode mikrodilusi kaldu M38-A2 CLSI pada 5 spesies yaitu Trichophyton rubrum (20), Trichophyton mentagrophytes (11), Epidermophyton floccosum (4), Microsporum gypseum (3) dan Microsporum canis (2). Korelasi yang signifikan diperoleh antara diameter zona hambat (DZH) dan kadar hambat minimum (KHM) flukonazol terhadap dermatofita (r = - 705; p< 0,001). Sebaran nilai DZH terhadap KHM flukonazol pada kelima spesies dermatofita sangat bervariasi. Nilai ambang diameter zona hambat resisten Trichophyton rubrum terhadap flukonazol adalah 43 mm, dengan nilai sensitivitas 78% dan spesifisitas 55% pada kurva ROC, dengan nilai area under curve (AUC) 0,712 dan nilai p > 0,05.
Kesimpulan. Metode difusi cakram dapat menjadi pemeriksaan alternatif yang mudah untuk uji kepekaan dermatofita terhadap antijamur di laboratorium klinik rutin, walaupun masih perlu diujikan kembali dengan sampel yang lebih banyak.

Background. Dermatophytosis is a fungal infection caused by dermatophytes, which is major public skin problems in tropical countries, particularly in Indonesia. Dermatophyte infections need long-term treatment with antifungal agents, and often become recurrent and chronic. Therefore, antifungal susceptibility testing of dermatophytes against antifungal is helpful to support patient management. The standard method for antifungal susceptibility testing of dermatophytes which is approved by Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) is broth microdilution (M38-A2). Agar based methods such as diskdiffusion is another promising method, because it is simple, reproducible, and faster than broth microdilution. Objective. To use disk diffus ion methodas a promising antifungal susceptibilitytesting for dermatophytes against fluconazole.
Methods. Design of this study is cross sectional. Samples were collected from patients with clinical diagnosis of dermatophytoses in the clinic of Dermatology and Venereology in Cipto Mangun Kusumo National Hospital Jakarta, during November 2012 to August 2013.
Result and Discussion. Total of 40 dermatophytes samples were isolated from 113 clinical specimens, which were consisted of skin scrapings, nails, and hair. Susceptibility against fluconazole using the disc diffusion method and broth microdilution method CLSI M38-A2 were tested to 5 species, i.e. Trichophyton rubrum (20), Trichophyton mentagrophytes (11), Epidermophyton floccosum (4), Microsporum gypseum (3) and Microsporum canis (2). A significant correlation was found between the inhibition zone diameter (IZDs) and minimum inhibitory concentration (MICs) to fluconazole (r = - 705; p< 0,001). The distribution of inhibition zone diameter versus minimum inhibitory concentration of fluconazole on five species of dermatophytes was diversed. Threshold value of inhibition zone diameter 43 mm for Trichophyton rubrum resistance againts fluconazole, sensitivity 78% and specificity of 55% were obtained in the ROC curve, and the value of the area under the curve (AUC) 0.712, p>0.05.
Conclusion. Disk diffusion could become a promising method for the antifungal susceptibility testing of dermatophytes against fluconazole in routine clinical laboratory, eventhough it still needs to be tested again with more samples.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Nugraha
"Akne vulgaris (AV) merupakan kelainan kulit menahun folikel pilosebasea yang banyak dijumpai remaja dan dewasa muda. Beberapa penelitian melaporkan adanya hubungan antara seng dan AV. Penelitian dengan desain kasus kontrol ini bertujuan mencari hubungan kadar seng serum dengan derajat keparahan AV berdasarkan klasifikasi Lehmann dan dengan jumlah lesi inflamasi. Tujuh puluh subyek dengan AV, terdiri atas 35 AV ringan (AVR) [kelompok A] dan 35 AV sedang (AVS) dan AV berat (AVB) [kelompok B] berdasarkan klasifikasi Lehmann diperiksakan kadar seng serum yang diukur menggunakan Atomic absorption spectrophotometry. Hasil kadar seng serum kelompok A median (min-maks) 11,15 (10,23-14,21) μmol/L dan kelompok B median (min-maks) 9,93 (6,72-10,69) μmol/L. Kadar seng serum kelompok A lebih tinggi dibandingkan kelompok B (p<0,001). Terdapat korelasi negatif yang bermakna antara kadar seng serum dengan jumlah lesi inflamasi pada AV(r -0,488). Sebagai tambahan didapatkan korelasi negatif kadar seng serum dengan jumlah lesi non inflamasi (r-0,582) ataupun total lesi AV (r-0,662). Hasil penelitian ini membuktikan bahwa kadar seng serum berhubungan dengan derajat keparahan AV menurut klasifikasi Lehmann, yakni kadar seng serum lebih rendah pada AV derajat berat dan sedang dibandingkan derajat ringan, dan sejalan dengan hubungannya terhadap jumlah lesi, baik inflamasi, non inflamasi, dan total lesi.

Acne vulgaris (AV) is a chronic cutaneous disorder in pilosebaceous follicles affecting many of the adolescents and young adults. Several studies have reported an association between serum zinc level and acne vulgaris. This case-control study aimed to find the relationship between serum zinc level with severity of AV according on Lehmann?s classification and the number of inflamatory lesions. Seventy AV subjects, consisting of 35 subjects with mild AV (Group A) and 35 subjects with moderate and severe AV (Group B) based on Lehmann's classification are measured their serum zinc levels with Atomic absorption spectrophotometry. In group A serum zinc level median (min-max) was 11,15 (10,23-14,21) μmol/L and in group B, median (min-max) was 9,93 (6,72-10,69) μmol/L. Serum zinc levels in group A were statistically significant higher than group B (𝑃𝑃<0,001). There was a negative correlation between serum zinc levels with the number of inflammatory lesions (r-0,488). Additional result obtained were negative correlation between serum zinc levels with number of non-inflammatory lesions (r-0,582) and total lesion of AV (r-0,662). The results of this study proved that serum zinc levels was associated with the severity of AV according to Lehmann's classification,i.e. serum zinc levels were lower in severe and moderate acne compared with mild acne, and in line with its correlation to number of lesions, either inflammatory, non-inflammatory, and total lesions.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eyleny Meisyah Fitri
"ABSTRAK
Latar belakang: Xerosis kutis sering ditemukan pada lanjut usia lansia . Aplikasi pelembap merupakan tatalaksana utama. Pelembap mengandung humektan, misalnya laktat dan urea, dapat memperbaiki hidrasi dan disfungsi sawar kulit. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efikasi dan keamanan antara krim pelembap yang mengandung amonium laktat 12 dan urea 10 dalam mengatasi xerosis kutis pada populasi lansia. Metode: Penelitian uji klinis acak tersamar ganda dengan subjek kelompok berpasangan dilakukan pada 40 orang penghuni panti werdha di Jakarta. Evaluasi specified symptom sum score SRRC , skin capacitance SCap , transepidermal water loss TEWL , dan efek samping dilakukan pada awal terapi, minggu kedua dan keempat terapi, serta minggu kelima seminggu setelah terapi dihentikan. Hasil: Penurunan nilai SRRC dan TEWL, peningkatan nilai SCap, setelah empat minggu tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok terapi dengan nilai p masing-masing 1,000; 0,636; dan 0,601. Pada minggu kelima, terjadi peningkatan nilai SRRC dan TEWL serta penurunan nilai SCap minggu keempat pada kedua kelompok, namun masih lebih baik daripada nilai dasar dan minggu kedua terapi. Tidak ditemukan efek samping subjektif dan objektif pada kedua kelompok. Kesimpulan: Efikasi dan keamanan krim pelembap yang mengandung amonium laktat 12 sama baiknya dengan krim pelembap yang mengandung urea 10 dalam mengatasi xerosis kutis pada populasi lansia. Kata kunci: amonium laktat 12 ; lanjut usia; urea 10 ; xerosis kutis

ABSTRACT
Background Xerosis cutis is widely known in geriatric population. Application of moisturizer is the treatment.. Moisturizer with humectant property, e.g lactate and urea, could restore skin hydration and barrier dysfunction. This study aims to compare the efficacy and safety between moisturizing cream containing 12 ammonium lactate and 10 urea in geriatric population with xerosis cutis. Methods A double blind randomized controlled trial with matching paired subject was conducted on 40 residents of a nursing home in Jakarta. Evaluation of specified symptom sum score SRRC , skin capacitance SCap , transepidermal water loss TEWL , and side effects were measured at baseline, week 2 and week 4 after therapy, and week 5 one week after therapy cessation. Results The decrease of SRRC and TEWL score, increase of SCap score after four weeks of therapy between two group yield no statistical different p 1.000 p 0.636 p 0.601 respectively . On the fifth week, SRRC and TEWL score were increased and SCap score was decreased compared to the fourth week, but they are still better than the score on baseline and the second week. No objective and subjective side effects were found. Conclusions The efficacy and safety of moisturizing cream containing 12 ammonium lactate are the same as 10 urea in treating xerosis cutis of geriatric population. Keywords 12 ammonium lactate 10 urea geriatric xerosis cutis"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lusiana
"Latar belakang: Pitiriasis versikolor (PV) merupakan infeksi jamur superfisial kronik dengan prevalensi tinggi. Belum ada data yang membandingkan sampo SeS2 1,8% dengan ketokonazol 2% pada terapi PV. Tujuan: Mengetahui efikasi mikologis, keamanan, kekambuhan, dan efikasi biaya antara sampo selenium sulfida 1,8% dibandingkan dengan ketokonazol 2% pada PV. Metode: Uji klinis acak tersamar ganda terhadap pasien PV bulan September hingga Desember 2018, dengan terapi sampo SeS2 1,8% atau ketokonazol 2% sesuai dengan alokasi random. Dilakukan pemeriksaan fisik, uji provokasi skuama, lampu Wood, dan kalium hidroksida. Efikasi mikologis dianalisis dengan intention to treat dan kekambuhan dengan analisis per-protokol. Efikasi biaya dengan menghitung Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER). Hasil: Efikasi mikologis lebih tinggi pada ketokonazol 2%, yaitu sebesar 94% vs 86%, tetapi tidak berbeda secara statistik (RR=2,3(95%IK0,6-8,5), p=0,182). Efek samping pada ketokonazol 2% lebih tinggi, yaitu 22% vs 8%. SeS2 1,8% lebih murah 14.880 rupiah, dengan risiko KOH masih positif sebesar 8% lebih tinggi dibanding ketokonazol 2%. Kekambuhan sebulan didapatkan lebih besar pada SeS2 1,8%, yaitu sebesar 8% vs 14%. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan efikasi mikologis, efek samping, dan kekambuhan sebulan, antara SeS2 1,8% dengan ketokonazol 2%. Penggunaan SeS2 1,8% pada terapi PV lebih murah dengan risiko gagal terapi lebih tinggi dibandingkan ketokonazol 2%.

Background: Pityriasis versicolor (PV) is a chronic superficial fungal infection which highly prevalent. There is no data comparing SeS2 1.8% with 2% ketoconazole shampoo in the treatment of PV. Objective: To assess the mycological efficacy, safety, relaps, and cost-efficacy of SeS2 1.8% and ketoconazole 2% shampoo for the treatment of PV. Methods: A double blind randomized controled trial was performed in patients with PV during September-December 2018, based on block randomization. Physical examinations, scale provocation test, Woods lamp and potassium hydroxide examination were conducted. Intention to treat analysis was performed to evaluated mycological efficacy and per-protocol analysis to evaluated relaps. Cost-efficacy was analyzed by calculating the Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER). Result: The mycological efficacy, side effect and relaps were higher in the ketoconazole group; 94% vs 86% (RR=2.3(95%CI 0.6-8.5), p= 0.182), 22% versus 8%, and 14% versus 8%. We found lesser cost for SeS2 1.8% of about 14.880 rupiah with risk of persistent positive KOH smear is 8% higher than ketoconazole. Conclusion: There were no significant differences of mycological efficacy, side effect, and relaps, between both arms. The cost-efficacy revealed a lesser cost for SeS2 1.8% with higher risk of persistent positive KOH as compared to ketoconazole."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57685
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>