Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anton Dharma Saputra
"Latar belakang: Immune thrombocytopenia (ITP) didiagnosis dengan mengekslusi penyebab lain trombositopenia. Mekanisme trombositopenia terjadi melalui 2 mekanisme, yaitu destruksi trombosit seperti pada pasien ITP dan penurunan produksi trombosit pada pasien leukemia. Aspirasi sumsum tulang merupakan metode yang dapat membedakan mekanisme trombositopenia yang terjadi, tetapi karena invasif tidak rutin dilakukan untuk diagnosis. Seiring dengan perkembangan zaman, dapat dilakukan pemeriksaan trombosit muda dengan teknik flouresensi untuk menilai kadar immature platelet fraction (IPF). Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan kadar IPF pada pasien ITP dibandingkan dengan leukemia.
Metode: Studi potong-lintang kadar IPF pasien anak dengan ITP dan leukemia, yang dilaksanakan dari 2017-2020 di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sampel penelitian adalah pasien anak umur kurang dari 18 tahun, yang menderita ITP dan leukemia, yang belum mendapatkan kemoterapi ataupun imunosupresan. Data penelitian diambil dari rekam medis atau pemeriksaan darah rutin.
Hasil: Dari 42 pasien, didapatkan 21 pasien ITP dan 21 pasien leukemia. Terdapat perbedaan bermakna (16,6 poin) dari rerata kadar IPF pasien ITP dibandingkan pasien leukemia (P<0,001). Pasien ITP memiliki kadar rerata IPF sebesar 18,6%(SB 12,1%). Pasien leukemia memiliki kadar IPF 2%(SB 1,31%).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna kadar IPF pada pasien ITP dibandingkan pasien leukemia akut.

.Background and aim: Immune thrombocytopenia (ITP) is diagnosed by excluding other causes of thrombocytopenia. The thrombocytopenia itself could occur through 2 mechanisms, which were platelet destruction as in ITP, and decrease platelet production as in leukemia. Bone marrow aspiration used to be done to distinguish the mechanism of thrombocytopenia, but it has not been routinely done due to its invasiveness. Examination of young platelets with fluorescence technique are currently done to assess the level of Immature Platelet Fraction (IPF). This study was conducted to evaluate the differences in IPF levels in ITP patients compared with leukemia patients.
Methods: A cross-sectional study was carried out on the IPF levels on patients with ITP and leukemia, from 2017-2020 at Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta. The study sample was pediatric patients, less than 18 years old, diagnosed with ITP and acute leukemia, whom had not received any chemotherapy or immunosuppressants. Research data were taken from medical records and/or routine blood tests.
Results: Total of 42 patients, 21 ITP patients and 21 leukemia patients were found. There was a significant difference (16,6 poin) in the mean of IPF levels of ITP patients compared with leukemia patients (P <0.001). ITP patients had an average IPF level of 18,6% (SB 12,1). Leukemia patients have 2% IPF levels (SB 1,31).
Conclusions: There is a subtantial different in IPF in ITP patient compared to acute leukemia patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisya Dwi Rianthi
"Latar belakang: Identifikasi dan deteksi dini keterlambatan perkembangan anak sampai usia 3 tahun membutuhkan alat uji penapisan yang sahih dan andal serta mudah diaplikasikan orangtua. Kesahihan dan keandalan ASQ-3 belum teruji di Indonesia sehingga ASQ-3 belum digunakan secara luas sebagai alat uji penapisan perkembangan anak.
Tujuan: Mengetahui kesahihan dan keandalan ASQ-3 bahasa Indonesia sebagai alat uji penapisan keterlambatan perkembangan anak usia 24-36 bulan.
Metode: Penelitian potong lintang ini dibagi menjadi 2 tahap. Tahap pertama yaitu adaptasi transkultural, modifikasi dan tranlasi kuesioner ASQ-3 versi orginal ke bahasa Indonesia. Tahap kedua, kuesioner bahasa Indonesia yang sudah final, diuji ke 30 subyek dari 5 kelompok umur (24,27,30,33,36 bulan). Uji kesahihan dengan menggunakan koefisien korelasi, uji keandalan dengan konsistensi internal dan keandalan inter-rater.
Hasil: Uji kesahihan dengan koefisien korelasi kuat di domain komunikasi usia 24 bulan (0,908), domain motor kasar usia 24 bulan (0,860), domain motor kasar usia 36 bulan (0,865). Uji keandalan dengan Alpha Cronbach ialah baik (0,673-0,825) dengan keandalan inter-rater yang sangat baik (0,916).
Kesimpulan: ASQ-3 bahasa Indonesia sahih dan andal sebagai alat uji penapisan keterlambatan perkembangan anak usia 24-36 bulan.

Background: Identification of children with developmental disabilities is critical step in providing early intervention services. Ages and Stages Questionnaires third edition (ASQ-3), a parent-report questionnaires has been proven to be a valid and reliable screening test and good psychometric properties. This test has not been validated and standardized before in Indonesia.
Aim: To provide the validated and reliability form of the Indonesian version of the Ages and Stages Questionnaires as an appropriate developmental screening tool for evaluation of 24-36 months Indonesian children's development.
Method: Cross sectional study divided into two parts. First part included the adaptation, transcultural, and translation ASQ-3 original version to Indonesian version. Second part, final form of Indonesian ASQ-3 was performed for 30 children from 5 age groups (24,27,30,33,36 months). In order to determine validity of the questionnaires using correlation coefficient, and reliability was measured using internal consistency and intraclass correlation coefficient.
Results: The validity determined by correlation coefficient was very good in communication area at 24 months age (0.908), gross motor at 24 months age (0.860), and gross motor at 36 months age (0.865). The reliability, determined by cronbach's alpha ranged from 0.673-0.825 and the inter-rater reliability was 0.916.
Conclusion: The Indonesian version of the ASQ has appropriate validity and reliability for screening developmental disorders in 24 -36 months children in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T55526
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fenny
"Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek suplementasi probiotik pada masa kanak-kanak terhadap indeks resistensi insulin pada masa remaja. Studi ini merupakan studi tindak lanjut tahun ke-10 dari uji klinis pemberian probiotik dan kalsium pada anak-anak yang tinggal di daerah sosioekonomi rendah di Jakarta Timur, yang diadakan pada bulan Januari hingga Maret 2019. Studi ini melibatkan 154 remaja berusia 11-17 tahun, yang terbagi menjadi 3 kelompok berdasarkan intervensi terdahulu (kalsium regular (KR) sebagai kelompok kontrol, kelompok reuteri, dan kelompok casei). Luaran utama berupa perbedaan resistensi insulin yang dinilai dengan homeostatic model assessment for insulin resistance (indeks HOMA-IR) diantara ketiga kelompok sesudah dilakukan penyesuaian terhadap faktor perancu, seperti usia, jenis kelamin, status pubertas, status nutrisi, aktivtas fisik, dan pola asupan makanan. Studi ini memperoleh karakteristik subjek tidak berbeda bermakna diantara kelompok KR, casei, dan reuteri. Pola asupan makanan subjek juga tidak berbeda bermakna diantara kelompok RC, casei, dan reuteri. Rerata indeks HOMA-IR pada kelompok casei, reuteri, dan KR berturut-turut adalah 3,5 ± 1,9; 3,2 ± 1,7; 3,2 ± 1,6. Rerata indeks HOMA-IR tidak berbeda bermakna diantara kelompok casei dan RC (mean differences (MD): 1,10 [95% CI: 0.9-1.33]), diantara kelompok reuteri dan RC (MD:0.99 [95% CI: 0.82-1.22]) sesudah penyesuaian terhadap usia, jenis kelamin, status gizi, asupan serat, dana asupan lemak. Suplementasi probiotik selama 6 bulan pada masa kanak-kanak diduga tidak memengaruhi indeks resistensi insulin pada masa remaja.

Objective: To investigate the effect of probiotic supplementation in the childhood toward insulin resistance index in adolescence.
Methods: This study was a 10-year follow-up study on probiotic and calcium trial in children living in low-socioeconomic urban area of East Jakarta between January and March 2019. This study involved 154 adolescents aged 11-17 years, divided into 3 groups based on previous intervention (regular calcium as a control group, reuteri group, and casei group). Primary outcome was differences in insulin resistance that measured by homeostatic model assessment for insulin resistance (HOMA-IR index) between the three groups after adjustment of the confounding factor, such as age, gender, pubertal status, nutritional status, physical activity, and dietary intake patterns.
Results: Subjects' characteristics were not significantly different among casei, reuteri, and RC. Subjects' dietary intake patterns also were not significantly different among casei, reuteri, and RC. The mean HOMA-IR in casei, reuteri, and RC were 3.5 ± 1.9, 3.2 ± 1.7, 3.2 ± 1.6, irrespectively. The mean HOMA-IR index were no significantly different between casei and RC (mean differences (MD): 1,10 [95% CI: 0.9-1.33]), between reuteri and RC (MD:0.99 [95% CI: 0.82-1.22]) after adjusted with age, gender, nutritional status, fiber intake, and fat intake.
Conclusion: Probiotic supplementation for 6 months in childhood may not affect insulin resistance index in adolescence.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Nurul Hafifah
"Latar Belakang: Mukopolisakaridosis tipe IV A (MPS IV A, Morquio A syndrome) merupakan kelainan autosomal resesif yang disebabkan adanya mutasi pada gen N-acetylgalactosamine-sulfate sulfatase (GALNS atau galactosamine (N-acetyl)-6-sulfate sulfatase; MIM #612222). Diagnosis MPS IV A dapat dicurigai melalui pemeriksaan penapisan GAGs (glukosaminogikans) urin dan ditegakkan dengan pemeriksaan dan aktifitas enzim GALNS pada leukosit atau kultur fibroblast. Pemeriksaan molekuler diperlukan karena bervariasinya gejala klinis yang berhubungan dengan variasi mutasi pada gen GALNS. Namun, lokasi mutasi hot spot berbeda-beda antar daerah dan etnis, Heterogenitas ini dapat menjadi tantangan bagi interpretasi pemeriksaan molekular pasien dengan MPS IV sehingga perlu strategi diagnostik yang efektif biaya untuk menemukan mutasi penyebab kelainan MPS tipe IVA di Indonesia. Tujuan: Mengetahui profil fenotipe-genotipe pasien MPS tipe IV A di Indonesia. Metode: Penelitian ini adalah studi potong lintang yang dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM-FKUI dan Human Genetic Cluster (HGRC) IMERI FKUI sejak tanggal 1 Januari-13 Desember 2019. 3. Data terkait fenotipe, yaitu anamnesis, pemeriksaan fisis (PF), dan pemeriksaan penunjang, diambil dari data rekam medis. Selanjutnya dilakukan pengambilan darah dalam tabung EDTA sebanyak 5 mL. Tahapan pemeriksaan molekular meliputi isolasi DNA, desain primer, PCR, sequencing, dan analisis varian. Kategori varian baru (novel) yang ditemukan akan dibuat berdasarkan panduan dari American College of Medical Genetics and Genomics (ACMG). Hasil: Total subjek penelitian adalah 7 pasien MPS tipe IV A di Indonesia yang berasal dari 5 kota berbeda. Subjek terdiri dari 2 pasien lelaki dan 5 pasien perempuan. Rentang usia saat pemeriksaan antara 2-17 tahun. Terdapat riwayat keluhan serupa pada kakak subjek 1 dan 6. Pada kelima pasien lain, awitan gejala mukopolisakaridosis disadari pada usia antara 2-3 tahun. Tidak ada riwayat konsanguinitas pada orangtua subjek penelitian. Seluruh subjek pada penelitian ini diklasifikasikan sebagai tipe berat. Manifestasi klinis yang ditemukan pada seluruh subjek penelitian adalah leher pendek, genu valgum, pectus carinatum, sendi yang longgar, serta gangguan pada cara berjalan. Tiga dari 7 subjek saat ini masih dapat berjalan tanpa alat bantu. Data aktivitas enzim dan glikosaminoglikans pada subjek tidak seragam karena tempat pemeriksaan berbeda dan menggunakan metode yang berbeda pula. Sebanyak 24 varian ditemukan pada 7 subjek. Sebagian besar varian ditemukan pada ekson 7 (29,2%), diikuti ekson 5, 10, dan 12 (masing-masing 16,7%), ekson 13 (sebesar 12,5%). Sisanya varian ditemukan pada ekson 1, 11 dan ekson 14 (masing-masing 4,2%). Sebagian besar varian yang ditemukan merupakan varian missense (54,2%), diikuti varian silent (45,8%), dan hanya 1 (4,2%) varian yang ditemukan berupa varian nonsense. Varian tersering yang ditemukan adalah varian c.708C>T yang ditemukan pada 5 subjek, diikuti oleh varian c.510T>C dan c.1354 T>C yang ditemukan pada 3 subjek. Berdasarkan hasil temuan varian terdapat 12 varian benign, 4 VUS, dan 8 varian patogenik. Terdapat 3 varian novel pada subjek penelitian, satu di antaranya adalah varian likely pathogenic, yaitu varian c.1348 G>A. Simpulan: Dari tujuh subjek dalam penelitian ini, ditemukan 8 varian patogenik, di antaranya terdapat 1 varian likely pathogenic baru. Sebanyak 9 dari 14 alel (64,3%) dapat ditemukan varian patogenik, sedangkan 5 varian patogenik lainnya belum ditemukan. Fenotipe paling berat dialami oleh subjek 4 yang memiliki tinggi badan T.
Background: Mucopolysaccharidosis type IVA (MPS IVA, Morquio A syndrome) is an autosomal recessive disease which is caused by defect in the N-acetylgalactosamine-6-sulfate sulfatase gene (GALNS, galactosamine (N-acetyl)-6-sulfate sulfatase; MIM #612222). After urine glycosaminoglycan is performed as a screening tool, diagnosis is confitmed through measuring GALNS enzyme activity in leucocyte or fibroblast. Molecular testing is needed because clinical symptoms are variable. Mutation in GALNS gene are many and can be different in each ethnicity and country. This heterogeneity poses a challenge to the diagnosis of MPS IVA especially in Indonesia. Therefore, data on clinical spectrum and genetic mutation of MPS IVA in Indonesian population is needed. Aim: To determine the phenotype-genotype correlation of MPS IVA in Indonesia Method: Subjects were recruited from Department of Pediatrics, Cipto Mangunkusumo Hospital, while molecular testing was performed in the Human Genetic Cluster (HGRC) IMERI Faculty of Medicine Universitas Indonesia between Januari 1st until December 13th, 2019. Data on phenotype was evaluated from medical records. A 5 ml EDTA whole blood was then collected from the subjects. Molecular testing consists of DNA isolation, primer design, PCR, sequencing, and variant analysis. Novel variants are then classified according to guidelines from the American College of Medical Genetics and Genomics (ACMG). Results: A total of 7 subjects from 5 different cities was included in this study, consisting of 2 boys and 5 girls. Age at recruitments was between 2 to 17 years-old. Two subjects had history of MPS IVA in older sibling. Age of onset were between 2-3 years-old. No history of consanguinity in the subjects parents. All subjects were classified as severe type. Clinical manifestations found in all patients were short neck, genu valgum, pectus carinatum, loose joint, and difficulty walking. Three out of 7 subjects were still able to walk. Data on enzyme activity and glycosaminoglycans could not be compared because they were performed with different methods. Twenty four variants were found in 7 subjects. Mostly located on exon 7 (29.2%), followed by exon 5, 10, dan 12 (each 16.7%), exon 13 (12.5%), and the rest were found in exon 1, 11, and 14. Missense variants are the most commonly found (54.2%), followed by silent variants (45.8%), and 1 nonsense variant (4,2%). The most common variants found was c.708C>T in 5 subjects, followed by c.510T>C and c.1354 T>C, each on 3 subjects. These variants are classified as benign variants (50%), VUS (1.7%), and pathogenic variants (33.3%). Three novel variants were found in this study, including one likely pathogenic variants, c.1348 G>A. Conclusion: Eight pathogenic variant were found including one novel likely pathogenic variant. Nine out of 14 alleles (64.3%) were found. The most sever phenotype was found in subject 4 who had nonsense homozygous pathogenic variant c.751 C>T."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mulki Angela
"Latar belakang: Penyakit Kawasaki adalah penyebab utama penyakit jantung didapat pada anak, yang merupakan suatu vaskulitis sistemik akut. Penyakit ini berhubungan dengan luaran aneurisme arteri koroner, yang dapat dicegah dengan pemberian imunoglobulin intravena (IGIV). Terapi baku emas pada penyakit Kawasaki adalah IGIV dosis tinggi (2 g/kgBB). Namun, IGIV dosis medium (1 g/kgBB) merupakan terapi berbiaya lebih rendah dan mungkin memiliki efikasi yang sama. Melalui penelitian ini, kami mengevaluasi keberhasilan terapi IGIV dosis 1 g/kgBB.
Metode: Studi kohort retrospektif multisenter dari data rekam medis dengan total 507 pasien dengan penyakit Kawasaki komplit. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo dan Kawasaki Center, Indonesia dari Januari 2012 hingga Januari 2022. Pasien yang mendapatkan terapi IGIV dengan dosis 1 g/kgBB didefinisikan sebagai grup A, dan pasien yang mendapatkan terapi IGIV dengan dosis 2 g/kgBB didefinisikan sebagai grup B. Karakteristik dasar subjek dibandingkan antar-kelompok tersebut; demografi, hasil laboratorium, keterlibatan mukokutan, hari demam saat diberikan IGIV, durasi demam pasca-IGIV, lama rawat, dan temuan aneurisme arteri koroner dari ekokardiografi pada periode follow-up.
Hasil: Sebanyak 24 pasien (grup A), mendapatkan IGIV dosis medium (1 g/kgBB). Sementara itu, sebanyak 483 pasien (grup B) mendapatkan IGIV dosis tinggi (2 g/kgBB). Distribusi usia dan jenis kelamin, nilai leukosit dan trombosit, hari demam saat diberikan IGIV, durasi demam pasca-IGIV, dan lama rawat tidak berbeda bermakna antar-kelompok (p >0,05). Semua pasien mengalami keterlibatan mukokutan. Berat badan menurut umur (WAZ) dan nilai CRP antar-kelompok bermakna secara statistik (p <0,05). Aneurisme arteri koroner tidak ditemukan pada pasien di grup A dan pada 9 pasien (1,9%) di grup B pada periode follow-up (p >0,05).
Simpulan: Terapi dengan dosis inisial IGIV 1 g/kgBB untuk pasien dengan penyakit Kawasaki menunjukkan keberhasilan yang sama dengan IGIV dosis tinggi (2 g/kgBB). Hal ini dapat menjadi opsi terapi bagi negara berkembang.

Background: Kawasaki disease (KD), the leading cause of acquired heart disease in children, is an acute childhood systemic vasculitis. It is associated with coronary artery aneurysms (CAA), that could be prevented by intravenous immunoglobulin (IVIG) administration. High-dose IVIG (2 g/kg) is usually given in the treatment of Kawasaki disease (KD). However, medium-dose IVIG (1 g/kg) is a low-cost treatment and may have the same efficacy. We aim to determine whether the treatment with IVIG at an initial dose of 1 g/kg is effective for preventing CAA.
Methods: A multicenter retrospective cohort study was conducted. A total of 507 patients with complete KD who were treated with high-dose and medium-dose immunoglobulin at Cipto Mangunkusumo Hospital and Kawasaki Center, Indonesia from January 2012 to January 2022 were enrolled. Patients treated with a single infusion of medium-dose IVIG (1 g/kg) were defined as group A, and patients treated with high-dose IVIG (2 g/kg) were defined as group B. Patient characteristics were compared between the two groups; demographic features, laboratory findings, mucocutaneous involvement, day of fever, duration of fever after treatment, length of stay, and rates of CAA from echocardiography during the follow-up period.
Results: Medium-dose IVIG was given in 24 patients (group A). High-dose IVIG was given in 483 patients (group B). Age and gender distributions, white blood cell and platelet counts, day of fever when IVIG was administered, duration of fever after IVIG treatment, and length of stay did not differ significantly between the two groups (p >0.05). All patients had mucocutaneous involvement. Median of WAZ was higher in group A (+0,35 vs -0,26; p <0.05). Median of concentrations of C-reactive protein was higher in group B (59,5 mg/L vs 81 mg/L; p <0.05). Coronary artery aneurysms were not found in group A and in 9 patients (1.9%) in group B during the follow-up period (p >0.05).
Conclusion: Treatment of KD with IVIG at an initial dose of 1 g/kg could show the same effectiveness as the high-dose IVIG (2 g/kg) and might be an option for low- and middle-income country.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diadra Annisa Setio Utami
"Latar belakang: Penyakit jantung rematik (PJR) merupakan salah satu penyebab kematian kardiovaskular pada anak yang dapat dicegah. Indonesia merupakan salah satu negara endemis PJR. Data mengenai kesintasan, perbaikan katup, dan faktor-faktor yang memengaruhi pada populasi anak masih terbatas.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesintasan dan perbaikan katup lima tahun setelah terdiagnosis pada anak dengan PJR serta faktor-faktor yang memengaruhi.
Metode: Penelitian ini merupakan studi prognostik dengan rancangan penelitian kohort retrospektif di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menggunakan data rekam medis pasien yang terdiagnosis dengan PJR sebelum Desember 2018 dan diikuti selama lima tahun, paling akhir Desember 2023. Subjek yang diteliti adalah anak berusia kurang dari 18 tahun saat terdiagnosis dengan PJR. Faktor yang diteliti untuk kesintasan dan perbaikan katup adalah status gizi, kepatuhan profilaksis penisilin, kelas gagal jantung New York Heart Association (NYHA), fraksi ejeksi, derajat katup, jumlah katup, dan operasi katup.
Hasil: Sebanyak 100 anak yang terdiagnosis PJR dengan rerata usia 11,29 (8,42-14,16) tahun dan proporsi jenis kelamin 1:1 dimasukkan dalam analisis. Rerata pengamatan adalah 47,96 bulan (simpang baku 20 bulan). Keterlibatan katup terbanyak adalah regurgitasi mitral (32%). Sebagian besar pasien terdiagnosis dengan derajat katup berat (58%). Kesintasan 5 tahun didapatkan 90% dengan prediktor independen kematian yaitu fraksi ejeksi <55% saat terdiagnosis dengan HR 6,34 (IK95% 1,72-23,46; p = 0,006) dan kelas NYHA III-IV saat terdiagnosis dengan HR 5,33 (IK95% 1,05-27,11; p = 0,04). Proporsi anak dengan PJR yang mengalami perbaikan katup 5 tahun setelah terdiagnosis adalah 60% dengan faktor yang memengaruhi yaitu operasi katup dengan RR 1,40 (IK95% 1,05-1,88; p=0,02). Analisis subgrup pada subjek yang tidak operasi mendapatkan bahwa kelas NYHA I-II dan fraksi ejeksi >55% saat tediagnosis secara signifikan berpengaruh terhadap perbaikan katup dengan RR 3,05 (IK95% 1,33-7,03; p = 0,01) dan RR 1,62 (IK95% 1,28-2,04; p<0,01) secara berturut-turut. Kesimpulan: Kesintasan lima tahun anak dengan PJR adalah 90% dengan faktor yang memengaruhi yaitu fraksi ejeksi <55% dan kelas gagal jantung NYHA III-IV saat terdiagnosis. Sebanyak 60% subjek mengalami perbaikan katup dengan faktor yang memengaruhi adalah operasi katup.

Background: Rheumatic heart disease (RHD) is a major contributor of preventable cardiovascular disease in children. Indonesia is one of the most endemic countries with RHD. However, data on clinical outcomes and prognostic factors are still lacking.
Objective: This study aimed to evaluate the five year survival rate, proportion of valve improvement, and prognostic factors of both outcomes.
Method: We conducted a retrospective cohort study in Cipto Mangunkusumo Hospital which included patients aged below 18 years at diagnosis before December 2018. Subjects were followed for 5 years up to December 2023. Factors analyzed for both mortality and valve improvement were nutrition status, adherence to penicillin prophylaxis, New York Heart Association (NYHA) class, ejection fraction, valve severity, number of valve involved, and valve surgery.
Results: One hundred patients with RHD were included with mean age of 11.29 (8.42-14.16) years. The proportion of female : male was 1:1. Mean duration of follow up was 47.96 (SD 20) months). The majority of valve abnormality was mitral regurgitation (32%). As many as 58% were diagnosed with severe valve disease. Five year survival rate was 90%. Significant prognostic factors for mortality were ejection fraction <55% at diagnosis with HR 6.34 (95%CI 1.72-23.46; p=0.006) and NYHA class III-IV at diagnosis with HR 5.33 (95%CI 1,05-27.11; p=0.04. The proportion of subjects with valve improvement after 5 years was 60%. Multivariate analysis revealed that valve surgery was the only significant factor for valve improvement with RR 1.40 (95%CI 1.05-1.88; p=0.02). Subgroup analysis in subjects who did not undergo surgery showed that NYHA class I-II and ejection fraction >55% at diagnosis significantly affected valve improvement with RR 3,05 (95% CI 1,33-7,03; p = 0,01) dan RR 1,62 (95% CI 1,28-2,04; p<0,01)
Conclusion: The five year survival rate of children with RHD was 90%. Mortality predictors were ejection fraction <55% and NYHA class III-IV at diagnosis. Sixty percent of patients had valve improvement with valve surgery as a predictor.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimah Saidah
"Mortalitas anak dengan sepsis masih tinggi dengan penyebab yang belum banyak diketahui patofisiologinya. Kerusakan lapisan glikokaliks pada permukaan endotel pembuluh darah dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang mengakibatkan syok sepsis dan disfungsi organ pada pasien sepsis. Peningkatan kadar syndecan-1 dalam darah merupakan salah satu penanda kerusakan lapisan glikokaliks. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar syndecan-1 dengan disfungsi organ yang dinilai dengan skor PELOD-2 dan mortalitas 28 hari pada pasien anak dengan sepsis. Hubungan kadar syndecan-1 dengan skor PELOD-2 merupakan studi potong lintang, sementara hubungan syndecan-1 dengan mortalitas merupakan studi prospektif. Penelitian dilakukan pada 55 anak berusia 1 bulan-<18 tahun dengan sepsis yang dirawat di RSCM pada bulan Maret-Agustus 2019 dengan cara consecutive sampling. Evaluasi syndecan-1 dan skor PELOD-2 dilakukan pada hari pertama dan kelima setelah diagnosis sepsis. Pasien diikuti selama 28 hari untuk evaluasi mortalitas. Didapatkan peningkatan syndecan-1 pada seluruh pasien sepsisdengan peningkatan yang lebih tinggi pada pasien dengan syok sepsis (p=0,01). Terdapat korelasi positifantara kadar syndecan-1 dengan skor PELOD-2 pada 24 jam pertama setelah diagnosis sepsis dengan koefisien korelasi 0,32 (p=0,01). Terdapat korelasi positif antara perubahan kadar syndecan-1 dengan perubahan skor PELOD-2 dengan koefisien korelasi 0,469 (p=0,002). Tidak didapatkan hubungan antara kadar syndecan-1 dengan skor PELOD-2 pada hari kelima (p=0,6). Peningkatan kadar syndecan-1 didapatkan tidak berhubungan dengan mortalitas 28 hari (p=0,49).Nilai titik potongsyndecan-1 ≥688 ng/mLpada hari pertama dapat memprediksi skor PELOD-2 ≥8 dengan AUC 73,8%, sensitivitas 67%, spesifisitas 77%, NDP 44,4%, dan NDN 89,2% (p=0,012).

Sepsis still contributes significantly to morbidity and mortality inpediatric patients. Disruption of glycocalyx layer on vascular endothelium has been described as one of the main pathophysiological events that leads to increased vascular permeability, contributing to organ failure and septic shock. The role of glycocalyx disruption in pediatric sepsis has not been widely studied. Increased syndecan level in blood marks disruption of glycocalyx integrity. This study was aimed to analyze the correlation ofserum syndecan-1 with organ dysfunction assessed by PELOD-2 score, and to evaluate its association with mortality in pediatric sepsis. Correlation of syndecan-1 and PELOD-2 score was a cross sectional study, while association of syndecan-1 with mortality was a prospective study. The study was conducted in pediatric intensive care unit, emergency unit, and pediatric ward of Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, on March-August 2019. The subjects were 55 patients aged 1-month to 18-year-old with sepsis that fulfilled the inclusion criteria consecutively. Serum syndecan-1 level and PELOD-2 score were evaluated on day 1 and 5 after diagnosis of sepsis. Survival was assessed after 28 days. There was increased level of syndecan-1 in all subjects, with significantly higher level found in patients with septic shock (p=0,01). There was positive correlation of syndecan-1 with PELOD-2 score in the first 24 hours after diagnosis of sepsis with correlation coefficient of 0.32 (p=0.01). Changes in syndecan-1 level within 5 days positively correlated with changes of PELOD-2 score with correlation coefficient of 0.469 (p=0.002). Syndecan-1 level and PELOD-2 score on day 5 was not significantly correlated (p=0.6). There was no association of increased syndecan-1 level with mortality in 28 days (p=0.49). Cut-off point of syndecan-1 ≥688 ng/mL in the first 24 hours can predictsignificant organ dysfunction (PELOD-2 score of ≥8) with AUC of 73.8%, sensitivity 67%,specificity 77%, positive predictive value 44.4%, and negative predictive value 89.2% (p=0.012)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58692
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Lanny Christine
"Latar belakang. NICCD merupakan salah satu penyebab kolestasis intrahepatik pada bayi yang disebabkan oleh mutasi gen SLC25A13 pada kromosom 7q21.3 dan diturunkan secara autosomal resesif. Kelainan tersebut berisiko menjadi adult-onset type II citrullinemia CTLN2 pada masa dewasa dengan gejala hiperamonemia berulang, koma hepatikum, atau neuropsikiatrik yang membutuhkan tranplantasi hati. Kebanyakan pasien NICCD menunjukkan perbaikan gejala sebelum usia 1 tahun dan dapat ditata laksana dengan formula yang mengandung trigliserida rantai sedang dan/atau bebas laktosa serta vitamin yang larut dalam lemak.
Tujuan. 1 Merancang suatu algoritme untuk mendeteksi NICCD pada bayi berusia 0 - 1 tahun dengan kolestasis intrahepatik di Indonesia yang berisiko mengalami CTLN2 di masa dewasa, 2 Mengetahui prevalens dan jenis mutasi gen SLC25A13, serta 3 Mengetahui gambaran klinis dan laboratoris subjek yang memiliki mutasi gen SLC25A13.
Metode penelitian. Desain penelitian adalah potong lintang. Sebanyak 107 bayi dengan kolestasis intrahepatik ikut serta di dalam penelitian. Subjek yang memenuhi kriteria inklusi menjalani pemeriksaan profil asam amino dengan metode LC-MS/MS dan 10 mutasi gen SLC25A13 yang sering ditemukan pada populasi di Asia Timur, yaitu 851del4, IVS11 1G>A, 1638ins23, S225X, IVS13 1G>A, 1800ins1, R605X, E601X, E601K, dan IVS16ins3kb dengan metode polymerase chain reaction - restriction fragment length polymorphism PCR - RFLP , long-range PCR, dan DNA sequencing.
Hasil penelitian. Sebanyak 6 subjek mempunyai USG abdomen, kultur darah dan urin yang normal, kenaikan berat badan yang tidak adekuat, serta kenaikan kadar citrulline. Satu dari 6 subjek tersebut mempunyai mutasi gen SLC25A13 dalam bentuk heterozigot IVS16ins3kb sehingga prevalens mutasi gen SLC25A13 dalam penelitian ini adalah 0,9 . Gambaran klinis subjek meliputi kuning, lahir kurang bulan, kecil masa kehamilan, kolestasis intrahepatik, dan kenaikan berat badan tidak adekuat tanpa hepatomegali, splenomegali, atau asites. Ultrasonografi abdomen yang normal, kultur darah dan urin yang steril, disfungsi hati, hipoproteinemia, dan hipoalbuminemia merupakan hasil pemeriksaan lain yang ditemukan pada subjek. Profil asam amino menunjukkan peningkatan kadar citrulline, glutamate, methionine, dan alanine.
Kesimpulan. Mutasi gen SLC25A13 juga ditemukan di Indonesia seperti di Negara Asia Timur lainnya, yaitu IVS16ins3kb. Oleh karena subjek adalah heterozigot IVS16ins3kb dan memiliki gambaran klinis yang sesuai dengan NICCD, maka pemeriksaan seluruh ekson dan intron flanking region dari gen SLC25A13 perlu dilakukan untuk membuktikan bahwa subjek mempunyai mutasi gen SLC25A13 dalam bentuk compound heterozygous. Algoritme untuk mendeteksi NICCD pada bayi berusia 0 - 1 tahun dengan kolestasis intrahepatik di Indonesia telah dibuat untuk memudahkan klinisi dalam menegakkan diagnosis NICCD. Kata kunci. Mutasi gen SLC25A13, NICCD, kolestasis intrahepatik.

Background. NICCD is an autosomal recessive condition which causes intrahepatic cholestasis in infants due to SLC25A13 gene mutation on chromosome 7q21.3. Infant with this disorder can have a risk to have adult onset type II citrullinemia CTLN2 with symptoms of recurrent hyperammonemia, hepatic coma, or neuropsychiatric problem requiring liver transplantation. Most patients showed symptom improvements before 1 year old which can be managed with medium chain triglycerides and or lactose free containing formula and fat soluble vitamins.
Objectives. 1 Design an algorithm to detect NICCD in 0 - 1 years old infants with intrahepatic cholestasis in Indonesia who at risk for CTLN2 in adulthood, 2 Obtain the prevalence and type of SLC25A13 gene mutation, and 3 Describe the clinical and laboratory profiles of subject who has SLC25A13 gene mutation.
Methods. The study design is cross sectional included 107 infants with intrahepatic cholestasis. Subjects who met inclusion criterias underwent the examinations of amino acid profiles using LC MS MS method and 10 hot spot mutations of SLC25A13 gene which is frequently found in East and South East Asian populations 851del4, IVS11 1G A, 1638ins23, S225X, IVS13 1G A, 1800ins1, R605X, E601X, E601K, dan IVS16ins3kb using polymerase chain reaction - restriction fragment length polymorphism PCR - RFLP, long PCR, and DNA sequencing methods.
Results. Six subjects had normal results of abdominal ultrasound, blood and urine cultures, inadequate body weight increment, and increase citrulline level. One of them had heterozygous of IVS16ins3kb, which made the prevalence of SLC25A13 gene mutation in this study was 0.9 . This subject born preterm and small for gestational age. He had jaundice due to intrahepatic cholestasis, inadequate body weight increment without hepatomegaly, splenomegaly, or ascites, normal abdominal ultrasonography, sterile blood and urine cultures, liver dysfunction, hypoproteinemia, and also hypoalbuminemia. The amino acid profiles showed elevated level of citrulline, glutamate, methionine, and alanine.
Conclusions. One of SLC25A13 gene mutations is also found in Indonesia as in other East and South East Asian countries, which is IVS16ins3kb. All exon and flanking region examinations of SLC25A13 gene are necessary to prove the possibility of compound heterozygous form in this subject because his clinical profiles were corresponding to NICCD. The algorithm to detect NICCD in 0 - 1 year old infant in Indonesia has been made to facilitate the clinicians in establishing the diagnosis of NICCD. Key words. SLC25A13 gene mutation NICCD intrahepatic cholestasis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yaulia Yanrismet
"Purpura Henoch-Schonlein (PHS) merupakan vaskulitis pembuluh darah kecil yang paling sering terjadi pada anak dengan prognosis PHS yang umunya baik, namun angka mortalitas dan morbiditas akan meningkat apabila terjadi nefritis Henoch-Schonlein (NHS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejdian dan faktor risiko terjadinya nefritis pada anak dengan PHS.
Penelitian ini merupakan sebuah studi kohort retrospektif dengan rekam medis anak usia 1 bulan-18 tahun yang terdiagnosis PHS sesuai kriteria EULAR/PRINTO/PRES 2008 selama periode waktu 9 tahun di rumah sakit Cipto Mangunkusumo. Data rekam medis diikuti minimal 3 bulan untuk melihat faktor risiko terjadinya NHS berdasarkan karakter demografis, klinis, laboratorium dan terapi. Terdapat 112 pasien PHS dengan rentang usia 2-17 tahun dengan rentang usia paling sering adalah 6-12 tahun. Nefritis Henoch-Schonlein didapatkan pada 40 pasien (35,7%) yang terjadi rata-rata pada 14 minggu setelah onset pertama PHS dengan mayoritas terjadi pada 4 minggu pertama. Melalui analisis multivariat, didapatkan bahwa purpura persisten (p=0,011, OR 3,306, IK 95% 1,315-8,31) dan leukositosis pada fase akut (p=0,039, OR 2,585, IK 95% 1,047-6,385) merupakan faktor risiko yang secara bermakna meningkatkan risiko terjadinya NHS. Penggunaan kortikosteroid tidak menurunkan risiko terjadinya NHS pada anak dengan PHS. Akumulasi jumlah faktor risiko meningkatkan jumlah kejadian NHS.
Berdasarkan hasi di atas, purpura persisten dan leukositosis pada fase akut merupakan faktor risiko yang signifikan untuk terjadinya NHS. Oleh karena itu selain evaluasi klinis dan urinalisis perlu dilakukan pemeriksaan darah untuk menilai risiko NHS.

Henoch-Schonlein Purpura (HSP) is a small blood vessel vasculitis that most often occurs in children with generally good HSP, yet its mortality and morbidity rates will increase if Henoch-Schonlein nephritis (HSN) occurs. This study aimed to identify the proportion and risk factors of nephritis in childhood HSP.
This was a retrospective cohort study reviewing medical records of children aged 1 month-18 years diagnosed with Henoch-Schonlein purpura according to EULAR / PRINTO / PRES 2008 criteria during 9 years period at Cipto Mangunkusumo Hospital. Medical record data were followed for a minimum of 3 months to see risk factors for HSN based on demographic, clinical, laboratory and therapeutic parameters. There were 112 HSP patients with an age range of 2-17 years with the most frequent age range being 6-12 years. Henoch-Schonlein nephritis was found in 40 patients (35.7%) which occurred a median of 14 weeks, and within 4 weeks in the majority of cases. Through multivariate analysis, it was found that persistent purpura (p = 0.011, OR 3.306, 95% CI 1.315-8.315) and leukocytosis in the acute phase (p = 0.039, OR 2.585, 95% IK 1.047-6.3385) were significantly increased the risk of HSN. The corticosteroid use did not reduce the risk of HSN. An accumulation of risk factors increased the risk of HSN.
Based on the results, persistent purpura and leukocytosis in the acute phase were significant risk factors for HSN. Therefore, in addition to clinical evaluation and urinalysis, blood tests were also needed to assess the risk of NHS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Syamsidah
"Latar belakang: Bayi prematur, terutama late dan moderately preterm sering mengalami masalah kesehatan terutama masalah pernapasan, yang merupakan penyebab tertinggi kematian. Gangguan pernapasan sering dialami bayi prematur hingga sering membutuhkan bantuan pernapasan. Bantuan pernapasan berupa oksigenasi dan ventilasi membutuhkan pemantauan terhadap tekanan oksigen dan CO2. Analisis gas darah merupakan baku emas untuk memantau oksigenasi dan ventilasi. Saat ini dapat dilakukan pemantauan tekanan CO2 secara non invasif dengan monitor transkutan yang dilakukan secara kontinyu. Namun, penelitian terkait pemantauan CO2 transkutan pada bayi late dan moderately preterm belum banyak dilakukan, karena umumnya penelitian dilakukan pada bayi very dan extremely preterm. Di Indonesia juga belum didapatkan data penelitian pemantauan CO2 transkutan, khususnya pada bayi late dan moderately preterm.
Tujuan: Mengetahui karakteristik bayi usia kehamilan 32-36 minggu yang mendapat bantuan pernapasan serta presisi dan akurasi alat ukur tekanan CO2 transkutan pada bayi usia kehamilan 32-36 minggu yang mendapat bantuan pernapasan.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian uji diagnostik yang menggunakan desain penelitian cross sectional. Subjek penelitian adalah 35 bayi late dan moderately preterm dengan usia kehamilan 32 – 36 minggu yang mendapatkan bantuan pernapasan di unit Neonatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta pada bulan Juli hingga Desember 2019. Bayi tersebut akan dipasangkan alat ukur tekanan CO2 dan dilakukan pengambilan sampel Analisa Gas Darah (AGD) sebanyak tiga kali dan dilakukan pencatatan nilai tekanan CO2 yang didapat dari kedua alat ukur tersebut. Hasil yang didapat kemudian dibandingkan dan diolah secara statistik untuk menentukan akurasi dan presisi dari alat uji tekanan CO2 secara transkutan.
Hasil: Berdasarkan data dari tabel korelasi, didapatkan bahwa nilai koefisien korelasi terhadap kadar CO2 pada pemeriksaan melalui AGD dan alat CO2 Transkutan secara total adalah sebesar 0,738 (p <0,001). Berdasarkan hasil ini, didapatkan bahwa alat uji tekanan CO2 secara transkutan memiliki korelasi positif sedang dengan AGD. Hal ini berarti semakin tinggi kadar CO2 pada AGD akan memberikan peningkatan nilai yang terbaca pada alat uji CO2 secara transkutan dengan kekuatan sedang. Berdasarkan grafik Bland – Altman, dapat ditentukan bahwa Level of agreement dari penelitian ini berdasarkan hasil pemeriksaan kedua alat tersebut adalah -14,46 hingga 6,9 dengan nilai mean difference dari hasil penelitian ini adalah -3,78.
Simpulan: Alat ini memiliki presisi yang kurang baik. Namun, alat ini juga memiliki korelasi positif yang kuat pada hasil pengujian dengan menggunakan uji korelasi Spearman. Berdasarkan grafik Bland-Altman yang diperoleh dari penelitian, alat ini dapat dikatakan memiliki nilai akurasi yang cukup baik. Alat ini tidak bisa menggantikan pemeriksaan baku emas tetapi hanya bersifat sebagai pelengkap dalam melakukan perawatan bayi di NICU, sehingga dapat mengurangi frekuensi pengambilan sampel darah untuk melakukan pemeriksaan baku emas.

Background: Neonates who born premature, especially late and moderately preterm, often experience health problems, especially repiratory problems, which are the highest causes of death. Respiratory disorders are often experienced by premature neonates and often need respiratory support device. Respiratory support device in the form of oxygenation and ventilation requires monitoring of oxygen and CO2 pressure. Blood gas analysis is the gold standard for monitoring oxygenation and ventilation. Currently, non-invasive CO2 pressure monitoring can be carried out with continuous transcutaneous monitoring. However, studies related to monitoring of transcutaneous CO2 in late and moderately preterm infants have not been done much, because generally research is conducted on very and extremely preterm infants. In Indonesia there is no research data on transcutaneous CO2 monitoring, especially in late and moderately preterm infants.
Objective: To determine the characteristics of 32-36 weeks gestational age neonates who receive respiratory support device and the precision and accuracy of transcutaneous CO2 measuring devices in 32-36 weeks gestational age neonates who receive respiratory support device.
Method: This study is a diagnostic test that uses a cross sectional study design. Subjects were 35 late and moderately preterm infants with 32-36 weeks gestational age who received respiratory support device at the Neonatology unit of Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) in Jakarta on July to December 2019. The neonates would be fitted with a transcutaneous CO2 and taken Blood Gas Analysis (BGA) sample three times and recording the CO2 pressure values obtained from the two measuring devices. The results obtained will be compared and processed statistically to determine the accuracy and precision of the transcutaneous CO2 device.
Results: Based on data from the correlation table, it was found that the value of the correlation coefficient on CO2 levels on examination through BGA and the Transcutaneous CO2 device in total was 0.738 (p <0,001). Based on these results, it was found that the transcutaneous CO2 device had a strong positive correlation with BGA. This means that the higher levels of CO2 in the BGA will provide an increase in the value read on the Transcutaneous CO2 device with strong strength of correlation. Based on the Bland-Altman graph, it can be determined that the level of agreement of this study based on the results of the examination of the two measurement is -14.46 to 6.9 with the mean difference from the results of this study is -3.78.
Conclusion: Transcutaneous CO2 measurement device has low precision but also has a strong positive correlation on the test results using the Spearman correlation test. Based on Bland – Altman graph from the study, the device can be said to have a good accuracy. This device can’t replace the gold standard examination but can only as a complement in taking care of neonates in the NICU, to reduce the frequency of blood sampling for conducting gold standard examinations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>