Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Upik Anggraheni Priyambodo
"

Latar belakang: Suplementasi mikronutrien untuk wanita pada masa prakonsepsi, khususnya zinc dan kalsium, terbukti penting untuk maturasi oosit dan ovulasi. Namun, peran zinc dalam mempromosikan kualitas oosit dan potensi perkembangannya belum diketahui secara jelas. GDF9, anggota superfamili TGF b yang disekresikan dari oosit selama proses folikulogenesis, terbukti dapat menjadi biomarker maturasi nuklear oosit dan kualitas embrio. Tujuan: Studi potong lintang ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kadar zinc dan kalsium dalam serum dan cairan folikel dengan ekspresi GDF9 terhadap maturasi oosit. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah kadar zinc dan kalsium dalam serum dapat mewakili kadar zinc dan kalsium dalam cairan folikel. Metode: Studi ini dilakukan pada 25 subjek penelitian yang menjalani program fertilisasi in vitro di Poliklinik Yasmin RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana. Darah vena sebanyak 6 cc diambil pada hari ovum pick up (OPU) dan kemudian dianalisis di laboratorium untuk mengetahui kadar zinc, kalsium, dan protein GDF9. Cairan intrafolikuler dan sel granulosa juga akan diambil dan diperiksa kadar zinc dan kalsium dari cairan intrafolikuler serta ekspresi mRNA GDF9 dari sel granulosa. Hasil:  Dari 25 subjek penelitian, 12 subjek (48%) di antaranya dikategorikan ke dalam kelompok angka maturasi oosit baik (berdasarkan indikator oosit matur dari konsensus Vienna) serta 13 (52%) sisanya dikategorikan ke dalam kelompok angka maturasi oosit buruk. Dari uji korelasi antara kadar zinc dan kalsium dalam serum dengan cairan folikel, kadar zinc folikel terbukti berkorelasi secara signifikan dengan kadar zinc serum (p = 0,019). Kadar GDF9 serum juga terbukti berkorelasi secara signifikan dengan ekspresi GDF9 (p = 0,047). Tidak didapatkan korelasi yang bermakna antara kadar zinc dan kalsium serum dengan kadar GDF9 serum serta ekspresi mRNA GDF9 dari sel granulosa terhadap angka maturasi oosit (p > 0,05). Kesimpulan: Kadar GDF9 serum dapat menjadi pengganti biomarker untuk kualitas oosit. Tidak didapatkan hubungan antara kadar zinc dan kalsium dalam serum atau cairan folikel terhadap kadar GDF9 serum atau ekspresi mRNA GDF9 dari sel granulosa terhadap angka maturasi oosit.


Background:  Micronutrient supplementation for women during preconception, especially zinc and calcium, is critical for oocyte maturation and ovulation. However, the role of Zinc in promoting quality of oocytes has not yet been elucidated. GDF9, one of oocyte sereting factor, has been proven to be a biomarker of maturation of nuclear oocyte and quality of embryo. Aim: to investigate any relationship between zinc and calcium levels in serum and follicular fluid and GDF9 expression towards maturation of oocytes. In addition, this study also aimed to determine whether zinc and calcium levels in serum could represent zinc and calcium levels in follicular fluid. Method: This cross-sectional study was conducted on 25 subjects who underwent IVF programs at the Yasmin Policlinic, RSCM Kencana. Six mililiters of venous blood was taken on the day of the ovum pick up (OPU) and then analyzed in the laboratory to determine the levels of zinc, calcium, and protein GDF9. In addition to venous blood, intrafollicular fluid and granulosa cells will also be taken and examined zinc and calcium levels from intrafollicular fluid and GDF9 mRNA expression from granulosa cells. Result: 12 (48%) out of 25 subjects were categorized into high oocyte maturation rate (based on Vienna consensus on oocyte maturation rate), and the other 13 (52%) were categorized into low oocyte maturation rate. Follicular zinc levels were significantly correlated with serum zinc levels (p = 0,019). Serum GDF9 levels were also significantly correlated with expressions of GDF9 mRNA (p = 0,047). No significant correlation was found between serum levels of zinc and calcium and serum GDF9 levels or GDF9 mRNA expression towards maturation of oocytes (p > 0,05). Conclusion: Serum GDF9 might substitute for follicular GDF9 as a biomarker of oocyte quality. There is no relationship between serum or follicular zinc/calcium levels and serum GDF9 levels or GDF9 mRNA expression from granulosa cells towards oocyte maturation rates.

 

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liem, Raissa
"Pendahuluan: Obstetric Anal Sphincter Injuries (OASIS) merupakan salah satu komplikasi luaran partus pervaginam yang cukup sering ditemukan, mencapai 4,53% dari total persalinan pervaginam. Kejadian OASIS juga dikaitkan dengan peningkatan risiko inkontinensia fekal (IF) yang berpengaruh terhadap kualitas hidup seseorang. Pada penelitian ini akan dijabarkan karakteristik dari pasien yang mengalami OASIS di RS Tersier di Jakarta pada tahun 2014-2016 dan luaran inkontinensia fekal pada populasi tersebut.
Metode: Penelitian ini merupakan studi deskriptif karakteristik pasien pasca reparasi OASIS di RSUPN Cipto Mangunkusumo, RS Persahabatan, dan RS Fatmawati tahun 2014- 2016. Dari total 234 pasien, 58 pasien berhasil dihubungi dan diwawancara dengan kuesioner RFIS untuk mengetahui luaran inkontinensia fekal. Dari 58 pasien, 16 pasien datang untuk USG tranperineal untuk penilaian otot sfingter ani pasca reparasi. Data dianalisis menggunakan SPSS 20.
Hasil Penelitian: Dari total 234 sampel, rerata usia pasien adalah 26,64 tahun, dengan rerata IMT 23,4 kg/m2. Sebagian besar pasien (67,5%) adalah primipara, dengan rerata durasi partus kala II selama 45,1 menit. Tindakan episiotomi dilakukan pada 40,6% pasien, persalinan spontan pada 153 (65,4%) pasien, dengan rerata berat lahir 3217 gram. Dari 58 pasien yang bisa dihubungi, keluhan inkontinensia fekal didapatkan pada 3 orang (5,2%) pasca OASIS dengan berbagai tingkat keparahan (ringan, sedang, dan berat). Dari 16 pasien yang datang untuk USG, ditemukan defek pada EAS pada 3 pasien, dan IAS pada 2 pasien. Kelima pasien tersebut tidak memiliki keluhan IF.
Diskusi: Penelitian ini merupakan studi deskriptif terhadap karakteristik pasien dengan OASIS, dan juga sebagai studi awal terhadap kejadian inkontinensia fekal pada populasi OASIS. Didapatkan 3 dari 58 pasien pasca reparasi primer OASIS mengalami inkontinensia fekal. Angka ini cukup rendah dibandingkan studi lain. Hal ini dapat disebabkan adanya perbedaan populasi penelitian. Pasien dengan keluhan IF yang memiliki sfingter ani yang intak pada penelitian ini menunjukkan bahwa kontinensia tidak hanya dipengaruhi oleh sfingter ani, namun juga faktor lain seperti otot dasar panggul dan persarafan disekitarnya.
Kesimpulan: Luaran dari reparasi primer OASIS ditemukan beragam dari penelitian ke penelitian. Karakteristik pasien memiliki peran yang penting dalam menentukan angka kejadian OASIS dan juga luaran pasca reparasi. Untuk mengetahui hal tersebut, diperlukan penelitian lanjutan dengan jumlah sample yang lebih besar.

Introduction: Obstetric Anal Sphincter Injuries (OASIS) is a quite common complication of vaginal delivery. It reaches 4,53% from total vaginal delivery. OASIS is associated with an increased risk of fecal incontinence, which affect one's quality of life. The incidence of OASIS and fecal incontinence differs from one study to the others. In this study, characteristics of patients with OASIS in tertiary hospital in Jakarta year 2014-2016 and fecal incontinence outcome among those patients will be described.
Methodology: This study is a descriptive study for characteristics of OASIS patients after primary repair in Cipto Mangungkusumo Hospital, Persahabatan Hospital and Fatmawati Hospital from year 2014-2016. From total 234 patients, only 58 patients could be contacted, and interviewed using Revised Fecal Incontinence Score (RFIS) questionnaires. From total 58 patients, only 16 patients came for further transperineal utlrasound. Data were analized using SPSS 20.
Results: From total 234 patients, mean patient's age is 26.6 years old, with mean BMI 24.8 kgs/m2. Most of the patients are nulliparous (67,5%), with median duration of second stage of labor 45 minutes. Episiotomy was not performed on most patients (59.4%), and most of them underwent spontaneous vaginal delivery (65,4%), with mean baby birthweight 3217 grams. From 58 patients that could be contacted, 3 patients had fecal incontinence complaint (5,2%). From those 58, 16 came for transperineal ultrasound examination, and anal sphincter defects were found in 5 patients, 3 with EAS, and 2 with IAS. All 5 patients did not have any fecal incontinence symptoms.
Discussion: This study is a descriptive study of OASIS patient's characteristics and also as a preliminary study for the incidence of fecal incontinence among OASIS population in Jakarta. The number of fecal incontinence in this study can be considered low (3 out of 58), compared to others. This could be due to differences in study population. Patient with fecal incontinence who has intact anal sphincter in this study shows that incontinence is influenced not only by anal sphincter, but also by other factor such as pelvic floor muscle and surrounding nerve innervation.
Conclusion: The outcomes of primary reparation of OASIS are varied within studies. Patient's characteristics might play an important role in influencing the incidence of OASIS as well as the outcome after reparation. A further study with a bigger sample is necessary."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grace Joselini Corlesa
"Latar Belakang. Kejadian Female Athlete Triad (FAT) merupakan salah satu
permasalahan yang masih umum ditemukan pada atlet remaja perempuan, yang melibatkan
rendahnya ketersediaan energi, gangguan siklus menstruasi, dan rendahnya densitas massa
tulang. Berbagai studi menunjukkan risiko lebih tinggi terkait kejadian FAT ditemukan
pada kelompok cabang olahraga individual yang menekankan pada daya tahan, estetika,
dan berat badan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik atlet remaja
perempuan dan stratifikasi risiko FAT terhadap atlet remaja perempuan berdasarkan
masing-masing cabang olahraga yang ditekuni serta hubungannya dengan jenis olahraga
individu maupun kelompok Metode. Studi potong lintang analitik ini dilakukan 88 pada
atlet remaja perempuan berusia 15-18 tahun di Pusat Pendidikan dan Latihan X,
berlangsung sejak Agustus sampai September 2019. Setiap subjek penelitian akan
mengikuti proses wawancara, pemeriksaan fisik, antropometri, pemeriksaan densitas massa
tulang dengan Dual X-Ray Energy Absorptiometry (DXA) yang kemudian dimasukkan ke
dalam stratifikasi risiko FAT Hasil. Dari 88 subjek penelitian, didapatkan sebanyak 75%
atlet dengan risiko rendah FAT, 23,9% risiko sedang FAT, dan 1,1% risiko tinggi FAT.
.Cabang olahraga senam, pencak silat, dan bola voli merupakan cabang olahraga dengan
risiko FAT sedang-tinggi lebih banyak dibandingkan dengan cabang olahraga lainnya.
Berdasarkan stratifikasi risiko FAT , tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara
jenis olahraga individu kelompok (p=0,609) Kesimpulan. Proporsi risiko rendah FAT
lebih banyak ditemukan pada atlet dalam penelitian ini, namun demikian perlu dilakukan
edukasi lebih lanjut mengenai risiko FAT dan pentingnya asupan kalori kepada atlet,
pelatih dan orang tua atlet. Tidak didadapatkan hubungan antara jenis olahraga dengan
stratifikasi risiko FAT.

Background. Female Athlete Triad (FAT) remains as a common problem on adolescent
female athletes, which is divided in three major aspects, such as low energy availability,
menstrual dysfunction, and low bone mass density. Studies showed higher risk of FAT in
individual sports athletes, focusing in endurance, aesthetic, and weight classification. The
purpose of this study was to determine the associations between type of sports and FAT
risk stratification in adolescent female athletes Method. This cross-sectional analytical
study was conducted on 88 adolescent female athletes aged 15-18 years at the education
and training center, taking place from August to September 2019. Each subject will follow
the interview process, physical examination, anthropometry, examination of bone mass
density with Dual X -Ray Energy Absorption (DXA) then classified using FAT risk
assessment score Results. From 88 subjects, 75% of athletes with low risk of FAT were
found, 23.9% of moderate risk of FAT, and 1.1% of high risk of FAT. Gymnastics, pencak
silat, and volleyball are sports with moderate to high risk of FAT compared to other sports.
Based on FAT risk stratification, no significant relationship was found between the types
of sports-individual and group (p = 0.609) Conclusion. The proportion of low risk FAT
is more found in the athletes in this study, however further education needs to be done
about the risk of FAT and the importance of calorie intake to athletes, coaches and
athletes parents. There is no association between the type of sports and FAT risk
stratification."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyuni Saddang
"Pendahuluan : Adenomiosis adalah sebuah kelainan jinak ginekologi dengan insidensi diperkirakan 20%, dimana kondisi ini berkaitan dengan nyeri pelvis kronis serta infertilitas. Saat ini pilihan terapi adenomiosis terbatas pada meringankan gejala menggunakan antinyeri, manipulasi hormon, dan pembedahan dengan efek samping yang signifikan dan dikontraindikasikan pada wanita yang ingin hamil. Salah satu pilihan terapi yang sedang dikembangkan saat ini adalah microRNA. Telah diketahui sebelumnya bahwa terdapat penurunan ekspresi E-Cadherin pada pasien adenomiosis, dimana salah satu yang meregulasi E-Cadherin adalah microRNA-10b. Selain itu diketahui microRNA-let-7a, yang mempengaruhi ekspresi gen KRAS, mengalami disregulasi pada berbagai kondisi dengan proliferasi abnormal, seperti pada kondisi keganasan.
Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara ekspresi microRNA let-7a terhadap KRAS dan microRNA-10b terhadap E-Cadherin pada jaringan endometrium adenomiosis dan jaringan endometrium non-adenomiosis.
Desain : Studi potong lintang dengan analitik komparatif dan analitik korelasi.
Material dan Metode : Sampel penelitian didapat dari total 31 wanita yang datang berobat ke poliklinik ginekologi atau klinik fertilitas RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, dengan 17 subyek dimasukkan ke dalam kelompok adenomiosis, dan 15 subyek ke dalam kelompok non-adenomiosis. Sampel dari tiap subyek diambil melalui tindakan histeroskopi, laparoskopi, maupun laparotomi operatif, bergantung pada indikasi masing-masing subyek. Pada masing-masing sampel kemudian dilakukan pengukuran kadar ekspresi microRNA-10b, microRNA-let-7a, E-Cadherin, serta KRAS.
Hasil : Terdapat perbedaan signifikan ekspresi E-Cadherin antara kelompok adenomiosis dan non-adenomiosis (P=0,001). Sementara itu tidak ditemukan perbedaan signifikan pada ekspresi microRNA-10b, microRNA-let-7a, dan KRAS antara kedua kelompok. Uji korelasi menunjukkan korelasi negatif lemah antara ekspresi microRNA-let-7a dengan KRAS pada kelompok non-adenomiosis (R=-0.287; P=0.3), namun tidak pada kelompok adenomiosis. Terdapat korelasi negatif lemah antara ekspresi microRNA-10b dengan E-Cadherin pada kedua kelompok sampel.
Kesimpulan : Terdapat perbedaan signifikan pada ekspresi E-Cadherin antara kelompok adenomiosis dan non-adenomiosis. Terdapat korelasi negatif lemah antara ekspresi microRNA-let-7a dengan KRAS pada kelompok non-adenomiosis.

Introduction : Adenomyosis is a benign gynecologic disorder with incidence estimation up to 20%. This condition is strongly associated with chronic pelvic pain and infertility. Until now, treatments of this disorder are limited to symptomatic relief using painkillers, hormonal therapy, and surgical procedure. But these treatments come with significant side effects and are contraindicated for women planning to conceive. One of the therapeutic options currently being developed is microRNA. It has been known previously that there is a decrease in the expression of E-Cadherin in adenomyosis patients. And one of the factors that regulates E-Cadherin is microRNA-10b. In addition, microRNA-let-7ahas been discovered to affect KRAS gene expression, and it is dysregulated in various conditions with abnormal proliferation, such as in conditions of malignancy.
Purpose : The purpose of this study is to observe the correlation between expression of microRNA-10b and E-Cadherin, microRNA-let-7a and KRAS, in endometrial tissue of adenomyosis and non-adenomyosis patients.
Design : Cross-sectional study using comparative and correlation analytic.
Materials and Methods : Samples were collected from 31 women at gynecology and fertility clinic in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Subjects are categorized into two groups, adenomyosis group with 17 subjects, and non-adenomyosis group with 15 subjects. Samples were taken through hysteroscopy, laparoscopy, or laparotomy, depending on the procedure indications for each subject. The expression of microRNA-10b, microRNA-let-7a, E-Cadherin, and KRAS then analyzed from each sample.
Result : A significant difference was found in E-Cadherin expression between adenomyosis and non-adenomyosis groups (P=0.001). No significant differences were found in the expression of microRNA-10b, microRNA-let-7a, and KRAS between the two groups. A weak negative correlation was found between the expression of microRNA-let-7a and KRAS in non-adenomyosis group (R=-0.287; P=0.3), but not in adenomyosis group. A weak negative correlation was found between the expression of microRNA-10b and E-Cadherin in both groups.
Conclusion : In this study we observed significant difference in E-Cadherin expression between adenomyosis and non-adenomyosis groups; a weak negative correlation between the expression of microRNA-let-7a and KRAS in the non-adenomyosis group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Prawiro Tantry
"Latar belakang: Hysterosalpingo-foam sonography (HyFoSy), yang merupakan teknologi pemeriksaan patensi tuba yang baru dan bersifat bedside dengan nilai diagnostik yang lebih superior dan tingkat kenyamanan pasien yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemeriksaan HSG, telah diperkenalkan dan diuji untuk pertama kalinya di Indonesia pada penelitian ini. Sekitar 15% pasangan suami istri mengalami subfertilitas dan masalah tuba berkontribusi pada 40 % subfertilitas di negara-negara Asia yang sedang berkembang. Alhasil, dibutuhkan modalitas evaluasi patensi tuba yang feasible dan ditoleransi dengan baik yang dapat disebar secara merata di daerah geografis Indonesia yang luas demi akses yang dini dan mudah terhadap penanganan subfertilitas. Hal ini dapat diwujudkan oleh utilisasi HyFoSy yang merupakan prosedur bedside selama sekitar 10 menit yang hanya membutuhkan mesin USG transvaginal dan kit busa ExEm yang mengandung hidroksietilselulosa-gliserol.
Tujuan: Untuk mengetahui apakah HyFoSy dapat menggantikan HSG sebagai lini pertama evaluasi patensi tuba pada pasien subfertilitas di RSCM dengan meneliti tingkat kesesuaian dan efek samping antara kedua prosedur tersebut.
Metode: Dua puluh pasien subfertilitas di RSCM telah direkrut secara convenience dari bulan Januari 2018 hingga Januari 2019 yang menjalani kedua prosedur HSG dan HyFoSy dengan interval minimal 48 jam. Data terkait patensi tuba dan efek samping yang ditimbulkan dalam 24 jam pasca prosedur dikumpulkan dan dibandingkan.
Hasil: Pada penelitian ini telah direkrut 20 sampel pasien subfertilitas (40 tuba fallopi). Pada 2 subjek, stenosis ostium uteri interna diidentifikasi pada prosedur HyFoSy. Dari 36 tuba falopi yang tersisa yang menjalani evaluasi patensi tuba yang adekuat dengan HSG dan HyFoSy, kesesuaian terlihat pada 81% kasus dengan nilai kappa 0,42 yang merupakan kesesuaian moderat. Rasa nyeri yang diukur dengan menggunakan skor VAS menunjukkan rasa nyeri yang lebih rendah secara signifikan (p <0,001) pada prosedur HyFoSy dengan nilai VAS 1,8 ± 1,4 bila dibandingkan dengan rasa nyeri pada prosedur HSG dengan nilai VAS 5,4 ± 2,4. Tujuh dari 20 pasien mengalami efek samping akibat HSG, seperti kram perut, bercak dari jalan lahir, sakit punggung, dan kembung, dibandingkan dengan hanya satu subjek yang mengeluhkan bercak dari jalan lahir akibat HyFoSy. Tidak ada reaksi hipersensitifitas yang diamati pada semua subjek selama prosedur HSG dan HyFoSy.
Kesimpulan: Dengan tingkat kesesuaian moderat sebesar 81% (nilai kappa 0,42) serta tingkat nyeri yang secara signifikan lebih rendah (p < 0,001), maka HyFoSy dapat menjadi alternatif pengganti HSG sebagai lini pertama pemeriksaan patensi tuba pada pasien subfertilitas di RSCM maupun di daerah-daerah lain di Indonesia yang tidak memiliki fasilitas HSG.

Background: Hysterosalpingo-foam sonography (HyFoSy), a recent bedside tubal patency evaluation technology with superior diagnostic value and patinet:s acceptability as compared to HSG had been introduced and tested for the first time in Indonesia in this study. Subfertility was found in approximately 15% of couples and 40% of cases was attributed to tubal factor in developing Asian countries. Therefore, there is a need in the geographically scattered Indonesia to possess a feasible and well tolerated tubal patency examination modality for earlier and easier access to subfertility management. This need can be addressed by utilizing HyFoSy that was a 10 minute bedside procedure that only requires transvaginal ultrasonography machine and ExEm foam kit containing hydroxyethylcellulose-glycerol.
Aim: To evaluate whether hysterosalpingo-foam sonography (HyFoSy) can replace HSG as first-line evaluation for tubal patency in subfertile Indonesian patients by evaluating agreement level and comparing patients’ subjective complaints.
Methods: Twenty subfertile female patients at Ciptomangunkusumo Central General Referral Hospital (RSCM) from January 2018 to January 2019 were recruited conveniently to undergo both HSG and subsequent two-dimensional transvaginal HyFoSy after a minimum interval of 48 hours. Data on tubal patency and side effects inflicted by each examination within 24 hour was collected.
Results: There were 20 subjects enrolled in this study. In 2 subjects, stenosis of internal uterine ostium was identified on HyFoSy procedure. Out of 36 remaining tubes undergoing adequate tubal patency evaluation by HSG and HyFoSy, agreement was seen in 81% cases (kappa value 0.42). Less pain (p<0.01) was experienced in HyFoSy as compared to HSG, with mean VAS of 1.8±1.4 cm and 5.4±2.4 cm, respectively. Seven of 20 patients experienced side effects due to HSG, such as abdominal cramp, spotting, backache, and bloating, in contrast to only one subject experiencing spotting due to HyFoSy. There was no hypersensitivity reaction observed in all subjects during HSG and HyFoSy procedure.
Conclusions: In terms of evaluating tubal patency, HyFoSy had an moderate agreement with HSG with agreement in 81% cases with kappa value of 0.42. HyFoSy was shown to cause significantly less pain (p < 0.001) and cause less side effects compared to HSG. Therefore, HyFoSy may be an alternative to replace HSG as the first line tubal patency examination for subfertility patients in RSCM or other areas in Indonesia with difficult access to HSG.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suhartiningsih
"Sel punca perinatal saat ini menjadi alternatif yang potensial bagi ketersediaan sel punca, baik dalam bidang riset maupun klinis. Salah satu yang diharapkan adalah Wharton's Jelly dari persalinan preterm yang merupakan sumber sel punca mesenkim. Karakteristik dan ekspresi antigen permukaan HLA-ABC dan HLA-G pada sel punca mesenkim Wharton's Jelly persalinan preterm belum banyak diketahui. Kedua molekul imunomodulator ini turut berperan dalam menentukan sifat supresi imun pada sel mesenkim, yang sangat dibutuhkan pada transplantasi allogenik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ekspresi antigen permukaan HLA-ABC dan HLA-G sel punca mesenkim WJ dari persalinan preterm dan dibandingkan pada berbagai suplemen medium kultur. SPM-WJ dikultur dalam medium DMEM 10 FBS, DMEM 10 PRP dan Mesencult. Sel yang telah konfluens dipanen, dan ditumbuhkan kembali pada wadah yang baru pasase dengan medium yang sama. Pada pasase 3 dan 5 dilakukan uji karakteristik antigen permukaan HLA-ABC dan HLA-G dengan menggunakan flowcytometry. Ekspresi HLA-ABC dan HLA-G sampel preterm Wharton's Jelly menunjukkan kecenderungan lebih hypoimmunogenic daripada sampel aterm dan lebih sesuai pada suplemen medium kultur PRP.Sel punca mesenkim WJ dari persalinan preterm dapat digunakan sebagai salah satu alternatif sumber sel punca mesenkim untuk aplikasi terapi regeneratif.

Perinatal stem cells is an potential alternative to the availability of stem cell, both in the research and clinical field. One would have expected is Wharton's Jelly from preterm delivery that is the source of mesenchymal stem cells. Characteristics and expression of surface antigen HLA ABC and HLA G on mesenchymal stem cells derived Wharton's Jelly from preterm delivery little has been known. Both of these immunomodulatory molecules play a role in determining the nature of immune suppression in mesenchymal stem cells, which are needed on the allogenic transplantation. This study aims to determine the expression of surface antigen HLA ABC and HLA G WJ mesenchymal stem cells from preterm delivery and compared on different culture media supplements. WJ MSC was cultured with the followings media DMEM 10 FBS, DMEM 10 PRP and Mesencult. Cells reaching confluence were harvested and regrown in different containers, but with the same media. Cell passaging was carried out until the fifth passage, and the characterization of HLA ABC and HLA G surface antigens were performed on the third and fifth passages. The expression of HLA ABC and HLA G at the Wharton's Jelly preterm samples tends more hypoimmunogenic than the term sample and more appropriate to the culture medium supplement PRP. Mesenchymal stem cells derived Wharton's Jelly from preterm delivery can be used as an alternative source of mesenchymal stem cells for regenerative therapy applications."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marcel Elian Suwito
"Latar belakang: Histerektomi merupakan tindakan operasi non-obstetrik terbanyak dengan prevalensi menurut CDC tahun 2011-2015 sebesar 3,2% pada perempuan usia <45 tahun. Uterus berperan baik secara langsung ataupun tidak langsung dalam produksi prostasiklin. Prostasiklin yang dihasilkan bersifat sebagai agen vasodilator pembuluh darah yang bersifat kardioprotektif. Prosedur histerektomi dengan atau tanpa konservasi ovarium mempengaruhi kadar konsentrasi prostasiklin secara sistemik sehingga meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Oleh karena itu prosedur histerektomi khususnya pada perempuan usia <45 tahun perlu dipertimbangkan.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan tekanan darah sistolik, diastolik dan mean arterial pressure (MAP) pasca prosedur histerektomi.
Metode: Studi ini merupakan studi kohort prospektif terhadap pasien yang dilakukan prosedur histerektomi total dengan atau tanpa konservasi ovarium di RSCM selama Juli 2018-Juli 2020. Data klinis diambil melalui rekam medis, wawancara dan pemeriksaan fisik pada pasien. Sampel kemudian dikelompokkan menjadi kelompok pasien histerektomi total (HT) atau dengan konservasi ovarium (HTSOU) dan kelompok pasien histerektomi salfingo-ooforektomi bilateral (HTSOB), dan dibagi menjadi kelompok usia <40 tahun dan 40-45 tahun. Setelah itu data karakteristik pasien disajikan dalam bentuk karakteristik, sedangkan uji bivariat dilaksanakan menggunakan uji t-tes berpasangan apabila data tersebar normal dan uji Wilcoxon apabila data tersebar secara tidak normal.
Hasil: Dari jumlah sampel 80 pasien, didapatkan peningkatan bermakna dalam 12 bulan pasca tindakan pada kelompok pasien HT/HTSOU terhadap tekanan darah sistolik (p=0.012), diastolik (p=0.004), MAP (p=0.002) , sedangkan peningkatan bermakna sudah dapat dilihat dalam 6 bulan pada kelompok pasien HTSOB (sistolik p=<0.001, diastolik p=<0.001, MAP p=<0.001). Pada kelompok usia <40 tahun , didapatkan peningkatan bermakna dalam 12 bulan pasca tindakan pada kelompok pasien HT/HTSOU terhadap tekanan darah sistolik (p=0.006), diastolik (p=0.023), MAP (p=0.01) sedangkan pada kelompok HTSOB peningkatan bermakan sudah terlihat dalam 6 bulan (sistolik p=0.001, MAP p=0.032).
Simpulan: Didapatkan peningkatan bermakna tekanan darah sistolik, diastolik dan MAP pada kelompok pasien HTSOB dalam 6 bulan dan kelompok HT/HTSOU dalam 12 bulan.

Background: Hysterectomy is the most common non-obstetric surgery in adult, reproductive age women. Hysterectomy with or without ovarian conservation is known to increase the risk of cardiovascular disease. However, only a few studies regarding its immediate and short-term effect on hypertension are available. This study aimed to determine changes in blood pressure after a hysterectomy procedure.
Methods: This study is a prospective cohort study of patients who underwent a total hysterectomy procedure with or without ovarian conservation at Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia, from July 2018 to July 2020. Samples were grouped into patients with total hysterectomy only or hysterectomy with ovarian conservation (HT/HTSOU) and bilateral salpingo-oophorectomy hysterectomy (HTSOB). Statistical analysis was done using paired t-test and Wilcoxon test.
Results: There were 80 patients included in this study (40 for each group). A significant increase in all blood pressure components was observed at 12 months after the procedure in the HT/HTSOU patient group (p < 0.05), while a significant increase was already observed at 6 months after the procedure in the HTSOB group (p < 0.05).
Conclusion: There was a significant increase in all blood pressure components in the HTSOB group at 6 months and the HT/HTSOU group at 12 months following hysterectomy.
Keywords : diastolic, Hysterectomy, mean arterial pressure, Hypertension, systolic
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Rangga Putera
"Sepertiga masa kehidupan perempuan berlangsung dalam periode menopause, dengan lebih dari 80 % perempuan yang melaporkan gejala klimakterik dengan berbagai keluhan dan akibat pada tingkat kualitas kehidupan. Diabetes Melitus tipe 2 (DMT2) menyebabkan perubahan metabolik yang dapat menyebabkan menopause dini dan memperburuk gejala klimakterik. Penelitian kami bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara gangguan tingkat kualitas hidup perempuan menopause yang mengalami DMT2, dengan durasi telah menopause, durasi telah DMT2, nilai antropometri, dislipidemia, tingkat aktivitas fisik, status nutrisi dan status kendali kadar glukosa darah. Studi potong lintang ini dilakukan pada bulan Januari hingga Februari 2024 pada 108 perempuan menopause dengan DMT2, yang merupakan peserta Program Pengelolaan Penyakit Kronis pada 15 Pusat Kesehatan Masyarakat tingkat Kecamatan, yang termasuk dalam kriteria penerimaan. Kuesioner The Menopause-spesific Quality Of Life (MENQOL) digunakan untuk mengetahui gejala klimakterik dan tingkat kualitas hidup. Studi ini menunjukkan bahwa gejala klimakterik dengan gangguan kualitas hidup tersering adalah nyeri sendi dan otot (72,2%), mudah pelupa (68,5%) dan kekuatan fisik berkurang (62,0%). Rerata tertinggi skor MENQOL untuk tiap aspek adalah aspek fisik (3,01 ± 1,06), diikuti oleh aspek psikososial (2,60 ± 1,24). Terdapat hubungan yang berbeda secara statistik pada faktor Indeks Massa Tubuh dengan gangguan aspek psikososial (p = 0,036) dan vasomotor (p = 0,005), lingkar pinggang dengan gangguan aspek vasomotor (p = 0,009), serta durasi telah DMT2 dengan gangguan aspek seksual (p = 0,032). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat dampak gejala klimakterik pada tingkat kualitas hidup perempuan menopause dengan DMT2, yang menekankan perlunya menciptakan kesadaran mengenai gejala klimakterik dan tata kelola untuk memperbaiki kualitas hidupnya.

Background: One-third of a woman's lifespan occurs during the menopausal period, with over 80% of women reporting climacteric symptoms during menopause, resulting in various symptoms and consequences on the quality of life. Type 2 Diabetes Mellitus (T2DM) induces metabolic changes that can lead to early menopause and exacerbate climacteric symptoms. Our study aimed to investigate whether there is a relationship between disturbances in the quality of life of menopausal women with T2DM and the duration of menopause, duration of T2DM, anthropometric values, dyslipidemia, level of physical activity, nutritional status, and blood glucose control status.
Methods: A cross-sectional study was conducted from January to February 2024 involving 108 menopausal women with diabetes mellitus, who were participants of the Chronic Disease Management Program at 15 District Health Community Centers, meeting the inclusion criteria. The Menopause-Specific Quality Of Life (MENQOL) questionnaire was utilized to assess climacteric symptoms and the quality of life.
Results: This study revealed that the most prevalent climacteric symptoms affecting quality of life were joint and muscle pain (72.2%), poor memory (68.5%), and reduced physical strength (62.0%). The highest mean MENQOL scores for each aspect were in the physical domain (3.01 ± 1.06), followed by the psychosocial domain (2.60 ± 1.24). Furthermore, the Body Mass Index was found to significantly increase the quality of life disturbances in the psychosocial aspect (p = 0.036) and vasomotor (p = 0.005) aspects, waist circumference in the vasomotor aspect (p = 0.009), and duration of T2DM in the sexual aspect (p = 0.032).
Conclusion: Climacteric symptoms have an impact on the quality of life of menopausal women with T2DM, emphasizing the need to raise awareness about climacteric symptoms and the management to improve their quality of life.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library