Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dian Citra Resmi
"Tujuan : Mengetahui kondisi intubasi 60 delik setelah peinberian rokuronium 0,6 mg/kg berat badan dengan menggunakan teknik induksi kombinasi propofol-efedrin 10 mg intravena dan teknik induksi propolbl intravena.
Desain: Prospektif, data dikumpulkan pada salah pusat penelilian dengan uji acak tersamar ganda.
Metode: 42 pasien dengan status fisik ASA 1 atau 2 yang akan dilakukan pembedahan berencana dengan anestesia uimnl dan intubasi endotrakea disertakan dalaah penelitiaa ini. Pasien dibagi dalam dua kelompok, kelompok I diberikan kombinasi propofol 2,5 mg/kg berat badan-efedrin 10 mg intravena (kelompok efedrin) dan kelompok II diberikan propofol 2,5 mg/kg berat badan intravena (kelompok salin). Premedikasi dengan midazolam 0,05 mg/kg berat badan dan fentanyl 1 pg/kg berat badan diberikau 3 merit sebeluin induksi. Setelah pemberian obat induksi, diberikan rokuronium 0,6 mg/kg berat badan. Kondisi intubasi dinilai bcrdasarkan kritcria Krieg dan peman[auan neuromuskular dengan nicnggunakan Train-of-four pada otot adductor pollicir.
Hasil: Kelompok efedrin didapatkan kondisi intubasi yang sangat baik 85,7% dan baik 14,3%. Kelompok satin didapatkan kondisi intubasi yang sangat balk 75% dan baik 25%.
Kesimpulan . Kondisi intubasi 60 delik selclah pemberian rokuronium 0,6 mg/kg berat badan dengan inenggunakan teknik induksi kombinasi propofol-efedrin 10 ing intravena saina baiknya dengan teknik induksi propofol intravena.

Objective : The aim of this study was to evaluate intubating conditions 60 second after rocuronium 0,6 mg/kg body weight administration using induction technique propofol-ephedrine 10 mg intravenous in combination and induction technique propofol intravenous.
Design : Prospective, randomiked controlled trial study.
Methods : 42 patients with physical status ASA 1 or 2 who were scheduled for elective surgery requiring general anaesthesia and tracheal intubation. Patients were randomly assigned to receive either propofol 2,5 ing/kg body weight-ephedrine 10 mg intravenous in combination (ephedrine group) or propofol 2,5 mg/kg body weight intravenous (saline group). Premedication drugs were midazolam 0,05 mg/kg body weight and fenlanyl l }mg/kg body weight, 3 minute prior to induction. Alter induction drugs were administered. then rocuronium 0,6 inglkg body weight was given. Criteria of Krieg was used to evaluate when intubating conditions and neuromuscular function which was assessed by using Train-of dour monitoring at the adductor pollicis.
Results : In the ephedrine group the intubating conditions were excellent 85,7% and good 14,3%. In the saline group the intubating condition were excellent 75% and good 25%.
Conclusion : intubating conditions 60 second after rocuronium 0,6 mg/kg body weight administration using induction technique propofol-ephedrin 10 mg intravenous in combination as good as induction technique propofol intravenous.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setyadi
"Tujuan: Membandingkan angka keberhasilan dan kemudahan pemasangan sungkup faring proseal (LMP) yang difasilitasi rokuroniun dosis 0,2 mg/kg bb dengan rokuronium dosis 0.1 mg/kg bb.
Metode: Dilakukan uji klinik tersamar ganda pada 48 pasien yang menjalani operasi berencana dengan anesthesia umum. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu 24 pasien mendapat rokuronium dosis 0,2 mg/kg bb dan 24 pasien lainnya mendapat rokuronium dosis 0,1 mg/kg bb untuk memudahkan pemasangan LMP. Selama penelitian, dilakukan pengamatan frekuensi dan kemudahan upaya pemasangan serta perubahan hemodinamik. Data numerik akan dianalisis dengan uji t serta data nominal dengan uji x-kuadrat dan uji Fisher.
Hasil: Tidak ditemukan perbedaan berrnakna pada angka keberhasilan dan kemudahan pemasangan LMP antara kelompok yang mendapatkan rokuronium dosis 0,2 mg/kg bb dengan rokuronium 0,1 mg/kg bb. lnsiden gerakan, batuk dan relaksasi mandibula tidak berbeda bermakna. Satu kasus dari kelompok yang mendapatkan rokuronium dosis 0,1 mg/kg bb gagal dipasang dan mengalami laringospasme.
Kesimpulan: Pemberian rokuronium dosis 0,2 mg/kg bb mempunyai angka keberhasilan dan tingkat kemudahan yang sama dalam pemasangan LMP dengan rokuronium dosis 0,1 mg/kg bb.

Purpose: To compare success rate and ease grade on LMP insertion facilitated with rocuronium 0.2 mg/kgBW with rocuronium 0.1 mg/kgBW.
Methods: We performed a randomized, double-blind study in 48 patients under general anesthesia. Patients were randomized into two groups; 24 patients had rocuronium 0.1 mg/kgBW and others had rocuronium 0.2 mg/kgBW to facilitated LMP insertion. During the research, we observed the success rate and ease grade and also haemodynamic changes. For statistical analysis we used t-test, chi-square test and Fisher's test.
Results: There were no differences in patients who had rocuronium 0.1 mglkgBW and rocuronium 0.2 mg/kgBW to facilitated LMP insertion for success and ease grade. There were no significance in movement incidences; cough and mandibula relaxation. There is one patient from rocuronium 0.1 mg/kgBW group that failed because of laryngospasm.
Conclusion: LMP insertion with rocuronium 0.1 mg/kgBW and rocuronium 0.2 mg/kgBW have the same success rate and ease grade.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Evy Sjahrijati
"Tujuan : Membandingkan angka keberhasilan pemasangan LMP antara teknik klasik modifikasi dengan teknik introduser.
Metode :Uji klinik tersamar ganda. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSCM pada bulan Maret sampai dengan April 2004, pada 118 pasien dewasa yang menjalani operasi berencana dengan anesthesia umum. Pasien dibagi secara acak menjadi 2 kelompok; 59 pasein mendapat perlakuan teknik klasik modifikasi dan 59 pasien lainnya dengan teknik introduser. Apabila berhasil dilanjutkan dengan pemasangan OCT. Selama penelitian dilakukan pengamatan frekuensi upaya pemasangan, perubahan hemodinamik serta komplikasi yang timbul. Analisa statistik dilakukan dengan uji t untuk data numerik, uji x-kuadrat untuk data nominal, dengan tingkat kemaknaan p<0,05.
Hasil : Angka keberhasilan pemasangan LMP pada upaya pertama (96% vs 88,1%, p<0,05) lebih tinggi dengan teknik klasik modifikasi, tetapi angka keberhasilan setelah upaya ketiga adalah sama (98,3%) pada kedua kelompok. Angka Keberhasilan pemasangan OGT lebih tinggi pada kelompok teknik klasik modifikasi (86,2% vs 81,1%, p<0,05). Terdapat penurunan hemodinamik yang bermakna pada 1 menit setelah pemasangan LMP. Angka penurunan MAP (6,16% vs 10,25%) dan laju denyut jantung (1,5% vs. 6,83%) lebih kecil pada kelompok teknik klasik modifikasi daripada kelompok teknik introduser. Kamplikasi yang timbul pada penelitian ini adalah ditemukannya darah pada kaf ketika dilakukan ekstubasi (9,32%).
Kesimpulan : Teknik klasik modifikasi mempunyai angka keberhasilan pemasangan LMP yang sama dengan teknik introduser.

Background: The ProSeal laryngeal mask airway (PLMA) is a new laryngeal mask device with a modified cuff to improve seal and drainage tube to provide a channel for regurgitated fluid and gastric tube placement. In this present double blind, randomized, clinical study, we tested the hypothesis that the rate of successful) PLMA insertion using modified classical technique is higher than introducer technique.
Method : A hundred and eighteen adult patients that underwent elective surgery with general anesthesia were randomly allocated to modified classical technique and introducer technique groups. We compared the rate of successful PLMA insertion technique. Oro gastric tube insertion was attempted if there was no gas leak. We assessed hemodynamic responses and complications of insertion.
Result : First-attempt insertion successful rate (96% vs. 88,1%, p<0,05) was higher for the modified classical technique, but after the third attempt successful rate were similar (98,3%). Oro gastric tube placement was more successful with modified classical technique (86,2% vs 81,1%, p<0,05). There was a significant decrease in hemodynamic measurement at 1 minute after insertion of the PLMA. There was a smaller decrease in mean arterial pressure (6,16% vs 10,25%) and heart rate (1,5% vs. 6,83%) after insertion with modified classical technique compare with introducer technique. The only complication was the presence of blood on the device following removal (9,32%).
Conclusion : Modified classical technique has a similar ALMA insertion successfulf rate with introducer technique.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Minarni
"Latar Belakang: Sebagian besar pasien pasca pembedahan abdominal yang masuk ICU menggunakan alat bantu berupa ventilasi mekanik. Kecemasan akibat penggunaan ventilasi mekanik dapat meningkatkan respon stres pasca pembedahan yang bila dibiarkan dapat menghasilkan hal-hal yang tidak diinginkan. Sedasi dibutuhkan untuk meniminalkan respon stres yang terjadi akibat penggunaan ventilasi mekanik. Deksmedetomidin dan midazolam merupakan agen sedasi yang banyak digunakan di ICU.
Metode: Penelitian uji klinis acak tersamar ganda ini mengelompokkan 22 pasien dewasa pascabedah abdominal yang mendapat layanan sedasi di ruang ICU RSCM menjadi 2 kelompok. Grup deksmedetomidin menerima 0,5 μg/kgbb intravena. Grup midazolam menerima 0,05 mg/kgbb intravena. Pemberian ke dua obat tanpa loading dose dan mulai diberikan setelah pasien tiba di ICU pada skala RASS nol (0). Kriteria inklusi adalah pasien dengan rentang usia 18-65 tahun, ASA I sampai III yang membutuhkan ventilasi mekanik pascabedah abdominal.
Hasil: Deksmedetomidin dan midazolam tidak mampu menurunkan respon stres karena hanya satu dari tiga parameter yang signifikan secara statistik. Penurunan gula darah terjadi pada grup midzolam setelah 6 jam pasca pembedahan abdominal (p<0,05), sedangkan untuk kadar IL-6 dan kortisol tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0,05). Skala RAAS pada grup deksmedetomidin menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan grup midazolam (p<0,05) sedangkan FAS tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0.05).
Simpulan: Sebagai agen sedasi, deksmedetomidin dan midazolam tidak mampu menurunkan respon stres pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik pasca bedah abdominal. Tingkat sedasi pada grup deksmedetomidin lebih baik daripada grup midazolam, tetapi deksmedetomidin dan midazolam sama-sama mampu meminimalkan kecemasan.

Background: Post-operative mechanical ventilation were often needed in patients after abdominal surgeries. Sedation was often given to minimize anxiety and stress response to mechanical ventilation. Both dexmedetomidine and midazolam are commonly used as sedatives in ICU. This study was aimed to compare the ability of dexmedetomidine and midazolam in reducing anxiety and stress response.
Methods: Twenty two patients aged 18-65 years, ASA physical status I to III, underwent abdominal surgery and requiring postoperative ventilation were included. Subjects were randomly divided into equal groups. Subjects in group D received dexmedetomidine 0.5 µg/kg iv, while in group M received midazolam 0,05 mg/kg iv. Vital signs, Face Anxiety Scale, RASS score, cortisol, blood glucose and IL-6 level were taken at baseline when subjects were admitted to the ICU and followed up until 6 hours.
Results: Both of dexmedetomidine and midazolam can not decreased stress response, in group M only decreased blood glucose level after 6 hours post-operative achieved statistical significance (p<0.05). Only RASS scale was significantly differed between group D and group M(p<0.05), while there was no statistically significant difference in other measured parameters.
Conclusions: Both dexmedetomidine and midazolam as sedative can not decreased stress response on abdominal surgery patients who required mechanical ventilation. Sedation level of dexmedetomidine was better than midazolam, but both of them can minimize anxiety.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sudaryadi
"Tujuan: Melakukan telaah sistematis untuk membandingkan terapi hidrokortison dan hidrokortison, asam askorbat, dan tiamin (HAT) sebagai ajuvan pada tingkat mortalitas pasien syok septik. Metode: Pencarian komprehensif dilakukan menggunakan empat pangkalan data (PubMed, EMBASE, Scopus, and Cochrane) menggunakan kata kunci spesifik hingga tanggal 18 Mei 2022. Semua studi yang dipublikasikan mengenai penggunaan terapi HAT pada pasien syok septik dikumpulkan dan ditelaah. Hasil: Dua studi uji acak terkendali, satu studi kontrol kasus, dan satu studi kohort yang melibatkan 635 pasien. Terapi HAT ditemukan tidak signifikan dalam menurunkan angka kematian di ICU (RR 0.89 95% CI [0.60 sampai 1.32], p=0.56), angka kematian di rumah sakit (RR 1.2 95% CI [0 ,90 sampai 1.59], p= 0,21), dan mortalitas 28 hari (RR 0,95, 95% CI [0,56 hingga 1,58], p=0,83) Kesimpulan: Tidak ditemukan perbedaan signifikan dalam mortalitas pada kelompok yang menggunakan HAT bila dibandingkan dengan terapi hidrokortison. Registrasi: ID pendaftaran PROSPERO untuk penelitian ini adalah CRD42022296055 (https://www.crd.york.ac.uk/prospero/display_record.php?RecordID=296055).

Objective: We systematically reviewed the comparison between hydrocortisone and hydrocortisone-ascorbic acid-thiamine combined therapy (HAT) as adjuvant in the mortality rate of septic shock patients. Method: Four databases (PubMed, EMBASE, Scopus, and Cochrane) are comprehensively searched using specific keywords up to 18th May 2022. All published studies on the use of HAT on septic shock patients were collected and reviewed Results: Two randomized controlled trials, one case control study and one cohort study enrolling 635 patients were included. HAT therapy was found to be not significant in reducing the ICU mortality rate (RR 0,89 95% CI [0,60 to 1,32], p=0,56), hospital mortality rate (RR 1.2 95% CI [0,90 to 1,59], p=0,21), and 28 days mortality (RR 0,95, 95% CI [0,56 to 1,58], p=0,83). Conclusion: No significant difference in mortality was found in the HAT group when compared with hydrocortisone therapy. Trial registration: PROSPERO registration ID for this study is CRD42022296055 (https://www.crd.york.ac.uk/prospero/display_record.php?RecordID=296055)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rudy Nugroho
"Latar Belakang : Penyapihan dari ventilasi mekanik adalah hal yang penting dalam merawat pasien kritis dan mendapatkan ventilasi mekanik. Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui ketepatan parameter fraksi penebalan diafragma, nilai CRP, jumlah balans kumulatif dan nilai Rapid Shallow Breathing Index dalam memprediksi kemudahan penyapihan ventilasi mekanik pada pasien kritis di ICU. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif dengan subjek penelitian adalah pasien dewasa yang dirawat menggunakan ventilasi mekanik. Dilakukan pemeriksaan fraksi penebalan diafragma, nilai CRP, jumlah balans kumulatif dan nilai Rapid Shallow Breathing Index pada saat 24 jam pertama di ICU dan pada saat ventilasi mekanik mode PS<8 atau T-Piece sampai maksimal hari ketujuh perawatan di ICU atau pada hari ketujuh bila belum berhasil disapih. Hasil: Pada penelitian ini didapatkan ketidakbermaknaan secara statistik antara fraksi penebalan diafragma terhadap kemudahan penyapihan ventilasi mekanik (p=0,071) pada uji bivariat. Pada analisis bivariat, pengaruh CRP terhadap kemudahan penyapihan ventilasi mekanik didapatkan hasil yang tidak bermakna secara statistik (p=0,724). Balans kumulatif dan nilai RSBI juga didapatkan hasil yang tidak bermakna secara statistik untuk memprediksi kemudahan penyapihan ventilasi mekanik (p=0,510 dan p=0,116). Kesimpulan: Fraksi Penebalan Diafragma, Nilai CRP, Jumlah Balans Kumulatif dan Nilai Rapid Shallow Breathing Index secara statistik tidak tepat untuk memprediksi kemudahan penyapihan ventilasi mekanik pada pasien kritis di ICU.

Background: Weaning from mechanical ventilation is essential in caring for critically ill patients and obtaining mechanical ventilation. The purpose of this study was to determine the accuracy of diaphragm thickening fraction, CRP, cumulative fluid balance and Rapid Shallow Breathing Index in predicting the ease of weaning mechanical ventilation in critical patients in the ICU. Method: This study is a prospective cohort study in which the subjects were adult patients wo were treated using mechanical ventilation. The diaphragm thickening fraction, CRP value, cumulative fluid balance and Rapid Shallow Breathing Index value were examined during the first 24 hours in the ICU and during mechanical ventilation in PS <8 or T-Piece mode until a maximum of the seventh day of the treatment in the ICU or on the seventh day if have not been successfully weaned. Result: in this study, it was found that there was no statistical significance between the diaphragm thickening fraction and the ease of weaning from mechanical ventilation (p=0.071) in both bivariate. In bivariate analysis, the effect of CRP on the ease of weaning on mechanical ventilation was not statistically significant (p=0.724). The cumulative balance and RSBI values were also not statistically significant to predict the ease of mechanical ventilation weaning (p=0.510 and p=0.116) Conclusion: the diaphragm thickening fraction, CRP value, cumulative fluid balance and Rapid Shallow Breathing Index statistically not accurate to predict the ease of weaning mechanical ventilation in critical patients in the ICU. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tarcisius Anung Darmawan
"Latar Belakang: Proses penyapihan dari ventilasi mekanis pada pasien sakit kritis dapat mengalami hambatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah kemudahan penyapihan dari ventilasi mekanis dipengaruhi oleh keseimbangan cairan kumulatif yang positif, tekanan intraabdominal yang tinggi, ekskursi diafragma yang rendah, dan rasio netrofil limfosit yang tinggi.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan penelitian kohort prospektif dengan subyek penelitian pasien dewasa yang memenuhi kriteria inklusi di ICU yang mendapat bantuan ventilasi mekanis. Dilakukan pemeriksan keseimbangan cairan kumulatif, tekanan intraabdominal, ekskursi diafragma dan rasio netrofil limfosit pada 24 jam pertama dan pada saat mode ventilasi mekanis PS £ 8 atau T-Piece sampai maksimal hari ke 7 atau pada hari ke 7 bila belum berhasil disapih.
Hasil: Hubungan antara keseimbangan cairan kumulatif dengan kemudahan penyapihan dari ventilasi mekanis tidak bermakna (nilai p 0,243; OR 1,257; IK 95% 0,787-2,007). Hubungan antara tekanan intraabdominal dengan kemudahan penyapihan dari ventilasi mekanis tidak bermakna (nilai p 0,550; OR 1,14; IK 95% 0,691-1,891). Hubungan antara ekskursi diafragma dan kemudahan penyapihan dari ventilasi mekanis bermakna (nilai p 0,013; OR 1,4; IK 95% 0,321-6,109). Hubungan antara netrofil limfosit rasio dan kemudahan penyapihan dari ventilasi mekanis tidak bermakna (nilai p 0,259; OR 1,33; IK 95% 0,586-3,03).
Kesimpulan: Ekskursi diafragma mempengaruhi kemudahan penyapihan dari ventilasi mekanis sedangkan keseimbangan cairan kumulatif, tekanan intraabdominal dan netrofil limfosit rasio tidak mempengaruhi kemudahan penyapihan dari ventilasi mekanis dalam penelitian ini.

Background: Weaning process of mechanical ventilation in critically ill patients could face resistance. The purpose of this study was to found whether weaning process of mechanical ventilation influenced by positive cumulative fluid balance, high intraabdominal pressure, low diaphragm excursion and high neutrophil lymphocyte ratio .
Method: This study is an analytic observational study with prospective cohort design. The subjects are adult mechanically ventilated ICU patients who are included in inclusion criteria. Cumulative fluid balance, intraabdominal pressure, diaphragm excursion and neutrophil lymphocyte ratio initially documented on the first 24 hours then when ventilator mode is Pressure Support £ 8 or using T-Piece until maximum day 7th or until day 7th if coud not be weaned.
Result: The relationship between Cumulative fluid balance and weaning process from mechanically ventilated patients were not significant (p value 0,243; OR 1,257; CI 95% 0,787-2,007). The relationship between intraabdominal pressure and weaning process from mechanically ventilated patients were not significant (p value 0,550; OR 1,14; CI 95% 0,691-1,891). The relationship between diaphragm excursion and weaning process from mechanically ventilated patients were significant (p value 0,013; OR 1,4; CI 95% 0,321-6,109). The relationship between neutrophil lymphocyte ratio and weaning process from mechanically ventilated patients were not significant (p value 0,259; OR 1,33; CI 95% 0,586-3,03).
Conclusion: Diaphragm excursion have an influence on easiness weaning from mechanical ventilation but cumulative fluid balance, intraabdominal pressure, neutrophil lymphocyte ratio are not influence easiness weaning from mechanical ventilation in critically ill patients in this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library