Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 80 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pandu Arlingga
"Penelitian ini tentang pengunaan narasi penyelamat kulit putih di produk media massa seperti film. Fokus riset ini adalah bagaimana naratif penyelamat kulit putih memperkuat whiteness-keputihan sebagai norma dan melakukan penandaan social terhadap minoritas di sebuah negara multikultural seperti Amerika Serikat. Sebagai riset kualitatatif sekunder, penelitian ini adalah sebuah analysis film terhadap Green Book (2018) melalui teknik perfilman yang digunakan seperti mise-en-scene yang membentuk gaya dan sosok film tersebut. Riset ini telah menemukan bahwa narasi white savior--penyelamat kulit putih memperkuat keputihan dengan menggambarkan rasisme melalui perspektif seorang kulit putih; menyampaikan bahwa rasisme adalah sebuah hasil dari ketidaksadaran dibanding sebuah ketidakadilan sistemis; dan membuatkan karakter minoritasnya diselamatkan oleh karakter utama yang kulit putih. Minoritas ditandai secara social dengan penggunaan stereotip dan cara lain. Salah satu rekomendasi untuk riset ini adalah riset primer tentang persepsi para penonton film dengan narasi penyelamat kulit putih.

This paper is about the use of white savior narratives in mass media products such as film. The focus of this research is to see how white savior narratives in film reinforce the whiteness as the norm and socially mark minorities in a multicultural society such as the United States. As a secondary qualitative research, this paper is a film analysis of Green Book (2018) through its chosen film techniques such as mise-en-scene that creates its form and style. The research has found that white savior narratives reinforce whiteness by presenting racism through the perspective of a white main character; presenting racism as a ignorance rather than a systemic injustice; and having the minority character saved by the white main character. Minorities are socially marked through the use of stereotypes and other ways. One of the recommendations for this paper is primary research towards audience perception of white savior narratives in film."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, Ruth Lidya
"ABSTRAK
Tulisan ini menjelaskan proses transformasi sosial orang-orang biasa menjadi selebriti, atau
yang disebut sebagai celebrification, dengan YouTube sebagai kanalnya. Sesuai jargon
YouTube Broadcast Yourself, para pengguna dapat menyiarkan dirinya maupun konten
buatannya kepada pengguna YouTube lainnya secara global. Mereka yang awalnya hanya
pengguna biasa dapat menjadi populer dengan menerapkan strategi tertentu. Pendampingan dari pihak multi channel networks (MCN) juga berperan penting untuk meningkatkan popularitas mereka. Ekosistem YouTube, keberadaan pihak ketiga multi channel network serta kemunculan selebriti-selebriti baru, memperkuat anggapan bahwa YouTube kini menjadi media yang mendorong profesionalisasi dan komersialisasi.

ABSTRACT
This paper explains the process of social transformation of ordinary people to become
celebrities, or what is called celebrification, with YouTube as its canal. As per YouTube s
Broadcast Yourself jargon, users can broadcast themselves and create content on
YouTube globally. Those who are initially just ordinary users can become popular by
applying certain strategies. Assistance from multi channel networks (MCN) is also
important to increase their popularity. The YouTube ecosystem, along with third-party
multi-channel channels and the emergence of new celebrities, changed the notion that
YouTube is now a media that encourages professionalization and commercialization."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Hasna Shabrinisa
"ABSTRAK
Penerapan strategi destinasi digital oleh pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan pariwisata domestik berisiko menimbulkan kerusakan pada lingkungan destinasi, hilangnya pengalaman pariwisata, dan utamanya degradasi nilai lokal. Hal ini terjadi karena penawaran wisata hanya fokus pada keindahan lanskap atau visual sebagai nilai fotogenik dan mengabaikan nilai historis destinasi. Oleh karena permasalahan itu, makalah ini bertujuan memberi kontribusi kesarjanaan untuk mempertahankan nilai historis lokal sebagai strategi pemasaran destinasi wisata yang lebih memberikan daya saing berkelanjutan. Mengambil kasus pengembangan salah satu dari 10 destinasi wisata prioritas, yaitu pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika yang memanfaatkan folklor daerah Nusa Tenggara Barat, makalah ini menelaah folklor sebagai salah satu produk budaya yang memberikan ciri khas bagi destinasi wisata. Dengan menggunakan studi literatur berupa laporan penelitian, artikel- artikel berita, dan kebijakan pemerintah, artikel ini menganalisis bagaimana folklor dapat berperan dalam upaya memasarkan destinasi wisata. Studi ini berargumen bahwa folklor berperan sebagai produk ikonis yang dapat dikelola atau digunakan dalam dimensi produk dan promosi pada bauran pemasaran. Pemanfaatan folklor dalam dua dimensi tersebut dapat memperkaya penawaran wisata dengan menyediakan pariwisata folklor dan pandangan turis. Secara ekonomi, hal ini berguna untuk membangun ekspektasi wisatawan mengenai pengalaman pariwisata, kesadaran khalayak akan keberadaan destinasi wisata, intensi berkunjung, serta pengalaman yang mampu membawa pada kepuasan pariwisata. Namun, lebih dari itu, ada dampak sosial budaya yang ikut dihasilkan.
"
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Luna Nauli
"ABSTRAK
Karya ilmiah ini menganalisa karya-karya seni Nam June Paik yang mencakup berbagai instalasi, patung,
pertunjukan, dan video. Diinformasikan oleh gagasan `posthuman sibernetis` seperti yang diusulkan oleh N.
Katherine Hayles dalam How We Became Posthuman, sebuah konsep yang dirinya dibangun di atas teori
sibernetika Norbert Wiener, karya tersebut mencoba untuk menghubungkan teori-teori posthumanis tentang
dematerialisasi, rematerialisasi, perwujudan, dan virtualitas dari perspektif sibernetika ke `teknologi manusiawi`
Nam June Paik sebagai karya seni. Karya ilmiah ini kemudian membahas pendekatan visual dan konseptual
Paik serta filosofinya terhadap teknologi-khususnya hubungan antara teknologi dan tubuh, dan persimpangan
teknologi dan budaya-pandangan utopis yang saya ambil dalam mempertimbangkan kembali hubungan kita
sendiri dengan teknologi dalam konteks media digital saat ini, dengan tujuan untuk menawarkan sikap yang
lebih optimis terhadapnya.

ABSTRACT
This paper examines the installations, sculptures, performances, and videos that make up Nam June Paik`s
(1932-2006) body of work. Informed by notions of the `cybernetic posthuman` as proposed by N. Katherine
Hayles in How We Became Posthuman, a concept which in turn is built upon Norbert Wiener`s cybernetic
theory, it attempts to relate posthumanist theories of dematerialisation, rematerialisation, embodiment, and
virtuality from a cybernetic perspective to Nam June Paik`s `humanised technology` as art. It then discusses
Paik`s visual and conceptual approach and his philosophy towards technology-particularly the relationship
between technology and body, and the intersection of technology and culture-a utopian view that I take in
reconsidering our own relationship with technology in today`s digital media context, in hopes of offering a more
optimistic attitude towards it."
2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Steshka Shakanti Padmasari
"Beberapa sarjana telah mengkaji bagaimana komunitas fiksi penggemar (fanfiction) dibangun oleh interaksi anggota (Gyhagen, 2022). Teknologi mempengaruhi komunikasi; yang juga mempengaruhi dinamika masyarakat, yang berhubungan pula dengan teknologi-teknologi baru–termasuk media digital (West & Turner, 2010). Media digital memungkinkan proses produksi, distribusi dan konsumsi konten dan interaksi pengguna dilakukan secara secara daring (Black, 2006). Dengan mengkaji komunitas penggemar Archive of Our Own, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana fitur-fitur yang dimiliki oleh Archive of Our Own mengakomodasi praktik penggemar seperti produksi, distribusi, dan konsumsi fiksi penggemar. Dengan menggunakan teori ekologi media (Griffin, 2012; Strate, 2004), penulis berargumen bahwa Archive of Our Own adalah sebuah media yang mampu untuk menopang aktivitas-aktivitas komunitas penggemar. Penelitian ini menemukan bahwa selain menjadi wadah dan akomodasi bagi kegiatan komunitas, Archive of Our Own juga mampu untuk melakukan interaksi dengan media lain untuk melakukan berbagai kegiatan yang sama.

Some scholars have studied how the fanfiction community was built by interactions between members (Gyhagen, 2022). Technology affects communication and also affects society, which further affects newer technologies, including the digital media (West & Turner, 2010). Digital media enables users to produce, distribute, and consume contents online (Black, 2006). By studying Archive of Our Own, this research intends to analyse how Archive of Our Own’s features accommodate fan communities’ activities such as the production, distribution, and consumption of fanfiction. By using the media ecology theory (Griffin, 2012; Strate, 2004), the writer argued that Archive of Our Own is a media capable of sustaining fan communities’ activities. This research found that aside from being a vessel and accommodation for community activities, Archive of Our Own is also capable of interacting with other media for doing the same activities."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia;, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Riesa Eka Putri
"Perkembangan industri pertunjukan musik di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari peran promotor dalam menyelenggarakan konser musik, khususnya dengan mengundang artis musik luar negeri. Meningkatnya jumlah peminat konser musik memberi jalan bagi lahirnya promotor-promotor baru yang mewarnai bisnis konser di Indonesia. Hal ini menyebabkan semakin banyaknya konser musik artis luar negeri yang diadakan, khususnya Jakarta. Para promotor besar memang mendominasi bisnis industri konser musik karena memiliki sumber daya untuk menghadirkan artis-artis dengan popularitas global. Namun, promotor kecil pun tidak serta-merta mati dalam bisnis ini, dan tetap bisa mengundang artis musik luar negeri dengan menjangkau segmen pasar yang spesifik. Konser selain sebagai salah satu sumber pendapatan artis musik, juga bertujuan sebagai alat promosi agar stasiun radio memutar lagu-lagu mereka. Temuan dalam tulisan ini membuktikan bahwa dalam bisnis konser musik tidak hanya didominasi oleh promotor besar saja.

The development of the music performance industry in Indonesia cannot be separated from the roles of promoters who hold the concerts, particularly by inviting international artists. The rise of music concert-goers opens up new opportunities that permit the emergence of new promoters in Indonesia’s concert business. This has led to an increasing number of music concerts by foreign music artist, especially in capital city Jakarta. The large promoters indeed dominate the music concert business industry, as they own the resources needed to invite globally renown artists. However, small promoters are not left out of the business, and are still able to invite foreign music artists by reaching out to specific market segments. Concerts, besides being a source of income for the music artists, can also become their promotional tool so that radios can play their songs. The findings in this paper proves that in the music concert business is not only dominated by large promoters.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Aisyah Taufiq
"Belakangan ini, jumlah penyelenggaraan festival film meningkat. Festival Film sendiri merupakan sebuah wadah dimana para penikmat film dapat menonton film-film alternatif, yang tidak dapat mereka peroleh di bioskop komersial. Bagi para pembuat film, festival film merupakan tempat dimana mereka dapat memasarkan karya-karya mereka yang tidak dapat diputar di bioskop komersial, dan tentunya juga sebagai ajang bertemunya para pembuat film untuk berbincang dan saling bertukar ide. Oleh karena itu, festival film dapat dikatakan sebagai wadah perkembangan alternatif dunia perfilman. Kendati berpotensi membuka peluang bagi inovasi baru, festival film di Indonesia menghadapi sebuah tantangan utama, yaitu masalah pendanaan, yang sangat mempengaruhi penyelenggaraan festival itu sendiri. Makalah ini beragumen bahwa festival film Indonesia membutuhkan dukungan langsung dari berbagai pihak, baik dari pemerintah maupun publik, agar terus terselenggara tiap tahunnya.

Recently, the number of film festivals is increasing. Film festival itself is a space where film audience can enjoy alternative films, which they cannot access through commercial cinema. For filmmakers, film festivals provide a place for them to promote their work, which otherwise cannot be played at commercial cinema, and of course as an occasion where filmmakers meet each other, converse and exchange ideas. Due to that, film festivals become a an alternative space for film development. However, despite their potential in opening up opportunities for innovations, film festivals in Indonesia face major challenges; it is financially insecure, and this significantly hinders the festivals’ organization. This paper argues that Indonesian film festivals need direct support from various parties, including the government and also the public, to maintain its routine exhibition each year.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Maritta Cinintya Rastuti
"Tipe program berita morning show di Indonesia mengalami kenaikan popularitas beberapa tahun belakangan ini, bahkan ada yang menamakannya 'televisi primetime baru'. Berbeda dari program berita konvensional, morning show memiliki keunikan. Makalah ini meneliti isi dari tiga morning show yang tayang di stasiun televisi nasional - Apa Kabar Indonesia Pagi (tvOne), 8-11 Show (Metro TV), dan Indonesia Morning Show (NET.) - dengan tujuan memaparkan usaha-usaha para produser dalam membedakan program mereka dengan program saingannya.
Dengan analisis kualitatif terhadap morning show, makalah ini berargumen mengenai kompleksitas dan inovasi dalam industri televisi, yang kemudian memunculkan disagregasi dalam program berita. Meskipun fenomena morning show di stasiun televisi komersial menunjukkan adanya homgenisasi, ditemukan bahwa demi menjangkau segmentasi yang berbeda, ketiga program yang diteliti mencoba membedakan muatan dan menunjukkan adanya inovasi serta arah baru.

As a type if news programme, Indonesian morning shows are experiencing an increase in popularity in the past few years. Some have even labeled them as 'new prime time television'. Morning shows differ itself from conventional news programmes, and posses several unique traits. This article examines three morning shows currently being aired on national television stations - Apa Kabar Indonesia Pagi (tvOne), 8-11 Show (Metro TV, and Indonesia Morning Shows (NET.) - to describe the attempts made by their producers to differentiate their programme from their competitors.
By using qualitative analysis on morning shows, this paper argues on the complexities and innovations within the television industry, which further leads to disaggreagtion in news programmes. Although the phenomenon of morning shows in commercial television stations show homogenisation, it is found that in order to reach different segments, these three studied programmes attempt to produce distinctive content that shows innovation and new directions.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Fadjrina
"Makalah ini berupaya memahami tren replikasi dalam industri televisi Indonesia hari ini dengan mengambil kasus "Goyang Caisar". "Goyang Caisar", yang awalnya merupakan satu segmen dalam pogram Yuk Kita Sahur Trans TV, menampilkan para penonton, kru, dan pengisi acara menari bersama mengikuti koreografi yang dipimpin oleh Caisar Putra Aditya, dengan lagu-lagu dangdut sebagai musik latar pengiring ‘goyang’ ini. Trans TV kemudian menayangkan siaran ulang Yuk Kita Sahur dalam Best Moments of YKS dan membuatnya menjadi acara tetap melalui Yuk Keep Smile dan YKS, sehingga "Goyang Caisar" pun dapat menyapa pemirsa televisi Indonesia setiap hari dalam seminggu. Dalam setiap acara tersebut, rating dan share yang diperoleh Trans TV terus tinggi. Kesuksesan "Goyang Caisar" ini lantas disusul dengan kemunculan beberapa ‘goyang’ lain di acara-acara hiburan televisi Indonesia lainnya. Makalah ini akan berusaha menjelaskan bagaimana fenomena "Goyang Caisar" merupakan salah satu bentuk industri budaya (Adorno & Horkheimer, 2002) dengan praktik imitasi, komodifikasi, serta mass-deception atau pengelabuan massa.

This paper tries to understand the replication trend in Indonesian television industry today by taking the case of "Goyang Caisar" (Caisar’s Moves). "Goyang Caisar", which was initially one of the segments in the program Yuk Kita Sahur Trans TV, shows the program’s audience, crew, and performers dancing together by following the choreography led by Caisar Putra Aditya, with dangdut songs as its background music. Trans TV then broadcasts the reruns of Yuk Kita Sahur in Best Moments of YKS, and then Yuk Keep Smile and YKS, thus making "Goyang Caisar" available in Indonesian television seven days a week. In each of those programs, Trans TV received a high and steady numbers of rating and share. This success of "Goyang Caisar" is then followed by the emergence of other ‘dances’ in Indonesian television. This paper argues that the phenomenon of "Goyang Caisar" is a manifestation of Indonesian television as a culture industry (Adorno & Horkheimer, 2002), especially on the practices of imitation, commodification, and mass-deception.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Parameswari Susantono
"Salah satu fungsi penyiaran yang disebutkan dalam Pedoman Pelaksanaan Penyiaraan dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah fungsi edukasi. Namun melihat kondisi dan situasi penyiaran di Indonesia saat ini, rasanya fungsi edukasi pada media penyiaran khususnya televisi tidak berjalan dengan baik. Ketersediaan tayangan edukatif sangat sedikit dibandingkan dengan ketersediaan sinetron dan FTV. Ternyata data statistik menyatakan bahwa demand akan tayangan edukatif di televisi (TV) nasional sangat rendah. Melalui penelitian ilmiah ini, penulis terdorong untuk mempelajari lebih lanjut minat masyarakat Indonesia terhadap tayangan edukatif dengan harapan dapat memberikan solusi bagi pembenahan program penyiaran di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan pengumpulan data primer melalui survey, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Hasil yang ditemukan adalah bahwa banyak penonton yang mengaku minat namun kenyataannya tidak menonton tayangan edukatif. Keterbatasan pilihan dan kurang baiknya kualitas tayangan edukatif di TV nasional menjadi faktor kuat kurangnya minat masyarakat terhadap tayangan edukatif.

One of the broadcasting functions mentioned in the Guide for Broadcasting Conducts and Broadcasting Program Standards (P3SPS) - issued by the Indonesian Broadcasting Commission - is education. Observing Indonesia’s broadcasting situation nowadays, it seems like this education function is carried out poorly. There is very low availability of educative television (TV) programs compared to the number of soap operas and television dramas. Statistics suggest that the demand for educative programs on Indonesian national TV is also very low. This research is conducted to examine the Indonesian viewers’ interests towards educative television programs in the hopes to propose a solution in fixing the flaws of Indonesias broadcasting program. The research is conducted by collecting primary data through survey, which is then analyzed descriptively. The writer’s findings suggest that many Indonesian viewers claim that they are interested but the reality is they do not watch edicative programs. The lack of variation and quality of educative programs on national TV is a strong factor of the viewers’ lack of interest towrds educative programs.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>