Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
F.X. Dimas Adityo
Abstrak :
Kompleks Keraton Yogyakarta, adalah merupakan salah satu dari data arkeologi dari masa Kerajaan Islam yang keadaannya relatif masih utuh sampai dengan saat ini. Seper_ti halnya Keraton-keraton lainnya yang juga peninggalan dari masa Kerajaan Islam, sejarah pendiriannya juga tak lepas dari pengaruh pemerintahan kolonial, dalam hal ini adalah Belanda. Pengaruh tersebut adalah akibat dari adanya teka_nan-tekanan politik Pemerintah kolonial terhadap Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, seperti halnya yang terjadi pada Kasultanan Yogyakarta. Menurut sumber sejarah yang cukup representatif sebagai sumber sejarah asli Keraton Yogyakarta yaitu Babad Ngayogyakarta, telah menunjukkan adanya suatu pengaruh kehidupan pemerintahan kolonial Belanda, di dalam kehidupan sosial maupun seni-budaya Keraton Yogyakarta. Masuknya budaya barat seperti pesta-pesta, minum-minuman keras dan hiburan musik-musik barat, adalah sudah merupakan bagian dari suatu upacara protokoler penyambutan tamu-tamu barat dari pihak Pemerintah Kolonial Belanda yang berkunjung ke Keraton Yogyakarta. Hal tersebut, menurut Babad Ngayogya_karta terutama ditunjukkan pada masa pemerintahan Sultan HamengkuBuwono ke-V sampai dengan pemerintahan Sultan Ha_mengkuBuwono ke-VIII. Akibat adanya tekanan politik pemerin_tah kolonial terhadap Kasultanan Yogyakarta tersebut, menga_kibatkan Kasultanan Yogyakarta harus selalu menjaga hubungan baik dengan pihak Belanda. Oleh sebab itu, penyelenggaraan suatu upacara protokoler dalam setiap menjamu tamu-tamu Belanda di Keraton Yogyakarta pada saat itu merupakan kebu_tuhan. Kebutuhan-kebutuhan untuk terselenggaranya suatu upacara protokoler tidak hanya dalam penyediaan pesta dan hiburan-hiburan bergaya barat raja, tetapi juga diperlu_kannya beberapa bangunan untuk melengkapi jalannya upacara protokoler tersebut. Bangunan-bangunan tersebut, antara lain Bangsal Marais untuk tempat perjamuan makan dan minum, Ged_hong Gangsa untuk tempat memainkan Gamelan, Gedhong sarang_baya untuk tempat menyediakan minum-minuman keras, Gedhoug Patehan untuk tempat membuat minuman teh, Bangsal Kothak untuk tempat wayang orang, dan Bangsal Mandalasana sebagai tempat pertunjukan musik-musik barat. Bangunan-bangunan tersebut didirikan untuk melengkapi bangunan inti atau utama dalam suatu jalannya upacara protokoler, yaitu bangunan Bangsal Kencana sebagai Singgasana Sultan dan tempat duduk para tamu. Bangunan keperluan upacara protokoler tersebut sebagian besar dibangun pada masa pemerintahan Sultan Ha_mengkuBuwono ke-VIII, dan hanya beberapa yang sudah ada sejak masa sebelumnya. Bangunan yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan HB-VIII tersebut, diantaranya adalah Bangsal Mandalasana, sebagai bangunan untuk tempat pertunju_kan musik-musik barat di Keraton Yogyakarta. Bangunan Bang-sal Mandalasana ini memiliki beberapa kekhususan dan keisti_mewaan, karena bentuknya yang bukan merupakan bentuk bangu_nan tradisional Jawa, dan ornamen utamanya yang bergambar alat-alat musik barat yang menunjukkan fungsinya sebagai tempat pertunjukan musik barat. Hal-hal mengenai arsitektur, ragam hias, dan terutama fungsi serta kaitannya terhadap aspek-aspek politik, dan sosial-budaya Keraton Yogyakarta inilah yang akan dibahas dalam suatu hasil penelitian dalam karya tulis ini.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
S11562
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diazeva Fathia
Abstrak :

Penelitian ini membahas mengenai Perkebunan Teh Gedeh di Cianjur, Jawa Barat dengan menggunakan sudut pandang arkeologi industri. Penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi proses produksi teh dan kehidupan sosial di Perkebunan Teh Gedeh melalui keletakan bangunan-bangunan serta arsip. Bangunan-bangunan yang diteliti antara lain bangunan untuk produksi, bangunan untuk tempat tinggal, dan infrastruktur sedangkan arsip yang digunakan berupa foto, peta dan surat kabar. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat tiga tahapan dalam proses produksi teh Perkebunan Teh Gedeh, yaitu praproduksi, produksi dan pasca produksi serta alat-alat yang digunakan pada tahapan-tahapan tersebut. Kelas sosial di Perkebunan Teh Gedeh terbagi menjadi golongan atas, golongan menengah dan golongan pekerja yang terlihat dari pekerjaan, tempat tinggal, pakaian, serta gender. Keletakan bangunan-bangunan di Perkebunan Teh Gedeh memiliki makna dan tujuan tertentu terkait dengan fungsi pengawasan dan fungsi strategis.

 


This study discusses Gedeh Tea Plantation in Cianjur, West Java, using point of view of industrial archaeology. This study aims to reconstruct the tea production process and social life in Gedeh Tea Plantation through the location of buildings and archives. The buildings studied include buildings for production, buildings for housing, and infrastructure, while the archives used are photos, maps, and newspapers. Based on the results of the analysis, it is known that there are three stages in the tea production process of Gedeh Tea Plantation, namely preproduction, production, and post-production, and the tools used at these stages. The social class in Gedeh Tea Plantation is divided into the upper class, middle class, and working-class as seen from their occupation, residence, clothing, and gender. The location of the buildings in the Gedeh Tea Plantation has a specific meaning and purpose related to its supervisory and strategic functions.

 

Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library