Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang untuk menguji diagnosis CLTI melalui USG oleh trainee semester 1 dan 4, dibandingkan dengan CT Angiografi (CTA) sebagai standar.
Hasil: Total ada 31 pasien (62 tungkai) yang dibagi ke dalam dua kelompok dan diamati menggunakan USG oleh trainee dari kedua semester tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesesuaian temuan oklusi arteri berdasarkan USG dibandingkan dengan CTA lebih tinggi pada trainee semester 4. Selain itu, korelasi dalam penentuan derajat stenosis antara USG dan CTA lebih kuat pada semester 4. Hasil uji diagnosis menunjukkan bahwa secara keseluruhan trainee semester 4 memiliki akurasi diagnosis USG yang lebih tinggi dibandingkan trainee semester 1 di semua segmen arteri tungkai bawah.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan keluaran , akurasi USG oleh semester 1 dan 4 dengan angka yang tidak jauh berbeda dalam mendiagnosis CLTI, Pada Penelitian ini peneliti juga menyarankan perlunya supervisi antara semester 1 dan 4 agar ada transfer ilmu dan patient safety
Method: This study employed a cross-sectional method to test PAD diagnosis through USG performed by first and fourth semester trainees, compared with CT Angiography (CTA) as the gold standard.
Results: A total of 31 patient (62 lower limb) were divided into two groups and observed using USG by trainees from both semesters. The study results indicated that the concordance of arterial occlusion findings based on USG compared with CTA was higher in fourth semester trainees. Furthermore, the correlation in determining the degree of stenosis between USG and CTA was stronger in the fourth semester. The diagnostic test results showed that overall, fourth semester trainees had higher USG diagnostic accuracy compared to first semester trainees in all lower limb arterial segments.
Conclusion: There are differences in the output and accuracy of ultrasound user in fourth dan first semester trainees which are not much different result in diagnosing CLTI, in this study researchers also suggest the need for supervision between semesters first and fourth so that there will be a knowledge transfer and patient safety."
"
Latar Belakang: Penyakit insufisiensi vena merupakan kondisi terganggunya aliran balik darah dari tungkai menuju ke jantung. Kondisi ini dapat terjadi secara jangka panjang atau kronik sehingga sering dikenal sebagai chronic venous insufficiency (CVI).
Tujuan: Menganalisis dan membandingkan pengaruh penggunaan stoking kompresi selama 1 minggu dan 2 minggu pada pasien CVI pasca tindakan EVTA di RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan RS jejaring pendidikan.
Metode: Penelitian ini bersifat studi kohort.
Hasil: Populasi yang diambil adalah pasien yang berobat dari bulan Maret – Mei 2024 di RSCM dan RS jejaring. Distribusi komplikasi akut pasca pemasangan stoking kompresi selama 1 minggu dan 2 minggu. Iritasi kulit dialami oleh 3 orang (9,7%) pasien pada kelompok 1 dan 11 orang (37,9%) pada kelompok 2. Nyeri dialami oleh 9 orang (31%) pasien pada kelompok 1 dan pada 9 orang (29%) pasien pada kelompok 2. Edema hanya ditemukan pada kelompok 2 yaitu sebanyak 2 kasus (6,5%). Selanjutnya, hematoma dialami oleh 4 orang (13,8%) pasien pada kelompok 1 dan 4 orang (12,9%) pada kelompok 2 Hasil analisis bivariat mendapatkan bahwa jenis intervensi berpengaruh terhadap oklusi vena dengan nilai odds ratio sebesar 1,203 (95% CI: 0,537 – 2,694) namun dengan nilai yang tidak signifikan berdasarkan uji Fischer’s Exact Test (p=0,77). Sebagai kesimpulan, penggunaan stoking kompresi selama 2 minggu tidak memiliki pengaruh yang bermakna dengan penggunaan selama 1 minggu saja. nilai korelasi sebesar -0,010 dengan nilai p=0,937. Nilai -0,01 termasuk dalam hubungan korelasi kuat (kurang dari 0,1).
Simpulan: Penggunaan stoking kompresi selama 2 minggu tidak memiliki pengaruh yang bermakna dengan penggunaan selama 1 minggu saja. nilai korelasi sebesar -0,010 dengan nilai p=0,937. Nilai -0,01 termasuk dalam hubungan korelasi kuat (kurang dari 0,1).
Kata kunci: Penyakit vena kronis,venous clinical severty score, medical compresi.
Objective: This study will compare vein occlusion and Venous Clinical Severity Score (VCSS) in CVI patients after the EVTA procedure who were given compression therapy with stockings for one week compared with use for two weeks.
Methods: This research is a cohort study
Results: The population taken were patients seeking treatment from March – May 2024 at RSCM and network hospitals. Distribution of acute complications after installation of compression stockings for 1 week and 2 weeks. Skin irritation was experienced by 3 (9.7%) patients in group 1 and 11 people (37.9%) in group 2. Pain was experienced by 9 (31%) patients in group 1 and 9 people (29%) patients in group 2. Edema was only found in group 2, namely 2 cases (6.5%). Furthermore, hematomas were experienced by 4 (13.8%) patients in group 1 and 4 people (12.9%) in group 2. The results of bivariate analysis showed that the type of intervention had an effect on vein occlusion with an odds ratio of 1.203 (95% CI : 0.537 – 2.694) but with a value that is not significant based on Fischer's Exact Test (p=0.77). In conclusion, the use of compression stockings for 2 weeks does not have a significant effect compared to use for just 1 week. The correlation value is -0.010 with a p value = 0.937. The value -0.01 is included in a strong correlation relationship (less than 0.1).
Conclusion: the use of compression stockings for 2 weeks does not have a significant effect compared to use for just 1 week. The correlation value is -0.010 with a p value = 0.937. The value -0.01 is included in a strong correlation relationship (less than 0.1).
Keywords: Chronic venous disease, venous clinical severity score, medical compression."
Metode: Studi ini memiliki desain studi potong lintang yang dilakukan dengan menggunakan sampel data rekam medik dari pasien-pasien anak yang sudah menggunakan catheter double lumen (CDL) tunnel mulai bulan September hingga Oktober 2023.
Hasil: Sebanyak 59 pasien memenuhi kriteria pada penelitian ini yang sebagian besar memiliki jenis kelamin perempuan (50,8%) dan berusia >10 tahun (69,5%). Kadar platelet yang tinggi berhubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0,001). Kadar APTT tidak memiliki hubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0,810). Kadar albumin serum yang rendah atau hipoalbuminemia berhubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0,001). Faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo adalah kadar albumin serum.
Kesimpulan: Kadar albumin dan platelet berhubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo adalah kadar albumin serum.
Methods: This study employed a cross-sectional study design using medical record data samples from pediatric patients who had undergone double-lumen catheter (DLC) tunnel placement from September to October 2023.
Results: A total of 59 patients met the criteria for this study, the majority of whom were female (50.8%) and aged over 10 years (69.5%). High platelet levels were significantly associated with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0.001). APTT levels did not have a significant association with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0.810). Low serum albumin levels or hypoalbuminemia were significantly associated with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0.001). The most influential factor for catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo was serum albumin level.
Conclusion: Albumin levels and platelet are significantly associated with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. The most influential factor for catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo was serum albumin level."
Latar Belakang :
Jumlah kasus Pasien dengan Penyakit Ginjal Tahap Akhir (PGTA) terus meningkat, dan permintaan akan hemodialisis juga semakin melonjak. Arteriovenosa Fistula (AVF) menjadi pilihan utama dalam prosedur hemodialisis dan sering ditempatkan sedistal mungkin, namun tingkat keberhasilan cenderung rendah karena ukuran diameter yang tidak optimal. Latihan isometrik dan terapi Far Infrared (FIR) berpotensi untuk meningkatkan diameter, Peak Sistolyc Velocity (PSV), Volume flow arteri Radialis, serta diameter vena Cephalica pada pasien PGTA yang akan menjalani pembuatan AVF radiocephalica.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi korelasi antara pemberian Terapi Far Infra-Red dan latihan isometrik terhadap diameter, PSV, dan aliran volume arteri radialis serta diameter vena cephalica pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir yang akan menjalani pembuatan AVF Radiocephalica.
Metode penelitian dilakukan dengan rancangan penelitian eksperimental RCT (Randomized Controlled Trial) di ruang hemodialisis RSUPN Ciptomangunkusumo. Selama 4 minggu, kelompok eksperimen diberikan latihan isometrik dan terapi FIR, dan hasilnya kemudian dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya diberikan Latihan isometrik
Hasil: Jumlah total subjek penelitian adalah 46 orang, dengan mayoritas perempuan (65,2%) dan komorbiditas Diabetes Melitus (37%). Median usia subjek adalah 54 tahun dengan rentang usia antara 18 hingga 73 tahun. Tersingkap adanya perbedaan signifikan secara statistik antara diameter arteri radialis (p<0.05), PSV arteri radialis (p<0,05), Volume Flow arteri radialis (p<0,05), dan diameter vena cephalica (p<0,05) pada subjek penelitian sebelum dan setelah menjalani latihan isometrik dan Terapi Far Infrared (FIR). Faktor risiko Diabetes Melitus (p<0,05) dan obesitas (p<0,05) juga terbukti memiliki pengaruh signifikan terhadap diameter vena cephalica.
Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa aplikasi latihan isometrik dan Terapi Far Infrared (FIR) efektif dalam meningkatkan parameter-parameter seperti diameter arteri radialis, PSV arteri radialis, volume flow arteri radialis, serta diameter vena cephalica pada pasien dengan Penyakit Ginjal Tahap Akhir sebelum prosedur pembuatan AVF radiocephalica.
Objective: To determine the difference between isometric exercises combined with Far Infrared therapy and isometric exercise alone on the diameter, Peak Systolic Velocity (PSV), and volume flow of the radial artery, as well as the cephalic vein diameter in End-Stage Kidney Disease patients before radiocephalic AVF creation, compared to utilizing only isometric exercises as the standard procedure..
Methods: This study is an RCT (Randomized Controlled Trial) experimental study, conducted in the hemodialysis room of Ciptomangunkusumo Hospital. The study was conducted for 4 weeks of isometric exercise and FIR therapy, the results were compared with the control.
Results: The total study subjects were 46 people, mostly female (65.2%), comorbid Diabetes mellitus (37%). Median age was 54 years with a range of 18-73 years. There were statistically significant differences between radial artery diameter (p<0.05), radial artery PSV (p<0.001), radial artery flow volume (p<0.001), cephalic vein diameter (p<0.001) pre and post isometric exercise and FIR. Risk factors of diabetes mellitus (p <0.05) and obesity (p <0.05) have a significant change on the diameter of the cephalic vein.
Conclusion: The use of isometric exercise and FIR can increase radial artery diameter, radial artery PSV, radial artery flow volume and cephalica vein diameter in ESKD patients before radiocephalica AVF creation.
"