Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fitria Sari
Abstrak :
ABSTRAK
Terorisme menjadi isu yang menarik saat ini. Aktivitas dari terorisme dilakukan melalui provokasi doktrin ideologi dengan proses hegemoni. Terorisme memanfaatkan rasa frustasi dan kekecewaan pada sebagain masyarakat sebagai sasarannya. Terorisme sebagai sebuah diskursus masih berfokus pada upaya penegakan hukum, kerjasama antar lembaga pertahanan, analisis kebijaka hukum, dan definisi-definisi tentang terorisme. Ironisnya, perempuan khususnya istri menjadi sosok yang terekslusi dalam proses dialog dan respon mengenai terorisme. Padahal istri merupakan sosok yang penting dalam kehidupan para pelaku aksi terrisme. Penelitian ini menekankan pada pengalaman dan suara dari para istri mantan narapidana terorisme. Tulisan ini mengupas proses pergolakan, negosiasi, sekaligus penerimaan proses dari narasi ekstremis yang terdapat pada logika berfikir, sebagai sebuah perjuangan dalam konteks penerimaan dan otonomi diri. Penelitian ini menggunakan studi kasus sebagai jenis penelitian, dengan perspektif feminis, dan wawancara mendalam sebagai metode pengumpulan data. Pemikiran dari teori Konstruktivisme, pandangan Feminis tentang Otonomi Relasional dan Politik Kesalehan dipilih sebagai kerangka teori untuk menganalisis data hasil temuan. Hasil penelitian menunjukkan adanya doktrinasi dari suami tentang ajaran ekstremisme, istri mengalami pergulatan untuk menginternalisasi ajaran tersebut. Di sisi lain, ada pula temuan yang menunjukkan bahwa para istri juga melakukan negosiasi kepada sang suami dalam mengaplikasikan narasi yang telah berusaha diinternalisasikan. Seluruh upaya refleksi dan perjuangan berkelindan dalam pemikiran istri, untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimanapun, adanya negosiasi pada berbagai sisi relasi yang dimunculkan oleh sang istri memiliki respon yang beragam dalam usahanya dalam proses penerimaan maupun pergolakan. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa sosok istri mengalami sebuah proses konstruktivisme dan otonomi relasional dalam proses pergulatan dan negosiasinya selama ini. Rekomendasi dari penelitian ini dapat berkontribusi bahwa istri juga dapat dilihat sebagai agen untuk menangkal ekstremisme dan terorisme di masa mendatang.
ABSTRACT
Terrorism has become an important issue today. Activities of terrorism are undertaken through provocation to ideological doctrine with hegemonic process. Terrorism teaching exploits the frustration or disappointment of common people. Up to date, terrorism as a discourse issue still focuses predominantly on law enforcement, inter state cooperation, law analysis, and terrorism definition. Unfortunately, women especially wives become excluded in the process, dialogue, and response on this issue. Whereas, wives are the most important figures in the lives of the perpetrators of terrorism. This paper highlights the experiences and voices of the wives of terrorist prisoners. It examines the rebellion and acceptance process of extremism narrative that is going on within the wives rsquo minds a struggle of balancing acceptance and self autonomy. This paper also explores those experiences using case study as a research type feminist perspective and observation and in depth interview as data collection method. The thought of Feminism in Relational Autonomy and Politics of Piety is used as the theoretical analysis tool. The finding of this paper is that through indoctrination by their husbands, the wives were always encountered with ideas that they had to struggle to accept. However, on the other hand, it was also found that they eventually had to negotiate and came into compromise when applying those ideas in real life. The whole compromise reflects the struggle that was going on in their mind as they attempted to translate the doctrines into their practical life. However, at the same time, despite the negotiation they made in certain aspects of the doctrine, they seemed to still willingly and obediently accept certain other parts of the doctrine. This paper concludes that wives have certain degree of self autonomy in dealing with i.e. negotiating to accept or reject the indoctrination by their husbands. The conclusion is followed by some recommendations on what can possibly be contributed by the wives to counter terrorism narrative in the future.
2018
T51308
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stebby Julionatan
Abstrak :
Hukum Kasih dalah ajaran utama Kekristenan. Dengan Hukum Kasih maka umat Kristiani diajar untuk bersikap inklusi dan memperjuangkan hak-hak orang-orang yang tertindas. Sayangnya, ketika Hukum Kasih diperhadapkan pada pemenuhan hak spiritualitas transpuan, maka “hukum” tersebut kehilangan sisi inklusinya. Wacana tentang heteronormatif dalam Kekristenan menjadi kontra narasi atas nilai inklusi Hukum Kasih. Bahkan, dalam konteks ini, Kekristenan justru menjadi hambatan terbesar terhadap penerimaan pada ketubuhan dan seksualitas kelompok transpuan. Namun, benarkah heteronormatif telah final dalam wacana Kristen? Bagaimana para pendeta menjembatani kontradiksi yang ada dalam amanat pelayanan spiritualitas jemaat, termasuk transpuan? Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pandangan dan pemahaman 6 (enam) pendeta sekutu Protestan mengenai Hukum Kasih guna membangun landasan pemaknaan atau peta tafsir alternatif yang memfasilitasi pemenuhan kebutuhan spritiualitas kelompok transpuan. Menggunakan pendekatan fenomenologi dengan perspektif feminis yang berpihak kepada kelompok transpuan, penelitian ini mewawancarai 2 (dua) pendeta perempuan cis-gender heteroseksual, 3 (tiga) pendeta laki-laki cis-gender heteroseksual dan seorang pendeta laki-laki non-heteroseksual yang memiliki keberpihakan terhadap kelompok minoritas seksual. Studi ini mengungkap tiga hal, yaitu upaya membangun kesadaran dan keberpihakan terhadap kelompok minoritas seksual, agensi pendeta sekutu dan makna pemberkatan perkawinan transpuan bagi pendeta sekutu. Upaya yang telah dilakukan dari studi ini menunjukkan: Pertama, sekadar pemaknaan akan “kasih” yang inklusi, ternyata tidak cukup dalam membangun kesadaran kritis dan keberpihakan, para pendeta sekutu membangunnya melalui refleksi kesadaran akan privilese, makna panggilan dan pengutusan gerejawi, adanya perjumpaan dengan kelompok minoritas seksual dan menyadari bahwa kelompok minoritas kebutuhan spiritualitas. Kedua, dalam upaya membangun agensi, para pendeta sekutu menggunakan identitas kependetaan mereka (paspor) sebagai strategi untuk membangun tafsir baru, mengubah wacana inklusi menjadi DNA gereja dan melakukan gerakan inklusif SOGIESC. Ketiga, dalam memaknai pemberkatan perkawinan transpuan, para pendeta masih dihadapkan pada ragam tafsir yang menjadi tantangan dalam pemenuhan kebutuhan spiritualitas kelompok tranpuan. Pada akhirnya, penguatan wacana teologi feminis dan SOGIESC pada para pendeta dan pengambil kebijakan di gereja menjadi suatu yang niscaya untuk pengejawantahan nilai Hukum Kasih yang sebenarnya. ......The Law of Love is the main teaching of Christianity. With the Law of Love, Christians are taught to be inclusive and fight for the rights of oppressed people. Unfortunately, when the Law of Love is confronted with fulfilling the spiritual rights of transgender women, the "law" loses its inclusion. Discourse about heteronormative in Christianity becomes a counter narrative on the inclusion value of the Law of Love. In fact, in this context, Christianity is actually the biggest obstacle to acceptance of the body and sexuality of transgender groups. However, is it true that heteronormative is final in Christian discourse? How do pastors bridge the contradictions that exist in the mandate of the church's spiritual ministry, including transwomen? This study aims to explore the views and understanding of 6 (six) allied Protestant pastors regarding the Law of Love in order to build a basis for interpretation or an alternative interpretation map that facilitates the fulfillment of the spiritual needs of the transgender group. Using a phenomenological approach with a feminist perspective that favors transgender groups, this study interviewed 2 (two) heterosexual cis-gender female priests, 3 (three) heterosexual cis-gender male priests and one non-heterosexual male priest who has a bias against sexual minorities. This study reveals three things, namely efforts to build awareness and alignment with sexual minority groups, the agency of allied priests and the meaning of the blessing of transgender marriages for allied priests. The efforts that have been made from this study show: First, the mere meaning of "love" which is inclusive, turns out to be insufficient in building critical awareness and partiality, the allied pastors build it through reflection on awareness of privilege, the meaning of ecclesiastical vocation and mission, the existence of encounters with groups sexual minorities and realize that minority groups need spirituality. Second, in an effort to build agency, allied pastors use their clerical identity (passport) as a strategy to build new interpretations, change the discourse of inclusion into the DNA of the church and carry out the SOGIESC inclusive movement. Third, in interpreting the blessing of transgender marriages, priests are still faced with various interpretations which are a challenge in meeting the spiritual needs of transgender groups. In the end, the strengthening of feminist theological discourse and SOGIESC among pastors and policy makers in the church is necessary for the realization of the true value of the Law of Love.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Farida
Abstrak :
Perempuan merupakan kelompok yang rentan terpapar radikalisme. Keterlibatan perempuan dalam radikalisme meningkat, perempuan tidak sekedar sebagai pendukung tapi juga sebagai pelaku terorisme. DKI Jakarta merupakan provinsi yang memiliki dimensi target tinggi. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat radikalisme pada perempuan anggota organisasi masyarakat di provinsi DKI Jakarta serta untuk melihat ada tidaknya hubungan antara tingkat radikalisme dengan rentang usia, tingkat pendidikan, jenis sekolah dan jenis organisasi. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan metode purposive sampling. Pengambilan data dilakukan dengan kuesioner. Tingkat radikalisme diukur menggunakan alat bernama Religious Radicalism Scale (ReadS). Alat ukur ReadS memiliki enam indikator radikalisme. Penelitian dilakukan kepada perempuan anggota ormas yang berusia lebih dari 18 tahun yang tinggal di wilayah DKI Jakarta. Responden penelitian ini sebanyak 190 orang. Data dianalisis dengan metode regresi logistik dimana tingkat radikalisme adalah data dikotom (radikal-tidak radikal) Hasil penelitian menunjukkan tingkat radikalisme responden sebagai berikut 99% responden tidak radikal, dan 1% responden radikal. Penelitian menyimpulkan antara rentang usia, tingkat pendidikan, jenis sekolah dan jenis organisasi dengan berpengaruh terhadap tingkat radikalisme. Penelitian menemukan bahwa potensi radikalisme terdapat pada 1) rentang usia generasi Z dan baby boomer, 2) responden yang berpendidikan S1, 3) sekolah non keagamaan dan 4) organisasi non keagamaan ......Women are a group that is vulnerable to radicalism. Women's involvement in radicalism is increasing, women are not only supporters but also as perpetrators of terrorism. DKI Jakarta is a province that has high target dimensions. This study aims to determine the level of radicalism in women members of mass organizations in DKI Jakarta and o influence the age range, level of education, type of school and type of organization on the level of radicalism. This study used a quantitative method with a purposive sampling method. Data collection is done by questionnaire. The level of radicalism is measured using a tool called the Religious Radicalism Scale (ReadS). The ReadS measurement tool has six indicators of radicalism. The research was conducted on female members of mass organizations over the age of 18 who live in the DKI Jakarta area. The respondents of this study were 190 people. Data were analyzed using logistic regression method where the level of radicalism is dichotomous data (radical-not radical). The results showed the level of radicalism of the respondents as follows: 99% of respondents were not radical, and 1% of respondents were radical. The research concluded that the age range, education level, type of school and type of organization had an effect on the level of radicalism. Research finds that the potential for radicalism is found in 1) the age range of generation Z and baby boomers, 2) respondents with an undergraduate degree, 3) non-religious schools and 4) non-religious organizations
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library