Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
Indra Priamudi
Abstrak :
Ketika terjadi peristiwa berdarah G 30 SIPKI tanggal 30 September 1965, masyarakat menginginkan agar Sukarno segera menyelesaikan masalah tersebut. Penyelesaian yang dinanti tak kunjung tiba ditambah kondisi ekonomi semakin memburuk mengakibatkan masyarakat mengambil jalan pintas, turun ke jalan menuntut agar PM dan ormas-ormasnya dibubarkan. Gema tuntutan itu semakin menguat dengan dukungan mahasiswa yang menjadi pelopor gerakan tersebut. Mahasiswa pada masa itu menjadi tumpuan masyarakat yang haus akan keadilan. Dengan berbagai cara mahasiswa mengupayakan agar Sukarno mengadili PM dan memperbaiki situasi ekonomi yang semakin parah. Untuk mendukung aksi, mereka pada tanggal 25 Oktober 1965 mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAM1). Bahkan mereka mendirikan surat kabar yang berskala nasional yaitu Harian KAMI . Harian KAMI secara resmi diterbitkan oleh mahasiswa pada tanggal 17 Juni 1969 dengan tujuan mendukung kegiatan-kegiatan yang dilakukan KAMI dan menyebarluaskan keseluruh Indonesia. Program yang menonjol dari mahasiswa pads saat itu adalah TRITURA. Harian ini kemudian dengan cepat menjadi popular. Meskipun hanya sebatas koran mahasiswa, namun berita-berita yang disajikan cukup menarik perhatian umum. Disisi lain pada saat itu cukup tanggap pada keadaan negaranya. Para pengelola Harian KAMI berasal Bari orang-orang muda dan ketika peristiwa 30 September meletus PKI kemudian mendapat tekanan, orang-orang muda ini memanfaatkan momentum tersebut untuk menyalurkan aspirasi politiknya dan terlibat aktif bersama Angkatan Darat untuk meruntuhkan sistem Demokrasi Terpimpin yang dianggap menguntungkan PKI sekaligus menjatuhkan Sukarno. Tumbangnya kekuasaan Orde Lama, dan lahirnya Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari peranan mahasiswa termasuk Harian KAMI didalamnya, yang merupakan corong suara mahasiswa. Tokoh-tokoh angkatan 66 seperti : Nona Anwar Makarim, Ismid Hadad, Cosmas Batubara, Emil Salim, Marie Muhamad, Anis Ibrahim dan Eka M Jamaan adalah sosok individu-individu yang memberi corak dan arah politik Harian KAMI. PKI adalah kekuatan politik yang menjadi sasaran kritikan keras harian ini. Koran mahasiswa ini secara frontal mengecam semua sepak terjang partai tersebut dalam kancah politik Indonesia yang selama ini dipayungi oleh sistem Demokrasi Terpimpin. Harian ini menginginkan agar PKI dibubarkan dan diadili karena mereka telah melakukan dosa besar dengan meletusnya peristiwa 30 September I965. Tokoh-tokoh yang dianggap PM seperti Subandrio dan Aidit dan tokoh lainnya seringkali mendapat kecaman keras dari harian ini. Sosok Sukarno dikecam harian ini karena Sukarno tidak segera menindak PKI dan sistem politik Demokrasi Terpimpinnya yang dianggap banyak menguntungkan PKI, dan harian mahasiswa ini menginginkan Sukarno mundur dan mempertanggungjawabkan sepak terjang politiknya yang mereka anggap telah menyimpang. Mereka juga mengkritik kekuatan-kekuatan yang masih bersimpati atau mendukung PKI seperti PNI ASU (PNI Ali Surahman). Pada tanggal 21 Januari 1974 merupakan akhir dari sepak terjang Harian KAMI. Peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (MALARI) telah mengakibatkan dibreidelnya beberapa koran nasional termasuk Harlan KAMI didalamnya. Pembreidelan ini membuktikan bagaimana konsistennya harian ini dalam menempatkan posisinya sebagai pembela keadilan dan kebenaran yang selalu menjadi landasan berpikir maupun bertindak para mahasiswa Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S12479
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Zainurlis
Abstrak :
Zainurlis, NPM: 0787040339. Nilai-nilai Buruh Australia Dalam Aksi Boikot Buruh Pelabuhan Untuk Mendukung Revolusi Indonesia 1945-1949. (ix + 126 halaman; bibl. 131; 34 lampiran + peta.) Dalam masyarakat kulit putih Australia, khususnya buruh berkembang nilai-nilai, terutama mateship dan rasisme. Kedua nilai ini telah muncul dan berkembang sejak awal abad ke-19, khususnya dalam industri pastoral di pedalaman Australia. Dalam gerakan-gerakan buruh baik pada awalnya di ladang-ladang emas tahun 1850-1860-an maupun gerakan-gerakan buruh yang cukup besar pada awal 1890-an nilai-nilai mateship dan rasisme juga dapat dilihat muncul ke permukaan. Kedua nilai-nilai ini dapat dikatakan telah berakar, khususnya dalam masyarakat buruh kulit putih Australia sejak awal abad ke-19. Kedua nilai-nilai ini mateship dan rasisme diperdebatkan oleh Russel Ward dan Humphrey McQueen yang berargumentasi bahwa mateship-lah yang merupakan identitas (ciri) masyarakat kulit putih Australia khususnya masyarakat buruh. Di pihak lain Humphrey McQueen berargumentasi bahwa rasisme juga faktor yang penting dalam identitas masyarakat kulit putih Australia, khususnya masyarakat buruh. Dari kedua argumentasi tersebut, khususnya dalam aksi boikot buruh pelabuhan Australia 1945-1949 nilai mateship-lah yang muncul ke permukaan dalam usaha buruh pelabuhan mendukung revolusi kemerdekaan Indonesia. Hal ini terujud bahwa kemerdekaan Indonesia sesuai dengan makna Piagam Atlantik, bahkan kemerdekaan Indonesia dapat memberi peluang pasar bagi barang-barang produksi Australia dalam berhubungan dagang dengan Indonesia. Selain munculnya nilai mateship dan adanya peluang ekonomi di Indonesia, juga munculnya sikap antimiliterisme buruh-buruh pelabuhan, di mana mencegah Belanda mendirikan kembali Hindia Belanda di Indonesia dengan kekuatan senjata (militer). Di samping itu aksi aksi militer Belanda di Indonesia pun juga dapat mengganggu keamanan Australia. Akhirnya nilai mateship, peluang ekonomi, sikap antimiliterisme dan sikap antikolonialisme terujud dalam kokohnya aksi boikot buruh pelabuhan Australia mendukung revolusi kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Dukungan buruh pelabuhan Australia periode revolusi kemerdekaan Indonesia dapat dikatakan merupakan dasar hubungan Australia-Indonesia dan merupa-kan hubungan bulan madu Australia-Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S12638
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Suharwanto
Abstrak :
ABSTRAK
Amerika Serikat mulai melihat Asia Tenggara sebagai daerah yang potensial bagi perkembangan komunisme, hal ini ditambah dengan terbentuknya negara Republik Rakyat Cina (RRC) pada tanggal 1 Oktober 1949. Oleh karena itu Amerika Serikat melakukan serangkaian tindakan pembendungan (Containment Policy) bagi perkembangan komunisme di kawasan tersebut. Tindakan itu terbagi dalam bentuk bantuan ekonomi, dukungan politik dan bantuan militer yang diberikan kepada negara-negara yang terletak di Asia Tenggara.
Berkaitan dengan itu, untuk memperkuat pengaruhnya di kawasan itu Amerika Serikat membentuk Pakta Pertahanan Asia Tenggara (SEATO) pada tanggal 8 September 1954 yang bertujuan membendung komunisme. Anggota-anggota dari Pakta Pertahanan itu adalah Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Thailand,'Philipina, Pakistan, Australia, dan Selandia Baru.
Adapun reaksi dari negara-negara yang terletak di Asia Tenggara menolak dengan terbentuknya Pakta Pertahanan SEATO tersebut. Keengganan mereka untuk menjadi anggota disebabkan adanya keyakinan dalam pandangan negara-negara di Asia Tenggara bahwa pada masa sekarang dimana dunia sedang dilanda perang dingin. Dalam hal ini pembentukan SEATO di Asia Tenggara mengundang kekuatan lain untuk hadir di kawasan ini. Oleh karena itu pembentukan SEATO menambah suasana tegang dan membawa pada peperangan bukan perdamaian.
Bagi Indonesia pembentukan SEATO yang diprakarsai oleh Amerika Serikat adalah menolak dengan tegas. Selain bertentangan dengan politik luar negeri babas aktif yang diumumkan oleh H. Hatta pada tanggal 2 September 1948 di muka sidang KNIP, Indonesia juga sebagai negara yang baru saja lepas dari alam kolonialisme dimana perasaan-perasaan nasionalisme masih terasa kuat. Indonesia dalam mencapai kemerdekaan memerlukan perjuangan darah dan air mata dari rakyat Indonesia. Oleh karena itu .penentuan kebijakan luar negeri bukan didasari oleh dorongan atau tekanan dari negara-negara besar tetapi didasari oleh kepentingan rakyat Indonesia sendiri.
1995
S12545
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Darmansyah
Abstrak :
ABSTRAK
Pada masa revolusi tahun 1945-1950, pemerintahan daerah di Surakarta mengalami proses pencarian jati diri bentuk pemerintahan daerah, apakah berbentuk suatu daerah istimewa atau berbentuk suatu karesidenan biasa. Proses ini dipengaruhi oleh persaingan antar organisasi-organisasi politik yang memperebutkan hegemoni politik di Surakarta, ditambah lagi oleh suasana revolusi yang mengharuskan adanya perubahan bentuk pemerintahan daerah.
Posisi kota Surakarta dianggap mempunyai kedudukan penting untuk menusuk ke jantung pemerintahan RI di kota Yogyakarta. Oleh karena itu, selama revolusi gerakan oposisi marak terjadi di sana. Gerakan oposisi berupa aksi-aksi pendaulatan terhadap pejabat-pejabat di daerah, dan penentangan terhadap kebijaksanaan pemerintah. Hal ini berlanjut dengan adanya aksi-aksi pemogokan, pertempuran, dan aksi_-aksi teror lainnya, yang menganggu stabilitas keamanan di daerah. Keadaan ini mempengaruhi jalannya pemerintahan daerah karena dampaknya dapat menurunkan kredibilitas pemerintah daerah di mata rakyat.
Hal ini menjadikan Revolusi di Surakarta tidak hanya sekedar revolusi yang berusaha melenyapkan pemerintahan swapraja, tetapi juga revolusi yang menunjukkan persaingan politik tingkat lokal dan nasional. Untuk mengatasi keadaan ini menjadi tugas berat bagi pemerintah pusat RI dan pemerintah daerah serta aparat keamanannya (TNI) di Sura_karta.
Krisis pemerintahan daerah di Surakarta pada akhirnya dapat diselesaikan setelah pemerintah pusat mengambil suatu keputusan yang tegas tentang status pemerintahan daerah di Surakarta, dan disertai oleh adanya proses pendemokrasian sistem pemerintahan daerah. Di samping itu keadaan ini juga disokong oleh keadaan politik nasional yang mulai stabil setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. setelah mengalami proses selama revolusi maka dipilihlah status pemerintahan sebagai karesidenan biasa, dan mengubur sistem swapraja, yang berarti lenyaplah kekuasaan politik kerajaan.
1995
S12205
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Yulia Widiawati
Abstrak :
Eksistensi dan kehidupan pers sebagai pencerminan dari sistem politik merupakan suatu kenyataan yang menyejarah di Indonesia. Hal itu terbukti jelas dari hasil kajian empirik yang dilakukan oleh Edward C. Smith yang menyimpulkan bahwa eksistensi dan kehidupan pers di Indonesia sepanjang sejarahnya sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh kekuasaan. Ketergantungan pers terhadap politik mencapai puncaknya pada mass Demokrasi Terpimpin. Dengan semboyan politik adalah panglima, pers Indonesia benar-benar berada dalam posisi yang sangat lemah sehingga dengan mudah ditundukkan dan dikendalikan oleh penguasa. Bahkan citra pers sebagai corong partai politik dan idiologi praktis tidak tampak samasekali. Sebab pars hanya boleh menyuarakan pernyataan dan kepentingan pemerintah. Presiden Sukarno yang berada di puncak dan menguasai percaturan politik nasional melakukan pengawasan secara ketat terhadap pers. Demikian ketika pemerintah melancarkan aksi keluar dari PBB, sebagai salah satu slat dan kekuatan revolusioner pers harus mendukung sepenuhnya politik nasional tersebut. Tidak boleh terdengar suara sumbang di tengah arus revolusioner politik luar negeri Indonesia, harus mendapat perhatian mendalam dengan intensitas tinggi dari setiap suratkabar untuk membangkitkan semangat perjuangan rakyat dalam hal mendukung kebijaksanaan luar negeri Indonesia.Pandangan dan sikap pers terhadap isu-isu di balik aksi keluarnya Indonesia dari PBB juga harus mencerminkan pandangan dan sikap pemerintah, terlepas dari setuju atau tidak, sejalan atau bertentangan dengan visi dan misi politik ataupun idilogi yang dianut setiap surat kabar.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1996
S12626
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library