Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 45 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sihombing, B.F.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
T36465
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Eno Tirtakusuma
"Penelitian ini bertujuan untuk meneliti praktik interpretasi Pasal 263 ayat (1) KUHAP, khususnya dari Putusan-putusan MA dalam periode tahun 2000 hingga tahun 2010. Penelitian ini juga mencoba menemukan diskripsi pelaksanaan independensi yudisial dalam praktik interpretasi ketentuan tersebut dan menganalisa akuntabilitas yudisial, sebagai bagian dari independensi hakim. Dalam praktiknya, Pasal 263 ayat (1) KUHAP dapat menimbulkan persoalan-persoalan: Putusan pengadilan yang mana yang terhadapnya dapat diajukan permohonan PK? Siapakah yang dapat mengajukan permohonan PK? Untuk menjawab persoalan- persoalan yang demikian, MA ternyata telah membuat putusan-putusan yang bertolak belakang. MA melakukan interpretasi ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tetapi dengan kesimpulan berbeda pada beberapa kasus. Menginterpretasi aturan hukum adalah upaya menemukan makna dari aturan hukum itu, artinya mendistilasi atau menarik keluar dan menampilkannya ke permukaan kaidah hukum atau makna hukum yang tercantum atau tersembunyi di dalam aturan hukum yang bersangkutan. Tentang cara atau metode untuk menemukan kaidah hukum itu, metode interpretasi klasik biasanya mencakup metode gramatikal, historis, sistematikal, teologikal dan sosiologikal, yang tentang penggunaannya tidak ada ketentuan tentang urutan hierarkhikal. Tidaklah mustahil bila masing-masing metode tersebut akan menghasilkan tafsiran yang berbeda-beda. Itulah yang menjadi penyebab mengapa Putusan-putusan MA dapat menjadi inkonsisten. Padahal, Putusan MA harusnya menjadi yurisprudensi, yang merupakan hukum juga. Sekalipun hakim di Indonesia tidak harus terikat pada putusan mengenai perkara yang sejenis yang pernah diputus tetapi akan janggal kalau peristiwa yang serupa diputus berlainan. Dalam mempraktikkan independensinya untuk menginterpretasi suatu pasal, hakim memiliki diskresi dan dapat saja berbeda pendapat (dissenting opinion). Dari pelaksanaan diskresi dan independensinya tersebut, hakim perlu melaksanakan akuntabilitasnya. Sebagaimana independensi tidak bisa dilepaskan dari akuntabilitas karena keduanya seperti dua sisi dari mata uang yang sama.

This research was aimed to examine the practice of interpretation of the Article 263 paragraph (1) Indonesia Criminal Procedure Code, in particular from the Supreme Court decisions during 2000 to 2010. The research also tried to find a description of the implementation of the judicial independence in interpreting the provision, then analyzing the judicial accountability, as part of the judicial independence. The formulation of the Article 263 paragraph (1) Criminal Procedure Code, in practice, can lead to problems: Which court decision can be filed for the review? Who can apply for the review? To answer such matters, the Supreme Court has given various decisions, some of them are contradicting. The Supreme Court must interpret the Article 263 paragraph (1). Interpreting the provision is an attempt to find or to pull out and display the hidden meaning of the provision to the surface. It has been developed various methods of interpretation, including grammatical, historical, systematical, theological and sociological. About the use of the methods, there is no rule for their hierarchical. It may be impossible that the using of all methods will give the similar output. Different method can give different interpretation. That is why the Supreme Court produce inconsistent decisions. In fact, the decisions shall be precedence, which is also as law. Even though Indonesia judges are not tied to follow the previous judges decisions for similar cases, it will be awkward if similar cases have different decisions. In practicing independency in interpreting the provision, the judge has discretion and can have different opinions (dissenting). The judges discretion and the judicial independence need to implement accountability. The independency and accountability cannot be separated as they are two sides of the same coin."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
D2558
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hermayulis
"Penelitian ini bersifat yuridis empiris, yang dilakasanakan pada masyarakat yang bermukin di daerah ,thak Mvi Tigo, Propinsi Sumatera Barat. Masalah yang dikaji tentang: Perkembangan hubungan kekerabatan yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat matrilineal Minang dipandang dari pengamaan tanah komunal dalam hal ini adalah hak ulayat sebagai salah satu "media" pengikatnya; Dinamika perubahan penguasaan tanah komunal (tanah ulayat) menjadi tanah milik pribadi (perorangan) dalam masyarakat hukum adat matrilineal Minangkabau; Pengaruh pemilikan pribadi atas tanah terhadap perubahan hubungan kekerabatan; Pengaruh perubahan hubungan kekerabatan terhadap sistem kekerabatan dalam masyarakat hukum adat matrilineal.
Temuan lapangan menunjukkan bahwa keterikatan masyarakat hukum adat Minangkabau terhadap tanah telah munyebabkan timbulnya pola migrasi yang berorientasi ke kampung, dalam arti selalu memelihara hubungan dengan kampung. Hubumgan rantau - kampung ini terbina dengan pola pewarisan, yang memungkinkan saling mewarisi tanah yang mereka dapat dan dapatkan dari hasil harta pencaharian. Di dalam perkembangannya, hubungan rantau- kampung dalam saling mewarisi mulai memudar, kalaupun masih ditemukan saling mewarisi, maka pola demikian terjadi di lingkungan yang terbatas pada keluarga inti yaitu terdiri dari mamak ibu - anak (kemenakan).
Semakin terpusatnya penguasaan dan pewarisan tanah kepada keluarga inti, dan diterimanya nilai dan norma pemilikan individu di tengah masyarakat, menyebabkan semakin lemahnya ikatan keluarga luas (extended family), yang ditunjukkan oleh semakin intensif dan penguasaan tanah oleh keluarga inti, adanya upaya untuk selalu mempertahankan agar tanah tetap berada pada keluarga inti. Perubahan pola penguasaan tanah ini semakin jelas dengan sertifikasi tanah yang menunjuk meta seseorang dam llama mamak kepala wrzris sebagai wakil dari anggota kerabat matrilinealnya Penguasaan tanah ulayat sebagai tanah milik komunal (bersama) yang sudah terfokus kepada penguasaan keluarga inti, telah melatarbelakangi pendapat para praktisi (khususnya BPN dan Departemen Kehutanan pada masa era Orde Baru) yang menyatakan tanah ulayat sudah tidak ada Pendapat tersebut telah mewarnai berbagai kebijakan yang berkaitan dengan tanah (khususnya tanah ulayat), sehingga kebijakan yang diambil menunjukkan tidak adanya sinkronisasi di dalam pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat yang telah diamanatkan oleh Pasal 3 UUPA.
Ketentuan-ketentuan yang menunjukkan tidak adanya sinkronisasi vertikal maxima horizontal. Tidak adanya sinkronisasi vertikal terlihat dan ketentuan tentang pendaftaran tanah yang tidak memungkinkan pengakuan hak masyarakat hukum adat yang diatur dengan Pasal 3 UUPA dengan bentuk-bentuk hak yang diatur di dalam Pasal 16 UUPA, kompersi hak-hak atas tanah, dan penghapusan lembaga gadai sebagai lembaga yang dianggap menyengsarakan rakyat. Tidak adanya sinkronisasi horizontal terlihat dari tidak adanya keterkaitan antara Pasal 3 UUPA dengan ketentuan Pasal 2 UUPK tentang jenis jenis hak atas tanah hutan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
D99
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Nyoman Nurjaya
"ABSTRAK
Magersari adalah komunitas-komunitas penduduk di dalam kawasan hutan negara yang dikelola dan diusahakan Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) di Jawa. Penduduk telah bertahan-tahun dan bahkan secara turun-temurun bertahan hidup di pemukiman-pemukiman magersari, dan kehidupan mereka sangat tergantung pada sumber daya hutan, terutama tanah hutan dan pekerjaan kehutanan yang diberikan Perum Perhutani. Penduduk bekerja sebagai petani-petani penggarap lahan hutan dengan sistem tumpangsari (pesanggem), dan sebagai pekerja-pekerja hutan (blandong) yang diandalkan Perum Perhutani dalam kegiatan penjarangan tanaman, penebangan pohon, penyaradan, sampai pengangkutan ke tempat-tempat penimbunan kayu.
Studi ini pada dasarnya bertujuan untuk memberi pemahaman mengenai pola adaptasi petani pekerja hutan magersari dalam kegiatan wanatani yang dilakukan Perum Perhutani; mengapa penduduk magersari secara turun-temurun tinggal dan bertahan hidup di pemukiman-pemukiman magersari, padahal kesejahteraan hidup mereka dari tahun ke tahun selain tidak mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, juga selalu diselimuti dengan ketidakterjaminan (insecurity) ekonomi, sosial, dan hukum dari segi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya hutan.
Untuk memahami pola adaptasi penduduk magersari terhadap lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya, termasuk adaptasi terhadap kebijakan-kebijakan Perum Perhutani dalam pengusahaan hutan, maka paling tidak dapat dicermati dari tiga aspek, yaitu : (1) adaptasi penduduk di bidang ekonomi tercermin dari kegiatan-kegiatan pencaharian hidup yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan subsistemnya di dalam kawasan hutan; (2) adaptasi sosial penduduk tercermin dari sistem sosial magersari, nilai-nilai, norma-norma, .institusi sosial, dan mekanisme-mekanisme yang digunakan sebagai sarana untuk menjaga keteraturan sosial dalam kehidupan magersari, yang meliputi elemen pengelompokan sosial (social alignment) yang membentuk solidaritas dan kesetiakawanan sosial; elemen media sosial (socia media) yang mengikat dan mempertahankan kehidupan bersama; elemen standar sosial (social standard) yang mengukuhkan dan mempertegas hak dan kewajiban, kedudukan dan peran anggota masyarakat; dan elemen mekanisme kontrol sosial (social control) yang menjaga dan memelihara keteraturan sosial dalam kehidupan bersama; dan (3) staretgi-strategi yang diciptakan penduduk magersari untuk menghadapi kebijakan pengelolaan hutan, sehingga mereka dapat mengakses sumber daya alam lebih banyak dari yang diperbolehkan Perum Perhutani.
Studi ini memperlihatkan bahwa pola interaksi antara penduduk magersari dengan Perum Perhutani dalam pengusahaan hutan pada dasarnya merupakan hubungan yang bercorak mutualistik (mutualistic relationship), yang saling memhutuhkan (mutual need), saling membantu (mutual help), dan saling menguntungkan (mutual benefit) karena : di satu sisi penduduk magersari membutuhkan sumber daya hutan, terutama tanah tempat tinggal, lahan garapan tumpangsari dan kebun kopi, kayu perkakas dan kayu bakar, sedangkan di sisi lain Perum Perhutani sangat memerlukan tenaga petani-pekerja magersari untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan kehutanan, mulai dari pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman, penjarangan, penebangan, penyaradan, sampai pengangkutan ke tempat-tempat penimbunan kayu. Namun demikian, apabila dikaji secara lebih mendalam terutama dari substansi kontrak magersari dan kontrak tanaman yang mendasari perjanjian kerja penduduk dengan Perum Perhutani, maka ditemukan pola hubungan yang lebih bersifat patron-klien (patron-client relationship) yang didasarkan pada ketidaksetaraan ekonomi, sosial, dan politik, karena penduduk magersari berada pada kedudukan sub-ordinasi sedangkan Perum Perhutani diposisikan sebagai super-ordinasi, atau penduduk magersari berada di pihak yang bersifat inferior, sedangkan Perum Perhutani diposisikan sebagai pihak yang bersifat superior dalam kegiatan pemanfaatan dan pengusahaan hutan.
Kondisi ini menyebabkan penduduk magersari tidak mempunyai pilihan dan tidak memiliki posisi tawar, selain menerima semua persyaratan dalam kontrak baku (standard contract) yang ditetapkan Perum Perhutani. Fakta ini pada gilirannya kemudian menciptakan paling tidak tiga kondisi ketidakterjaminan (insecurity) dalam kehidupan petani-pekerja magersari, yaitu : (1) ketidakterjaminan ekonomi (economical insecurity) dalam kaitan dengan hak atas lahan-lahan garapan tumpangsari dan kebun-kebun kopi sebagai sumber kehidupan penduduk sewaktu- waktu dapat dicabut Perum Perhutani; (2) ketidakterjaminan sosial (social insecurity) dalam hubungan dengan asuransi keselamatan kerja, jaminan hari tua, jaminan kesehatan, bea siswa untuk pendidikan anak-anak magersari belum pemah diberikan, walaupun penduduk magersari telah bertahun-tahun dan turun-temurun bekerja untuk Perum Perhutani; dan (3) ketidakterjaminan hukum (legal insecurity) yang berkaitan dengan status hak atas tanah pemukiman magersari; walaupun tanah magersari telah bertahun-tahun dan bahkan secara turun-temurun dipakai sebagai tempat tinggal, tetapi setiap saat dapat dicabut dan penduduk dapat dikeluarkan dari pemukiman magersari oleh Perum Perhutani.
Dengan menggunakan cara pandang emit: (emit view) dapat diketahui bahwa penduduk magersari tetap bertahan hidup dan tinggal di pemukiman-pemukiman magersari, karena apa yang diperoleh dari pemberian dan belas kasihan (charity) Perum Perhutani dirasakan cekap (cukup secara ekonomi) dan hidup di magersari dinikmati dalam suasana tentrem (tentram secara kejiwaan) dan rukun (bersahabat dalam hubungan antar tetangga). Suasana kehidupan seperti di atas cenderung mendorong penduduk bersikap menerima nasib apa adanya (nrimo ing pandum) dan pasrah menerima keadaan sebagai nasib (pasrah Ian sumarah) seperti ekspresi dari sikap hidup orang Jawa di daerah pedesaan pada umumnya.
Dengan demikian, implikasi teoritis dari studi ini memperteguh teori mengenai sikap hidup orang Jawa yang selalu merasa cekap (cukup) dan berupaya menciptakan suasana tentrem (tentram), angel (hangat dalam keluarga), rukun dalam kehidupan bertetangga, dan cenderung memiliki sikap hidup yang menerima nasib (nrimo ing pandum) atau pasrah menerima keadaan sebagai nasib, seperti tercermin dalam temuan-temuan C. Geertz (1985); H. Geertz (1985); Singarimbun dan Penny (1984); Guinness (1984, 1985); dan Sairin (1992). Implikasi metodologis dari studi ini adalah setiap kehijakan peningkatan kesejahteraan penduduk di daerah pedesaan seperti dicanangkan Perum Perhutani melalui program perhutanan sosial (social forestry), atau program-program pemberdayaan masyarakat pedesaan dari pemerintah daerah dan intansi-instansi terkait semestinya juga ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan penduduk magersari, karena mereka secara administrasi pemerintahan menjadi bagian dari penduduk desa yang memiliki hak dan kewajiban sama dengan penduduk desa-desa di sekitar hutan."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
D512
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rajagukguk, H.P.
"Hubungan manusia dengan kerja sifatnya alamiah. Manusia dilahirkan untuk bekerja karena hanya dengan bekerja dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam keadaan alam menyediakan kebutuhan itu melimpah ruah, manusia masih harus bekerja untuk dapat menikmati atau memanfaatkan apa yang disediakan alam itu. Tidak semuanya yang disediakan alam itu siap begitu saja untuk dikonsumsi atau digunakan, tanpa diolah terlebih dahulu.
Dengan demikian kerja adalah suratan hidup, bahkan dapat dikatakan kerja adalah keharusan alamiah (natuurnoodzakelijkheid). Dalam perkembangannya, hubungan manusia dan pekerjaan bersifat khusus, karena perjanjian kerja yang melahirkan hubungan kerja dipengaruhi oleh kepentingan para pihak, baik majikan maupun buruh.
Tanpa kerja kehidupan manusia adalah mustahil. Manusia sebagai makhluk bekerja atau sebagai makhluk pembuat alat, yang bekerja sendirian untuk menghidupi dirinya tanpa bekerjasama dengan sesamanya, sudah merupakan bagian dari sejarah umat manusia. keadaan sekarang ini ialah bahwa manusia dilahirkan untuk bekerjasama dengan sesama manusia. Manusia dilahirkan hanya dengan dua pilihan: menjadi majikan atau menjadi buruh.
Dalam kenyataan hidup bermasyarakat ternyata tidak selalu seperti alternatif tersebut. Banyak anggota masyarakat yang berperan ganda, yakni menjadi majikan tetapi sekaligus buruh atau buruh dan sekaligus majikan. Hampir tidak ada prang dewasa yang tidak terkait atau berkepentingan dengan masalah hubungan kerja sebagai suatu hubungan hukum akibat melakukan pekerjaan.
Hubungan kerja yang paling umum ialah hubungan kerja yang lahir dari perjanjian kerja. Perjanjian yang paling banyak diadakan oleh anggota masyarakat adalah perjanjian kerja setelah perjanjian jual-beli. Hal itu antara lain dikemukakan dalam memori penjelasan dan waktu pembahasan pada tahap pemandangan umum rancangan undang-undang tentang perjanjian kerja diajukan pada tahun 1904.
Hubungan kerja mulai terjadi dalam susunan masyarakat yang paternalistik. Kemudian susunan masyarakat berubah menjadi bertingkat-tingkat (penguasa dan yang dikuasai). Hubungan kerja dicirikan oleh "sub ordinasi" dari yang dikuasai. Pada susunan masyarakat yang bertingkat-tingkat ini sub ordonasi itu didasarkan kepada "kekuatan". Kekuatan (power) itu diaktualisasikan dalam praktek, bentuk yang lebih subtiel (lebih halus) atau cenderung dirasionalisasi supaya diakui sebagai kekuasaan berdasarkan apa yang disebut "wibawa"?"
Depok: Universitas Indonesia, 1993
D276
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dahnidar Lukman
"ABSTRAK
Latar Belakang Masalah
Kebutuhan akan modal untuk mengembangkan perekonomian negara, menimbulkan gerak arus modal dari luar negeri. Negara yang mendambakan masuknya modal asing memberikan berbagai insentif dan fasilitas untuk menarik investor asing. Melalui Undang-Undang nomor 1 Tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing Indonesia menawarkan pula berbagai rangsangan seperti keringanan pajak, penggunaan hak-hak atas tanah, dan juga kesediaan untuk menyelesaikan sengketa melalui Arbitrase dan lain-lain. Perkembangan jumlah persetujuan penanaman modal yang telah dikeluarkan dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel PERKEMBANGAN PERSETUJUAN PENANAMAN MODAL PER PELITA dapat dilihat dalam file pdf.
Persetujuan Penanaman Modal Asing (PMA) sejak dikeluarkan Undang-Undang nomor 1 Tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing sampai dengan bulan Desember 1997, tercatat 5.806 Proyek dengan nilai investasi sebesar US $ 191,85 Milyar.
Dari persetujuan proyek PMA sektor yang paling banyak diminati Tahun 1997 adalah Industri Kimia (US $ 12,3 Milyar), Pengangkutan (US $ 5,9 Milyar), Industri Kertas (US $ 5,3 Milyar), Industri Barang Logam (US $ 2,3 Milyar), dan Listrik, Gas & Air Minum (US $ 1,8 Milyar).
Sisi lain dari arus globalisasi dalam permodalan ini adalah akan meningkatnya benturan-benturan dari pelaku ekonomi. Karena itu perlu suatu tindakan antisipasi khususnya tentang persengketaan yang mungkin terjadi di antara investor asing dengan negara penerima modal dalam penyelenggaraan kegiatan penanaman modal tersebut.
Pembenahan hukum akan memberikan ketertiban dan kepastian hukum sehingga akan memacu pertumbuhan ekonomi dengan ketertarikan investor asing ke Indonesia.
Undang-Undang nomor 1 Tahun 1967 tentang PMA hanya menyatakan, bahwa bila ada nasionalisasi dan ada perselisihan yang timbul akibat sengketa, maka mengenai pembayaran kompensasi dapat diselesaikan melalui arbitrase.
Pada saat ini dalam perdagangan internasional, berkembang suatu kecenderungan untuk menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan, Priyatna mengemukakan bahwa:
"ADR procedures are alternatives to the public judicial system found everywhere. Because private disputants are free to agree an variations to basic ADR procedures including adoption of those procedures and rules found in the public judicial system that can be used in ADR".
Bentuk penyelesaian di luar pengadilan yang mulai dipopulerkan di Indonesia saat ini adalah melalui arbitrase.
Arbitrase lebih disukai, karena berbagai Masan seperti dikemukakan oleh Gautama Sudargo, Priyatna Abdurrasyid, Erman Rajagukguk, Rene David, dan telah disimpulkan oleh Tineke Louise Tuegeh Longdong."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
D107
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hamzah
"Disertasi ini membahas dan menganalisis tentang perlindungan konsumen di Indonesia melalui mekanisme asuransi tanggung jawab produk (product liability insurance). Lembaga asuransi menjadi penting untuk mengalihkan risiko tanggung jawab produsen atas produk yang dihasilkannya untuk dikonsumsi atau dipakai oleh konsumen, apbila konsumen mengalami kecelakaan dan atau kerugian akibat mengkonsumsi atau memakai produk tersebut. Di Indonesia, Keinginan mewujudkan upaya hukum Perlindungan Konsumen sudah ada sejak Tahun 1999 dengan diterbitkannya Undang-undang No, 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Peraturan yang ada saat ini dalam bidang asuransi belum mewajibkan pabrik pembuat untuk membeli asuransi tanggung jawab untuk produknya, walaupun begitu beberapa perusahaan asuransi joint venture menawarkan jenis asuransi ini di pasar. Untuk menghadapi perkembangan hukum bisnis di Indonesia khususnya di bidang perasuransian, yang berdampak pada perlindungan hukum bagi konsumen pengguna produk pada umumnya, saat ini diperlukan suatu pembaruan dan atau regulasi yang tentunya akan dapat mengantisipasi perkembangan bisnis, terutama dalam pembuatan dan pelaksanaan kontrak-kontrak dalam praktek-praktek bisnis perasuransian. Metode penelitian yang digunakan dalam disertasi ini adalah metode penelitian normatif-kualitatif dengan pendekatan komparatiif. Analisis penelitian menggunakan teori pengalihan risiko (transfer of risk theory). Hasil penelitian menunjukkan bahwa asuransi tanggung jawab produk mempunyai peranan penting dalam meiindungi kepentingan konsumen di dalam masyarakat Indonesia pada saat ini. Asuransi tanggung jawab produk ini memberikan jaminan bagi konsumen untuk memperoleh ganti kerugian jika produk yang digunakannya menimbulkan kerugian, bahkan ganti kerugian ini bukan saja bagi konsumen yang menggunakan produk tersebut tetapi juga orang-orang yang berada di dekatnya pada saat produk tersebut digunakan. Dalam mekanisme asuransi tanggung jawab produk, produsen diwajibkan membayar premi atas produk yang diasuransikan yang nilainya tergantung pada jumlah, jenis produk, dan tingkat risiko atas produk yang diasuransikan. Pemikiran tentang perlunya perlindungan terhadap konsumen melalui asuransi tanggung jawab produk menjadi hal yang mutlak untuk diakomodir dalam peraturan perundang-undangan, sampai pada implementasi mekanisme pengalihan risiko berupa lembaga asuransi tanggung jawab produk, yang berbentuk Risk Retention Groups (RRG) atau Kelompok Penahan dan Berbagi Risiko (KPBR), yaitu sekelompok orang/badan hukum yang berfungsi sebagai perusahaan asuransi bagi anggotanya, para anggota yangjuga pemilik pemsahaan ini memiliki paparan risiko (risk exposure) yang sama; dan Purchasing Group (PG) atau Kelompok Pembeli Asuransi (KPA) yaitu sekelompok orang/badan hukum yang membeli polis asuransi atas dasar kelompok. Hal itu memerlukan pembaruan hukum yang komprehensif tidak hanya pada ranah hukum perlindungan konsumen semata, tetapi juga hukum asuransi, yaitu dengan mengamandement undang-undang nomor 2 Tahun 1992 lentang Usaha Perasuransian.

This dissertation discusses and analyzes consumer protection in Indonesia through product liability insurance mechanism. Insurance institution becomes important to transfer produceris liability risk for the products he produced for consumers consumption or use, if consumers sujer accident and or loss because of consuming or using such product. In Indonesia, the intention to materialize legal effort of Consumer Protection has existed since 1998 with enactment of Law Number 8 of 1999 on Consumer Protection. The existing regulations on insurance has not made manufacturers to buy liability insurance for their products, yet a few joint venture insurance companies ojer this type of insurance in the market. To face business law development especially in insurance area which its impact on legal protection for consumers of product in general, at present it is necessary to have a reform and or regulation which certainty will be able to anticmate the development of business, in creating and implementing contracts in insurance business practices. The research method used in this dissertation is normative-qualitative with comparative approach. The analysis of research uses transfer of risk theory. The outcome of the research shows that product liability insurance has an important role in protecting consumers' interest in the current Indonesian society. This product liability insurance provides guarantee for consumers to receive compensation U' the products being used cause injuries/loss, even such compensation is not only for the consumer who uses the product but also for bystanders when the product is being used in mechanism of product liability insurance, producers have to pay premium for products insured which its value shall depend on quantity and type of product, risk level for products insured. The idea of the need for consumer protection through product liability insurance becomes absolute to be accommodated in legislative regulations, up to implementation of risk transfer mechanism in the forms of Risk Retention Group (RRG) or Kelompok Penahan dan Berbagi Risilco (KPBR), namely a group of persons/legal entities which functions as insurance company for its members, the members who also own this company bear the same risk exposure; and Purchasing Group (PG) or Kelompok Pembeli Asuransi (KIM) namely a group of persons/legal entities that purchase insurance policy based on the group. These call for comprehensive legal reform, not only in the field of consumer protection law but also insurance law, to be precise through amending the Law Number 2 of 1992 on Insurance Business."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
D1129
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Ubbe
"Melalui UU RI. No. 1 Daruxat Tanun 1951, hukum pidana adat, kembali diakui keberadaannya. Hakim "wajib" rnemperhatikan hukum pidana adat dalam memutuskan suatu perkara yang terkait dengan delik adat. Kewajiban itu dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Keberadaan malaweng (pelanggaran kesusilaan siri) dan penyelesaiannya di masyarakat Bugis, diselimuti ketidakcoookan antara nilai-nilai hukum yang dianut oleh masyarakat dan yang dimuat dalam hukum pidana negara. Ketidakcocokan itu tergambarkan pada kenyaiaanz (1) Perbuaian malaweng, seperti incect, zina dan perkosaan, pencabulan yang merusak kehormatan wanita, merupakan perbuatan yang sangat tercela menurut kesusilaan siri' diancam hukuman cambuk atau mati. Sementara menurut hukum pidana negara, hanya dihukum penjara dalam bilangan bulan; (2) Tindakan penegakan siri', sebagai akibat malaweng, meskipun dilakukan dengan penganiayaan dan pembxmuhan, merupakan tindakan legal, legitim, dan diterima oleh masyarakat Bugis, sebagai pemenuhan kewajiban moral. Namun perbuatan itu, merupakan kejahatan yang diancam hukuman berat menurut KUHP dan rnemang dihukum berat oleh pengadilan. Penelitian ini, pada intinya menyoai dan menjawab secara teoritis dan faktual, (1) kebcradaan malaweng dalam masyarakat Bugis; (2) penyelesaian malaweng dan penegakan siri' di masyarakat Bugis; (3) keberadaan malaweng dan pcnegakan siri' dalam putusan hakim selama 10 tahun terakhir. Orang Bugis berani menegakkan siri'-nya dan siri' sanak keluarganya, sekalipun hams membunuh atau terbunuh, karena alasan, (1) percaya orang yang menegakkan siri? tidak akan terbunuh dan bila pun terbunuh, mereka menerimanya sebagai kemalian yang gurih (mati bersantan dan bergula); (2) percaya wanita dan tubuh manusia (seperti muka dan kepala), adalah lambang harga diri- Oleh karena ilu melanggar kehormatan wanita, melakukan percabulan, perkosaan, hubungan scksual dan perkawinan yang melanggar adat, menampar muka atau memukul kepala, menghina dengan kata-kata, adalah pelanggaran terhadap kesusilaan sirii Malaweng dalam masyamkat meliputi, (1) Malaweng Ati, pelanggamn hati; (2) Malaweng Care-care, pelanggaran busana; (3) Malaweng Pakkila 'pelanggaran mata; (4) malaweng udajpelangaran kata-kata'; (5) Malaweng Kedo/Pangkaukeng, 'pelanggaran gerak-gerild, atau yang sekarang disebut porno aksi, seperti: (a) memegang, mencium, merabah buah dada, mencoba memperkosa, mencabuli atau bersetubuh; (b) berpacaran dan bercumbuh rayu; (c) mengumbar gairah seks atau nafsu sahwat (to mangure), (d) pergaulan bebas antara wanita dan laki-laki; (6) Malaweng Luse 'hubungan seks yang tidak sah'. Malaweng kedo/pangkaukeng dan malaweng luse sebagian diselesaikan sendiri oleh masyarakat, baik dengan cara damai maupun dengan 'bertindak sendiri' (self help), sebagain Iagi diselesaikan melalui pengadilan. Kawin lari dan wanita hamil di luar nikah pada umumnya, diselesaikan secara adat, sedangkan yung lainnya, seperti perzinaan, pencabulan dan perkosaan diselesaikan secara yuridis formal di pengadilan, yang didasarkan pada Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951 dikaitkan dengan Pasal-Pasal tertentu KUHP, sesuai dengan delik yang diperkarakan.
By virtue of Emergency Law Number 1 Year 1951, the customary penal law was once again readopted. A judge is obliged to take the customary penal law into consideration when deciding custom-related criminal cases. The obligation seeks to adapts judge's decision to the living law and the local sense of justice. The practice of malaweng (moral offence of siri) and its handling in the Bugis community is cloaked by discrepancies between the values of the local, living law and those of the positive law. The research took place in South Sulawesi, and tried particularly to study in theory and practice, (1) the practice of maiaweng in the Bugis community; (2) the handling of malaweng and the enforcement of sirf' in the Bugis community; (3) the handling of malaweng and the enforcement of siri ' in court decisions during the last 10 years. The Buginese is proud to enforce his siri ' and the siri' of kirnsman, even when it causes him to kill or be killed, because of the believe that (I) person who upholds his siri? can not be killed and although he is killed, the death is a ?tasty? death (a death coated with spice and curry); (2) woman and human body is a symbol of honor and sellldignity, so a violation against woman dignity, obscenity, rape, sexual intercourse and marriage against the custom, a slap or a blow on the head, insulting words, are all seen as offences against siri'. Malaweng consists of (1)Malaweng Ati, heart offence': a person who likes to fancy a sexual intercourse between man and woman: (2) Malaweng Care-care, dress off'ence: a person who likes to dress up in the manner of the opposite sex; (3) Malaweng Palckira, eye offence: looking at a woman with lust, peeping at bathing person or sleeping couple: (4) Malaweng Ada, word offence: talking and speaking dirty words; (5)Malaweng Kedo/Pangkaukeng, gesture offence: nowadays popular as the porn action, such as (a) holding, kissing, touching a woman breast, attempt to rape or to make a sexual intercourse; (b) flirting; (c) uncontrolled sexual desire (tomangure), (d) loose relationship between man and woman; (6) Malaweng Luse, ?illegatimate sexual intercourse. Malaweng Kedo/Pangkaukeng and Malaweng Luse is handled partly by the community itself, either through peaceful settlement or through selg action and partly by the court of justice. Runaway marriage and pregnancy outside the marriage is generally settled by custom, while offences such as adultery and rape is brought to and resolved by the court of justice, in accordance with Article 5 of Emergency Law Number 1 Year 1951."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D1111
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Erliyana
"ABSTRAK
UUD 3945 Pasal 4 ayat (i) menyebutkan bahwa Presiden Repuhblilc
Indonesia memegang Kekuasaan pemerintahan menurut Undang-
Undang Dasar. Ditinjau dari teori pembagian kekuasan, yang dimaksud kekuasaan pemerintahan adalah kekuasaan eksekutif. Sebagai kekuasaan
eksekutif, penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan Presiden dapat dibedakan antara kekuasaan penyelenggaran pemerintahan yang
bersifat umum dan khusus. Tujuan utuma dari Hukum Administrasi ada-
iah menjaga agar wewenang pemerintah berada dalam batas-bartasnya, sehingga warga masyarakat terlindung dari penyimpangan mereka. Tindakan pemerintah yang tidak berdasarkan hukum sama halnya dengan melampaui wewenang, atau menyalahi hukum. Keputusan Presiden Republik
Indonesia adalah pernyataaan kehendak di bidang ketata negaraan dan tata pemerintahan, yang dapat berisi peraturan umum (regeling) dan
keputusan (heschikking). Walaupun ada kemungkinan cakupan Keputusan
Presiden lebih luas, tetapi harus dibatasi pada lingkup administrasi
negara. Pembedaan antara Keputusan Presiden yang bersumber dari wewenang delegasi dengan Keputusan Presiden yang berdasarkan pada ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 penting, karena
Keputusan Presiden yang berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 ber-
bentuk beleid mengandung kerancuan dengan adanya kewenangan dis-
kresi. Keputusan Presiden yang terbit selama kurun waktu 12 tahun (Januari 1987- Mei 1998) berjumlah 890 (delapan ratus sembilan puluh). Dari jumlah tersebut penerbitan Keputusan Presiden menurut wewenang administrasi khusus sejumlah 23O (dua ratus tiga puluh) atau 25.84% dan wewenang administrasi umum sejumlah 660 (enam ratus enam puluh)
atau 74,i6%. Keputusan Presiden yang terbit berdasarkan wewenang
administrasi umum yang dimuat dalam Lembaran Negara sejumlah 50
(7.58%). Seiebihnya, yaitu 610 (92,42%) Keputusan Presiden yang tidak
dimuat dalam Lembaran Negara. Keputusan Presiden yang terbit
berdasarkan wewenang administrasi umum dengan kriteria sebagai
peraturan umum (regeling) sejumlah 401 atau 60,76%), keputusan
(beschikking) sejumlah 18 aiau 2,7% dan peraturan kebijakan
(heleidsregel, policy rules) sejumlah 241 atau 36,51%. Keputusan
Presiden yang melanggar asas larangan melampaui wewenang terjadi
baik dalam Keputusan Presiden sebagai peraturan umum (regeling),
maupun peraturam kebijakan (heleidsregel, policy rules). Dalam pener-
bitan keputusan Presiden sebagai peraturan umum (regeling) yang
berjumlah 401 (empat ratus satu) tetapi tidak dimuat dalam Lembaran
Negara, diperoleh sejumlah 13 (3.24%) yang melanggar asas larangan
melampaui wewenang. Pada penerbitan sejumlah Keputusan Presiden
sebagai peraturan kebijakan (heleidsregel, policy rules), ditemukan
sejumlah 56 (23,24%) Keputusan Presiden yang melanggar asas Iarangan
melampaui wewenang."
2004
D1048
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>