Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
Ariella Nikita Layono
"Skripsi ini membahas tentang kemungkinan penerapan skema pajak karbon di industri pelayaran maritim. Perubahan iklim saat ini merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi bumi, dengan emisi gas rumah kaca menjadi salah satu penyebab utama pemanasan global. Perjanjian Paris adalah salah satu perjanjian terpenting yang mencakup perubahan iklim, tetapi belum secara eksplisit memasukkan industri perkapalan maritim, meskipun itu adalah sumber sekitar 3% dari emisi gas rumah kaca dunia. Sebagai badan organisasi internasional utama mengenai operasi maritim, International Maritime Organization (IMO) telah menempatkan fokus pada pengurangan emisi karbon dari industri perkapalan melalui serangkaian langkah dan target, di antaranya adalah skema market-based- measures. Melalui analisis artikel, studi, dan perbandingan, skripsi ini akan menunjukkan bagaimana pajak karbon dapat menjadi opsi yang memungkinkan untuk market-based-measures IMO. Pajak karbon akan menginternalisasi biaya eksternal untuk emisi yang disebabkan oleh industri dan pendapatan yang dikumpulkan darinya dapat digunakan untuk dana yang dapat membantu pendanaan mitigasi perubahan iklim dalam sektor pelayaran, penelitian dan pengembangan bahan bakar nol-karbon, dan membiayai pembangunan jangka panjang dan jangka pendek.
This thesis discusses about the possibility of implementing a carbon tax scheme in the maritime shipping industry. Climate change is currently one of the biggest problems that the earth is facing, with greenhouse gas emissions being one of the most prominent causes of global warming. The Paris Agreement is one of the most important treaties that covers climate change, but it has yet to explicitly include the maritime shipping industry, even though it’s the source of approximately 3% of the world’s greenhouse gas emissions. As the primary international organizational body regarding maritime operations, the International Maritime Organization (IMO) has placed a focus on reducing carbon emissions from the shipping industry through a series of measures and targets, amongst which is the market-based- mechanism scheme. Through the incorporation of articles, studies, and comparisons, this thesis will demonstrate how a carbon tax could be a possible option for IMO’s market-based-measure. A carbon tax would internalise external costs for the emissions caused by the industry and the revenue collected from it could be used towards a fund that could aid in funding of in-sector climate change mitigation, research and development of zero-carbon fuels, and short- and long- term development."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Arkienandia Nityasa Parahita
"Emisi Gas Rumah Kaca (GRK), termasuk emisi karbondioksida (CO2) telah menjadi penyebab utama dari perubahan iklim dan pemanasan global sejak pertengahan abad ke-20. Ekosistem Karbon Biru (EKB), yang meliputi mangrove dan padang lamun berperan penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sebaliknya, kerusakan ekosistem ini dapat menimbulkan resiko lepasnya emisi karbon yang tersimpan kembali ke atmosfer. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi terbesar dari ekosistem tersebut, namun demikian, degradasi EKB di Indonesia yang disebabkan oleh konversi lahan dan kegiatan akuakultur kian meningkat. Sebagai kerangka pengaturan, Perencanaan Tata Ruang berperan penting untuk mengendalikan aktivitas tersebut, menimalisir konflik antar pengguna, dan melindungi EKB melalui instrumen Tata Ruang guna mencegah degradasi lebih lanjut. Perlindungan, pemulihan, dan pengelolaan EKB secara berkelanjutan tidak hanya mempertahankan kapasitasnya dalam penyerapan CO2, tetapi juga mempertahankan jasa ekosistem yang penting bagi adaptasi perubahan iklim, meningkatkan potensi sosial-ekonomi masyarakat, memberikan perlindungan terhadap risiko perubahan iklim di wilayah pesisir, serta memulihkan habitat yang terdegradasi guna mempertahankan fungsinya dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Penelitian ini akan melakukan analisis berkaitan dengan mengenai peran Penataan Ruang dalam proses Tata Kelola Karbon Biru, yang secara spesifik mencakup pengaturan dan instrumen tata ruang dalam perlindungan EKB dalam berbagai peraturan perundang-undangan, permasalahan kelembagaan dalam pengelolaan EKB di Indonesia, dan pengaturan serta studi kasus berkaitan keterlibatan masyarakat untuk pengelolaan EKB pada provinsi Kalimantan Timur dan Bangka Belitung.
Emission of greenhouse gases, including carbon dioxide (CO2), has been the main cause of climate change and global warming since the mid-20th century. Blue carbon ecosystems (BCE), which include mangrove and seagrass meadows play a key role in climate change mitigation and adaptation. Conversely, damage to these ecosystems risks the release of that carbon back to the atmosphere. Indonesia hosts one of the biggest proportions of such ecosystems, however, the rate of BCE degradation in Indonesia caused by land conversion and aquaculture remains high. As a regulatory framework, spatial planning plays a key role to control such activities, maintain conflict between uses, and protect BCE through spatial planning instruments to prevent further degradation. Conserving, restoring, and manage BCE sustainably not only maintains CO2 sequestration capacity but also services essential for climate change adaptation along coasts, improves socio-economic potential of the coastal community, provide protection against risks related to climate change in coastal areas, as well as restoring degraded habitats to recover their climate change mitigation potential and avoid additional greenhouse emissions. This paper aimed to analyzed the role of Spatial Planning in the Blue Carbon Governance process, which specifically includes spatial arrangements and instruments for the protection of BCE in various laws and regulations, institutional arrangement issues in the management of BCE in Indonesia, and case studies related to community involvement in the management of BCE in 2 provinces, East Kalimantan and Bangka Belitung."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Amelinda Indrawan
"Dalam perkembangan modernisasi, pemanfaatan energi nuklir kian berkembang pesat karena manfaat dan potensinya yang dilihat menjanjikan bagi kepentingan manusia. Meskipun demikian, pada penerapannya pemanfaatan energi nuklir dalam bentuk reaktor nuklir memiliki ancaman kecelakaan yang dapat membahayakan umat manusia. Melihat adanya ancaman tersebut, hukum ketenaganukliran kemudian diciptakan sebagai jawaban. Perangkat keselamatan dan keamanan memang merupakan salah satu upaya preventif sebelum terjadinya kecelakaan. Permasalahan kemudian muncul di saat kecelakaan terjadi perangkat hukum mana yang sekiranya dapat mewadahi. Pertanggungjawaban ketenaganukliran kemudian dirumuskan sebagai jawaban jika terjadi kecelakaan nuklir. Selain sebagai bentuk tanggung jawab operator dalam membangun instalasi nuklir, pertanggungjawaban ketenaganukliran juga memberikan insentif kehati-hatian bagi operator dalam membangun instalasi nuklir. Melihat adanya kompleksitas dalam perangkat hukum ketenaganukliran, pertanggungjawaban ketenaganukliran kemudian dibentuk dengan adanya aturan lebih lanjut mengenai standar dan batasan pertanggungjawaban. Standar dan batasan pertanggungjawaban tersebut dituang dalam konvensi pertanggungjawaban nuklir serta diterapkan oleh beberapa negara, seperti Indonesia dan Amerika Serikat. Meskipun menerapi standar dan batasan yang sama, tetapi dalam pengaturannya terdapat perbedaan, baik di Indonesia, Amerika Serikat, dan konvensi pertanggungjawaban nuklir. Perbedaan tersebut kemudian menjadi hal yang dapat dianalisis untuk melihat tingkat keketatan dalam masing-masing perangkat hukum pertanggungjawaban ketenaganukliran.
In the development of modernization, the utilization of nuclear energy has been developed massively due to its promising potential for humankind. However, in the applicaiton, the utilization of nuclear energy as nuclear reactor has quite high risk of nuclear incident that could harm humankind. Seeing its risk, nuclear law has been brought as the answer to it. The framework of safety and security are surely made as a preventive way before the incident. Another problem occurs in the event of nuclear incident, which legal framework would cover it. Nuclear liability has been brought as the answer in the even of nuclear incident occurs. Other than as a form of liability of the operator, nuclear liability can also be a form of safety incentive that could promote higher safety and security for its development. With the complexity of nuclear legal framework itself, nuclear liability then is consisted of particular standards and limitation. The standards and limitations itself has been applied by the international convention of nuclear liability and some countries like Indonesia and the United States. Although they are based on the same standards and limitation, the legal framework both in Indonesia, United States, dan International Convention of Nuclear Liability are varied. With the differences within the legal framework then can be a thing to be further analyzed to see the strictness of each nuclear liability legal framework."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Harish Makarim
"Pencemaran di Sungai Citarum telah terjadi selama bertahun-tahun sehingga mendapatkan gelar sungai paling tercemar di dunia. Tidak hanya merusak lingkungan hidup, pencemaran yang terjadi di Sungai Citarum pun telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat yang tinggal di sepanjang Sungai Citarum. Kerugian tersebut antara lain ialah kerugian akan kesehatan dan juga kehilangan sumber air bersih. Namun demikian, selama ini belum pernah ada gugatan yang diajukan untuk memberikan masyarakat di Sungai Citarum ganti rugi atas penderitaan yang mereka alami. Selain itu, pabrik-pabrik di Sungai Citarum pun seolah tidak pernah bertanggungjawab atas kerugian yang masyarakat alami. Ketiadaan gugatan semacam ini diakibatkan oleh adanya permasalahan kausalitas dalam kasus pencemaran Sungai Citarum, yakni ketidakpastian kausalitas. Ketidakpastian kausalitas ini diakibatkan oleh dua hal, yakni ketidakpastian tergugat dan ketidakpastian penyebab kerugian. Ketidakpastian tergugat terjadi sebab terlampau banyak industri yang berdiri di Sungai Citarum, dan ketidakpastian penyebab terjadi sebab terlampau banyaknya sumber pencemar yang ada di Sungai Citarum. Skripsi ini hendak menjawab permasalahan ketidakpastian kausalitas tersebut dengan perkembangan doktrin tort yang ada di luar negeri. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan analisis deskriptif. Penelitian ini menuai hasil yang cukup memuaskan di mana doktrin market share liability dapat menjadi solusi atas permasalahan kausalitas yang dihadapi kasus pencemaran Sungai Citarum dengan penyesuaian-penyesuaian pada hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia. Namun demikian, terdapat tantangan-tantangan seperti dibutuhkannya aktivisme yudisial oleh hakim dan penelitian secara saintifik terhadap pencemaran Sungai Citarum, untuk dapat menerapkan doktrin market share liability di Indonesia guna membuktikan kausalitas kerugian terhadap pencemaran yang terjadi.
Citarum River has been polluted for many years and has earned it the title of the most polluted river in the world. Not only destroying the environment, the pollution that occurs in the Citarum River has also caused losses to the people living along the Citarum River. These losses include the loss of health and also the loss of clean water sources. However, so far there has never been a lawsuit filed to provide the people in the Citarum River with compensation for the suffering they have experienced. In addition, it seems that the factories in the Citarum River have never been responsible for the losses suffered by the community. The absence of such a lawsuit is caused by a causality problem in the Citarum River pollution case, namely the uncertainty of causation. The uncertainty of causation is caused by two things, namely the uncertainty of the defendant and the uncertainty of the cause of the loss. The defendant's indeterminacy occurred because there were too many industries that stood on the Citarum River, and the causative indeterminacy occurred because there were too many sources of pollution in the Citarum River. This thesis aims to answer the uncertain causation problem with the development of the existing tort doctrine in other countries. The research method used is normative juridical research with a descriptive analysis approach. This study reaped satisfactory results where the market share liability doctrine could be the solution to the causality problem faced by the Citarum River pollution case with adjustments to the civil procedural law applicable in Indonesia. However, there are challenges such as the need for judicial activism by judges and scientific research on Citarum River pollution, in order to be able to apply the market share liability doctrine in Indonesia to prove the causality of losses to pollution. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library