Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eka Musridharta
Abstrak :
Latar belakang : Belum adanya perangkal untuk memprediksi keluaran pada pasien dewasa cedera kranioserebral. Penilaian awal yang akurat diperlukan sebagai dasar menilai keluaran. Tidak semua fasilitas kesehatan memiliki sarana diagnostik yang canggih sehingga membutuhkan pedoman praktis untuk memprediksi risiko kematian dalam 3 hari pertama pada pasien dewasa cedera kranioserebral derajat sedang dan berat. Tujuan : Penerapan sistim skor untuk memperkirakan kemungkinan kematian pasien dewasa cedera kranioserebral sedang dan berat. Metode : Dipergunakan desain nested case control yang bersarang pada penelitian prospektif tanpa pembanding. Pasien dewasa cedera kranioserebral derajat sedang dan berat yang mengalami kematian dalam 3 hari pertama dimasukkan sebagai kelompok kasus, kelompok kontrol diambil secara random dari pasien yang tidak mengalami kematian. Periode penelitian dari bulan Agustus 2005 sampai awal November 2005, didapatkan 103 pasien yang memenuhi kriteria inklusi untuk studi deskriptif. Dari pasien tersebut didapatkan jumlah kasus sebanyak 34 pasien dengan kontrol 34 pasien untuk studi analisis. Data diolah dan disusun dalam bentuk Label distribusi maupun tabel silang menggunakan perangkat SF55 versi 13.0. Hubungan antara variabel faktor resiko dan kematian dalam 3 hari pertama dinilai dengan uji Chi Square atau uji mutlak Fisher serta perhitungan nilai OR dengan batas kemaknaan sebesar 5%, diteniskan dengan analisa logistic regresi secara backward stepwise untuk merumuskan model prediksi. Hasil : Dari 103 pasien cedera kranioserebral didapatkan perbandingan jumlah pasien trauma kranioserebral perempuan dengan laki-laki adalah 1:6,3 dengan jumlah terbanyak pada kelompok usia 25-44 tahun (42,7%). 34 pasien meninggal dunia (33,0%), dari 27 pasien CKB yang meninggal 23 orang, 76 pasien CKS yang meninggal 11 orang. Pada uji multi variat backward stepwise didapat faktor penentu independen untuk keluaran dalam 3 hari pertama yaitu frekuensi nafas > 26 x 1 menit, respon membuka mata < 3 dan respon motorik < 5. Kesimpulan : Sistem skoring trauma kranioserebral ini menggunakan parameter respon motorik, frekuensi nafas dan respon membuka mata (M N M skor) yang merupakan prediktor bermakna dalam memperkirakan kematian dalam tiga hari pertama, pasien dengan total skoring yang minimal (nilai 0) memiliki probabililas kematian dalam 3 hari sebesar 5,3%, sedangkan pasien dengan total skoring maksimal (nilai 7) probabililas kematiannya adalah 97,4%. Kata Kunci : Trauma kranioserebral - prediksi keluaran - kemungkinan kematian - M N M skor
Background: The lack of tool to predict outcome of craniocerebral injury in adult patients. Accurate initial assessment is needed to predict outcome. Not all of the health facilities have modem and sophisticated diagnostic tool, and thus there is a need for practical guideline to predict mortality risk within first three days for adult patients with moderate to severe craniocerebral injury. Objective: To implement score system to predict mortality rate on adult patients with moderate to severe craniocerebral injury. Methods: Prospective nested case control study without external control. Adult patients with moderate to severe craniocerebral injury who died within first three days onset was included consecutively as case, while control was taken from random survive patients. The study was taken from August - November 2005, and 103 patients were included for descriptive study. Thirty four patients then were included as case and 34 as control for further analysis. SPSS for Windows v 13.0 was used for statistical analysis. The relationship between risk factors and mortality within first 3 days was assessed with chi square of Fisher test, then significant variables were further tested with logistic regression analysis using backward stepwise to formulate prediction model. Results: There were 103 craniocerebral injury patients, with the proportion of female and male 1 : 6.3, and most of them were from 25 - 44 year old group (42.7%). Thirty four (33.0%) died, 23 out of 27 severe head injury patients died, while 11 out of 76 moderate head injury patients died. On backward stepwise multivariate test, independent predictor factor for first three days outcome were respiration frequency 26 xfmin, response to eye opening t 3, and motor response < 5. Conclusions: This craniocerebral trauma scaring system uses motor response, respiration frequency, and response to eye opening parameter (M N M score), that can be used to predictor for mortality within first day of onset. Patients with minimal total score (score 0) has mortality probability 5.3%, while patients with maximal total score (score 7) has mortality probability 97.4%. Key Words: Craniocerebral trauma - outcome prediction - mortality probability - M N M score
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhany Suryanto
Abstrak :
Nyeri punggung bawah (NPB) dapat terjadi akibat getaran seluruh tubuh. Selain itu faktor umur, IMT dan kebiasaan merokok juga merupakan faktor risiko terjadinya NPB. Pengemudi bajaj dapat bekerja lebih dari 8 jam sehari, sehingga diperkirakan risiko NPB menjadi lebih tinggi. Penelitian ini dilaksanakan di pangkalan bajaj RKS dengan jumlah pengemudi 120 orang dan di pangkalan ojek dengan jumlah pengemudi 50 orang selama bulan Juni-Juli 2006. Desain penelitian ialah kasus kontrol yang didahului dengan penelitian potong lintang untuk mencari prevalensi NPB dan mendapatkan populasi dari kasus dan kontrol. Prevalensi NPB diantara pengemudi bajaj adalah 43,33%, sedangkan prevalensi NPB diantara pengemudi ojek adalah 4%. Kasus adalah pengemudi bajaj dan ojek yang mengalami NPB. Kontrol adalah pengemudi bajaj dan ojek yang tidak mengalami NPB. Diperoleh 54 kasus NPB dan 54 kontrol. Pada analisis bivariat, terdapat hubungan bermakna antara total dosis getaran (p<0,0I; 95 % CI 3,54-25,84; OR 9,94) dan merokok (p<0,01; 95 % CI 4,15-158,67; OR 24,14 ) dengan NPB. Pada analisis bivariat, tidak terdapat hubungan bermakna antara IMT dengan NPB (0,01 Low back pain (LBP) can be caused by whole body vibration. Age, body mass index and smoking are also risk factors of LBP. Bajaj drivers usually work more than 8 hours/day. It was predicted that LBP among them is high. This study was done at bajaj base RKS which has 120 bajaj drivers and at ojek shelter which has 50 ojek drivers during period of June-July 2006. This study used case-control design, which was preceded by a cross-sectional study to get the prevalence of LBP and to identify the case and control populations. The prevalence of LBP among bajaj drivers was 43,33% and among ojek drivers was 4%. Case was defined as bajaj and ojek driver who had LBP whereas control was defined as bajaj and ojek driver who had not LBP. There were 54 cases and 54 controls. Bivariat analysis showed that there were significant relationships between total vibration dose (p<0,01; 95 % CI 3,54-25,84; OR 9,94), and smoking (p<0,01; 95 % CI 4,15-158,67; OR 24,14 ) with LBP. There was no significant relationship between BMI to LBP (0,01
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Banon Sukoandari
Abstrak :
Latar Belakang Meningkatnya pertumbuhan populasi usia lanjut, mengharuskan untuk memberikan perhatian besar kepada penyakit degeneratif atau penyakit dengan awitan usia lanjut. Penyakit Parkinson merupakan salah satu penyakit degeneratif tersebut. Obyektif Menyediakan data dasar penderita penyakit Parkinson sesuai pokok-pokok pada SPTPP (Skala Penilaian Terpadu Penyakit Parkinson) Metoda Merupakan penelitian deskriptif cross sectional dengan subyek penderita penyakit Parkinson yang berobat ke poliklinik saraf RSCM, dalam kurun waktu Oktober-Desember 2005. Pengolahan data dengan menggunakan SPSS versi 10.0 Hasil Penelitian Terdapat 42 subyek yang masuk kriteria inklusi, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan yang hampir sama (1,03:1), rata-rata berusia 63,62 tahun (stand dev 10,95), sebagian besar tidal( bekerja dan tinggal bersama keluarga. Usia awitan sakit rata-rata 57,55 tahun (stan dev 9,92) dengan durasi sakit rata-rata 6,10 tahun (stand dev 5,23). Levodopa dan antikolinergik merupakan obat anti Parkinson yang paling banyak dipergunakan oleh subyek (97,63% dan 80,97%), yaitu dalam bentuk kombinasi keduanya. Rata-rata hasil pemeriksaan SPTPP adalah skor sub skala I 2,98 (stand dev 2,77), skor sub skala II 14,10 (stand dev 9,76), skor sub skala III 17,93 (stand dev 11,02), sub skala IV 3,02 (stand dev 3,27). Rata-rata derajat keparahan subyek adalah stadium 2,417 menurut skala Hoehn-Yahr, dan-rata-rata skala Schwab-England adalah 71,43% (stand dev 22,59) Gejala kardinal terbanyak pada subyek adalah rigiditas dan bradikinesia; sedangkan subyek dengan skala schwab-England rendah memiliki skor instabilitas postural dan bradikinesia yang tinggi. Gejala motorik yang berhubungan dengan terapi yang terbanyak adalah freezing, diikuti fluktuasi klinis dan distonia. Gangguan mentasi-intelektual merupakan gejala non motorik yang meiicolok pada subyek. Aktifitas utama sehari-hari yang paling banyak terganggu adalah mengenakan baju dan berjalan. Mengenakan baju juga gangguan yang paling banyak memerlukan bantuan orang lain. Terdapat kecenderungan antara durasi sakit dan SPTPP; semakin lama durasi sakit semakin besar skor SPTPP dan Hoehn-Yahr serta semakin rendah skor Skala Schwab-England. Di samping itu terdapat pula kecenderungan antara basil pemeriksaan gejala motorik dan basil pemeriksaan kemampuan subyek. Kesimpulan Adanya trend bahwa semakin lama durasi sakit semakin berat gangguan mentasi, perilaku dan mood; semakin berat gejala motorik, semakin tinggi derajat keparahan serta semakin banyak komplikasi pengobatan. Semakin lama durasi saki! juga menunjukkan semakin berat ketidakmampuan melakukan aktifitas sehari-hari dan semakin besar ketergantungan pada orang lain. Terdapat trend bahwa semakin berat gejala motorik dan semakin parah derajat sakit semakin buruk fungsi subyek penelitian. Terdapat asumsi pada status gejala motorik yang sama, subyek menunjukkan fungsi aktifitas sehari-hari yang lebih buruk dibanding subyek penelitian lain di luar negeri.
Background The increasing number of elderly people necessitates considerable attention to degenerative disease or late-age onset disease; Parkinson disease constitutes one of the degenerative disease Objective To provide basic data on Parkinson patients based on UPDRS (Unified Parkinson Disease Rating Scale = SPTPP Skala Penilaian Terpadu Penyakit Parkinson) Method A descriptive cross-sectional study that involved Parkinson patients that presented to the outpatient clinic of RSCM from October to December 2005. SPSS version 10,0 was used for the data processing Result 42 subjects met the inclusion criteria with the almost similar ratio of male - female patients (1.03 : 1), with the mean age 63,62 (stand deviation 10.95) and most of them were unemployed and lived with their families. The mean morbid age was 57.55 (stand dev 9.92) with the mean morbid duration 6.10 years (stand dev 5.23), Levodopa and anticholinergic agent were the most common medicines taken by subjects (97.63% and 80.97%) in the combination therapy. The mean result of UPDRS 1 SPTPP examination were sub-scale I score 2.98 (stand dev 2.77), sub-scale II score 14.10 (stand dev 9.76), sub-scale III score 17.93 (stand dev 11.02) and sub-scale IV score 3.02 (stand dev 3.27). The mean severity degree of the subjets was at stage 2.417 based on I-Ioehn-Yahr scale and the mean Schwab-England scale was 71.43% (stand dev 22.59) The most frequently found cardinal symptom in the subjects were rididity and bradykinesia; whereas subjects with low Schwab-England scale had high postural instability and bradykinesia score. The most common motoric symptom found correlated with the therapy were freezing; clinical fluctuation and dystonia. Mental - intelectual disturbance was the most conspicuous non -- motorik symptom in subjets The most disturbed daily activities were putting on clothing and walking. Putting on clothing was the activity that need most help from the most significant members of the family. There was a trend between the morbid duration and UPDRS 1 SPTPP; the longer the morbid duration, the higher the SPTPP Hoehn-Yahr score were and the lower the Schwab-England scale was. In addition to that, there was a propensity between the motoric symptom assessment and the examination result of the subject's performance. Conclusion There was a trend thet showed the longer the morbid duration was, the more severe the mental, behavior and mood disturbances were; the more severe the motoric symptom, the higher the serety degree was as well as the higher need for the treatment of complications. The more prolonged morbid duration also revealed the more serious disability of conducting every day activities and the higher dependence on other people. There was propensity for the worse function of the trial subjects due to the more severe motoric symptom and higher degree of disease severity. There has been some assumption that at the same status of motoric symptom, the subjects showed worse function of daily activities compared with other trial subjects in other countries.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58750
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Octaviany
Abstrak :
Latar Belakang. Disfungsi otonom merupakan salah satu gejala penyakit parkinson yang sering ditemukan clan berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas penderita penyakit parkinson. Disfungsi otonom memberikan gejala klinis yang seringkali tidak disadari penderita. Tujuan penelitian adalah mengetahui gambaran disfungsi otonom penyakit Parkinson menggunakan pemeriksaan Sympathetic Skin Response. Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang deskriptif dengan populasi semua penderita penyakit parkinson yang memenuhi kriteria inklusi. Dilakukan pencatatan berupa identifikasi karakteristik penderita dan riwayat perjalanan penyakit, anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mencari gejala klinis-penyakit parkinsnn, gejala disfungsi otonom, jenis obat anti parkinson yang dipakai dan respon pengobatan . Diagnosis disfungsi otonom ditegakkan melalui pmeriksaan Sympathetic Skin Response (SSR). Data dianalisis menggunakan tes chi-square, fisher's exact dan t test dengan memakai program STATA. Hasil. Pada penelitian ini didapatkan 34 pasien penyakit parkinson. Sebagian besar subyek berjenis kelamin pria (67,8%), dengan usia rata-rata 61.11+_10.01 tahun dan terbanyak pada kelompok usia 60-69 tahun ( 41.2%). Sebanyak 22 subyek (64.7%) mengalami gejala disfungsi otonom, dengan gejala yang tersering adalah disfagia (44%) ,diikuti gejala konstipasi (38.2%), dan hipersalivasi (35.3%). SSR abnormal dijumpai pada 23 subyek (67.6%). Rata-rata subyek dengan nilai SSR abnormal lebih tua dibandingkan dengan subyek dengan SSR normal. Rata-rata lama menderita parkinson untuk SSR abnormal adalah 6.52+_3.64 . Abnormalitas SSR dijumpai pada seluruh subyek yang menderita penyakit parkinson lima tahun atau lebih (p=0.0x4) dan pada semua subyek dalam periode non honeymoon (p=0.000). SSR cenderung abnormal dengan meningkatnya derajat keparahan penyakit berdasarkan skala Hoehn & Yahr. SSR abnormal lebih sexing ditemukan path subyek yang mengalami instabilitas postural clan subyek dengan skor bradikinesia, tremor dart rigiditas dari UPDRS yang lebih tinggi. Subyek yang mengalami gejala hipotensi postural simptomatik (p=0.023), konstipasi (p=0.402), hipersalivasi (p=0.043) dan disfagia (p=0.000) menunjukkan nilai SSR abnormal. Semua subyek yang mengalami dua (p-0.04) atau lebih gejala otonom (p=0,0001). Tiga subyek (13%) yang tidak mengalami gejala disfungsi otonon ternyata menunjukkan nilai SSR abnormal. Kesimpulan. Disfungsi otonom penyakit parkinson ditemukan pada 67.6% penderita. SSR cenderung abnormal dengan meningkatnya derajat keparahan penyakit berdasarkan skala Hoehn & Yahr maupun berdasarkan skor UPDRS untuk tremor, rigiditas, bradikinesia dan stabilitas postural. Subyek yang mengalami gejala hipotensi postural simptomatik, konstipasi, hipersalivasi dan disfagia menunjukkan nilai SSR abnormal. Nilai SSR abnormal juga ditemukan pada semua subyek yang mengalami dua atau lebih gejala otonom.
Background. Autonomic dysfunction is one of the signs that is frequently found in PD, which influences the patient's morbidity and mortality. It also comprises some frequently neglected clinical manifestations. Aim. The aim of this study is to review autonomic dysfunction in PD, using Sympathetic Skin Response test. Methods. This is a descriptive cross-sectional study. Population of this study is PD patients that meet the inclusion criteria. Patient's characteristic was identified. History of illness was recorded and physical examination was done to indentify patient's signs and symptoms, autonomic dysfunctions, medications used, and the responses. Diagnosis of autonomic dysfunction was confirmed by using Sympathetic Skin Response (SSR) test. Chi-Square test, fisher's exact test, and t were used to analyze the data, using the STATA program. Results. There were 34 PD patients identified. Most of the subjects are men (67,8%) with the mean age of 61,1+10,01 year-old and mostly within 60-90 year-old group age (41,2%). Twenty two subjects (64,7%) had autonomic dysfunction with the most presenting symptoms are dysphagia .04,8%), constipation (38,2%), and hypersalivation (35,3%). Abnormal SSR was found in 23 subjects (67,6%). Most subjects with abnormal SSR are older than subjects with normal SSR. The duration of PD in subjects with abnormal SSR is 6,52+3,64 years. Abnormal SSR was found in all subjects that have had PD for five years or more (p=0,004) and all subjects were in non-honeymoon period (p=0,000), SSR tends to be abnormal when the severity of the disease is higher, based on the Hoehn & Yahr scale. Abnormal SSR is more often found in subjects who suffer postural instability and whose IJPRDS score of bradikinesia, tremor, and rigidity is high. Subjects with symptomatic postural hypotension (p=0,023), constipation (p=0,002), hypersalivation (p=0,003) and dysphagia (p=0,000) show abnormal SSR. Every subject shows two or more autonomic symptoms (p=0,0001). Three subjects (13%) that didn't show autonomic dysfunction symptoms, however, had abnormal SSR Conclusions. Autonomic dysfunction in PD was found in 67,6% subjects. SSR tends to be abnormal when the severity of the PD is high, based on the Hoehn & Yahr scale, UPRDS score of bradikinesia, tremor, and rigidity, and the presence of postural hypotension. Subjects with symptomatic postural hypotension, constipation, hypersalivation, and dysphagia show abnormal SSR. Abnormal SSR was also found in all subjects who had two or more autonomic symptoms.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rubiana Nurhayati
Abstrak :
Latar Belakang: Pada cedera kranioserebral sedang dan berat terjadi stimulasi aksis HPA, aktivasi sel imunokompeten yang menyebabkan pelepasan mediator inflamasi. Peningkatan sitokin menyebabkan stimulasi aksis HPA yang menyebabkan terpacunya pelepasan barman kortisol oleh korteks kelenjar adrenal. Beberapa penelitian menunjukkan semakin tinggi kadar kortisol dalam plasma pada penderita cedera kranioserebral maka semakin buruk prognosis karena tingginya mortalitas. Metode: Studi porospektif tanpa kelompok pembanding untuk melihat hubungan kadar kortisol dalam darah pada onset < 48 jam terhadap keluaran kematian dan hidup selama 3 hari perawatan pada penderita cedera kranioserebral dengan skala koma glasgow 3-12. Hasil: Dari 64 subyek, terdapat 54,7% subyek mati pada 3 hari perawatan pertama. Rerata kadar kortisol darah subyek adalah 32,88+10,16 µg/dl, sedangkan rerata nilai SKG adalah 9,17+2,49. Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar kortisol dengan nilai SKG dimana pada nilai SKG 3-6 kadar kortisol dalam darah paling tinggi (p<0.05). Rerata kadar kortisol pada keluaran mati lebih tinggi bermakna dibadingkan dengan keluaran hidup yaitu 44,38+8,87 µg/dl (p<0.05). Titik potong kadar kortisol untuk kematian adalah 31,1 µg/dl, spesifisitas 94,3% dan sensitifitas 96,6%. Pada nilai SKG 3-8, 85,7% subyek mati. Terdapat hubungan yang bermakna antara nilai SKG dengan keluaran mati. Kesimpulan: Keluaran kematian pada penderita cedera kranioserebral menunjukkan kadar kortisol dalam darah yang Iebih tinggi dan nilai SKG yang lebih rendah dibandingkan dengan keluaran hidup.
Background: There are many processes in moderate and severe head injury, such as HPA axis stimulation, immuno-competent cell activation that cause releasing of inflammation mediator. Increasing of cytokine causes HPA axis stimulation and triggers cortisol release by adrenal cortex. Previous studies showed that the increasing of plasma cortisol related with poor outcome in head injury patient. Methods: Prospective study without control in head injury patients with GCS 3-12 and onset less than 48 hours. The aim of this study was to see relation between blood cortisol level and outcome in three days of hospitalization. Results: From 64 subjects, there are 54.7% subjects who died within 3 days of hospitalization. Mean of blood cortisol is 32.88+10.16 µg/dl, while mean of GCS is 9.17+2.49. There is significant correlation between blood cortisol level and GCS which is blood cortisol level is highest in subjects with GCS 3-6 (p<0.05). Mean cortisol level in poor outcome subjects is significantly higher (44.38+8-87 p.gldl) than good outcome subjects (p<0.05). Cut-off point of cortisol level for poor outcome is 31.1 µg/dl with 94.3% specificity and 96.6% sensitivity. In GCS 3-8 group, 85.7% subjects have poor outcome. There is significant correlation between GCS and poor outcome. Conclusion: Moderate and severe head injury patient with poor outcome show higher blood cortisol level and lower GCS compare with patient with good outcome.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58492
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Istiana Sari
Abstrak :
LATAR BELAKANG: Pemeriksaan Sken CT kepala adalah Baku emas untuk mendiagnosa perdarahan intrakranial traumatik pada anak. Di Indonesia belum semua fasilitas kesehatan memiliki Sken CT kepala sehingga panting untuk mengetahui gejala klinis yang berhubungan dengan perdarahan intrakranial traumatik pada anak. TUJUAN: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gejala klinis dan radiologis sederhana yang dapat digunakan sebagai indikator adanya perdarahan intrakranial traumatik pada anak. METODE: Penelitian dilakukan secara potong lintang dengan menggunakan data primer dan sekunder dari catatan medik pasien usia < 15 tahun dengan cedera kepala dan telah dilakukan pemeriksaan foto kepala dan Sken CT kepala yang dirawat di bangsal Neurologi RSCM dalam kurun waktu Januari 1998 hingga Juli 2004. HASIL: Dari 338 kasus yang diteliti didapatkan 117 kasus perdarahan intrakranial traumatik (34,61%): 33 (28,20%) epidural hematom, 34 (29,05%) subdural hematom, 26 (22,22%) perdarahan intraserebral, 12 (10,25%) perdarahan campuran, 11 (9,40%) perdarahan subarachnoid. Pasien terdiri dari 82 laki-laki (70,08%) dan 35 perempuan (29,91%), rentang usia terbanyak yang mengalami perdarahan intrakranial traumatik 11-15 tahun (53/45,29%), mekanisme tersering kecelakaan lalu Iintas (62,39%). Gejala: fraktur tengkorak (62/52,99%), Gangguan THT (26/22,22%), muntah (82/70,08%), lama penurunan kesadaran terbanyak 10 merit-6 jam (51/43,58%). Gejala neurologis: Skala Koma Glasgow (SKG) terbanyak 12-14 (63/53,84%), kelainan saraf kranial (9/7,69%), gangguan motorik (15/12,82%), kejang (13/11,11%), pupil anisokor (7/5,98%). Terdapat hubungan bermakna antara perdarahan intrakranial traumatik dengan SKG, kelompok umur, gangguan motorik, kejang, fraktur tengkorak dan lama penurunan kesadaran (p<0,05) KESIMPULAN: Indikator adalah SKG, gangguan motorik, kelompok umur, kejang, fraktur tengkorak dan lama penurunan kesadaran. Dengan analisis multivariate SKG, kelompok umur dan gangguan motorik merupakan indikator kuat dan dapat digunakan sebagai formula klinik dalam memperkirakan perdarahan intrakranial traumatik pada anak.
BACKGROUND: Brain CT Scan is one of the evaluation methods for traumatic brain hemorrhage in children. However, not all Indonesian hospitals have these radiologic examination tools. Clinical features and skull x ray as an indicators have to be used as a predictor for traumatic brain hemorrhage cases in children. OBJECTIVE: To predict traumatic brain hemorrhage in children using clinical features and skull x ray. METHODOLOGY: 338 acute head trauma children,
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dessy Rakhmawati Emril
Abstrak :
Latar belakang: Sebuah skala prediktor yang dapat secara konsisten memprediksi keluaran pasien perdarahan intraserebral spontan (PIS) sangat diperlukan dalam penatalaksanaan pasien. Semakin cepat prognosis diketahui akan semakin baik karena sangat erat kaitannya dengan efektifitas terapi. Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang berperan sebagai prediktor independen terhadap keluaran pasien perdarahan intraserebral spontan di supratentorial, dan membuat sebuah skala prediktor PIS yang sesuai dengan pola penderita PIS di RSCM Disain dan Metode: Penelitian ini merupakan suatu studi kasus kontrol yang kemudian dilanjutkan dengan pembuatan skala prediktor berdasarkan variabel yang terbukti sebagai prediktor independen keluaran penderita PIS. Hasil: Faktor yang berperan sebagaai prediktor independent terhadap keluaran 30 hari pasien PIS adalah Skala koma Glassgow (p< 0.001), perluasan perdarahan ke intraventrikel (p= 0.001), dan volume lesi (p=-0.010). Skala prediktor PIS adala total nilai masing-rasing komponen yang terdiri Bari: SKG 34 (=2), 9-12 (=1), 13-15 (=0); IVH ya (=1), tidak (=0); volume Iasi ? 30 cc (=1), < 30 cc ff.)). Subyek dengan total skor 0, 1, 2, 3, 4, berturut-turut memiliki probabilitas meninggal 1.3%, 9.2-13.16%, 52.7-63.5%, 92:5-95.1%, dan 99.3%. Probabilitas keluaran meninggal meningkat sebanding dengan peningkatan total skala prediktor. Kesimpulan: Faktor yang berperan sebagai prediktar keluaran 30 hari pasien PIS spontan supratentorial adalah Skala koma Glassgow, perluasan perdarahan ke intraventrikel, dan volume hematom. Berdasarkan prediktor independent tersebut dapat dibuat skala prediktor untuk memprediksi keluaran pasien. Probabilitas meninggal meningkat sebanding dengan peningkatan total skala prediktor.
Background. The predictor scale that predict consistently the outcome of patients with ICH is very important. Prognosis has strong relationship with effectiveness of treatment Objective. To found the factors that act as the predictors of 30-day outcome for spontaneous intracerebral hemorrhage and to define a predictor scale or modified ICH scoring . Methods. These was a case control study that continued by defined a predictor scale for ICH which use a criteria that was predictive of outcome. Result. Factors independently associated with 30-day mortality were Glasgow Coma Scale score (p< 0.001), presence of intraveniricular hemorrhage (p0 001), and ICH volume (p=O.0I). The predictor scale of ICH was the sum of individual points assigned as follows: GCS score 3 to 8 (= 2 points), 9 to 12 (= 1 point), 13 to 15 point (41); Intraventricular hemorrhage yes (-I), no (41); ICH volume 30 cc (=1), < 30 cc (4). Thirty-day mortality rates for subjects with predictor scale of ICH of 0,1,2,3,and 4 were 1.3%, 9.2-13.6%, 52.7-63.5%, 92.5 - 95.1%, and 99.3% respectively. Thirty-day mortality increased steadily with predictor scale of ICI Conclusions. Factors independently associated with 30-day mortality is Glasgow Coma Scale score, presence of intraventricular hemorrhage, and ICH volume. The ICH predictor scale can predict the risk stratification on patients with ICH. The use of a scale such ICH predictor scale could improve standardization of clinical treatment protocols.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Tiksnadi
Abstrak :
Latar belakang: Penegakkan diagnosis gangguan pemusatan perhatianlhiperaktivitas (GPPH), suatu gangguan perilaku terbanyak pada anak usia SD, dilakukan secara subjektif. Anak GPPH menunjukkan berbagai spektrum gangguan kognitif yang sering menyebabkan kegagalan fungsi kehidupan sosial dan akademik. Pemeriksaan P300 event-related potential (ERP) merupakan teknik pemeriksaan neurofisiologis yang wring digunakan untuk meuilai fungsi kognitif secara objektif. Tujuan: Untuk mengetahui profil pemeriksaan P300 pada anak GPPH. Metoda: studi potong lintang pemeriksaan ERP auditorik diskriminasi 2 nada pada 75 anak GPPH yang memenuhi kriteria inklusi. Performa motorik dan gelombang ERP yang timbal terhadap nada target direkam dan dianalisis. Hasil: Rerata kecepatan reaksi, hits, dan latensi gelombang P300 didapatkan berbeda bermakna antara tipe-tipe GPPH (inatentif, hiperaktif, dan kombinasi). Anak GPPH dengan komponen inatentif menunjukkan kecepatan reaksi dan latensi gelombang P300 yang memanjang (p<0.001), serta hits yang lebih rendah (p<0.01). Commission error cenderung lebih tinggi pada anak GPPH dengan komponen hiperaktif. Pada anak GPPH tipe hiperaktif juga taxnpak kecenderungan respon motorik yang mendahului terbentuknya gelombang P300. Amplitudo gelombang P300 pada sadapan frontal ditemukan lebih tinggi pada anak GPPH tipe inatentif. Kesimpnlan: Pemeriksaan P300 auditorik diskriminasi 2 nada dapat digunakan untuk menilai fungsi kognitif anak GPPH. Inatentivitas dan hiperaktivitas rnempengarubi performa motorik dan latensi gelombang P300. Amplitudo yang tinggi di area frontal mungkin merupakan mekanisme kompensasi anak GPPH dalam upaya mengatasi gangguan atensi yang terjadi. ......Background: Subjective behavioral assessment of attention deficit/hyperactivity disorder (ADHD), the most common pediatric behavioral disorder in school-aged children, has norm to date. Children with ADHD commonly show some spectrums of cognitive dysfuction; accounting for many social and learning problems. P300 event-related potential (ERP), as a neurophysiological technique, provides measurements of speck cognitive domains objectively. Objective: To investigate profiles of P300 ERP in school-aged children with ADHD. Method: Auditory ERP two-tone discimination ('oddball') paradigms were recorded from 75 children diagnosed with ADHD (inattentive, hyperactive, and combined type). Motor performances and ERPs elicited to target stimul were analyzed for between-group differences. Results: Reaction times (RTs), hits, and P300 latency were significantly differ between groups. Slower RTs, poorer hits, and longer P300 latency were significantly recorded in groups with inattentive component (p
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Bahri Bratakusuma
Abstrak :
Latar Belakang: Nyeri bahu dapat disebabkan oleh posisi kerja. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan posisi kerja lengan dan faktor-faktor lain terhadap nyeri bahu pada tenaga kerja Bagian Speed Frame dan Ring Spinning di Pabrik Benang PT.X Karawang. Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional pada 112 responden. Kriteria nyeri bahu didasarkan atas anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan Range of Motion dan Visual Analog Scale. Variabel bebas adalah umur, jenis kelamin, status gizi, masa kerja, lama kerja, riwayat pekerjaan, kebiasaan olah raga, kebiasaan melakukan pekerjaan rumah tangga, dan posisi lengan atas sewaktu bekerja. Sedangkan variabel terikat adalah nyeri bahu. Analisis bivariat dan multivariate dilakukan dengan program STATA 10. Hasil: Didapatkan prevalensi nyeri bahu sebanyak 30,6%. Dari analisis multivariat didapat 2 variabel yang berhubungan dengan nyeri bahu, yaitu posisi kerja lengan atas dengan sudut ≥45° OR=3,86 (95% CI 1,54-9,68) dan kebiasaan olah raga rutin OR= 4,11 (95% CI 1,42-11,92). Kesimpulan: Posisi kerja lengan atas dengan sudut ≥45° mempunyai risiko untuk meningkatkan terjadinya nyeri bahu. Walaupun bermakna, masih perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut terhadap hubungan olah-raga dengan nyeri bahu. ......Background: Shoulder pain can be caused by work position. The study aim is know the relationship between work position of upper arm and shoulder pain among workers, who worked at in Textile Factory PT.X Karawang. Methods: A cross sectional study was conducted among 112 workers. Shoulder-pain was based on anamnesis, physical examination, examination of Visual Analog Scale and Range of Motion. Independent variables were age, gender, BMI, duration of work, time of work, story of work, routine of sport, routine of house work, and work position of upper arm. Dependent variable was shoulder pain. Bivariate and multivariate analysis was done through STATA 10. Results: The prevalence rate of shoulder pain was found 30.36%. Based on multivariate analysis, a significant relationship was found between shoulder pain with position of upper arm ≥45° OR=3.86 (95% CI 1.54-9.68) and routine of sport OR= 4.11 (95% CI 1.42-11.92) Conclusion: Work position of upper arm ≥45° increase risk of shoulder pain 3.86 times. Even though routine sport found increase risk of shoulder pain, this need further research.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library