Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bambang Dwiyatmoko
Abstrak :
ABSTRAK Ruang lingkup dan cara penelitian : Diabetes mellitus , saat ini merupakan masalah kesehatan nasional, dan menduduki urutan ke 4 prioritas penelitian nasional untuk penyakit degeneratif. Diperkirakan jumlah DM di Indonesia telah mencapai 1,4 juta orang. Berbagai upaya penaggulangan DM telah dilakukan. Untuk DM yang tidak bergantung insulin (NIDDM ), salah satu cara penanggulanganya dengan menggunakan obat hipoglikemik oral. Selain menggunakan obat hipoglikemik oral juga dapat digunakan obat tradisionil yang banyak tersedia di Indonesia. Sebagian masyarakat Indonesia secara empiris telah menggunakan tumbuhan jamblang untuk pengobatan DM. Bagian dari tumbuhan tersebut yang digunakan ialah biji, kulit batang dan daun. Dalam kesempatan ini diteliti efek infus daun jamblang pada tikus yang mendapat streptozotosin. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah infus daun jamblang dapat melindungi kerusakan pankreas pada tikus yang mendapat streptozotosin. Penelitian dibagi menjadi 2 tahap. Penelitian tahap I, menggunakan 36 ekor tikus putih galur Sprague Dawley, jantan, sehat, berasal dari Pusat Pemeriksaan Obat dan Makanan Ditjen POM, berat badan antara 150 -200 g, dan diberikan makan pelet standar dan minun secukupnya, dikelompokkan secara acak menjadi 6 kelompok. Kelompok kontrol negatif adalah kelompok tikus yang mendapat aquades secara oral setiap hari, selama 6 hari. Kelompok kontrol positif adalah kelompok tikus yang mendapat aquades secara oral setiap hari selama 6 hari. Kelompok klorpropamid adalah kelompok tikus yang mendapat suspensi klorpropamid 200 mg/kg BB secara oral setiap hari selarna 6 hari. Kelompok ID31 adalah kelompok tikus yang mendapat infus daun jamblang dosis 33,75 g/kg BB secara oral setiap hari, selama 6 hari . Kelompok IDJ2 adalah kelompok tikus yang mendapat infus daun jamblang dosis 67,5 g/kg BB setiap hari, selama 6 hari. Kelompok IDJ3 adalah kelompok tikus yang mendapat infus daun jamblang dosis 135 g/kg BB setiap hari selama 6 hari.. Pada hari ke 0 sebelum mendapat perlakuan, masing - masing tikus dalam keadaan terbius dengan eter diambil darahnya sebanyak 2 ml ke dalam tabung mengandung heparin dari vena ekor untuk pengukuran kadar glukosa, kadar malondialdehid (MDA) dan aktivitas superoksida dismutase (SOD) awal. Kemudian dilakukan pemberian aquades secara oral kepada kelompok kontrol negatif dan kontrol positif, infus daun jamblang secara oral kepada kelompok IDJ 1, IDJ2, IDJ3 dan suspensi klorpropamid secara oral kepada klorpropamid. Pada hari ke 6 kecuali kelompok kontrol negatif, kepada masing- masing tikus disuntikkan streptozotosin 50 mg/kg BB dalam dapar sitrat pH 4 secara intravena. Kepada tikus kelompok kontrol negatif, hanya disuntikkan dapar sitrat (pelarut streptozotosin). Pada hari 9 semua tikus diambil lagi darahnya sebanyak 2 ml untuk pemeriksaan kadar glukosa darah, kadar MDA, dan aktivitas SOD. Pengukuran kadar glukosa dalam darah menggunakan metode glukosa oksidase menggunakan kit reagen dari STReagensia. Pengukuran kadar MDA plasma dilakukan dengan mereaksikanya dengan asam tiobarbitural, dalam suasana asam diukur absorbannya pada panjang gelombang 532 tun. Pengukuran aktivitas superoksida dismutase (SOD) eritrosit ditetapkan dengan metode Misra dan Fridovic, ekstraksi SOD dari eritrosit dilakukan dengan metode Auclair dan Banoun. Sesudah pengambilan darah pada hari ke 9, segera dilakukan tahapan pemeriksaan histologis dengan membunuh semua tikus dengan cara didekapitasi, diambil organ - organnya dan diamati secara makroskopis. Bila ditemukan kelainan patologis, maka organ pankreas, hati dan ginjal diambil, kemudian difiksasi dengan larutan buffer formalin 10 %, kemudian dilakukan pengamatan dengan mikroskop cahaya setelah pewarnaan hematoksilin eosin. Penelitian tahap II, menggunakan 18 ekor tikus dengan situasi dan kondisi yang sama seperti tikus yang digunakan pada penelitian tahap I, secara acak dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok IDJI-0 adalah kelompok tikus yang mendapat infus daun jamblang secara oral dengan dosis 33,75 glkg BB, kelompok IDJ2-0 adalah kelompok tikus yang mendapat infus daun jamblang dosis 67,5 g/kg BB, dan kelompok IDJ3-0 adalah kelompok tikus yang mendapat infus daun jamblang dosis 135 glkg BB selama 6 hari berturut - turut. Pada hari ke 7 kepada masing- masing tikus pada ketiga kelompok dilakukan pemeriksaan histologis dengan Cara yang sama dengan pada penelitian tahap I. Hasil dan kesimpulan: Kadar glukosa plasma kelompok klorpropamid lebih rendah , berbeda bermakna secara statistik dibandingkan dengan kontrol positif (p<0,05). Kadar glukosa plasma kelompok IDJ1, lebih rendah, berbeda tetapi tidak bermakna secara statistik dibandingkan dengan kontrol positif (p>0,01). Kadar glukosa plasma kelompok IDJ2,dan IDJ3 lebih rendah, berbeda bermakna secara statistik dibandingkan dengan kontrol positif (p<0,05). Kadar MDA plasma kelompok klorpropamid, IDJ1, 1DJ2, dan IDJ3 lebih. rendah, berbeda bermakna secara statistik dibandingkan dengan kontrol positif (p<0,05). Kadar MDA kelompok klorpropamid lebih rendah, berbeda bermakna secara statistik dibandingkan dengan kelompok IDJI,IDJ2 dan IDJ3 (p<0,05). Aktivitas SOD kelompok klorpropamid, IDJI, IDJ2, IDJ3 lebih rendah , berbeda tetapi tidak bermakna secara statistik dibandingkan dengan kontrol positif (p>0,05). Dari hasil pemeriksaan histologis, semua tikus kecuali pada kelompok kontrol negatif, sel 3 pulau Langerhans mengalami perubahan menjadi hiperseluler, yang ditandai dengan inti yang lebih hiperkromatik dan sitoplasmanya mengecil. Satu tikus dari kelompok I031 pankreasnya mengalami perdarahan yang hebat. Pada kelompok kontrol positif ditemukan tikus yang sel 0 pulau Langerhansnya mengalami hipertropi dibanding kelompok kontrol negatif. Pada kelompok IDJ1 ditemukan hipertropi pada sel 3, dibandingkan dengan sel 3 sekelilingnya. Ditemukan adanya tumor pada ginjal tikus kelompok IDJ3. Gambaran histologis kualitatif tidak secara jelas menggambarkan hubungan antara kemampuan daun jamblang melindungi kerusakan sel akibat streptozotosin dalam menurunkan kadar glukosa plasma. Ditemukan adanya 1 tumor pada ginjal tikus kelompok IDJ3. Hasil pemeriksaan histologis tahap II , pada organ pankreas dan ginjal tidak ditemukan sel tumor. Kesimpulan: 1. Infus daun jamblang dapat menurunkan kadar glukosa plasma. 2. Infus daun jamblang dapat menurunkan kadar MDA, diduga kuat mekanismenya sebagai anti oksidan. 3. Infus daun jamblang tidak mempengaruhi aktivitas SOD eritrosit. 4. Efek proteksi daun jamblang mencegah penurunan fungsi pankreas akibat penyuntikan streptozotosin. 5. Tumor pada ginjal yang ditemukan pada penelitian tahap I bukan disebabkan oleh infus daun jamblang pemberian oral selama 6 hari. Saran: 1. Perlu dilakukan isolasi kandungan aktif senyawa yang mempunyai efek hipoglikemik, dan mengetahui zat apa yang berkasiat hipoglikemik. 2. Untuk lebih mengetahui mekanisme kerja infus daun jamblang perlu diadakan penelitian tingkat seluler, mengukur, kadar MDA, aktivitas SOD pada organ pankreas utuh dan pembanding antioksidan. 3. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut, tentang efek yang merugikan seperti efek karsinogenik, atau efek toksik kronik yang lain.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutarman
Abstrak :
Hasil-hasil investigasi epidemiologi akan sangat membantu para dokter hewan untukmemperoleh informasi dalam penanganan suatu penyakit. Demikian pula investigasi epidemiologi pada manajemen orangutan di Kebun Binatang Ragunan, akan sangat bermanfaat memberikan informasi dan data di dalam menyelenggarakan pengelolaan orangutan di Kebun Binatang Ragunan. Data tingkah laku orangutan di dalam kandang, sistem perkandangan, mutu dan jumlah pakan yang diberikan, catatan tentang status kesehatan, uji tuberkulinasi, hematologi normal, elektrokardiogram normal, kimia klinik normal, prosedur kontrasepsi, kesemuanya ini bisa dipakai di dalam pengelolaan kesehatan orangutan di Kebun Binatang Ragunan. Populasi orangutan kalimantan di alam makin lama makin menurun, antara lain disebabkan oleh perburuan liar. Oleh karena itu bagaimanapun juga usaha reintroduksi harus dilakukan secara berkesinambungan pula. Untuk tujuan itu diperlukan generasi orangutan yang memenuhi sarat untuk di reintroduksikan ke alam. Jadi Kebun Binatang harus mampu menghasilkan generasi orangutan yang sehat, tidak berpenyakit menular, tidak mengidap endoparasit, ektoparasit, serta tetap memiliki sifat-sifat alaminya. Orangutan termasuk anggota kera besar yang mempunyai kantung udara luas dan berkelok-kelok, sehingga memudahkan terjadinya infeksi yang bersifat kronis. Pada umumnya radang kantong udara pada orangutan kalimantan di Kebun Binatang Surabaya dart Kebun Binatang di Luar Negeri kesemuanya bersifat kronis. Dan eksudatnya dapat diisolasi bakteria Pseudomonas aerugenosa, Proteus vulganis, Escherechia coll. Bakteri-bakteri ini pada umurnnya bukan patogen juga terhadap manusia, tetapi pada isolasi kuman dari eksudat radang kantong udara pada orangutan jantan di Kebun Binatang Ragunan juga ditemukan bakteri Streptococcus pneumoniae yang sangat patogen terhadap manusia, satwa liar, hewan ternak dan hewan kesayangan. Bahkan Streptococcus pneumoniae ini bisa menular dari satwa kepada manusia yang disebut zoonosis dan dari manusia ke satwa yang disebut anthropozoonosis. Radang kantong udara pada orangutan Kalimantan di Kebun Binatang Ragunan dan Kebun Binatang Surabaya ini, baru pertama kali dilaporkan di Indonesia. Ditemukannya bakteri Streptococcus pneumoniae di eksudat radang kantong udara pada orangutan di Kebun Binatang Ragunan juga baru pertama kali dilaporkan. ...... Kalimantan orangutan ( Pongo pygmaeus pygmaeus, Hoppius, 1763) is member of the great ape group which is endemic in Kalimantan island of Indonesia. Its fur color is reddish, dark or light brown. The fur is quite long and dense, especially at the shoulders and arms. Its head rump length (HRL) is approximately 1.25 - 1.5 meters (exceptionally, the HRL might reach 1.8 meters). The average body weight of the female is about 40 kg and of the male is about 75 - 100 kg. The orangutans is highly adapted to an arboreal mode of life, therefore it is considered as the true arboreal member of the great ape group. It explores the jungle of Kalimantan by swinging from branch to another branch of the tree. Its swinging movement is supported by its arms, which are longer and stronger than the arms of the other great apes. Its arms spread is about 2.25 meters. Most of the males have large cheek flanges which consist of fibrous tissue, at the side of the face. The width and length of the cheek flanges mature male is about 10 centimeters and 20 centimeters respectively. It also has a throat sac, which is called "air sac". The sac is extremely developed and can take in several litters of air. Due to the drastic decrease of its in situ population, caused by illegal hunting and other reasons, the orangutan has been considered as an endangered species (IUCN - Appendix I) and its existence has been strictly protected by law (Fauna Protection Ordinance, 1931 - Stbl 134 and 226). Recently, reintroduction program has been considered as an effective approach to conserve the orangutan population in its in situ habitat. This program begins with the breeding program of the orangutan in the captive environment which is a simulated environment of its native habitat. The goal of captive breeding program is to bear the offspring of the orangutan which will be reintroduced to its native habitat later on, in healthy condition, free from infectious deseases, endo and ecto parasites and still bears its natural behavior. The Zoological Park would be the right institution to conduct the program. The captive (ex situ) breeding program of the orangutan has been being conducted by the Ragunan Zoological Park in Jakarta to study epidemiological, behavior, and other biological aspects of the orangutan in order to support the reintroduction program. Specifically, the study has examined and or investigated the medical records, feed and nutrition, behavior, tuberculin test, contraceptive procedure, normal electrocardiogram, normal hematology, clinical chemistry, caging contruction and management (include sanitation), preventive and curative disease treatment and raising procedure. The medical data, which has been collected for five years, indicated that the orangutan raised in the open cages was healthier than the one raised in the close cages. It was observed that the former group was rarely infected by any diseases. The investment of the open cage was more expensive than the close cage during construction period, but relatively very small cost was needed for maintenance in the long run. The air sacullitis case among the orangutan in Kalimantan has never been reported. This disease is a chronic disease. However, the case was reported among the orangutan raised in the foreign countries. It was reported that the case was caused by the Pseudomonas sp, Proteus sp and by Ischerechia call. These bacteria are not pathogen. The examination of air saculitis exudate derived from the orangutan raised in the Ragunan Zoo, has been sucsesful in isolating the Streptococcus pneumoniae. This bacteria is pathogen and anthropozoonosis to human and to other wild or domesticated animals.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
N. Marsono
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library