Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 29 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lisa Riana Laurenza
Abstrak :
Artikel ini mengulas persoalan ragam gender Bugis. Gender itu dinamis bukan statis, pemahaman gender Bugis sebagai representatif yang mumpuni untuk menggambarkan ragam gender yang plural, fleksibel, dan toleran. Gender Bugis yang dikaji, digunakan sebagai kritik terhadap esensialisme gender yang tidak dapat membahasakan diskursus ragam gender Bugis. Artikel ini menggunakan data yang diambil dari teks-teks dan dokumenter yang membahas gender Bugis. Metode feminis dan analisis kritis secara dekonstruksi terhadap esensialisme gender, dan teori performativitas gender Butler sebagai cara untuk membedah pemahaman gender Bugis. Dari proses rekognisi menghasilkan pandangan baru dalam proses menciptakan dan membangun identitas gender melalui bentuk performativitas gender. Tubuh bukan sebagai ekspresi melainkan menjadi konfigurasi pelengkap atas perempuan dan laki-laki. Gender tidak dipandang permanen, tetapi secara ilusi. Performativitas berguna dalam menangani gender di Bugis karena menunjukkan bagaimana norma dominan membentuk gender. Selain itu, performativitas gender sebagai upaya untuk mengembangkan identitas gender melalui upaya pengenalan dan pelestarian ragam gender serta nilai Bugis lewat berbagai media. ......This article examines the issue of Bugis gender diversity. Gender is dynamic, not static, the understanding of Bugis gender as a capable representative to describe a plural, flexible, and tolerant gender diversity. The Bugis gender study is used to critique gender essentialism which cannot discuss the Bugis gender diversity discourse. This article uses data taken from texts and documentaries that discuss Bugis's gender. Feminist methods and deconstructive critical analysis of gender essentialism, and Butler's theory of gender performativity as a way to dissect Bugis gender understanding. The recognition process produces new views in creating and building gender identity through the form of gender performativity. The body is not an expression but a complementary configuration of women and men. Gender is not seen as permanent but illusory. Performativity helps deal with gender in Bugis because it shows how dominant norms shape gender. In addition, gender performativity is an effort to develop gender identity through efforts to identify and preserve gender diversity and Bugis values ​​through various media.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Antoni
Abstrak :
ABSTRAK
Permasalahan mengenai lingkungan akan selalu menjadi topik hangat untuk dibicarakan. Manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan beretika, nyatanya masih larut dalam perilaku antroposentrisme. Manusia melihat alam sebagai pemuas nafsu mereka. Tindakan ini terangkum nyata dalam film The Cove. Film ini mengisahkan kejamnya perlakuan manusia terhadap lumba-lumba. Hubungan manusia dengan hewan seperti memiliki jarak. Bagaikan piramida, manusia menempati tingkat tertinggi dalam struktur ekosistem. Lumba-lumba dibantai dengan kejam hanya untuk dikonsumsi manusia. Peter Singer membuka posibilitas baru bagi manusia dalam memandang dan memperlakukan hewan. Lumba-lumba memiliki hak yang harus diakui. Sama seperti manusia, hewan mampu merasakan sakit. Untuk itu perlu cara pandang baru serta memberikan pertimbangan moral dalam perlakuan manusia terhadap hewan.
ABSTRACT
Environment issues are will always be a hot topic for discussion. In fact, as ethical beings, humans are still protracted in the behavior of anthropocentrism. Humans see nature as a fulfillment for their appetites. This action is summarized obviously in the film The Cove. This film tells the cruel treatment of humans against dolphins. The relationship between humans and animals appears to have a distance. Like the pyramid, humans occupies the highest level in the structure of the ecosystem. Dolphins are slaughtered ruthlessly for human consumption. Peter Singer opens a new possibility for humans to perceive and treat animals. Dolphins have the right to be recognized. Same as humans, animals are capable of feeling pain. To that end, a new perspective and moral consideration towards animals are needed in humans’ treatment on animals.
2014
S61294
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firman Arif
Abstrak :
Bunuh diri merupakan diskursus sepanjang zaman dalam kehidupan manusia. Menilik sejarah, sebut saja seperti kaum stoa, tradisi Seppuku di Jepang, dan yang paling baru peledakan diri para teroris merupakan sebagian contoh yang menunjukkan bahwa bunuh diri terus dilakukan. Kendati nilai-nilai kemanusiaan terus berubah sepanjang zaman, tapi bunuh diri tetap menjadi sebuah tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri kehidupan lebih cepat. Albert Camus mempertanyaan bunuh diri sebagai sebuah tindakan yang dipilih manusia. Pertanyaan itu memiliki keterkaitan dengan konsep eksistensialisme. Sehingga pemaknaan bunuh diri pun hanya sebatas problem eksistensilis-filosofis. Di sinilah letak persoalan bunuh diri pada masa kini. Pada kenyataannya, di zaman sekarang bunuh diri bukan lagi hanya persoalan eksistensialis-filosofis. Ada sesuatu yang melebihi hal itu, tindakan bom bunuh diri dapat dijadikan contoh. Bunuh diri adalah persoalan kemanusiaan. Maka, dengan tetap berpijak pada pemikiran Albert Camus, akan dijelaskan mengenai perluasan pemahaman bunuh diri sebagai sebuah tindakan mengingkari humanitas.
Suicide is a discourse throughout the ages in human life. Tracing the history, there are some examples that show suicide still exist, let says the stoic from early ages, Seppuku tradition in Japan, and terrorist who blew up themselves. Despite values of humanity keep changing throughout the ages, suicide is still the alternative choices to end live faster. Albert Camus questioning suicide as an action that choices in human life. This question is related to his existentilism concept. So that, the values of suicide just be the existentialism problem. This is the problem of suicide in the contemporary era. In fact, in the contemporary era, suicide is not just existentialist problem, there is something beyond, suicide bombing for example. Suicide is humanity problem. Through the thought of Albert Camus, it will be explained about expansion suicide as a disavowal of humanity.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S67955
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Damara Aldio Pradhana
Abstrak :
ABSTRAK
Man of action merupakan sebuah tahapan yang dinamis. Dinamika eksistensial vita activa yang terdiri dari animal laborans, homo faber dan man of action menentukan status eksistensial dari seorang subjek. Relasi subjek dengan kelompok tertentu selalu memiliki konsekuensi eksistensial tersebut. Konsekuensi eksistensial tersebut menuntut faktor-faktor lainnya seperti pluralitas, kebanalan dan kebebasan. Di dalam relasi subjek dengan kelompok tertentu, subjek dapat menjadi man of action dan tidak menjadi man of action. Dengan kata lain struktur dinamika eksistensial yang terjelaskan dalam film Imperium bukanlah sebuah tahapan akhir yang bersifat hierarkis, akan tetapi merupakan kondisi transmisi yang membutuhkan momentum.
ABSTRACT
Man of action becomes a dynamic stage. The existential dynamics of the vita activa consisting of animal laborans, homo faber and man of action determine the existential status of a subject. The subject 39 s relation to a particular group always has that existential rigidity. The existential consequences are other factors such as plurality, banality and freedom. In a subject relation with a particular group, the subject can be a man of action and not be a man of action. In other words the structure of the existential dynamics described in the Imperium film which is a hierarchical final stage, but is a displacement condition that requires momentum.
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Bayu Aji
Abstrak :
ABSTRAK
Berkembangnya media sosial di tengah kehidupan masyarakat tidak terlepas dari bagaimana kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi menciptakan kondisi di mana banyak pemilik modal saling bersaing dalam menciptakan produk-produk baru, khususnya dalam bidang teknologi media sosial. Media sosial berkembang dengan harapan akan menciptakan kondisi komunikasi tanpa batas. Akan tetapi dengan segala kemudahan yang dihadirkan, media sosial juga menghadirkan masalahnya tersendiri. Melalui metode refleksi kritis dan metode pengetahuan melalui pengenalan dan deskripsi atau knowledge by acquaintance and description, penulis mencoba untuk melihat adanya masalah dalam masyarakat pengguna media sosial melalui pemikiran Masyarakat Spectacle Guy Debord. Media sosial yang sedari awal diharapkan dapat membuat masyarakat dapat mengakses, menciptakan dan menyebarkan konten tanpa batas ruang dan waktu justru dihadapkan pada permasalahan spectacle. Sebuah konsep hasil buah pemikiran Guy Debord dalam usahanya untuk menjelaskan proses ekonomi kapitalistik di era media konvensional (televisi, cetak dan radio) yang justru membuat masyarakat terlepas dari realita kehidupannya beserta dengan segala pengalamannya. Gejala dari spectacle ini pun muncul di dalam masyarakat pengguna media sosial, dengan segala perkembangannya yang semakin bisa membaca keinginan pasar membuat masyarakat kini tidak lagi menjalankan hidupnya secara otentik.
ABSTRACT
The development of social media in the midst of people's lives is inseparable from how capitalism as an economic system creates conditions in which many owners of capital compete with each other in creating new products, especially in the field of social media technology. Social media develops with the hope that it will create conditions for seamless communication. However, with all the conveniences that are presented, social media also presents its own problems. Through the method of critical reflection and the method of knowledge through introduction and description or knowledge by acquaintance and description, the author tries to see if there are any problems in the social media user community through Guy Debord's Spectacle Society thinking. Social media, which from the beginning was expected to enable the public to access, create and distribute content without boundaries of space and time, was actually faced with the problem of spectacle. A fruit fruit concept Guy Debord's thoughts in his attempt to explain the process of the capitalistic economy in the era of conventional media (television, print and radio) which actually makes people detached from the reality of their lives along with all their experiences. Symptoms of This spectacle also appears in the community of social media users, with all its developments which are increasingly able to read market desires, making people no longer live their lives authentically.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anandar Juliantara
Abstrak :
Manusia dalam aktivitasnya senantiasa tali-temali dengan persoalan nilai. Pemberian atribut terhadap suatu gejala dan fenomena menegaskan bahwa manusia tidak tersekat dari masalah moral dan penilaian terhadapnya. Natalitas, penuaan penduduk (ageing population) hingga lonjakan populasi menelurkan fenomena sandwich generation atau generasi roti lapis. Istilah ini menggambarkan orang-orang yang terjepit di antara tuntutan simultan untuk merawat dan memberikan dukungan emosional, finansial serta sumber daya ekstensif lainnya bagi orang tua dan anak-anak mereka yang masih bergantung. Diskursus mengenai generasi sandwich demikian tidak hanya terisolir dalam demografi atas persebaran kelompok produktif dan non-produktif, tetapi menyentuh ranah yang lebih kompleks, yakni etika sebab bersinggungan dengan masalah kewajiban yang kemudian dieksplikasi sebagai tanggung jawab. Dalam praktiknya, generasi ini berkonfigurasi dengan pilihan serta pertimbangan-pertimbangan tertentu. Sebagai makhluk yang rasional, manusia secara lazim memilih alternatif yang melahirkan kebahagiaan (pleasure) dan penghindaran dari rasa sakit (pain). Penelitian ini secara spesifik memberikan gambaran mengenai fenomena sandwich generation dengan metode analisis deskriptif. Konsep-konsep dalam tradisi utilitarian dengan meminjam algoritma kalkulus hedonisme, Jeremy Bentham untuk menghitung jumlah dan tingkat kebahagiaan yang ditimbulkan oleh suatu tindakan, diharapkan dapat menjadi perkakas bagi wawasan dan pertimbangan keputusan moral individu dalam keterjepitan. ......Humans activities are always linked with values. Giving the attributes to the phenomenon shows that humans cannot be distinguished from moral problems and judgments. Natality, ageing population, and population spikes have promote the phenomenon of sandwich generation. This term used to describe people who are caught between the simultaneous demands of caring for and providing extensive emotional, financial, and other resource support for parents and their dependent children. The discourse of the sandwich generation is not only insulated in the demographics of the distribution of productive and non-productive but touches a more complex realm, which is ethics because it intersects with the issue of obligation that is then interpreted as a responsibility. In practice, this generation is configured with certain choices and considerations. As rational beings, humans choose alternatives that lend us to happiness (pleasure) and escape the pain. This study specifically confers an overview of the phenomenon of sandwich generation with descriptive analysis method. Concepts in the utilitarian belief by borrowing the hedonism calculus algorithm, Jeremy Bentham to calculate the amount and level of happiness caused by an action are expected to be a machine or insight and consideration of individual moral decisions in sandwiches.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Tasha Renggani
Abstrak :
Penelitian ini berfokus pada permasalahan tanggung jawab dan bias yang terjadi dalam Artificiall intelligence melalui penerapannya pada Applicant Tracking System (ATS). Masalah ini menimbulkan pertanyaan mengenai agen yang bertanggung jawab atas bias yang ditimbulkan AI. Terdapat dua posisi dalam agen moral teknologi, pertama manusia sebagai agen moral dan kedua, AI sebagai agen moral. Namun, kedua posisi ini memiliki masalah yang membuatnya tidak cukup untuk memahami permasalahan tanggung jawab moral dalam AI. Artikel ini membahas permasalahan tanggung jawab dalam bias yang terjadi pada AI melalui penerapannya pada ATS dan mengargumentasikan bagaimana kita seharusnya memahami permasalahan tersebut. Artikel ini disusun menggunakan kajian literatur dan metode analisis deskriptif dengan teori mediasi teknologi Peter Paul Verbeek sebagai kerangka analisis. Dimulai dari pemaparan mengenai AI dan ATS, dimensi bias dalam ATS AI, pemaparan mengenai tanggung jawab dalam AI dan diakhiri dengan pemaparan teori mediasi dari Paul Verbeek dan analisis tanggung jawab AI untuk memahami relevansi moral dan status moral dari teknologi sebagai pendekatan baru dalam menjawab problem tanggung jawab dalam AI. Artikel ini bertujuan untuk mendemonstrasikan bagaimana mutualitas teknologi dan manusia terjadi dalam AI dan bahwa permasalahan tanggung jawab moral bukan permasalahan antara satu entitas manusia atau AI tetapi merupakan gabungan keduanya. ......This study focuses on the problem of responsibility and bias that occurs in Artificial intelligence through its application in Applicant Tracking System (ATS). This issue raises questions about the responsible agents of bias in AI systems. There are two positions in the moral agent of technology, firstly humans as moral agent and secondly, AI as moral agent. However, both positions have issues that make them insufficient to understand the issue of moral responsibility in AI. This article examines the issue of responsibility for bias that occurs in AI through its application to ATS and argues how we should understand the problem. This article was compiled using literature review and descriptive analysis method with Peter Paul Verbeek's technology mediation theory as the analytical framework. Starting with a discussion about AI and ATS, the dimensions of bias in ATS AI, responsibility issue in AI and ends with a discussion of mediation theory from Paul Verbeek and an analysis of AI responsibility to understand the moral relevance and moral status of technology as a new approach in answering the problem of responsibility. This article aims to demonstrate how the mutuality of technology and humans occurs in AI and that the issue of moral responsibility is not a problem between a single human entity or AI but a combination of the two entities.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Idrus Wintama
Abstrak :
Penelitian ini berfokus kepada pembahasan mengenai pencarian makna hidup di balik penderitaan dalam karya light novel Re: Zero Kara Hajimeru Isekai Seikatsu karangan Nagatsuki Tappei.  Analisis terhadap novel ini dilakukan dengan menggunakan pemikiran eksistensialisme Viktor Frankl. Di tengah populernya permasalahan sosial seperti fenomena N.E.E.T, diperlukan sebuah mutiara kehidupan terutama untuk para remaja terkait dengan semangat untuk mencari makna hidup. Dalam penulisan artikel tugas akhir ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu metode kajian literatur dengan menggunakan literatur kepustakaan sebagai basis dalam mengumpulkan sumber data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis terhadap novel Re: Zero dengan menggunakan pemikiran Viktor Frankl mengantarkan pada penemuan akan sikap pantang menyerah yang ditunjukkan oleh Natsuki Subaru dalam menemukan makna di balik penderitaan dapat berlaku untuk semua kalangan. Karakter Natsuki Subaru juga dapat menjadi inspirasi khususnya bagi para remaja dalam menyikapi penderitaan hidup secara konstruktif; dengan menumbuhkan sikap optimisme dalam menghadapi berbagai rintangan yang penuh dengan penderitaan. ......This research focuses on the discussion of the search for the meaning of life behind suffering in the light novel Re: Zero Kara Hajimeru Isekai Seikatsu by Nagatsuki Tappei using the thought of existentialism Viktor Frankl. In the midst of the popularity of the social problems such as the N.E.E.T., an insight is needed especially for teenagers related to the spirit to find the meaning of life. In writing this final project article, the author uses qualitative research methods namely literature review methods using literature as a basis for collecting data sources. The results showed that there is a compatibility between Natsuki Subaru's character and Viktor Frankl's thinking, and how Natsuki Subaru's persistence in finding the meaning behind suffering can be applied for all ages. Natsuki Subaru's character can also be an inspiration especially for teenagers in responding to dynamic life development. By always instilling an attitude of optimism and never giving up even though you have to face various obstacles that are very suffering.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Winean Rebecca Angelique
Abstrak :
Ketertarikan pada sifat antar tindakan human dengan non-human animal semakin meningkat saat kita memasuki abad ke-21. Jelas bahwa terdapat banyak masalah yang penting terkait kesejahteraan hewan yang menuntut perhatian segera dan cermat. Sudah begitu lama hewan dipandang ada hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia saja. Hal ini terjadi dalam posisi manusia yang dianggap sebagai makhluk simbolik dalam pendeketannya yang begitu antroposentrik. Hadirnya antroposentrisme memberikan konsekuensi bahwa manusia menggunakan posisi sentralnya itu untuk memanfaatkan non manusia untuk kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan kepentingan bersama semua makhluk hidup. Bahwa kehidupan bukan hanya milik manusia, dan bukan hanya soal pengalaman manusia saja, melainkan bagaimana cara kita menidentifikasi pengalaman hewan yang lain itu dengan pendekatan bahasa. Melalui pendekatan zoosemiotik kita dapat meminimalisir kecenderungan antroposentris yang destruktif dan eksploitatif. Zoosemiotik, atau studi hewan yang diinformasikan secara semiotika dengan lebih luas, berupaya menggambarkan makna dan tanda dalam hubungan pada hewan dan antara hewan dengan budaya manusia. Hal tersebut dimungkinkan karena pandangan spesiesme akan bergeser sedikit demi sedikit, memungkinkan manusia untuk tidak lagi menganggap status yang lebih rendah pada hewan dan menganggap mereka bukan sebagai individu, dan bukan sebagai objek dan sarana untuk memenuhi keinginan manusia. Kemudian, terbuka kemungkinan cukup besar bagi pendekatan zoosemiotik ini sebagai proses kepedulian dan penghayatan bersama yang dilakukan melalui kemungkinan terjalin nya pertukaran tanda bahkan proses komunikasi antara manusia dan hewan dalam relasi nya.
Interest in the nature of human and non-human animal action increases as we enter the 21st century. It is clear that there are many important issues related to animal welfare that demand immediate and careful attention. For a long time, animals were thought to exist only to meet human needs. This happens in the position of humans who are considered as symbolic creatures in their approach that is so anthropocentric. The presence of anthropocentrism provides the consequence that humans use their central position to utilize non-humans for personal gain in the name of the common interests of all living things. That life does not only belong to humans, and is not only a matter of human experience, but how we identify other animal experiences with a language approach. Through a zoosemiotic approach we can minimize the destructive and exploitative anthropocentric tendencies. Zoosemiotics, or animal studies that are informed more broadly by semiotics, attempt to portray the meaning and sign in relationships in animals and between animals and human culture. This is possible because the view of species will shift little by little, allowing humans to no longer consider lower status in animals and consider them not as individuals, and not as objects and means to fulfill human desires. Then, there is a big possibility for this zoosemiotic approach as a process of mutual concern and appreciation carried out through the possibility of intertwining the exchange of signs and even the process of communication between humans and animals in their relationships.

Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Lutfi
Abstrak :
Ketidakhadiran orang-orang terdekat seperti teman dan keluarga menjadi alasan seseorang melakukan relasi dengan orang asing. Hal ini karena kehadiran orang lain sebagai pendengar yang baik dapat meningkatkan kesejahteraan dalam diri seseorang, seperti pada fenomena Quarter Life Crisis dimana kehadiran orang lain menjadi sangat berarti. Namun, relasi seperti ini justru menunjukan egoisme eksistensialis subjek dilihat dari adanya sifat diri yang mengabaikan hakikat dari orang lain sebagai yang Liyan. Melalui metode studi pustaka pemikiran Emmanuel Levinas, tulisan ini menunjukan bahwa relasi dengan orang asing dapat menghadirkan relasi etis (the Ethical) melalui ‘Aku’ yang memberi tanggapan terhadap ‘wajah’ orang lain dan bertanggung jawab dengan menjadi pendengar (Being for the Others). Metode etik fenomenologi juga digunakan sebagai upaya pendekatan berbasis lived experience yaitu studi tentang makna akan realitas kehidupan yang dialami oleh subjek dengan berfokus pada orang lain sebagai yang Liyan (the Others). ......The absence of friends and family is the reason why someone has relationships with strangers. This is because the presence of other people as good listeners can improve a person's well-being, such as in the Quarter Life Crisis phenomenon where the presence of other becomes very meaningful. However, a relationship like this shows existentialist egoism seen from the nature of the self which ignores the essence of other people as the Other. Using the literature study method of Emmanuel Levinas's thoughts, this article shows that relationships with strangers can present the Ethical relationship through the 'I' which responds to the 'face' of other people and takes responsibility by being a listener (Being for the Others). The phenomenological ethical method is also used as an approach based on lived experience, as the study of the meaning of the reality of life experienced by the subject by focusing on other people as the Others.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>