Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 39 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tammy Nurhardini
"ABSTRAK
Kanker kolorektal menempati urutan ketiga terbanyak dari kasus kanker pada laki-laki
dan menempati urutan kedua pada wanita di seluruh dunia. Karakteristik enzimatik
kanker kolorektal menunjukkan adanya peningkatan enzim M2PK tumor. Penelitian ini
bertujuan untuk mengevaluasi pemeriksaan M2PK tumor pada feses pasien tersangka
keganasan kolorektal dibandingkan dengan pemeriksaan histopatologi sebagai baku
emas, menggunakan nilai titik potong baru dan nilai titik potong berdasarkan manufaktur.
Desain penelitian adalah desain potong lintang dengan penyajian data secara deskriptif
analitik. Subjek penelitian terdiri dari 86 pasien dewasa yang menjalankan kolonoskopi.
Pemeriksaan M2PK tumor pada feses dilakukan menggunakan kit ScheBo Tumor M2-
PK Stool Test dengan metode ELISA. Proporsi M2PK tumor pada feses pasien
tersangka kanker kolorektal pada penelitian ini didapatkan sebesar 72,09%. Nilai titik
potong baru untuk pemeriksaan M2PK tumor didapatkan sebesar 14,18 U/ml dengan
sensitivitas 59,26%, spesifisitas 59,32%, NPP 40,00% dan NPN 76,09%. Hasil uji
diagnostik menggunakan nilai titik potong M2PK berdasarkan manufaktur (≥4 U/ml)
didapatkan sensitivitas 92,59%, spesifisitas 37,29%, NPP 40,32%, dan NPN 91,67%.
Berdasarkan hasil tersebut, maka pemeriksaan M2PK tumor pada feses dengan nilai titik
potong 4 U/ml dapat digunakan, terutama sebagai uji penapisan (screening) kanker
kolorektal, sedangkan pemeriksaan M2PK sebagai uji diagnostik kanker kolorektal masih
membutuhkan penelitian lebih lanjut."
2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chyntia Octaviani
"Latar Belakang: Infeksi Helicobacter pylori merupakan infeksi kronis bakterial yang berhubungan dengan penyakit gastroduodenal. Berdasarkan konsensus Bangkok, pemeriksaan diagnostik infeksi H.pylori hendaknya dilakukan pada semua pasien dispepsia kronis. Urea breath test (UBT) merupakan pemeriksaan referens non-invasif dengan biaya cukup mahal. Rapid test antigen feses merupakan pemeriksaan yang praktis dengan biaya lebih terjangkau. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi peran diagnostik rapid test antigen H.pylori dalam feses terhadap UBT pada pasien dispepsia.
Metode: Penelitian ini merupakan uji potong lintang terhadap pasien dispepsia di RSUPN Cipto Mangunkusumo selama bulan Agustus-Oktober 2018. Sebanyak 70 subjek diambil secara consecutive sampling dan dilakukan pemeriksaan rapid test SD Bioline H.pylori Ag® dan Urea [13C] Breath Test Kit-Heliforce®.
Hasil: Rerata usia subjek penelitian adalah 46,2 ± 14,23 tahun (18-70 tahun) dan terdapat 17,14% subjek positif terinfeksi H.pylori berdasarkan hasil UBT. Sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, dan nilai prediksi negatif rapid test secara berurutan adalah 41,67%, 100%, 100%, dan 89,23%.
Simpulan: Rapid test antigen H.pylori dalam feses memiliki sensitvitas yang kurang baik tetapi memiliki spesifisitas, NPP, dan NPN yang cukup baik; praktis digunakan; dan harganya jauh lebih terjangkau sehingga masih dapat dipertimbangkan untuk digunakan pada daerah dengan keterbatasan ekonomi dan fasilitas.

Background: Helicobacter pylori infection is a chronic bacterial infection associated with gastroduodenal diseases. Based on the Bangkok consensus, a diagnostic test of H.pylori infection should be carried out in all patients with chronic dyspepsia. Urea breath test (UBT) is a non-invasive reference test with a fairly expensive cost. Stool antigen rapid test is a practical test with a more affordable cost. We aimed to evaluate the diagnostic role of the H.pylori stool antigen rapid test against UBT in dyspeptic patients.
Methods: This was a cross-sectional study of dyspeptic patients at RSUPN Cipto Mangunkusumo during August-October 2018. A total of 70 subjects were taken by consecutive sampling method and tested with rapid test SD Bioline H.pylori Ag® and Urea [13C] Breath Test Kit-Heliforce®.
Results: The mean age of the subjects was 46.2 ± 14.23 years (18-70 years) and there were 17.14% subjects positively infected with H.pylori based on UBT results. Sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value of the rapid test were 41.67%, 100%, 100%, and 89.23% respectively.
Conclusion: Helicobacter pylori stool antigen rapid test had poor sensitivity but had a good specificity, PPV, and NPV; practical use; and more affordable price so that it could still be considered to be used in areas with economic and facilities limitations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lismawati
"Defisiensi besi pada pasien penyakit ginjal kronis dengan hemodialisis (PGK-HD) merupakan penyebab terapi erythropoietin-stimulating agent (ESA) menjadi tidak responsif. Soluble transferrin receptor (sTfR) merupakan marker evaluasi status besi serta respons eritropoiesis yang tidak dipengaruhi inflamasi. Indeks sTfR (rasio sTfR/log feritin) diperkirakan dapat meningkatkan performa sTfR. Tujuan penelitian adalah mengevaluasi performa diagnostik sTfR dan indeks sTfR dalam tatalaksana anemia defisiensi besi pada PGK-HD. Penelitian merupakan studi potong lintang yang melibatkan 127 pasien PGK-HD di Unit Hemodialisis RS Cipto Mangunkusumo pada bulan Agustus-September 2018. Setiap subjek diperiksakan sTfR, indeks sTfR, marker besi, feritin, reticulocyte hemoglobin equivalent (RET-He), serta darah perifer lengkap. Saturasi transferin (TSAT) dan RET-He digunakan sebagai baku emas. Uji diagnostik menggunakan Chi Square dan kurva receiver operating characteristic (ROC). Pada penelitian ini didapatkan titik potong sTfR 2,71 mg/L (sensitivitas 83,3%, spesifisitas 56,5%) dan titik potong indeks sTfR 1,39 (sensitivitas 76,2%, spesifisitas 70,6%). Parameter sTfR dapat bermanfaat sebagai skrining dalam penentuan status besi serta respon eritropoiesis pada pasien PGK-HD. Tata laksana terapi besi yang adekuat akan membuat terapi ESA menjadi efektif, sehingga anemia dapat teratasi, dan kualitas hidup pasien membaik.

Iron deficiency in patients with chronic kidney disease and hemodialysis (CKD-HD) can cause unresponsiveness to erythropoietin-stimulating agent (ESA). Soluble transferrin receptor (sTfR) is a potential marker to evaluate iron status and erythropoiesis response, that’s not influenced by inflammation. The sTfR index (sTfR/log ferritin ratio) has been proposed could increase the diagnostic efficacy than sTfR alone. We evaluated the diagnostic performance of sTfR and sTfR index for management of iron deficiency in CKD-HD. This cross-sectional study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia from August-September 2018, involving 127 CKD-HD patients. The sTfR level, sTfR index (sTfR/log ferritin), iron status, ferritin level, reticulocyte hemoglobin equivalent (RET-He), and complete blood count were assessed. Transferrin saturation (TSAT) and RET-He were used as references. Diagnostic tests were analyzed using the chi-square test and receiver operating characteristic curve analysis. We identified sTfR cutoff of 2.71 mg/L (sensitivity 83.3%, specificity 56.5%) and sTfR index cutoff of 1.39 (sensitivity 76.2%, specificity 70.6%). The sTfR might be useful as a screening parameter to evaluate iron status and erythropoietin response in CKD-HD patients. Appropriate iron therapy will make ESA therapy more effective, which will help to overcome anemia, and finally will improve the quality of life of CKD-HD patients.

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58915
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inge Wijaya
"Anemia adalah masalah yang mempengaruhi seluruh dunia. Namun, sebagian besar negara di dunia tidak memberikan perhatian yang cukup untuk memecahkan masalah ini. Salah satu jenis yang paling umum dari anemia adalah anemia mikrositik hipokromik. Karakteristik dari anemia ini adalah sel-sel kecil dan sel pucat. Sampai sekarang, belum ada studi yang meneliti Proporsi dari anemia mikrositik hipokromik di rumah sakit, khususnya di Indonesia.
Oleh karena itu, dalam penelitian cross sectional ini, peneliti bertujuan untuk mengetahui proprosi hipokromik di RS Cipto Mangunkusumo dan korelasinya dengan usia dan jenis kelamin. Studi ini menggunakan data laboratorium pasien rawat jalan di RS Cipto Mangunkusumo pada Maret 2011.
Statistic deskriptif digunakan untuk mengetahu Proporsi dari mikrositik hypokromik anemia. Selanjutnya, untuk mengetahui apakah adanya hubungan antara mikrositik hypokromik dengan usia dan jenis kelamin ; uji statistik chi-square digunakan untuk menguji hubungan dengan gender dan Mann-Whitney digunakan untuk menguji korelasi dengan usia.
Hasil dari penelitian ini adalah, Proporsi anemia mikrositik di RSCM adalah 8.4% di antara semua populasi sampel dan 14% di antara semua pasien anemia. Ada perbedaan yang signifikan antara usia penderita anemia mikrositik dan pasien anemia non-mikrositik. Perbedaan ini signifikan ditemukan di kedua analisis semua populasi sampel dan di antara pasien anemia saja.
Dari analisis dengan menggunakan uji statistik, jenis kelamin juga secara signifikan mempengaruhi kejadian anemia mikrositik. Lebih perempuan yang menderita anemia mikrositik dibandingkan laki-laki, ketika kami menghitung di antara semua populasi sampel dan populasi anemia saja.

Anemia is a worldwide problem. However, most of the countries did not give a lot attention to solve this problem. One of the most prevalent types of anemia is microcytic hypochromic anemia. This anemia is characterized by small cells and pale cells. Up until now, there is no studies that examine the proportion of microcytic hypochromic anemia in a hospital setting, especially in Indonesia.
Therefore, in this cross sectional study, aims to find out the Proportion of microcytic hypochromic in Cipto Mangunkusumo Hospital and its correlation with age and gender. The study using the laboratory data of outpatients in Cipto Mangunkusumo in March 2011.
To determine the proportion, descriptive statistic was used. Furthermore, to establish the correlation with age and gender statistical test of chi-square was used to test the correlation with gender and chi-square was also used to test the correlation with age.
The result of the study are, The Proportion of microcytic anemia in RSCM is 8.4% among all of the sample population and 14% among all anemic patients. There is a significant difference between age in microcytic anemia patient and non-microcytic anemia patient. This significant difference is found in both analyses of all of sample population and between anemic patients only.
From analysis using statistical test, gender also significantly affects the occurrence of microcytic anemia. There are more female that suffer from microcytic anemia than male, when we calculate it between all sample population and in anemic population only.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nitish Basant Adnani
"Anemia merupakan salah satu kelainan hematologi yang paling sering ditemukan, baik secara global maupun di Indonesia, yang membuatnya menjadi suatu masalah kesehatan masyarakat yang penting untuk dipelajari. Banyak faktor yang diduga terkait dengan prevalensi anemia pada masyarakat, dan dua dari ini adalah usia dan jenis kelamin. Tetapi, pada saat ini terdapat hanya sedikit literatur yang melaporkan proporsi anemia pada fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia, dan juga kaitannya dengan usia dan jenis kelamin. Untuk studi ini, data yang mencakup usia pasien, jenis kelamin, kadar hemoglobin, dan parameter hematologi lainnya didapatkan untuk bulan Maret 2011. Setelah itu, 3,799 pasien didapatkan memenuhi kriteria inklusi, dimana 1,766 dari pasien tersebut dikategorikan sebagai penderita anemia, sebanyak 46.5% dari populasi studi. Pada analisis ditemukan usia median pasien yang menderita anemia adalah 48.0 tahun, sedangkan usia median pasien yang tidak menderita anemia adalah 43.0 tahun (p = 0.002). Prevalensi anemia pada pasien wanita didapat sebanyak 51.1%, sedangkan pada pasien pria didapat sebanyak 39.8% (p < 0.001). Hasil yang didapat sesuai dengan literatur yang ditemukan yang menjelaskan bahwa kelompok demografik tertentu lebih cenderung untuk menderita anemia. Dengan didapatnya hasil dari studi ini, diharapkan bahwa klinisi dapat mempertimbangkan kelompok demografik yang lebih cenderung untuk menderita anemia dan menerapkan strategi manajemen yang tepat.

Anemia merupakan salah satu kelainan Anemia has been established as one of the most prevalent hematological disorders, both globally as well as in Indonesia, making it an important public health issue. A plethora of factors have been potentially linked to anemia, and recent evidence suggests that age and gender are among these. In spite of this, there is limited evidence for the proportion of anemia in a hospital setting in Indonesia, as well as its association with age and gender. For this study, the data on patient age, gender, hemoglobin level, and other hematologic parameters was obtained for the period of March 2011. Following that, 3,799 subjects fulfilled the inclusion criteria and were included in the analysis, among which 1,766 subjects were found to have anemia, corresponding to 46.5% of the study population. The median age of the anemic patients was 48.0 years old while that of the non-anemic patients was 43.0 years old (p = 0.002). A higher occurrence of anemia was found among the female population group compared to that in the male population group, with percentages of anemic patients being 51.1% and 38.9% respectively (p < 0.001). These results support previous findings that certain demographic groups are more prone to develop anemia compared to others with respect to age and gender. Following this study, it is hoped that clinicians will consider population groups that are at risk for anemia and provide appropriate management strategies."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Tri Prasetyo
"Anemia adalah masalah kesehatan yang umum terjadi di masyarakat. Anemia normositik-normokromik adalah salah satu jenis anemia yang umum terjadi pada penderita penyakit kronis. Anemia jenis ini ditandai dengan penurunan nilai hemoglobin (Hb) di bawah batas normal tetapi nilai mean cell volume (MCV) dan mean cell hemoglobin (MCH) dalam batas normal. Hingga saat ini, tidak banyak riset yang mempelajari mengenai anemia normositk-normokromik. Sebagian besar dari riset tersebut tidak langsung meneliti mengenai anemia normositik-normokromik melainkan pada penyakit-penyakit yang mendasarinya.
Penelitian ini memiliki desain cross-sectional dan bertujuan untuk mencari proporsi anemia normositik-normokromik pada pasien anemia yang menjalani pengobatan rawat jalan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan hubungannya dengan usia dan jenis kelamin. Data sekunder tentang profil hematologi pasien rawat jalan bulan Maret 2011 diambil dari Laboratory Information System di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Statistik deskriptif digunakan untuk menentukan prevalensi. Signifikansi perbedaan proporsi pada kategori umur yang berbeda pada pasien anemia normostik-normokromik dibandingkan dan diuji dengan uji chi-square, begitu pula dengan perbedaan proporsi pada wanita dan laki-laki juga diuji dengan uji chi-square.
Studi ini menemukan bahwa proporsi pasien anemia normositik-normokromik dibandingkan dengan anemia jenis lain adalah sebesar 48.1%. Kategori umur II (15 - 59 tahun) merupakan kategori umur dengan presentase penderita anemia normositik-normokromik tertinggi (71.8%) dan wanita memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan pria (62.8%) sebagai penderita anemia normositik-normokromik.

Anemia is a serious public health problem. One of the types of anemia based on its morphology is normocytic-normochromic anemia. This anemia usually occurs in individuals with chronic diseases. To date, there are limited studies investigating the prevalence of normocytic-normochromic anemia. Most of these studies investigated the underlying conditions of normocytic-normochromic anemia.
This study is a cross-sectional study that aims to investigate the proportion of normocytic-normochromic anemia among anemic outpatients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo and its association with age and gender by using data from laboratory results of outpatients who had their blood checked at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo in March 2011.
Descriptive statistical analysis was performed to determine prevalence. Then, statistical significance was tested with Chi-Square Test for gender and age.
Our result showed that normocytic-normochromic anemia accounts for 48.1% among all anemic outpatients. Age group II had the highest percentage for normocytic-normochromic anemia (71.8%) and female seemed to be more prevalent than male (62.8%).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Hayati
"Anemia didefinisikan sebagai rendahnya kadar hemoglobin di dalam darah. Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di Indonesia. Dari berbagai etiologi anemia, thalassemia merupakan hemoglobinopati kuantitatif yang diturunkan yang memiliki prevalensi tinggi di negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status hemoglobin pada pasien thalassemia di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta dan hubungannya dengan usia dan jenis kelamin. Sebanyak 640 hasil pemeriksaan darah lengkap diperoleh dari pasien rawat jalan yang menderita thalassemia dari Pusat thalassemia di RSUPNCM pada bulan Mei 2012.
Berdasarkan analisis statistik, ditemukan bahwa hampir seluruh pasien thalassemia yang datang mengalami anemia (638 pasien), dan mayoritas menderita anemia derajat sedang. Ditemukan pula asosiasi antara usia dan derajat anemia ketika membandingkan antara anemia sedang dengan anemia berat. (p = 0.000). Ditemukan pula korelasi negatif (Spearman rho -0.212) antara usia dan kadar hemoglobin (p = 0.000). Namun demikian, tidak ditemukan asosiasi antara jenis kelamin dengan derajat anemia maupun kadar hemoglobin (masing-masing p = 0.196; 0.557). Hasil studi ini memberikan gambaran terkini mengenai status anemia pasien thalassemia dan dapat digunakan dalam memberikan pelayanan terbaik kepada passion thalassemia.

Anemia, defined as a low level of hemoglobin concentration in the blood, is a major public health problem. Among the many causes of anemia, thalassemia, an inherited quantitative hemoglobinopathy, is one that is highly prevalent in south-east Asian countries such as Indonesia. This study aimed to find out the hemoglobin status of thalassemia patients in RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta and its relationship with age and gender. As many as 640 complete blood count results from outpatients previously diagnosed with thalassemia from the hospital?s Thalassemia Center during May 2012 were obtained for analysis. From statistical analyses, we concluded almost all thalassemia patients were anemic (638 patients), most of which experience moderate anemia.
From statistical testing, there proved to be an association between age and severity of anemia when compared between moderate and severe anemia (p = 0.000). A negative correlation (Spearman?s rho -0.212) was seen between age and hemoglobin level (p = 0.000). Meanwhile, no association was found between gender and severity of anemia or hemoglobin level (p = 0.196; 0.557, respectively). The results of this study provide the most recent information on the current status of anemia among thalassemia patients and can be used in the approach towards thalassemia patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Savitri
"Anemia adalah masalah kesehatan yang mendunia. Salah satu jenis anemia adalah anemia makrositik, dimana ukuran sel darah merah lebih besar dari normal. Anemia makrositik diklasifikasikan menjadi anemia megaloblastik dan non-megaloblastik. Penyebab utama anemia megaloblastik adalah defisiensi folat dan vitamin B12. Hingga saat ini, prevalensi anemia makrositik di Indonesia belum diketahui.
Penelitian ini memiliki desain potong lintang dan bertujuan untuk mencari prevalensi anemia makrositik pada pasien anemia yang berobat rawat jalan dan hubungannya dengan usia dan jenis kelamin. Data sekunder tentang profil hematologi pasien rawat jalan bulan Mei 2011 diambil dari laboratorium pusat RSCM. Proporsi anemia makrositik adalah 6.5% pada pasien rawat jalan dan 14% pada pasien rawat jalan yang anemia.
Terdapat perbedaan umur yang bermakna (p=0) antara pasien anemia makrositik dibandingkan dengan yang tidak anemia makrositik. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara pria dan wanita (p=0.47), namun ketika analisis dilakukan pada pasien dengan anemia saja wanita memiliki risiko lebih rendah (p=0.004, OR wanita/pria 0.67, 95% CI 0.51-0.88).
Penelitian ini dapat menjadi langkah awal untuk penelitian lanjutan dengan metodologi dan analisis yang lebih akurat dan dapat memberikan data tentang gambaran hematologi bagi klinisi untuk diingat dan dipertimbangkan dalam menangani pasien dengan lebih komprehensif.

Anemia is a worldwide health problem. One of the subtype of anemia is macrocytic anemia, characterized by a large cell size. Macrocytic anemia can be divided into megaloblastic and non-megaloblastic anemia, with folate and vitamin B12 deficiency as the primary cause of megaloblastic anemia. To date, data regarding prevalence of macrocytic anemia is still lacking.
This is a cross-sectional study that aims to find out the prevalence of macrocytic anemia among anemic outpatients and its association with age and gender, using laboratory data of outpatients of Cipto Mangunkusumo Hospital coming in March 2011. Our result showed that macrocytic anemia account for 6.5% among all outpatients and 14% among anemic outpatients.
There is a significant difference of age between patients with and without macrocytic anemia. Among all outpatients, the proportion of macrocytic anemia did not differ significantly between male and female, however in the subgroup analysis of anemic patients, female had a significantly lower odds of macrocytic anemia (p=0.004, OR female/male 0.67, 95% CI 0.51-0.88).
We suggest that this study can be continued in the future with a more robust design. Our result provides a portrayal of hematologic profile for clinicians to take into account in order to improve the quality of care for the patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margarita Dewi Lelasari
"Toluena dijumpai tersebar di lingkungan kita. Manusia terpapar logam ini dari berbagai sumber seperti udara, air, tanah dan makanan yang terkontaminasi. Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa toluena menyebabkan stres oksidatif dengan meningkatkan pembentukan reactive oxygen species dan menurunkan sistem anti-oksidan. Peroksidasi lipid meningkat karena terganggunya keseimbangan oksidan dan anti-oksidan, yang diukur dengan kadar malondialdehyde. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian berbagai pajanan toluena terhadap peroksidasi lipid. Tiga puluh ekor tikus wistar jantan dengan berat badan 200-250 gram dibagi dalam lima kelompok. Kelompok I sebagai kontrol, kelompok II sampai V berturut-turut mendapat toluena secara inhalasi, dosis 12.5 ppm, 25 ppm, 50 ppm, dan 100 ppm, yang dipajan selama 4 jam/hari. Setelah 14 hari berturut-turut, dilakukan pengukuran kadar malondialdehyde plasma dan darah tepi. Peningkatan kadar malondialdehyde pada kelompok IV, secara statistik tidak bermakna (p=0,118). Peningkatan tersebut sejalan dengan peningkatan pajanan toluena yang diberikan, kecuali kelompok V. Beberapa hasil darah tepi, yang tidak bermakna secara statistik yaitu HB, Hematokrit, leukosit, neutrofil, limfosit dan monosit. Sedangkan eritrosit, VER, HER, KHER, trombosit, dan eosinofil secara statistic menunjukkan adanya perbedaan bermakna.

Toulene can be found in our environment. Humans are exposed to these metal from various sources such as air, water, soil, and contaminated food. There are several studies that show that toluene causes oxidative stress by increasing the formation of reactive oxygen species and decreasing the anti-oxidant system. Increased lipid peroxidation are due to the disruption of the balance of oxidants and antioxidants, as measured by levels of malondialdehyde. This study aims to determine the effect of various exposure of toluene towards lipid peroxidation. Thirty male wistar rats weighing 200-250 grams are divided into five groups. Group I as a control variable, group II to group V each gets toluene through inhalaton, with 12.5 ppm, 25 ppm, 50 ppm, dan 100 ppm doses, which are exposed for 4 hours/day. After 14 consecutive days, a measurement of the levels of malondialdehyde plasma and peripheral blood is done. Increase in levels of malondialdehyde in group IV is not statistically significant (p=0,118). This increase is in line with the increase of given toluene exposure, except for group V. Some of the results of peripheral blood, which was not statistically significant HB, hematocrit, leukocytes, neutrophil, lymphocytes and monocytes. While erythrocytes, MCV, MCH, MCHC, platelets and eosinophils statically shows significant difference.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diashati Ramadhani Mardiasmo
"ABSTRAK
Pleural effusion occurs when abnormal pleural fluid accumulate within pleural cavity. The first step in pleural effusion evaluation is categorising pleural fluids into transudates and exudates using Light rsquo s Criteria, to determine differential diagnoses. Transudative pleural effusions occur when systemic factors influencing hydrostatic and oncotic pressures are imbalanced. Exudative pleural effusions occur due to local factors influencing increased vascular permeability. This research aims to describe profiles of pleural fluid analysed by Department of Clinical Pathology, Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital RSCM and investigate their diagnostic value.Data were collected between January August 2016 consecutively. In total, 199 pleural fluids were assessed 123 exudative, 72 transudative and 4 transudative exudative transitional pleural fluids. The samples comprised of 56.3 females and 43.2 males. The age ranged from 1 month to 83 years old, averaging at 45.3 years old. Malignancy was the most frequent etiology found 35.7 , followed by Infection 22.1 . Pleural fluids were predominantly yellow 51.7 . Compared to transudates, exudates were more likely to clot, mostly tested positive for Rivalta and appeared more turbid. WBC count, protein fluid, protein ratio, LDH fluid and LDH ratio of exudates were significantly higher than transudates. Exudates exhibited significantly lower glucose fluid levels. Bacteriologically, 13 samples yielded a positive culture.Profiles of transudative and exudative pleural fluids correlated with their respective clinical conditions, reflecting different underlying mechanisms, thus verifying Light rsquo s criteria. Diagnostic values of pleural fluid analyses towards its clinical diagnosis yielded Sensitivity of 66.7 , Specificity of 67.9 , Positive Predictive Value of 90.6 and Negative Predictive Value of 27.1.

ABSTRAK
Pada Pleura Effusi terdapat akumulasi cairan pleura abnormal pada rongga pleura. Langkah pertama pada algoritme pleura effusi adalah kategorisasi cairan pleura menjadi transudat dan eksudat untuk menentukan diagnosis differensial. Cairan pleura transudat ditemukan pada etiologi sistemik dimana terdapat ketidakseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik. Cairan pleura eksudat ditemukan pada etiologi lokal dimana terdapat peningkatan permeabilitas. Cairan transudat dan eksudat dapat dibedakan menggunakan kriteria Light rsquo;s. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil analisis cairan pleura di Departemen Patologi Klinik, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo RSCM dan untuk menginvestigasi nilai diagnostik analisis cairan pleura.Penelitian ini menggunakan sampel cairan pleura dari Departemen Patologi Klinik yang dipilih antara bulan Januari-Agustus 2016 secara konsekutif. Sampel berjumlah 199; 72 transudat, 127 eksudat dan 4 peralihan transudate ke eksudat. Demografik sampel adalah 56.3 perempuan dan 43.2 laki-laki. Umur berkisar antara 1 bulan-83 tahun dan rerata 45.3 tahun. Etiologi paling sering adalah keganasan 35.7 , diikuti dengan infeksi 22.1 . Dibandingkan dengan transudat, eksudat lebih banyak terdapat bekuan, hasil Rivalta positif dan lebih keruh. Leukosit, protein cairan, protein rasio, LDH cairan dan LDH rasio lebih tinggi pada eksudat. Glukosa cairan lebih rendah pada eksudat. 13 sampel menunjukkan kultur positif.Terdapat korelasi antara profil cairan pleura transudat dan eksudat dengan diagnosis klinis, menunjukkan adanya perbedaan mekanisme dan menggambarkan efektifitas kriteria Light rsquo;s. Nilai diagnostik analisis cairan pleura berupa sensitivitas 66.7 , spesifisitas 67.9 , nilai prediksi positif 90.6 dan nilai prediksi negatif 27.1"
2016
S70381
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>