Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 45 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Widarsono
Abstrak :
Perubahan UUD 1945 telah memberikan pada DPR kekuasaan legislasi yang lebih tegas dan bukan sekedar hak. Secara kelembagaan kekuasaan legislatif ada pada 2 (dua) lembaga yaitu Presiden dan DPR, sebelum perubahan UUD 1945 dinyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR. Setelah Perubahan UUD 1945 dinyatakan bahwa DPR membentuk Undang-Undang. Selanjutnya ditentukan secara terbalik bahwa Presiden diberikan hak untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR. Dengan demikian pemegang utama (primer) kekuasaan legislatif untuk membentuk undang-undang adalah DPR, sedangkan Presiden hanyalah pemegang kekuasaan sekunder. Disamping itu Pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR, berarti telah mengubah dari prinsip pembagian kekuasaan (distribution of powers) kepada prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) antara lembaga legislatif (DPR) dan eksekutif (Pemerintah). Dengan adanya Perubahan UUD 1945 dibidang legislasi atau pembuatan undang-undang, dari sisi mekanisme (proses) tidak ada perubahan yang berarti hanya dipersingkatnya tahapan pembicaraan dari 4 tahap menjadi 2 tahap. Persoalan yang lebih ditonjolkan adalah penekanan terhadap kekuasaan legislatif DPR sehingga lembaga tersebut dapat bekerja secara optimal, khususnya dalam bidang Usul Inisiatif guna pembentukan Undang-Undang. Dalam rangka mewujudkan optimalisasi kinerja DPR seperti yang diamanatkan konstitusi, kemudian memberdayakan lembaga Badan Legislasi DPR yang merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, disamping itu staf Ahli DPR yang merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, disamping itu staf Ahli DPR juga diperkuat. Persoalan selanjutnya yang dicermati adalah faktor pendukung dan penghambat pergeseran kekuasaan legislatif di DPR, ada beberapa faktor yang sebelumnya merupakan penghambat saat ini menjadi faktor pendukung, yaitu peraturan tata tertib DPR, dengan memberikan kelonggaran jumlah inisiator, jumlah fraksi dari usul inisiatif Rancangan Undang-Undang dan juga dipersingkatnya tahapan pembicaraan (UU No. 03ADPR-R /112001-2002). Hal ini tentu menjadi faktor pendukung, iklim politik juga mendukung untuk mendorong penggunaan usul inisiatif. Persoalan yang masih menjadi penghambat adalah masalah anggaran untuk pembentukan Rancangan Undang-Undang. Hal ini karena minimnya sehingga menghambat ruang gerak dan optimalisasi kinerja DPR dalam bidang legislasi. Idealnya agar kekuasaan legislatif DPR lebih bermakna maka perlu sarana pendukung dan anggaran yang memadai, sehingga DPR dapat melaksanakan semua fungsi yang dimilikinya. Apalagi setelah lembaga perwakilan menganut sistem bikameral (adanya DPR dan DPD) persoalan pembentukan Undang-Undang tentu menjadi lebih rumit.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T9748
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martini
Abstrak :
Keberadaan lembaga penasehat sepertinya hal Dewan Pertimbangan Agung di Indonesia pada dasarnya bergantung kepada kebutuhan negara yang bersangkutan, serta dipengaruhi oleh latar belakang historis dari negara tersebut. Di Indonesia lembaga penasehat ini sudah ada sejak jaman kerajaan dulu. Lembaga penasehat Dewan Pertimbangan Agung di Indonesia sedikitnya banyak diilhami oleh Raad van Nederlandsch Madre pada jaman Hindia Belanda yang berfungsi sebagai penasehat Gubernur Jenderal. Dewan Pertimbangan Agung sebagai lembaga penasehat dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia kedudukannya adalah sebagai lembaga tinggi negara yang memiliki kedudukan yang sejajar dengan lembaga tinggi lainnya dengan fungsi dan tugasnya memberikan nasehat, pertimbangan dan usul kepada Presiden. Pada waktu berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 lembaga ini dihapus dan baru muncul kembali setelah Dekrit 5 Juli 1959. Sejak Orde Baru, Lembaga ini terus secara periodik didirikan. Walau dikatakan lembaga ini antara ada dan dada karena begitu kuat kekuasaan eksekutif sehingga tidak kelihatan peran yang telah dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Agung ini. Keberadaan Dewan Pertimbangan Agung ini sejak awal kemerdekaan memang sudah mulai dipersoalkan. Hal ini terus berlanjut, apalagi pada masa Orde Baru keberadaan lembaga penasehat ini tidak begitu kelihatan kiprahnya. Setelah reformasi dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar 1945 membawa perubahan pula terhadap sistem ketatanegaran di Indonesia. Dalam hal ini Dewan Pertimbangan Agung juga tidak luput dari perubahan tersebut. Terjadi perdebatan apakah Dewan Pertimbangan Agung ini terus dipertahankan dengan lebih meningkatkan peran dan fungsinya atau dihapus. Memang diakui banyak kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh Dewan Pertimbangan Agung ini sebagai lembaga penasehat, terutama pada rumusan peraturan perundangan yang mengatur tentang Dewan Pertimbangan Agung baik itu dalam Undang-Undang Dasar 1945 maupun peraturan perundangan yang lain tentang Dewan Pertimbangan Agung yang membatasi ruang lingkup tugas dan tanggung jawab Dewan Pertimbangan Agung serta dibentuknya badan penasehat ekstra konstitusionil oleh Presiden sehingga menimbulkan kesan Dewan Pertimbangan Agung tidak diperlukan. Akhirnya perdebatan seputar Dewan Pertimbangan Agung ini terjawab sudah pada Sidang Tahunan 2002 dimana disahkannya Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945 yang menghapus keberadaan Dewan Pertimbangan Agung dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dan menggantinya dengan suatu badan yang disebut Dewan Pertimbangan yang kedudukannya tidak lagi sebagai lembaga tinggi negara tetapi berada dibawah Presiden. Maka berakhirlah tugas konstitusional Dewan Pertimbangan Agung dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T10843
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Yusmic P. Foekh
Abstrak :
Secara politis, UUD 1945 menganut ajaran don politico, yaitu pertama, kekuasaan negara sebagai pernyataan kedaulatan hukum yang dalam hal ini adalah kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman; kedua, kekuasaan negara sebagai pernyataan kekuasaan rakyat yang dilakukan oleh MPR selanjutnya dimandatkan kepada Presiden. Dalam Penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 dikatakan bahwa kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim. Kekuasaan Kehakiman yang merdeka tidak dimaksudkan terlepas sama sekali dari kekuasaan lainnya. Oleh karena itu, kekuasaan kehakiman perlu dijamin, sedangkan pada sisi lain, UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden. Yang dalam menjalankan kekuasaannya, ia mempunyai lima kedudukan, yakni sebagai Kepala Pemerintahan; Kepala Negara; memegang kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif); memberikan grasi, amnesti dan abolisi (yudikatif) dan sebagai "Mandataris" MPR. Dalam praktik ditemukan bahwa Presiden sebagai faktor penentuan arahnya kekuasaan kehakiman sehingga perlu dilakukan upaya untuk menegakkan kekuasaan kehakiman yang merdeka yang merupakan syarat negara hukum. Sebab selama kekuasaan kehakiman yang merdeka belum terwujud, negara hukum (rechtsstaal) Indonesia tidak akan terwujud. Bagaimana mengatasinya? Pertama, perlu penataan kekuasaan Presiden, kedua perlu ditinjau kembali semua produk perundang-undangan yang tidak menjamin kekuasaan kehakiman, ketiga-sebaiknya hakim-Hakim yang direkrut diberi kedudukan sebagai pejabat negara, dan bukan lagi sebagai pegawai negeri.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uyan Wiryadi
Abstrak :
Salah satu permasalahan yang mengemuka pasca runtuhnya kekuasaan pemerintahan Presiden Suharto adalah masalah penyelenggaraan pemerintahan daerah. Persoalan ini sebenarnya sudah berkembang sedemikian rupa pada pemerintahan Soekarno. Karena itu, reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah setelah runtuhnya rezim Suharto menjadi salah satu agenda reformasi yang harus diupayakan. Kondisi tahun 1950-an sebenarnya awal gejolak politik nasional dewasa itu. Misalnya terdapat sejumiah pemberontakan daerah yang menuntut kemerdekaan, seperti Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan. Selain itu masih terdapat pemberontakan kecil yang antara lain terjadi di Jawa Barat di awal 1960-an yang terkait dengan isu etnis Cina. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam periode tersebut merupakan permasalahan politik yang pelik dari kedua pemerintahan tersebut. Upaya untuk memperbaiki kondisi pemerintahan daerah era Suharto dimulai dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Secara teoritis undang-undang tersebut menganut model efisiensi struktural (Structural Efficiency Model) yang menekankan pada efisiensi penyelenggaraan pemerintah berupa uniformitas dan pengendalian sebagai pintu intervensi pemerintah dan pengendalian sebagai pintu intervensi pemerintah pusat. Berdasarkan kriterium ini, pemerintah pusat memangkas jumlah susunan daerah otonom, pembatasan peran dan partisipasi lembaga perwakilan rakyat. Selain itu juga ditandai oleh keengganan Pusat untuk menyerahkan wewenang dan diskresi yang lebih besar kepada daerah otonom. Cenderung mengutamakan dekonsentrasi daripada desentralisasi. Paradoks di antara efisiensi yang memerlukan wilayah daerah otonom yang luas agar tersedia sumber daya yang memadai dengan kekhawatiran separatisme jika daerah otonom terlalu luas. Ekses dalam pengaturan pemerintahan daerah seperti tercermin dalam Undang-undang No. 5/1974 tersebut pasca pemerintahan Suharto mendapat reaksi untuk segera diubah. Karena itu muncul gagasan untuk reformasi pemerintahan daerah.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15437
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aris Ideanto
Abstrak :
Saat ini mulai ada kesadaran dari negara berkembang untuk melindungi Folklor sebagai aset yang berharga dari negaranya, termasuk Indonesia. Folklor merupakan suatu ekspresi dari budaya dan identitas sosial dan pada umumnya disampaikan secara lisan melalui peniruan atau dengan cara lainnya. Bentuk Folklor meliputi antara lain bahasa, karya sastra, musik, tarian, permainan, mitos, upacara ritual, kebiasaan, kerajinan tangan, karya arsitektur dan karya seni lainnya. Folklor merupakan salah satu bentuk kekayaan di bidang seni dan budaya yang memiliki hak kekayaan intelektual. Dalam kaitannya dengan Hak Cipta, Folklor memiliki hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi berkaitan dengan nilai ekonomis yang tercipta dari pemanfaatan Folklor, dan hak moral untuk melindungi kepentingan pribadi atau reputasi Pencipta dan penemunya. Namun mengingat Folklor adalah milk bersama suatu masyarakat yang biasanya sulit menentukan Pencipta dari Folklor, maka Negara menjadi pemegang dari Hak cipta Folklor. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang No 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Perlindungan terhadap Folklor sesungguhnya sudah dilakukan sejak Undang-Udang Dasar 1945 melalui Pasal 32. Namun, upaya perlindungan terhadap Folklor di Indonesia masih dirasakan belum maksimal. Hal ini disebabkan teknis pelaksanaan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang No 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta melalui Peraturan Pemerintah Tentang Hak Cipta atas Folklor yang dipegang oleh Negara masih berupa suatu rancangan sehingga belum memiliki kekayaan hukum. I La Galigo merupakan naskah cerita rakyat yang berasal dari Bugis dan merupakan naskah terpanjang di dunia sehingga I La Galigo memiliki nilai yang sangat tinggi. I La Galigo adalah salah satu bentuk Folklor yang belum mendapatkan perlindungan hukum secara maksimal. Hal ini terkait dengan pementasan I La Galigo di kota besar dunia oleh orang asing sehingga merugikan Indonesia secara ekonomis dan moral.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15524
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Yuliawiranti S.
Abstrak :
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Mengenai pengertian "kemerdekaan pers" itu sendiri di dunia terdapat bermacam-macam konsep dan persepsi yang berbeda, tergantung dari latar belakang, sistem sosial dan sistem politik, serta filsafat yang mendasarinya. Bahwa pelaksanaan kemerdekaan pers di Indonesia yang merupakan salah satu perwujudan hak asasi manusia adalah pelaksanaan yang bersifat partikularistik relatif artinya bahwa pelaksanaan hak asasi manusia dalam konteks kemerdekaan pers ini pemberlakuannya harus sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, jadi bukan pelaksanaan yang tidak terbatas tetapi pelaksanaan yang bebas bertanggung jawab. Karena terdapat rambu-rambu yang harus ditaati yang membatasi kemerdekaan pers itu sendiri. Rambu-rambu itu adalah pasal 28J Amandemen kedua UUD 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Jurnalistik. Perkembangan kemerdekaan pers di Indonesia pasca berlakunya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Amandemen UUD 1945 masih belum maksimal karena selama kurun waktu dua tahun terakhir kemerdekaan pers di Indonesia mengalami kemunduran citranya di mata dunia internasional.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15561
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Amin
Abstrak :
Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan oleh MPR telah menyebabkan sistem ketatanegaraan Indonesia khususnya cabang kekuasaan telah mengalami pergeseran. Di Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang semula berbunyi MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan dari daerah dan golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang. Kini telah berubah MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur dengan Undang-Undang. Dengan perubahan tersebut tidak ada lagi utusan golongan dalam keanggotaan MPR. Dan tidak ada lagi anggota yang diangkat tetapi semuanya dipilih melalui pemilihan umum. Salah satu perubahan penting dalam sistem keparlemenan Indonesia yang telah mengalami perubahan adalah ditetapkannya lembaga baru yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam amandemen ketiga UUD 1945 yang diatur dalam Bab VIIA Pasal 22 C dan Pasal 22 D UUD 1945. Salah satu gagasan dasar pembentukannya adalah adanya keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah yang sebelumnya terabaikan, dan sekaligus memberikan peran yang diberikan kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan untuk masalah-masalah terutama yang berkaitan dengan daerah. Disamping itu keberdaan DPD dalam sistem parlemen Indonesia adalah dalam rangka untuk menciptakan cheks and balances, mekanisme ini dianut dalam negara demokrasi guna menghindarkan dan mencegah kesewenang-wenangan dari salah satu lembaga negara, selain itu untuk menghilangkan adanya monopoli dalam hal pembuatan Undang--Undang. Dalam hubungan DPR dan DPD, jika DPR memegang kekuasaan membentuk Undang - Undang sesuai Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang telah diamandemen, sebagai bentuk pelaksanaan fungsi legislasi fungsi anggaran dan pengawasan Pasal 20 A UUD 1945 maka DPD memiliki hanya kewenangan yang terbatas mengajukan kepada DPR Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan Otonomi daerah, Hubungan pusat dan daerah Pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta berkaitan dengan Perimbangan keuangan pusat dan daerah, sebagai mana...
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16296
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yennita Dewi
Abstrak :
Perkawinan Campuran menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 merupakan perkawinan yang terjadi antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan antara kedua orang yang menikah tentunya akan menimbulkan suatu permasalahan antara lain mengenai status kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran. Menurut hukurn kewarganegaraan positif Indonesia yaitu UU No_62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI menganut asas kewarganegaraan berdasarkan keturunan (ius sanguinis). Namun ius sanguinis yang dianut di Indonesia lebih dominan keturunan dari garis ayah laki-laki. Sehingga hal ini berdampak pada tidak adanya hak bagi seorang perempuan WNI yang menikah dengan laki-laki WNA untuk memberikan kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya. Maka itu per1u diketahui pengaturan mengenai : (1) status kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran menurut UU No.62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan R1; (2) menurut RUU Kewarganegaraan RI sedang diuahas oleh DPR RI dan Pemerintah cq, Departemen Hukum dan HAM RI (3) format status kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran yang diharapkan dapat memenuhi prinsip pencerminan HAM, Persamaan Hak warganegara didepan hukum dan kesetaraan serta keadilan gender. Ketiga permasalahan tersebut diteliti dalam penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian studi kepustakaan yang bersifat deskriptif evaluatif dengan studi dokumen menggunakan data sekunder yang akan dianalisa secara kualitatif. Perbandingan hukum juga dilakukan dalam penelitian ini untuk melihat persamaan maupun perbedaan yang terdapat di dalam aneka macam sistem hukum khususnya dalam penentuan status kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran di beberapa negara di luar Indonesia, Terobosan RUU Kewarganegaraan R1 baru memungkinkan anak hasil perkawinan campuran memiliki kewarganegaraan ibunya dengan memasukkan prinsip kewarganegaraan ganda terbatas pada anak hasil perkawinan campuran. Kewarganegaraan ganda ini dibatasi hanya pada usia 18 tahun atau sudah kawin dan maksimal 3 tahun setelah anak berusia 18 tahun yaitu usia 21 tahun setelah itu anak harus memilih salah satu kewarganegaraan yang dimilikinya, Selain itu Kewarganegaraan ganda terbatas juga diberikan pada anak hasil perkawinan dari orangtua WNI yang terlahir di negara yang menganut asas ius soli. Namun batas usia untuk memilih salah satu kewarganegaraan hendaknya dipertimbangkan kembali untuk diperpanjang menjadi 5 (lima) tahun dari usia 18 (deiapanbelas) tahun, yaitu usia 23 (duapuluh tiga) tahun. Karena dari sudut kejiwaan dan ekonomi; anak telah menyelesaikan pendidikan tinggi sehingga dipandang telah cukup matang lahir dan batin untuk menentukan masa depan terbaik bagi hidupnya dengan memilih kewarganegaraan terbaik pula. Hak memilih dan menentukan kewarganegaraan merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal 28 D dan Pasal 28 E ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16494
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasrun Hasan
Abstrak :
Penjelasan Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechstaat). Sebagai konsekuensinya adalah bahwa seluruh aspek kehidupan kenegaraan harus didasarkan pada hukum/peraturan perundang-undangan. Menurut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, sumber tertinggi peraturan perundang-undangan di Indonesia didasarkan pada sebuah konstitusi tertulis yaitu Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan landasan pokok bagi pembentukan peraturan-peraturan di bawahnya, karena itu segala peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia harus mengacu dan tidak diperkenankan menyimpang, apalagi bertentangan dengan konstitusi. Oleh sebab itu maka seluruh tindakan penyelenggaraan pemerintahan harus dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum. Di negara yang berdasar pada sistem konstitusional dituntut adanya keserasian antara produk-produk hukum khususnya Undang-undang serta peraturan di bawahnya dengan Konstitusi. Dalam rangka menjamin terciptanya keselarasan dan konsistensi Sistem Hukum serta mencegah terjadinya penyimpangan harus ada/diadakan suatu lembaga pengendali peraturan perundang-undangan. Pengendalian ini dilakukan dalam bentuknya yang disebut hak uji materiil. Persoalan hak uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan dalam penyelenggaraan negara di Indonesia sudah menjadi salah satu topik perdebatan sejak perumusan naskah Undang-undang Dasar dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Akan tetapi, setelah disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 tidak memuat suatu aturan tentang hak uji materiil. Tidak adanya aturan tersebut menimbulkan polemik berkepanjangan terutama dikalangan ahli hukum Indonesia. Di satu pihak berpendapat bahwa sekalipun tidak diatur dalam UUD 1945 tidak berarti bahwa hak uji materiil tidak dapat dilakukan, sementara di pihak lain menyatakan bahwa sebenarnya niat pembuat UUD 1945 tidak menghendaki adanya hak uji materiil, karena itu dalarn kerangka UUD 1945 maka hak uji materiil tersebut tidak boleh dilakukan. Dari silang pendapat tersebut ternyata kemudian sejarah ketatanegaraan Indonesia telah mencatat bahwa hak uji materiil di Indonesia telah mendapat dasar legitimasi melalui peraturan yang lebih rendah yaitu dalam Tap MPR, UU dan Perma dan secara faktual telah dilaksanakan sekalipun secara terbatas terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Perkembangan penting bagi hak uji materiil di Indonesia terjadi setelah perubahan UUD 1945, khususnya pada perubahan Ketiga Undang-undang Dasar 1945 yang merubah ketentuan Pasal 24 UUD 1945 dengan diadakannya lembaga Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia di samping Mahkamah Agung. Salah satu kewenangan yang diberikan konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi diantaranya adalah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar. Diberikannya kewenangan untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar kepada kekuasaaan kehakiman, dalam hal ini kepada Mahkamah Konstitusi adalah suatu terobosan baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia oleh karena selama ini kekuasaan kehakiman dalam hal ini melalui Mahkamah Agung hanya diberi kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dengan alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T16651
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Widyastanti
Abstrak :
Hak turut serta dalam pemerintahan adalah salah satu hak yang diakui oleh dunia internasional dan banyak negara di dunia. Indonesia sebagai negara yang menganut asas demokrasi juga mengakui dan melindungi hak ini, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 27 dan 28D, serta dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 43 ayat (1), (2), dan. (3). Perincian hak ini yaitu hak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilihan Umum, hak turut serta dalam pemerintahan secara langsung atau melalui wakil yang dipilihnya, hak untuk duduk dalam jabatan pemerintahan, serta hak untuk mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien. Melihat perincian hak ini jelas sekali bahwa hak ini berkaitan erat dengan asas demokrasi, karena dalam demokrasi, dituntut suatu interaksi yang aktif antara rakyat dan pemerintahnya, sebagaimana dimaksudkan dengan hak ini. Sayangnya dalam sejumlah negara yang 'mengaku' menganut asas demokrasi, dengan diadakannya sistem Pemilihan Umum sudah dianggap telah menjalankan demokrasi dan mewujudkan hak turut serta dalam pemerintahan. Hal inilah yang kemudian ingin dicermati dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Bagaimana sesungguhnya kedududukan hak turut serta dalam pemerintahan, dalam tatanan konsep demokrasi di Indonesia. Hal ini mulai dicermati mulai kurun waktu masa transisi demokrasi yang terjadi pasca runtuhnya orde baru yang ditandai dengan turunnya Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada bulan Mei 1998. Kurun waktu ini dipilih karena pada masa ini hak asasi Manusia di Indonesia mulai diperjuangkan kembali dan pelaksanaan asas demokrasi semakin berkembang, terutama dengan lahirnya undang-undang ham dan sejumlah perundangundangan politik. Sistem perpolitikan di Indonesia juga mulai berubah terutama dengan diterapkannya kembali sistem multi partai dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Mekanisme, pengawasan kepada pemerintah juga makin baik dengan berkembangnya kebebasan pers. Namun semua itu terasa jelas sekali masih terjadi ketimpangan dan carut marut disana-sini. Sehingga bagaimana sesungguhnya kedudukan hak turut serta dalam pemerintahan dalam tatanan konsep demokrasi di Indonesia merupakan hal yang masih harus ditegaskan dan dibenahi.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T 14535
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>