Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rochelle De Mello Wahyudi
"Latar Belakang
Penggunaan cardiopulmonary bypass (CPB) dalam bedah jantung bidirectional cavopulmonary shunt (BCPS) pada anak dapat memicu low cardiac output syndrome (LCOS). Pasien dengan LCOS berhubungan dengan lama rawat intensive care unit (ICU) yang berkepanjangan, sehingga berisiko tinggi mengalami komplikasi penyerta. Meskipun faktor CPB dan LCOS berpotensi memengaruhi lama rawat ICU, belum ada penelitian serupa di Indonesia yang mengevaluasi hubungan ini pada pasien BCPS. Metode
Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan sampel 109 pasien (63 laki-laki, 44 perempuan) yang menjalani operasi BCPS di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dari Januari 2019 hingga Juni 2024. Analisis bivariat dan multivariat digunakan untuk mengevaluasi hubungan antara penggunaan CPB dan faktor lainnya terhadap kejadian LCOS serta lama rawat ICU.
Hasil
Pasien yang menjalani BCPS tanpa CPB memiliki penurunan risiko mengalami LCOS (aOR = 0,29, CI 95% 0,11 – 0,77, p < 0,05). Namun, CPB bukan faktor prediktor independen yang signifikan terhadap lama rawat ICU (p > 0,05). Lama rawat ICU lebih dipengaruhi oleh adanya LCOS (p < 0,001), terlepas dari penggunaan CPB. Faktor usia dan berat badan tidak berhubungan signifikan dengan kejadian LCOS maupun lama rawat ICU (semua p > 0,05).
Kesimpulan
Penggunaan CPB dalam operasi BCPS berhubungan dengan peningkatan risiko LCOS, yang kemudian memperpanjang lama rawat ICU. Namun, lama rawat ICU pada pasien BCPS lebih ditentukan oleh adanya LCOS, bukan oleh penggunaan CPB itu sendiri.

Introduction
The use of cardiopulmonary bypass (CPB) in bidirectional cavopulmonary shunt (BCPS) surgery in children can trigger low cardiac output syndrome (LCOS). Patients with LCOS are associated with prolonged intensive care unit (ICU) stays, placing them at higher risk of associated complications. Although CPB and LCOS factors have the potential to affect ICU stays, there has been no similar study in Indonesia evaluating this relationship in BCPS patients.
Method
This study utilized a retrospective cohort design with a sample of 109 patients (63 males, 44 females) who underwent BCPS surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2019 to June 2024. Bivariate and multivariate analyses were used to evaluate the relationship between CPB use and other factors on the incidence of LCOS and ICU length of stay.
Results
Patients who underwent BCPS without CPB had a reduced risk of developing LCOS (aOR = 0.29, 95% CI 0.11–0.77, p < 0.05). However, CPB was not a significant independent predictor of ICU length of stay (p > 0.05). ICU length of stay was more affected by the presence of LCOS (p < 0.001), regardless of CPB use. Age and weight factors were not significantly associated with either LCOS incidence or ICU length of stay (all p > 0.05).
Conclusion
The use of CPB in BCPS surgery is associated with an increased risk of LCOS, which subsequently prolongs ICU stay. However, the length of ICU stay in BCPS patients is more determined by the presence of LCOS, rather than CPB use itself.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nilam Permatasari
"

Tesis ini membahas mengenai penggunaan model tiga dimensi sebagai sarana belajar operasi sumbing bibir satu sisi dengan teknik fisher. Tujuan studi ini adalah mengevaluasi pengalaman membuat desain pra-operasi menggunakan model tiga dimensi dibandingkan dua dimensi. Dilakukan studi eksperimental menggunakan randomized sampling untuk menentukan akurasi anatomis dan kepuasan penggunaan model tersebut. Data menunjukkan bahwa penggunaan model tiga dimensi dapat menjadi sarana belajar tunggal untuk mencapai pemahaman dan persepsi dalam hal desain pra operasi. Penelitian lanjutan dapat mengevaluasi akurasi hasil pembelajaran pada pasien.


The focus of this study is on evaluating three dimensional model as a learning tool for unilateal labioplasty using fisher technique. This study aim to evaluate the experience in preoperative marking of unilateral cleft lip repair on three-dimensional model compared to two-dimensional model. An experimental study conducted using randomized sampling to measure the anatomical accuracy and satisfaction of pre operative marking of unilateral cleft lip repair  using fisher modification technique on three dimensional model over two dimensional model. Result shows that three dimensional model could be used as an efficient single learning tools to have the same level of perceptive and understanding of the design points. Further research should evaluate the effectivenes of this learning tool by assessing its accuracy result in real patients.

 

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55520
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baskoro Cahyo Pramudito
"Pendahuluan: Hernia inguinal strangulata merupakan kasus kegawatdaruratan bedah yang sering ditemui dan dapat terjadi translokasi bakteri. Klinis strangulata bisa menjadi faktor risiko terjadinya infeksi daerah operasi (IDO) pascaoperasi. Penggunaan mesh merupakan standar tata laksana untuk operasi hernia inguinal elektif, namun penggunaannya pada operasi hernia inguinal strangulata masih kontroversial karena diduga meningkatkan risiko terjadinya IDO. Tujuan penelitian ini adalah menilai kejadian IDO pasca operasi hernia inguinal strangulata dengan/tanpa penggunaan mesh.
Metode: Penelitian ini merupakan tinjauan sistematis yang disusun berdasarkan Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA). Kriteria inklusi meliputi artikel yang melaporkan keluaran kejadian IDO pada operasi hernia menggunakan mesh (Lichtenstein) dan tanpa mesh (Bassini). Artikel yang digunakan diambil dari basis data Cochrane, MEDLINE, EBSCOhost, Scopus, Proquest, ClinicalTrials.gov, dan ICTRP.
Hasil: Pencarian literatur didapatkan 275 studi dengan 5 studi yang memenuhi kriteria. Jumlah total subjek 382 orang, 228 (59,7%) di antaranya menjalani prosedur operasi menggunakan mesh (Lichtenstein). Kejadian IDO pada kelompok yang menggunakan mesh (Lichtenstein) 8,3%, lebih rendah dibandingkan kelompok yang tidak menggunakan mesh (Bassini) 12,9%. Selain itu, kejadian rekurensi juga lebih rendah pada kelompok yang menggunakan mesh (Lichtenstein)dibandingkan kelompok yang tidak menggunakan mesh (Bassini), yaitu 0,4% vs 1,9%.
Kesimpulan: Penggunaan mesh (Lichtenstein) merupakan tata laksana yang lebih baik untuk pasien dengan hernia inguinal strangulata tanpa perforasi usus dibandingkan tanpa mesh (Bassini). Penggunaan mesh tidak meningkatkan kejadian IDO dan rekurensi pasca operasi.

Introduction: Strangulated inguinal hernia is a common surgical emergency case that can cause bacterial translocation. Hernia strangulation is a risk factor for surgical site infection (SSI) following hernia surgery. The use of mesh is the standard treatment for an elective inguinal hernia operation, however, its use in strangulated inguinal hernia is still controversial because it is thought to increase the risk of SSI.
Aim and Goal: The aim of this study is to evaluate the better treatment between repair with mesh and without mesh in patients with strangulated inguinal hernia.
Method: This study is a systematic review written based on Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA). The inclusion criteria are articles that report SSI incidence following operation with mesh (Lichtenstein) and without mesh (Bassini). Studies were obtained from Cochrane, MEDLINE, EBSCOhost, Scopus, Proquest, ClinicalTrials.gov, and ICTRP databases.
Result: A total of 275 studies were obtained from literature searching, 5 of which were included in this study. Of the total 382 subjects, 228 subjects (59.7%) underwent repair with mesh (Lichtenstein). The incidence of SSI in operation with mesh (Lichtenstein) was 8.3%, lower compared to those without mesh (Bassini) which was 12.9%. In addition, the incidence of hernia recurrence is also lower in operation with mesh (Lichtenstein) compared to without mesh (Bassini), 0.4% vs 1.9%.
Conclusion: The use of mesh is the better treatment procedure for strangulated inguinal hernia compared to without mesh. It does not increase SSI and hernia recurrence following operation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Putra Asmoro
"Latar Belakang: Dalam diagnosis varises vena tungkai bawah (VVTB), venous clinical severity score (VCSS) merupakan alat bantu diagnosis VVTB yang praktis, cepat, dan dapat dikerjakan oleh semua tenaga kesehatan termasuk perawat. Hingga saat ini belum ada peneliti yang melakukan validasi eksterna penilaian VCSS yang dikerjakan oleh perawat di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui tingkat ketepatan metode skor VCSS oleh perawat dibandingkan dengan komponen klinis (C) klasifikasi clinical-etiology-anatomy-pathophysiology (CEAP) oleh dokter spesialis bedah vaskular.
Metode: Studi cross-sectional ini mengikutsertakan 63 orang perawat instalasi bedah pusat RS Dr. Cipto Mangunkusumo tanpa varises sebelum menjadi perawat sebagai sampel yang diambil secara consecutive Penilaian VCSS dilakukan dengan komponen klinis klasifikasi CEAP sebagai pembanding. Variabel dianalisis dengan uji Chi-square, dilanjutkan dengan uji nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif (NDP), nilai duga negatif (NDN), likelihood ratio dan akurasi skor diagnostik, termasuk analisis uji diagnostik menggunakan indeks Youden.
Hasil: Prevalensi VVTB pada studi ini berdasarkan skor VCSS adalah 9,5%. Korelasi antara klasifikasi CEAP dan VCSS ditemukan bermakna (p<0,05). Derajat VVTB antara klasifikasi CEAP dan VCSS berhubungan secara signifikan (p <0,05). Pada cut-offVCSS 2 didapatkan nilai sensitivitas 66,67%, spesifisitas 66,67 %, NDP 32,0%, NDN 89,47%, likelihood ratio (+) sebesar 2,00, likelihood ratio (-) sebesar 0,50, dan akurasi 66,67%.
Kesimpulan: Skor VCSS memiliki akurasi lemah terhadap komponen klinis (C) klasifikasi CEAP untuk menegakkan diagnosis VVTB.

Background: In the diagnosis of lower leg varicose veins (LLVV), the venous clinical severity score (VCSS) is practical, fast, and can be done by all health workers including nurses. Until now there has been no researcher who has conducted external validation of the VCSS assessment carried out by nurses in Indonesia.
Aim: To determine the accuracy of the VCSS scoring method by nurses compared to clinical component (C) of the clinical-etiology-anatomy-pathophysiology (CEAP) classification by vascular surgeons.
Method: This cross-sectional study included 63 nurses at the central surgical installation of Cipto Mangunkusumo Hospital without varicose veins before becoming a nurse as a consecutive sample. The VCSS assessment was carried out with the clinical component of CEAP classification as a comparison. Variables were analyzed by the Chi-square test. Followed by testing the value of sensitivity, specificity, positive predictive value (PPV), negative predictive value (NPV), likelihood ratio, and accuracy of diagnostic scores, along with the ROC analysis using Youden Index.
Results and Discussion: The prevalence of LLVV in this study is 9,5%. Bivariate analysis of CEAP and VCSS has a significant correlation (p <0,05). The degree of LLVV with CEAP and VCSS is related significantly (p <0,05). With VCSS cut off at scores of 2, the sensitivity is 66.67%, the specificity is 66.67%, the PPV is 32,0%, the NPV is 89.47%, the positive and negative likelihood ratio are 2.00 and 0.50, and the accuracy value is 66.67%.
Conclusion: The VCSS score has weak level of accuracy against the clinical component (C)  of CEAP classification for diagnosing VVTB.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library