Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gati Gayatri
"Disertasi yang berjudul: "Konstruksi Realitas Kepemimpinan Presiden Soeharto dalam Berita Suratkabar -- Analisis Kritis terhadap Makna Pesan Politik yang Disampaikan dengan Menggunakan Konsep Ajaran Kepemimpinan Jawa" ini mencoba menjawab masalah teks dan makna teks. Untuk menjawab masalah tersebut dalam penelitian ini digunakan perspektif konstruktivisme (Peter L. Berger & Thomas Luckmann, 1966), yang dititikberatkan pada produksi makna oleh pelaku sosial pada tahap-tahap eksternalisasi dan obyektivikasi. Untuk menjelaskan fenomena eksternalisasi realitas oleh pelaku sosial konsep-konsep teori yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini antara lain teori fungsi bahasa (Gilian Brown & George Yule, 1996), teori speech-act (J.L. Austin, 1962), dan teori communicative action (Jurgen Habenmas, 1984). Untuk menjelaskan fenomena obyektivikasi realitas oleh praktisi media konsep-konsep teori yang digunakan sebagai acuan antara lain konsep citra realitas atau picture in our heads (Waiter Lippman, 1936, 1965), cultivation theory (George Gerbner, 1970), konsep berita sebagai konstruksi realitas (Gaye Tuchman, 1980), teori pola hubungan institusi media dan kekuasaan (Jay Blamer & Michael Gurevitch, 1975), teori fungsi isi media (Switzer, McNamara & Ryan, 1999), teori fungsi bahasa dalam penyusunan teks (Giles & Wieman, 1987; Antonio Gramsci, 1971). Sedangkan untuk menjelaskan fenomena obyektivikasi realitas oleh pembaca konsep-konsep teori yang digunakan sebagai acuan antara lain konsep kekuasaan budaya (James Lull, 1998), teori semiotika budaya (Roland Barflies, 1957; Charles Morris, 1964), dan teori kriteria penilaian wacana (Jurgen Habermas, 1984).
Teks yang dianalisis adalah berita surat kabar, dan surat kabar yang diteliti dipilih secara purposive berdasarkan usia dan kredibilitasnya sebagai media berita, terdiri dari dua surat kabar yang diterbitkan di daerah Ibukota Jakarta yakni Kompas (surat kabar pagi), dan Suara Pembaruan (surat kabar sore), dan satu surat kabar yang diterbitkan di daerah pusat budaya Jawa Yogyakarta yakni Kedaulalan Rakyat (surat kabar pagi). Berita yang dianalisis mencakup seluruh berita yang menunjukkan adanya pernyataan atau pesan-pesan politik Presiden Soeharto yang disajikan dalam tiga surat kabar itu selama era kepemimpinan Presiden Soeharto, sejak 27 Maret 1968 sampai dengan 21 Mei 1998.
Teks dan makna teks dianalisis dengan menggunakan kerangka analisis dua tahap signifikasi (Roland Barthes, 1957), dan didukung dengan kerangka analisis hubungan tanda, nilai dan tindakan (Charles Morris, 1964). Untuk tujuan mendukung hasil analisis kualitatif tersebut di sini juga dilakukan prosedur triangulasi berupa content analysis secara kuantitatif. Secara keseluruhan analisis dilakukan dengan membagi periodesasi kepemimpinan Presiden Soeharto menurut perspektif budaya Jawa, menurut tahap-tahap dalam proses ngelmu untuk mewujudkan visi dan nisi hidupnya lnanggayuh kasampurnaning hoerip, yaitu periode awal (masa jabatan I), periode pengamalan dan pematangan (masa jabatan II, III, IV dan V), dan periode puncak dan akhir (mass jabatan VI dan VII).
Temuan dan analisis yang telah dilakukan dalam penelitian ini secara umum menghasilkan kesimpulan bahwa: Pertama, konstruksi realitas kepemimpinan yang dibuat oleh Presiden Soeharto melalui ucapan-ucapan tidak selalu sama dengan konstruksi realitas yang dibuatnya melalui tindakan-tindakan. Meskipun ucapanucapan yang dikemukakanya menunjukkan bahwa ia mengucapkan konsep-konsep kepemimpinan Jawa, tindakan-tindakan yang dilakukannya tidak selalu mencerminkan nilai-nilai budaya kepemimpinan Jawa. Kedua, konstruksi realitas kepemimpinan Presiden Soeharto yang dibuat dalam media surat kabar menunjukkan perbedaan dengan konstruksi yang dibuat oleh Presiden Soeharto sendiri.
Konstruksi realitas yang dibuat dalam media surat kabar tidak selalu merefleksikan realitas eksternal kepemimpinan Presiden Soeharto, baik yang berupa realitas politik obyektif maupun realitas subyektif yang dibuat oleh Presiden Soeharto melalui ucapan dan tindakan-tindakan pada setiap periode. Selain itu, selama masa kepemimpinan Presiden Soeharto, sejak 27 Maret 1968 sampai dengan 21 Mei 1998, media surat kabar telah mengkonstruksi realitas kepemimpinan Presiden Soeharto dengan cara-cara yang tidak sepenuhnya memenuhi standard kualitas teknik jurnalistik, hanya sekedar menyajikan ucapan atau pemyataan-pernyataan Presiden Soeharto tanpa menjelaskan keterkaitannya dengan realitas eksternal termasuk tindakan-tindakan yang dilakukan dan peristiwa-peristiwa sebelumnya yang berfungsi sebagai konteks pemaknaan realitas.
Ketiga, isi dan cara penyajian berita berbeda diantara satu surat kabar dan surat kabar lainnya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif, perbedaan diantara konstruksi realitas kepemimpinan Presiden Soeharto yang dibuat oleh masing-masing surat kabar mencakup aspek-aspek waktu penyajian dan fokus ajaran kepemimpinan Jawa yang disajikan di dalam berita. Keempat, oleh karena menunjukkan adanya konsep-konsep ajaran kepemimpinan Jawa maka konstruksi realitas kepemimpinan Presiden Soeharto dalam berita surat kabar menimbulkan mitos-mitos bahwa kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan kepemimpinan Jawa. Meskipun demikian, khususnya pada periode pengamalan dan pematangan serta periode puncak dan akhir, karena isinya tidak sesuai dengan realitas eksternal yang menunjukkan tindakan-tindakan Presiden Soeharto bertentangan dengan nilai-nilai budaya kepemimpinan Jawa maka berita surat kabar menimbulkan makna konotatif bahwa kepemimpinan Presiden Soeharto bukan merupakan kepemimpinan Jawa. Selain itu, simbol kepemimpinan Presiden Soeharto juga mengalami perubahan dan perkembangan dari satu periode ke periode selanjutnya. Kelima, media suratkabar bukan merupakan alat hegemoni kepemimpinan Jawa.
Apabila menyajikan kutipan konsep-konsep ajaran kepemimpinan Jawa, berita surat kabar hanya sekedar memberikan informasi bahwa Presiden Soeharto telah mengucapkan kata/istilah dan ungkapan-ungkapan bahasa Jawa tertentu, tanpa memberikan penjelasan mendalam yang bisa membantu pembaca dalam memaknai bentuk-bentuk bahasa tersebut. Secara kuantitatif, berita surat kabar yang menunjukkan teks kepemimpinan Jawa khususnya dan teks budaya Jawa umumnya jumlahnya relatif kecil, bahkan terlalu sedikit apabila dibandingkan dengan jumlah berita-berita lainnya.
Media surat kabar bukan merupakan penyebab terjadinya hegemoni budaya kepemimpinan Jawa karena nilai-nilai budaya tersebut sudah sejak lama tertanam dalam sebagian besar pelaku sosial."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
D135
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Kristi Poerwandari
"The concern grows not only from clinical practices, when the researcher has to psychologically empower survivors of sexual violence or violence in personal settings, but also from observing mass violence happened all over Indonesia during the last five years. Being fully aware of the complexity of the phenomena, the research focuses on the philosophy of humankind: on human consciousness and existence. The research questions can be densed and simplified in two: (1) Why does violence persist to happen? In another word, how does the subject make sense of his/her existence and the existence of others, how does the subject make sense of violence, whether as agent, victim, as well as direct/indirect observer? And (2) how to promote ideas to eliminate, or at least, to prevent violence from becoming banal? The research integrates three conceptions as framework, namely Bakker's conception of 'human being as the centre of the universe', the strategy of living proposed by Van Peursen, and Ricouer 's phenomenology of will. The research also uses the works of many, from Lorenz, Midgley, Fromm, Girard, Sartre, Circus, de Beauvoir, Millett, Kappeler, Levinas, Spaemann, Irigaray, to Arendt, to grasp different understandings which will be then integrated into the total notion of human being.
From biological perspective to social learning, from analysis. on the strategy of living whether it is dominated by mythical way of thinking or by ontological demarcation, it is realized that violence is almost inseparable from our lives. Subject-object dualism and hierarchical opposition are the way by which people live, causing the subject to objectify and negate The Other. This in turn leads all parties to he suspicious in order to maintain, or reverse the hierarchy. Gender-based violence alone stemmed from positioning women as The Absolute Other without reciprocity, that make women, always having emotional relations with men, face difficulty to define themselves as the Subject. From Arendt we learn that once an action is taken, it can be rolling and multiplying to different directions uncontrollable. Realizing the banality of violence, them, above all, it can be stated that violence is about the will, about human responsibility. How to eliminate violence? There is no unwavering answer. Genuine respect to the dignity of human being and to the plurality of consciousness, openness, care and the attitude of 'careful thinking', as well as the courage to stand against the stream, at the least, may prevent violence from becoming banal."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
D524
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gadis Arivia Effendi
"Disertasi ini mengekplorasi persoalan-persoalan filsafat dan feminisme. Di dalam eksplorasi ini, peneliti menunjukkan dominasi pemikiran maskulin di dalam filsafat Barat. Sebanyak 14 filsuf terkenal diteliti mulai dari filusuf-filsuf Yunani hingga filsuf-filsuf kontemporer dalam teks-teks filosofis mereka tentang perempuan. Temuan-temuan yang dicapai adalah bahwa kebanyakan filsuf-filsuf meminggirkan perempuan dalam mainstream filsafat dan tidak memberikan ruang bagi pemikiran feminin. Peneliti menggunakan pendekatan dekonstruksi untuk memperlihatkan bagaimana cara berpikir maskulin beroperasi dan dengan pendekatan yang sama berhasil menyuarakan filsuf-filsuf perempuan dengan cara baca yang baru. Penelitian ini juga mengajukan konsepkonsep baru yang disebut filsafat feminis dengan memperhatikan filsafat sebagai yang bertubuh dan bergender dengan demikian mengakui epistemologi standpoint, sexual difference metafisikalontologi, kepedulian dalam etika dan secara umum menerima persoalan-persoalan ranah privat (domestik) sebagai persoalan-persoalan filosofis. Konsep-konsep ini dapat berkonstribusi banyak untuk kemajuan filsafat dan masa depan filsafat dimana peranan keadilan gender sangat penting. Pemikiran feminis merupakan teori pembebasan dalam teori-teori sosial dan pembebasan bagi filsafat itu sendiri.

This dissertation explores the relationship between philosophy and feminism. The researcher hypothesizes that masculine thoughts dominate Western philosophy. The texts on women from fourteen prominent Western philosophers ranging from Greek to contemporary were analyzed The findings are that most philosophers marginalized women and that mainstream Western philosophy provides little space for feminine thinking. The researcher uses deconstruction to show how masculine thoughts operate in a Western philosophical context and with the same tools, the researcher brings out the voices of women philosophers and a new interpretation of their philosophical works. This research also proposes new concepts in the discourse of philosophy, arguing philosophy as gendered and embodied, therefore, creating space for a feminist philosophy which includes standpoint epistemology, sexual difference in metaphysics/ ontology, and care in ethics. In the whole, this dissertation would like to put forward issues of the private sphere (domestic issues) as issues in philosophy. "the private is philosophy". It is the researcher's hope that these concepts will contribute to the progress of philosophical thought and a future where gender justice plays an important role in society. Feminist thought is a liberation in social theory and feminism in philosophy liberates philosophy itself."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
D527
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Seno Gumira Ajidarma, 1958-
"ABSTRAK
Kajian komik Indonesia sepanjang sejarahnya terlalu sedikit, maka sebuah kajian yang mendalam layak dilakukan. Kajian ini membandingkan buku komik Panji Tengkorak yang digubah oleh Hans Jaladara sampai tiga kali, yakni tahun 1968, 1985, dan 1996, yang sebagai kesatuan disebut Tiga Panji Tengkorak. Maksud dan tujuan kajian atas Tiga Panji Tengkorak adalah mencari tahu dan mengungkapkan bagaimana kebudayaan berlangsung.
Dengan begitu maka Panji Tengkorak 1968, Panji Tengkorak 1985, dan Panji Tengkorak 1996 dibandingkan sekaligus secara simultan, dari leksia ke leksia secara kronologis, sebagai modifikasi pendekatan Barthes atas Sarrasine dalam S/Z.
Pembacaan kembali Tiga Panji Tengkorak ini menggunakan kacamata teori kornik dan kajian budaya sebagai teori tandem: teori kornik yang mengacu Topffer, Gombrich, Eisner dan McCloud dimanfaatkan untuk membaca aspek visual Tiga Panji Tengkorak, sedangkan teori kajian budaya yang teracu kepada Foucault, Gramsci, Hall, dan Mulhern mempertimbangkan makna yang terungkap dari naratif Tiga Panji Tengkorak; keduanya selalu dalam konteks keterbandingan.
Dalam pembacaan itu terungkapkan suatu perbincangan dalam lima topik. Pertama, bahwa pendekatan gambar yang teracu dalam Tiga Panji Tengkorak adalah gambar realisme dalam wacana kemiripan dan gambar kartun dalam wacana kesepadanan. Dari penemuan ini terbangun konstruksi oposisional antara ideology objektivitas dalam wacana kemiripan yang terdapat dalam Panji Tengkorak 1968 dan Panji Tengkorak 1985; dan ideologi subjektivitas dalam wacana kesepadanan yang terdapat dalam Panji Tengkorak 1996. Namun, kedua, simulasi sejumlah kode, yakni kode serius, kode lucu, dan kode dagang dalam Gugus Kode 1; dan kode artistik, kode silat, ataupun kode kekerasan dalam Gugus Kode 2; memperlihatkan berlangsungnya pertukaran kode antargugus-dan ini berarti konstruksi oposisional yang terbentuk sebelumnya mengalami keretakan. DaIam topik ketiga, disimulasikan Identitas Asal, Identitas Terkehendaki, dan Bukan-Identitas dalam Gugus Identitas Pribadi; ataupun Identitas Faktual dan Identitas Non-Faktual dalam Gugus Identitas Budaya Geogratis-dari sini terlacak terdapatnya politik identitas dan berlangsungnya pergulatan antarwacana. Topik keempat menunjukkan terdapatnya perlawanan terhadap bias konstruksi gender yang termaknakan dalam perbandingan Tiga Panji Tengkorak. Dalam topik kelima terumuskan bahwa dari representasi dalam naratif ataupun makna yang direpresentasikannya terungkapkan berlangsungnya ketidakmapanan sistem dalam pergulatan antarwacana.
Dalam rekapitulasi kemudian terbongkar bahwa objektivitas dan subjektivitas adalah representasi ideologis bagi konstruksi realitas-pembebanan makna atas realitas yang ideologis itu menjadi pergulatan antarwacana yang memberlangsungkan kebudayaan; yang memang akan selalu terhadirkan sebagai metakebudayaan, yakni kebudayaan tentang kebudayaan, karena kebudayaan hanya terhadirkan dalam proses sebuah perbincangan. Ini berarti manusia yang berada di dalam kebudayaan dalam hubungan dibentuk/membentuk kebudayaan hanya akan melihat kebudayaan sebagai suatu jejak. Tiga Panji Tengkorak adalah jejak jejak kebudayaan yang dalam pembongkaran telah memperlihatkan berlangsungnya kebudayaan.

ABSTRACT
A comic study is yet an undeveloped research area in the Indonesian comics, within the framework of the theory of comics and cultural studies. That is why a thorough study about the subject is highly appropriate. This dissertation is a comparison of three different editions of Panji Tengkorak by Hans Jaladara, published consecutively in 1968, 1985, and 1996, which as a whole can be called the Three Panji Tengkorak. The aim of this study is to discover and to reveal how culture operates.
In this study, Panji Tengkorak 1968, Panji Tengkorak 1985, and Panji Tengkorak 1996 are simultaneously compared. The analysis is done through a modification of Roland Barthes method in S/Z. The Three Panji Tengkorak are analyzed by breakings them down into smallest units called lexia and by comparing the lexias in a chronological order. The theory of comics from Topffer, Gombrich, Eisner and McCloud are used to analyze the visual aspect of the Three Panji Tengkorak, and the theories of Cultural Studies, namely the works of Foucault, Gramsci, Hall, and Mulhern are used to consider the meanings revealed from the narrative of the Three Panji Tengkorak.
The analysis covers five topics: First is the overlapping modes of realism which is based on likeness and cartoon which is based on equivalence. From this findings, it can be concluded that although inconsistent, the ideology of objectivity based on likeness is found in Panji Tengkorak 1968 and Panji Tengkorak 1985; and the ideology of subjectivity based on equivalence is found in Panji Tengkorak 1996. Second, the simulation of several codes i.e. the serious, comical and economic codes in Cluster I; the artistic, martial art and violence codes in Cluster 2, shows that there is some code switching inside each - and between - those two groups, and this shows inconsistencies and contradiction. The third topic raises the issue of identity (desired and non-identity, factual and non-factual). Here we see the politics of identity at war within the discourses of the texts. The fourth topic shows contradiction in the gender, ideology of the three texts. The fifth shows that representation is unstable. This dissertation concludes that objectivity and subjectivity are ideological representation of the construction of reality. These ideological contractions are at war within the discourses and this is the way culture operates.
"
Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
D550
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library