Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Juhdi Syarif
Abstrak :
Tesis ini berjudul KONSEP MANUSIA SEMPURNA PADA PEMI KIRAN IBN `ARABI, suatu kajian tentang sistem pemikiran seorang sufi-filsuf. Penelitian ini bertujuan ingin mengungkapkan pemikiran Ibn `Arabi tentang konsep asal manusia yang tertuang dalam karya-karyanya, terutama dalam kitab Al-Futuhat Al-Ma Idyyah (Wahyu-wrrhyu Me/cab) dan Fusus Al-Hikam (Untaian Hrkmab) yang ditulisnya dalam bahasa Arab. Yang dimaksud dengan konsep asal Manusia Sempuma ialah proses munctilnya manusia sempurna melalui `penampakan diri', ' manifestasi' atau `pancaran suci Ilahi' (tajalli Al Hagq) pada alam. Penelitian ini pada dasarnya merupakan penelitian kepustakaan melalui sumber utama dua karyanya, yang telah disebut di atas. Untuk memahami sistematika pemikiran Ibn 'Arabi, penulis menggunakan pendekatan fenomenologi hermeneutilsa dan kerangka berpikir yang diajukan oleh W.T. Stace tentang "paradoks panteistik". Dengan metode ini dan kerangka berpikir State, penulis berusaha mendeskripsikan pemikiran Ibn 'Arabi, terutama tentang konsep asal Manusia Sempurna yang bertumpu pada doktrin Wahdat al-Wujud, 'Kesatuan Wujud'. Tesis ini diawali dengan pemahaman tentang hubungan Tuhan dengan alam menurut Ibn `Arabi yang dirumuskannya dengan Hanwa la Huwa 'Dia bukan Dia' (He/Not He). Konsekwensi logisnya realitas ini mempunyai dua aspek: aspek ketuhanan yaitu Realitas Absolut dan aspek kernanusiaan, yaitu segala sesuatu yang relatif. Kedua aspek ini dikenal dengan istilah AI-Haqq yang dipandang sebagai esensi dari semua fenomena dan Al-Khalq sebagai fenomena yang memanifestasikan esensi tersebut. Kedua aspek ini muncul merupakan tanggapan akal semata, sedangkan pada hakikatnya segala sesuatu itu satu. Nampak di sini Ibn `Arabi memandang bahwa hanya ada satu realitas tunggal, yaitu Tuhan. Sedangkan alam fenomena hanya merupakan wadah `pancaran suci Bald' (tajalliA Hagq) saja. Dikatakan bahwa proses terjadi karma Tuhan ingin dikenal dan ingin melihat diri-Nya melalui alam tersebut. Namun alam yang serba ganda ini mash terpecah-percah tidak mampu meneri magambaran Tuhan secara sempurna, yang diibaratkan bagaikan cermin yang buram. Dan hanya pada Manusia Sempurnalah gambaran Tuhan secara utuh dapat diterima secara jelas, yang diibaratkan seperti bayangan pada cermin yang jernih. Pemikiran Ibn. `Arabi tentang Manusia Sempurna meliputi pembicaraan tentang hubungan Tuhan dengan alam. Dengan dernkian untuk mengetahui konsep Manusia Sempurna, terlebih dahulu harus mengetahui konsepnya tentang Tuhan. Dalam filsafat Barat masalah ketuhanan ini dimasukkan dalam pembicaraan teologi kodrati yang didasarkan pada akal, dan dibedakan dengan teologi kodrati yang didasarkan kepada wahyu. Dan dalam konteks ini pula, refleksi filosofis mengenai Tuhan menurut Leahy lebih sutra disebut Usafat ketuhanan dalam. bahasa Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pangarso, Soebardjo
Abstrak :
PENDAHULUAN


Pendahuluan ini berisi penjelasan mengenai latar belakang pemilihan judul dan tujuan penelitian, termasuk batasan permasalahan. Tujuan penelitian bermaksud mengungkap secara kritis masalah etika yang terkandung dalam salah satu kesusasteraan Jawa, yaitu: Serat Wulang Rah.

Latar Relakang

Etika sebagai salah satu cabang filsafat, etika dalam arti sebenarnya berarli filsafat mengenai bidang moral. Refilsafat, di dalam kebudayaan Jawa berarti perenungan dalam usaha mencapai kesempurnaan (nguchr ka sanyntPian). Manusia mencurahkan seluruh eksistensinya, baik jasmani maupun rohani, untuk mencapai tujuan itu. Dalam filsafat Jawa baik-buruk dianggap tidak terlepas dari eksistensi manusia. Bagaimana saya harus hidup dan bertindak? Dalam kesusasteraan Jawa hal ini di antaranya terkandung dalam ajaran Serat Wulangreh.
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, O.E.
Abstrak :
Berangkat dari konsepsi individu abstrak dari Hegel, telaah ini hendak menjumpakan konsepsi di atas dengan pandangan Kierkegaard tentang individu yang konkret. Roh dengan segala manifestasinya sebagaimana dijelaskan Hegel, mendapat jawaban kritis dari Kierkegaard dengan menekankan manusia konkret, yang bereksistensi, unik dan berada dalam proses perjuangan menuju hidup yang sejati. Roh dengan elaborasi sistematisnya bukanlah segala-galanya, dan tidak dapat menjelaskan seluruh masalah hidup yang benarbenar dialami, dihayati dan selalu menegangkan, mencemaskan dan terkadang menakutkan bahkan dapat membuat putus asa. Hidup adalah hidup yang konkret, dijumpai dan dihadapi dengan segala resiko yang tampak jelas dari ungkapan suasana batin dengan segala bentuk kegelisahannya. Hidup tidak dapat dikeluarkan dari situasi aktual dan lari ke dalam sistem dan teori-teori sistematis. Ringkasnya, individu itu bereksistensi sehingga hidupnya penuh dengan konflik dan problema. Sebelum memasuki perjumpaan kedua filsuf di atas, lebih dahulu akan diberikan penjelasan singkat atas telaah ini dalam bab pendahuluan. Kemudian, dalam bagian dua, titik tolak perjumpaan akan diuraikan dengan menjelaskan sistem filsafat Hegel dan Kierkegaard. Pada bagian berikut, diperlihatkan bagaimana seluruh elaborasi pemikiran Hegel berangkat untuk membenarkan konsep-konsep abstrak yang sekaligus menempatkan manusia dalam kerangka konsep yang jauh dari pengalaman hidup konkret. Dan bagian selanjutnya, sebagai jawaban atau perjumpaan kritis dengan Hegel, uraian manusia yang bereksistensi dengan segala masalah dan perjuangannya menuju hidup yang sejati dipaparkan. Akhirnya, sebagai penutup, diberikan sepintas rekapitulasi telaan dan sekaligus kontektualisasinya dengan situasi konkret di mana penulis hidup.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Untung Ongkowidjaja
Abstrak :
ABSTRAK
Melalui penulisan tesis ini pada dasarnya penulis mencoba menemukan pnnsip-prinsip yang mendasari adanya kebutuhan akan hak-hak azasi manusia. Bagaimana keterkaitan antara konsep gambaran manusia dengan tuntutan-tuntutan atau hak-hak azasi itu? Dan bagaimana menempatkan hak azasi manusia di dalam konteks yang sesuai? Jawaban terhadap masalah itulah yang hendak dikemukakan lewat tesis ini.

Dalam hipotesis penulis berasumsi bahwa setiap manusia yang dilahirkan di dunia ini, sama-sama memiliki hak untuk menjadi manusia yang seutuhnya. Namun demikian, terdapat konsep yang berbeda-beda mengenai gambaran apa yang dimaksud dengan ?manusia seutuhnya?. Karena perbedaan persepsi tentang gambaran manusia seutuhnya, maka mengakibatkan tuntutan akan hak-hak azasi yang berbeda pula. Dengan demikian, penulis berasumsi bahwa ada keterkaitan erat antara konsep citra manusia dengan tuntutan hak azasi manusia.

Pertama-tama penulis memperlihatkan prinsip Hukum Kodrat sebagai dasar legitimasi hak-hak azasi manusia khususnya lewat pemahaman John Locke. Hukum Kodrat dipandang identik dengan hukum alam dan merupakan hukum moral bagi manusia untuk mengetahui tentang yang adil dan yang tidak. Bagi John Locke Hukum kodrat adalah perintah dari Tuhan, karena itu bersifat mengiat manusia. Tuhan mempunyai kuasa untuk mewajibkan manusia melakukannya. Hukum kodrat hanya bisa dipengerti oleh makhluk rasional.

Menurut Locke manusia secara kodrati bersifat rasional, sehingga terdapat keselarasan antara hukum kodrat dan rasio manusia. Sekali manusia dilahirkan ia memiliki kesempatan untuk hidup dan menikmati kehidupan itu sendiri. Semua manusia yang dilahirkan memiliki derajat yang sama, sehingga tidak boleh saling merugikan. Jadi, gambaran manusia yang seutuhnya adalah manusia yang dapat menikmati hidup dan benda-benda yang menjadi miliknya, sesuai dengan usaha dan masing-masing individu.

Dalam rangka itu, maka tuntutan hak yang dibutuhkan adalah hak atas hidup, hak atas kebebasan dan hak atas milik pribadi. Dan hak azasi itu diperoleh berdasarkan pemberian dari Tuhan.

Kedua penulis memperlihatkan prinsip utilitarianisme sebagai dasar dalam pembemtukan hak azasi manusia, khususnya lewat pemahaman John Stuart Mill. Utilitarianisme sendiri dimengerti sebagai suatu pemahaman yang menekankan aspek kegunaan atau manfaat bagi John Stuart Mill di dalam kesenangan-kesenangan ada perbedaan-perbedaan kualitatif intrinsik. Patokan untuk melihat perbedaan kwalitatif intrinsik ini mengacu pada cita-cita tentang manusia, di mana manusia melakukan kesenangan itu dalam rangka atau berguna untuk mengembangkan dan menyempurnakan kodratnya sebagai manusia.

John Stuart Mill memahami bahwa manusia dilahirkan bukan dalam keadaan yang utuh - sempuma. Karena itu ia membutuhkan sarana untuk berkembang dan menyempumakan dirinya sebagai manusia. Masing-masing manusia memiliki perbedaan watak, dan karena keunikan inilah maka manusia membutuhkan keleluasaan untuk berkembang ke arah jadi dirinya. Di sini terdapat aspek individualitas. Pola dasarnya manusia dilahirkan makhluk rasional, maka kebahagiaan terletak pada kebebasan untuk berpikir dan berdiskusi.

Untuk itu perlu ada jaminan akan kebebasan untuk berpikir dan berdiskusi, kebebasan untuk bertindak sesuai dengan pendapatnya, sejauh tidak merugikan orang lain - di dalam rangka idividualitasnya. Selanjutnya dibutuhkan batas-batas wewenang masyarakat atas individu. Dalam hal ini pada dasarnya hak azasi manusia diperoleh berdasarkan solidaritas manusia yang hidup di dalam suatu masyarakat.

Ketiga, penulis memperlihatkan suatu pemahaman yang didasarkan pada filsafat Eksistensial-humanistik, yaitu suatu pemahaman yang menekankan adanya atau kehadiran atau eksistensi manusia yang memiliki values baik pada dirinya sendiri, maupun dalam kaitannya dengan semesta. Untuk itu penulis berusaha memaparkan pendekatan psikologis eksistensiat-humanistik Abraham Maslow.

Bagi Abraham Maslow manusia bereksistensi di dunia yang tidak kosong karena ada banyak individu di dalamnya. Manusia memiliki nilai-nilai, kebutuhan-kebutuhan dasar yang bersifat hierarkhis dan ia pun memiliki potensi-potensi alamiah, serta kemampuan untuk berkembang secara psikolagls. Setiap individu pada dasarnya dapat mengembangkan dirinya semaksimal mungkin ke arah aktualisasi diri.

Menurutnya manusia yang seutuhnya adalah manusia yang sudah mencapai taraf teraktualisasikan dirinya. Karena konsep manusia yang seutuhnya adalah manusia yang mengaktualisasikan din secara maksimai, maka ada prakondisiprakondisi yang dibutuhkan (dapat dilihat sebagai hak azasi) individu yang harus tercipta dalam suatu masyarakat. Prakondisi-prakandisi itu adalah Kemerdekaan untuk berbicara, Kemerdekaan untuk melakukan apa saja - sejauh tidak merugikan orang lain, kemerdekaan untuk menyelidiki, kemerdekaan untuk mempertahankan atau membela diri, adanya nilai-nilai atau prinsip yang beriaku atau diyakini dan dijamin, seperti keadilan, kejujuran, ketertiban, kewajaran. Dengan demikian prakondisiprakondisi yang dapat dilihat sebagai HAM dalam bahasa hukum adalah hak-hak yang tercipta atas dasar kreativitas manusia.

Melalui penelusuran ini, maka penulis menyimpulkan secara induktif bahwa pertama, terdapat prinsip-prinsip yang mendasar timbulnya kebutuhan akan HAM, yaitu prinsip Hukum Kodrat, di mana HAM diperoleh berdasarkan pemberian Tuhan; prinsip utilitarianisme, di mana HAM diperoleh berdasarkan pengakuan antar manusia yang sating berbagi dan bekeija sama atau salidaritas manusia; prinsip eksistensial humanistik, di mana HAM diperoleh melalui krativitas manusia yang bereksistensi di dalam zaman. Kedua, Terdapat kaitan yang sangat erat antara gambaran mansuia dengan hak-hak yang dibutuhkannya. Melalui kesimpulan itu, maka muncul kesimpulan ketiga bahwa gambaran-gambaran tentang manusia pada zaman dan budaya tertentu berbeda. Karena itu muncullah hak-hak yang bersifat umum dan hak-hak yang bersifat khusus. Dengan demikian HAM dapat ditempatkan dalam konteksnya dengan mempbrhatikan aspek universal dan regional.

Berkenaan dengan situasi aktual yang sedang terjadi di Indoensia, maka penulis menekankan betapa penting HAM yang didasari dengan konsep gambaran yang jelas tentang siapa manusia. HAM dilihat menjadi suatu sistem nilai atau etika di dalam menggunakan kekuasaan. HAM juga menjadi suatu etika di dalam membangun bangsa dan negara atau di dalam menyusun strategi kebudayaan itu sendiri.

1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Retnowati
Abstrak :
Tarian Angguk merupakan salah satu wujud kebudayaan masyarakat petani Purworejo, Jawa Tengah. Seni tradisional sangat erat hubungannya dengan segala ritus keagamaan dan kewajiban serta tanggungjawab kemasyarakatan yang beraneka ragam. Secara harfiah kesenian tradisional mencerminkan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu segala ekspresi kebudayaan dan masyarakat merupakan ekspresi kolektif. Dengan demikian maka muncul pertanyaan: apa yang diekspresikan oleh tarian Angguk? Dari sudut seniman, proses penciptaan seni diwarnai oleh tradisi masyarakat yang menjadi satu dalam karya seni. Peranan kondisi-kondisi psikis yang memberi peluang pada kebebasan, kepekaan dan keberanian membantu tumbuh dan berkembangnya kreatifitas. Dari sudut karya seni, tarian Angguk merupakan ekspresi perasaan dan perwujudan nilai. Nilai yang dimaksud adalah nilai kehidupan yang berbentuk pandangan hidup. Nilai lain yang tampil dan dapat ditangkap adalah nilai inderawi dan nilai bentuk. Dari sudut apresiasi masyarakat, tarian Angguk merupakan sarana untuk mencapai eksistensi yang lebih sempurna. Dengan demikian maka tarian Angguk merupakan ekspresi kebudayaan masyarakat petani di Purworejo dan sekaligus sebagai intensifikasi realitas.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Arafah Sinjar
Abstrak :
Etika salah satu cabang filsafat yang berkaitan erat dengan kehidupan manusia, termasuk di dalamnya kehidupan ekonomi. Filsafat tidak sekedar berdialog dengan realita sosial ekonomi yang ada, namun juga ikut serta menyumbangkan gagasan pemecahan permasalahan-permasalahan yang menyimpang di dalam dunia bisnis pada umumnya dan bisnis perbankan pada khususnya. Etika bisnis berusaha memberikan konstribusi pikiran untuk menjauhi penyimpangan-penyimpangan yang seharusnya sejalan dengan prinsip-prinsip etika bisnis bangsa Indonesia yang mengikat atau sistem nilai masyarakat kita. Penyimpangan dari bisnis di atas seperti halnya, gaya penipuan yang semakin canggih seperti Mark-Up, Praktek Money Laundring, sating menjatuhkan, persaingan yang tidak sehat, uang sogok/semir, kolusi pencairan dana, pembocoran rahasia, expor piktif yang menghebohkan karena merugikan negara secara materiil maupun immateriil. Manusia pebisnis bukanlah makhluk yang berdiri sendiri yang dapat mempertahankan kediriannya tanpa ada perubahan-perubahan sikap atau penampilan, namun ia merupakan sosok makhluk yang terdiri dari jasmani dan rohani, (seperti akal pikiran, emosi, perasaan dan lain sebagainya). Penulis melihat bahwa sebenarnya pedoman dasar yang bersifat normatif, atau etika bisnis yang merupakan sebagai acuan pijakan melangkah setiap pelaku bisnis maupun para pengelola dunia perbankan yang terkait cukup memadai, hanya raja dalam realitas konkrit-operasonal kita sering menemukan prinsi-prinsip etika bisnis tidak berjalan sebagaimana mestinya. Penulisan difokuskan kepada manusia secara material tetapi dari aspek tinjauan formalnya adalah prilakunya, yang berkaitan dengan moral dan etika manusia terutama yang berkaitan dengan etika bisnis perbankan. Oleh karena itu penulis akan membahas faktor-faktor eksternal maupun internal yang mempengaruhi pelaku bisnis yang mengabaikan nilai-nilai moral yang seharusnya mewarnai setiap tindakannya. Penulis memaparkan berbagai sumber yang dapat digunakan sebagai acuan mengkaji secara filosofis tentang moral dan etika bisnis. Seperti penulis menampilkan salah seorang tokoh filsafat modern yaitu Immanuel Kant sebagai salah satu pisau analisis dan refleksi filosofis. Pemikirannya banyak menyentuh unsur mentalitas manusia didalam berprilaku. Didalam era globalisasi yang semakin terbuka perlu kiranya menjaring nilai-nilai yang dianggap positif walaupun dari luar, dalam rangka menambah kekayaan wawasan untuk berprilaku yang lebih baik, sehingga etika bisnis perbankan dilndonesia semakin maju dan berkembang. Penulis yakin bahwa bilamana etika bisnis perbankan di Indonesia dijunjung tinggi maka kredibilitas dunia perbankan kita di berbagai lapisan masyarakat yang terkait semakin meningkat.
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jo Priastana
Abstrak :
Tesis ini mengungkapkan tentang Teori Tindakan Komunikasi Jurgen Habermas sebagai titik pijak dialog antar agama, dan bertujuan menyajikan kondisi, situasi dan prasyarat bagi dialog antar agama yang ideal. Pluralitas agama yang menjadi ciri bangsa Indonesia dan era globalisasi ini menjadikan berbagai penganut agama semakin intensif untuk bertemu, berkomunikasi dan berdialog. Kemajernukan agama merupakan potensi bagi terselengaarannya proses integrasi mengingat agama dalam ajarannya mewajibkan untuk menointai sesamanya dan hidup rukun. Tetapi, mengingat masing-masing agama juga memiliki klaim kebenaran terhadap agamanya sendiri, agama juga mengandung potensi untuk terjadinya konflik. Latar belakang budaya patriarkal, kesenjangan sosial ekonomi politis, maupun kwalitas penghayatan dan moralitas penganut agama juga turut mempengaruhi terjadinya konflik perbedaan agama. Penghindaran konflik atau kerukunan merupakan nilai yang terdapat dalam setiap agama maupun di dalam segenap perwujudan aktivitasnya. Kerukunan beragama yang dinamis tercermin dalam hidup beragama yang mantap, atentik, dan produktif dengan pribadi-pribadi Umat beragama yang matang, bersikap moral otonom, kritis, dan terbuka. Di antara usaha-usaha untuk mewujudkan kerukunan hidup umat beragama demikian itu adalah melalui dialog antar agama, atau dialog antar umat bergama dalam berbagai bentuknya. Dialog antar agama merupakan suatu kenisoayaan dari fakta pluralitas agama, sehingga tidak jarang dialog antar agama dewasa ini telah begitu menjadi agenda rutin dan jatuh dalam Formalisme jauh dari tujuan yang sebenarnya atau bahkan hanya menjadi sekedar instrumental-seremonial dan menghasilkan kerukunan yang semu, karena komunikasi mengalami distorsi dengan pelaku dialog secara tidak sadar menyembunyikan maksud-maksud sebenarnya. Masing-masing komunitas agama tetap tinggal pada prasangka dan klaim kebenarannya masing-masing. Teori Tindakan Komunikasi Habermas, dengan rasionalitas komunikatifnya yang ditawarkan dalam tesis ini sebagai titik pijak dialog antar agama diharapkan bisa mencairkan kebekuan yang terjadi dalam dialog antar agama yang demikian itu. Perbagai aspek dan gagasan yang terkandung dalam team tindakan komunikasi Habermas ini bisa menjadi kerangka atau titik pijak bagi terselenggaranya dialog antar umat beragama yang komunikatif, bebas dari dominasi, dan kritis terhadap maksud-maksud tersembunyi yang secara tidak sadar terdapat pada pelaku dialog. Dialog antar agama merupakan suatu praksis komunikasi dari masyarakat yang majemuk. Teori komunikasi Jurgen Habermas merupakan suatu pembaharuan dari teori kritis Sekolah Frankfurt yang telah jatuh menjadi ideologi. Habermas melihat dimensi komunikasi merupakan sebagai praksis manusia, dimana sebelumnya dalam lingkungan teori kritis yang berpatokan kepada Marxisme praksis direduksi sebagai kerja dan mensekunderkan hubungan sosial dibawah alat produksi. Habermas sebagai pembaharu teori kritis menimba pemikirannya dari warisan berbagai pemikiran filsuf sebelumnya sepanjang sejarah. Misalnya teorinya tentang rasionalitas komunikatif dan rasionalitas instrumental dapat ditelusuri kepada gagasan Arsitoteles tentang prudence dan techne, atau praksis dan poesis. Dalam mencita-citakan masyarakat yang komunikatif, Habermas merrgeritik rasionalitas instrumental seperti tarnpak dalam ilmu pengetahuan yang analitis-empiris, dan ideologis menyembunyikan maksud-maksud dan kepentingan, dan kemudian mendasarkan kepada rasionalitas komunikatif yang bersifat memahami, kritis dan emansipatoris. Gagasan tentang model-model tindakan komunikasi di dalam teori komunikasi Habermas, baik itu model teleologist normatif ,maupun dramaturgis yang berkaitan dengan klaim kebenaran, klaim kesesuaian dan klaim otentisitas sangat berguna dalam melihat perspektif komunikasi yang terjadi di dalam dialog antar agama. Dialog antar agama mengusahakan titik temu "kebenaran" dimana letak kebenaran masing-rasing agama tidak dikalahkan, perryataan dan pendapatnya tidak bertentangan (sesuai) dengan norma-norma agama yang diyakini bersifat universal, dan diungkapkan secara jujurr, otentik, dimana para peserta mendapat kesempatan yang sama mengekspresikan perasaan dan kebenarannya sehingga terjadi interaksi dan pemahaman secara timbal balik, atau tercapai konsensus yang bebas dari dominasi. Untuk mencapai pengertian timbal baiik dalam suatu dialog, Habermas juga menekankan kepada komuniti dari subyek moral. Habermas mencita-citakan suatu model diskursus etik dalam dialog ,melalui integritas kepribadian yang bisa membangun empati dan solidaritas. Untuk itu ia menengok teori perkembangan kognitif Piaget, dan teori pentahapan moral Kohlberg. Perkembangan kognitif dan moral mempengaruhi pencapaian kemarnnpuan pengertian seseorang tentang realitas yang jauh dari perspektif egosentris, dan mampu melihat segala sesuatu dari titikpandang orang lain. Hal ini tercapai pada tahap perkembangan kognitif maupun moral pasca-konvensional yaitu tahap yang membutuhkan perbenaran secara universalistik, dan moralitas otonom, mandiri yang berprinsip pada etika universal. Prasyarat subjrk moral untuk tercapainya pengertian titik balik bagi masyarakat komunikatif seperti dalam dialog antar agama adalah dimana para partisipan klarifikasi terbuka kepada prinsip etika universal, kemandirian dalam pengambilan keputusan secara sadar, terbuka, kritis, matang dan rasa hormat terhadap orang lain. Suatu dialog khususnya dibidang agama sangat memerlukan pribadi-pribadi yang mencapai tahap perkembangan moral seperti itu. Teori tindakan komunikasi Habermas sebagai kerangka atau titik pijak dialog antara agama merupakan suatu usaha menghubungkan antara keputusan moral (tahap-tahap perkembangan moral) dengan interaksi sosial, yakni upaya menyelidiki anggapan-anggapan normatif dari interaksi social (hubungan sosial) dengan menekankan dimensi komunikatif dalam dialog atau perbincangan yang rasional. Dalam konteks ini teori tindakan komunikatif Habermas merupakan upaya diskursus etika yang bersifat praktis, bukan sekedar anjuran etis yang bersifat imperatif-individual melainkan prosedur argumentasi moral melalui dialog atau perbincangan rasional untuk mencapai persetujuan timbal balik yang bersifat publik.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Franciscus Van Ylst
Abstrak :
Persoalan pokok dalam tesis ini yang berjudul, "Hakekat Ilmu Pemerintahan" ialah adanya ketidakjelasan mengenai obyek dan kedudukan Ilmu Pemerintahan terhadap ilmu-ilmu yang lain, khususnya Ilmu Politik. Peranan Filsafat menjadi penting, karena melalui kajian filsafat dan kritik filsafat dapat diketahui apa yang menjadi kelemahan ilmu dan sekaligus diketahui pula caranya untuk memperkuat landasan ilmiahnya. Teori Pertumbuhan Pengetahuan dari Karl Popper, yang menyatakan bahwa pengetahuan bertolak dari problem dan ilmu bertolak hanya dengan problem menjadi relevant dalam penulisan tesis ini. Ilmu pemerintahan oleh sejumlah sarjana Ilmu Politik, dipersoalkan mengenai ada atau tidaknya ilmu tersebut. Jadi Ilmu Pemerintahan menghadapi problem utamanya, yaitu tentang keberadaannya. Polemik terhadap Ilmu Pemerintahan telah berlangsung lama dan menahun. Bagi Karl Popper problem tersebut sangat menguntungkan bagi ilmu yang bersangkutan. Karena bertolak dari "Teori Pertumbuhan Pengetahuan", problem yang dialami oleh Ilmu Pemerintahan harus menjadi pendorong terhadap tumbuhnya upaya-upaya untuk mempertahankan dan memperkuat landasan ilmiahnya. Dalam penulisan tesis ini, dikemukakan 2 anggapan dasar: 1. Jika Ilmu Pemerintahan dapat dibedakan antara obyek materia dan obyek formanya, maka sebagai disiplin limu Pemerintahan menjadi tegas dan jelas untuk dibedakan dengan ilmu-ilmu lainnya. 2. Jika Ilmu Pemerintahan dapat dikondisikan untuk dapat mengikuti prosedur metode problem solving, maka sebagai sebuah ilmu dapat tumbuh dan berkembang secara mantap. Hakekat Ilmu Pemerintahan adalah juga sama dengan Hakekat Ilmu Pengetahuan, hanya obyek formanya yang membedakan. Secara universal elemen-elemen yang membentuk Ilmu Pengetahuan juga berlaku sama untuk elemen-elemen yang membentuk Ilmu Pemerintahan. Keberadaan Ilmu Pemerintahan harus dapat dilihat dengan standard prosedur yang sama dengan ilmu pengetahuan lainnya. Ilmu Pemerintahan sebagai ilmu pengetahuan memiliki struktur dan prosedur yang sama. Arti struktur ialah kumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematik, sedangkan prosedur disebut juga dengan metode ilmiah merupakan suatu rangkaian langkah yang tertib dan berlaku untuk setiap ilmu agar supaya ilmu pengetahuan itu berjalan dengan langkah yang benar dan teratur. Melihat sejarah Yunani kuno untuk membahas hubungan antara Filsafat Politik dan Ilmu Pemerintahan. Hal ini sangat panting guna memperoleh silsilah antara ilmu induk dan ilmu cabang. Melalui tokoh Filsafat Politik Plato dapat dipelajari bagaimana awal mula terjadinya pemikiran tentang apa yang disebut "politik" dan hubungannya dengan Ilmu Pemerintahan. Salah satu pendapat yang dapat disetujui oleh berbagai ahli bahwa lapangan penyelidikan Ilmu Pemerintahan adalah menyangkut tanggung jawab dan peranan yang menuntut adanya keterlibatan yangsangat besar dari pemerintah untuk dapat meningkatkan kemakmuran rakyat banyak. Menurut pendapat dari Soltau dan Gilchrist, ruang lingkup Ilmu Pemerintahan meliputi, 1. Pemerintahan menurut keadaannya sekarang 2. Pemerintahan sebagaimana yang lalu 3. Pemerintahan sebagaimana harusnya Selain pendapat tersebut di atas ruang lingkup Ilmu Pemerintahan menyangkut juga pembuatan dan pelaksanaan dari keputusan politik menjadi kebajikan pemerintah. Pendapat aristoteles yang dikutip dari Prof. Dr.A. Hoogerwerf menyebutkan lingkup pemerintahan adalah mempelajari bentuk-bentuk pemerintahan. Ilmu alpha dan beta mempunyai kekhususan sendiri mengingat gejala yang ditangkap juga tidak sama. Ilmu Pemerintahan digolongkan sebagai ilmu alpha. Ilmu alpha yaitu ilmu-ilmu budaya, artinya kejadikan sebagai obyek yang dipelajari adalah "peristiwa berulang-ulang" dan sebagai akibat dari keberulangan itu dapat dijabarkan hukum-hukum ilmu pasti. Obyek yang berbeda akan membedakan pula metode yang akan dipergunakan. Ada empat metode yang sering dipakai pada obyek Ilmu Pemerintahan 1. Metode Filosofis 2. Metode Historis 3. Metode Eksperimen 4. Metode Deskriptif Ilmu Pemerintahan sebagai ilmu yang mempunyai tujuan tertentu memerlukan kurikulum sebagai alat dalam kegiatan proses belajar mengajar. Pada sub bab ini juga dikemukakan beberapa contoh kurikulum Ilmu Pemerintahan yang diajarkan pada beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia. Penulis mengutip beberapa definisi tentang Ilmu Pemerintahan dari sejumlah ahli Ilmu Politik dan Pemerintahan, sehingga dapat di peroleh gambar bahwa ada sejumlah persamaan dasar, yaitu 1. Jalannya Pemerintahan 2. Mengatur ketentraman dan ketertiban masyarakat 3. Mewujudkan kemakmuran rakyat Politik, Pemerintahan dan Kekuasaan adalah 3 aspek yang berakar pada substansi kekuasaan. Kekuasaan sebagia substansi dari Politik dan Pemerintahan dapat diartikan sebagai kekuasaan itu sendiri adalah abstrak letapi perwujudannya dapat kita lihat dan rasakan sebagaimana diartikan adanya "kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library