Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Halimah Humayrah Tuanaya
Abstrak :
Proses kriminalisasi merupakan hal yang esensial dalam hukum pidana. Pada dasarnya proses kriminalisasi terhadap perbuatan ?penyalahgunaan kewenangan" bukan hal baru, sejak tahun 1957 terminologi ?penyalahgunaan kewenangan" telah digunakan pada beberapa perundang-undangan pidana, namun hingga saat ini unsur "penyalahgunaan kewenangan" belum memiliki pengertian yang jelas. Kemerdekaan hakim dalam menafsirkan unsur ?penyalahgunaan wewenang" melahirkan disparitas putusan yang layak untuk terus dikaji, baik dari sudut pandang Hukum Pidana maupun dari dimensi lain termasuk Hukum Administrasi. Mengingat pegawai negeri merupakan personifikasi dari wewenang publik, sehingga Hukum Administrasi sangat relevan untuk membantu memahami konsep penyalahgunaan kewenangan. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan parameter tertentu sebagai acuan dalam menentukan ada tidaknya perbuatan penyalahgunaan kewenangan; meneliti bentuk perbuatan penyalahgunaan kewenangan yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK); serta menganalisis beberapa putusan tindak pidana korupsi yang terkait dengan penyalahgunaan kewenangan. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan pendekatan analitis (analytical approach) yang bertujuan untuk mengetahui makna yang terkandung dalam istilah yang digunakan dalam perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam putusan pengadilan. Data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup data primer maupun data sekunder yang akan dianalisis dengan menghubungkannya pada putusan-putusan pengadilan yang sebelumnya telah lebih dulu melakukan penafsiran terhadap unsur penyalahgunaan wewenang. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak seluruh perbuatan yang dianggap sebagai penyalahgunaan kewenangan menurut Hukum Administrasi merupakan perbuatan yang melawan hukum pidana. Terkait dengan kewenangan yang sifatnya terikat, maka parameter penyalahgunaan kewenangan adalah peraturan perundang-undangan tertulis, sedangkan terhadap kewenangan bebas parameternya didasarkan pada asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur). Berdasarkan hasil kajian terhadap beberapa putusan pengadilan, parameter yang digunakan hakim untuk menilai adanya perbuatan penyalahgunaan kewenangan sangat beragam. Penelitian ini merekomendasikan agar Mahkamah Agung menentukan satu Yurisprudensi Tetap yang dapat dijadikan acuan hakim ketika menafsirkan unsur menyalahgunakan kewenangan pada Pasal 3 UU PTPK untuk menghindari disparitas putusan pengadilan yang berlebihan guna mengembalikan eksistensi hukum pidana yang identik dengan prinsip legalitas.
Criminalization process of a do that is assumed reprehensible by people to be a rule of criminal legislation is essential in the criminal law. Basically criminalization process of abuse of authority abuse is not a new thing in the history of enforceability of criminal legislation rule in Indonesia. Since 1957 terminology of authority abuse has been used on some criminal legislation, but thus far matter of ?authority abuse" has not clear definition on criminal legislation. The independency of judge to define the elements of authority abuse has born disparity of judgment that is reasonable to be reviewed. It's not only to review it by point of view of criminal legislation but also by other dimensions, such as administration law. Because civil servant and public official are personification of public authority, so administration law is relevant object of study to comprehend further the concept of authority abuse. This resource aims to discover the certain parameter that can be used as the reference of determining whether there"s the authority abuse or not. Then this resource is delving further about the doings of authority abuse that are unlawful things based on Article 3 of Law No. 31 Year 1999 on the Eradication of Corruption. As the application review of unlawful things based on Article 3 of Law No. 31 Year 1999 on the Eradication of Corruption, this recourse is also analyzing some court decisions related to corruption actions of authority abuse. This resource is normative resource with analytical approach that aims to know the meaning of names that are used in the legislation conceptually, and to know its applications in the practice and law judgments. The dates used in this resource are included primer and secondary date that are analyzed by linking the court judgments that previously interpreted the authority abuse on the corruption criminal action eradication. The result of this resource showing that not all action assumed as authority abuse on administration law is action which is unlawful on criminal law as being regulated on Article 3 of Law No. 31 Year 1999 on the Eradication of Corruption. Related to the bound authority, authority abuse parameter is written rules, whereas on the authority which parameter is free based on general pinciple of good government (algemene beginselen van behoorlijk bestuur). However, from the review result of some court judgments is founded that the parameters used by judge to assess whether there"s the authority abuse are so diverse. This resource recommends that the Supreme Court determine a constant case law to be a judges benchmark when interpreting the elements of authority abuse based on Article 3 of Law No. 31 Year 1999 on the Eradication of Corruption to prevent disparity of excessive court judgment to return the existence of criminal law as guidance of the way to behave in the society which is identical to the legality.
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T30591
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Beatrix Berlina Permata Sari
Abstrak :
ABSTRAK
Di Indonesia kejahatan yang berkembang tidak hanya terbatas pada pengetahuan kejahatan jalanan (street crime) saja akan tetapi sudah timbul juga tentang kejahatan kerah putih (white collar crime) salah satunya adalah mengenai money laundering atau biasa disebut pencucian uang. Tesis ini membahas mengenai Pertanggungjawaban Pidana Pihak ketiga Yang Menerima Harta kekayaan dari Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana modus orang ketiga dalam tindak pidana pencucian uang. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa selama proses pemeriksaan di persidangan mengenai tindak pidana pencucian uang, sistem pembuktian yang digunakan adalah sama halnya dengan persidangan pada umumnya yaitu berdasarkan alat bukti ditambah dengan keyakinan hakim karena penerapan pembalikan beban pembuktian tidak selalu digunakan oleh terdakwa untuk membuktikan harta kekakayaannya di persidangan, selain itu perbankan merupakan wadah atau tempat yang sangat mendukung dalam hal terjadinya proses pencucian uang karena dimanfaatkan oleh para pelaku untuk melakukan transaksi perbankannya dengan cepat, aman dan mudah. Kesemua hal tersebut dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1089/Pid.B/2011/PN Jkt Sel tanggal 19 Januari 2012 atas nama terpidana Ismail bin Janim.
Abstract
In Indonesia, the advance crime is not limited by the street crime but the white collar crime has arise is money laundering. This thesis discusses about criminal liability to a third side who receives assets from the proceed of crime money laundering. The goal of my research to knowledge how the third party act in money laundering crime. This research is normative law research and empirical law research. The results of this study is that during the process inspection in court about money laundering crime, evidence system used is the same as the trial in general is based on evidence added with confidence of judges because reversal of the burden of proof as the application is not always used by the defendant to prove his property in court, other than that banking is a container or a place that is very supportive in terms of money laundering process as exploited by the actors to doing banking transaction quickly, securely, easily. All of this, can be seen in the decision letter of Jakarta Selatan district court No. 1089/Pid.B/2011/PN Jkt Sel dated January 19, 2012 in the name of Ismail bin Janim.
2012
T31266
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Esha Satya Satwika
Abstrak :
Anak merupakan titipan Tuhan Yang Maha Esa yang harus kita jaga dengan baik karena mereka menjadi generasi penerus bangsa dan negara ini. Karena hal tersebut sangatlah penting maka dibutuhkan perhatian dari seluruh unsur bangsa, tidak hanya keluarga namun pemerintah, jaminan hukum, serta masyarakat. Dalam hal ini adalah jaminan di bidang hukum yang diharapkan dapat menjamin kesejahteraan, perlindungan, dan keadilan baginya, khususnya anak nakal atau anak yang berkonflik dengan hukum. Selain itu, dibutuhkan pula suatu lembaga yang khusus bertugas untuk melaksanakan perlindungan hukum terhadap anak sebagaimana yang diamanatkan kepadanya, lembaga tersebut adalah KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Tulisan dengan judul Peranan KPAI Dalam Mewujudkan Keadilan Restoratif Sebagai Usaha Penegakan Hukum Terhadap Anak Nakal/Berkonflik Dengan Hukum merupakan suatu hasil analisa dengan metode normatif-empiris tentang upaya-upaya KPAI dalam mewujudkan keadilan restoratif yang dihubungkan dengan praktek SPP Anak. Sesuai dengan amanat Pasal 76 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, KPAI memiliki tugas untuk melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. Dengan adanya UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang dinilai lebih menjamin keadilan dan perlindungan anak dengan diaturnya konsep diversi yang mencerminkan keadilan restoratif maka KPAI diharapkan dapat lebih optimal dalam melakukan perlindungan anak dan membantu aparat penegak hukum khususnya Kepolisian. UU SPP Anak ini memiliki keragaman sanksi yang lebih daripada UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Selain itu, tantangannya adalah merubah stigma masyarakat yang lebih condong pada sanksi retributif, khususnya anak yang berkonflik dengan hukum. Munculnya teori atau konsep keadilan restoratif diharapkan dapat menghindarkan anak dari SPP karena ditakutkan akan mempengaruhi pertumbuhannya, khususnya mental anak. Dibutuhkan kemampuan penegak hukum yang lebih dalam perlindungan anak dan pelibatan masyarakat guna tercapainya perlindungan anak secara hukum yang berujung pada kepentingan terbaik bagi anak. Memang sejumlah kendala menjadi hambatan penerapan ini seperti masih kurangnya fasilitas yang disediakan oleh pemerintah, keterbatasan dan kurangnya pemahaman perlindungan anak oleh penegak hukum, serta keterbatasan KPAI dalam melaksanakan tugasnya. Dengan konsep keadilan restoratif yang dicerminkan pada UU SPP Anak, diharapkan KPAI dapat lebih berperan serta dan lebih meningkatkan koordinasi dengan aparat penegak hukum dalam perlindungan anak khususnya anak nakal/anak yang berkonflik dengan hukum.
A child is a gift from The god that we need to take care of because they will become the successor of the next generation of the nation and the country. Because it is incredibly important it is required attention from the all elements of the nation, not only the family but the government, law protection, and society. In this point is a guarantee in law that is expected to ensure the welfare, protection, and justice for them, especially a juvenile delinquent or a child in conflict with the law. Besides, also needed an institution which specifically on duty to implement legal protection against children as entrusted to him, this institution is KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia-Indonesia Child Protection Commission). The title of The Post-graduate thesis is The Role of KPAI In Implementing The Restorative Justice as Effort of The Law Enforcement on Juvenile Delinquenct/Child Were in Conflict With The Law is an analysis with normative-empirical method research of KPAI efforts in realizing the restorative justice connected with the practice of the Indonesian Juvenile Criminal Justice System. As mandated in Act No. 23 of 2002 regarding the protection of children article no. 76, KPAI have a task to socialize all regulations legislation relating to the child protection, data and information collection, receiving a complaint from society, exploring, monitoring, evaluation, and supervision over the child protection, provide reports, advise- feedback, and consideration to the President in order of child protection. By the presence of the Act No.11 of 2012 regarding the juvenile criminal justice systems, child who is considered more ensuring justice and the protection with the arrangement of the diversion concept that reflects restorative justice then KPAI is expected to be more optimal in doing the protection of children and help the law enforcement officials especially police. The Juvenile Criminal Justice System Act has a diversity of children penal than the Act No. 3 of 1997 Concerning juvenile court. In addition, the challenge is to change the stigma that society is leaning more on retributif sanctions, particularly children in conflict with the law. The rise of theory or concept of restorative justice is expected to prevent the child from the Criminal Justice System because of feared would affect its growth, especially mentally. It takes the ability of the law enforcement agencies in child protection and the involvement of the community in order to achieve the protection of the child by law that resulted in the best interest for the child. Indeed a number of barriers to implementation is occured such as still lack of facilities provided by the Government, limitations and a lack of understanding of child protection by law enforcement agencies, as well as the limitations of KPAI in doing their tasks. With the concept of restorative justice which is reflected on Juvenile Criminal Justice System Act, KPAI would be more expected to participate and improve their coordination with the law enforcement agencies in the protection of children particularly juvenile delinquent/child who were in conflict with the law.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35290
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toton Rasyid
Abstrak :
ABSTRAK
Hubungan antara penyidik dan penuntut umum dalam penanganan perkara dijembatani dengan prapenuntutan. Dalam prapenuntutan ini tidak ada batasan berapa kali bisa terjadi bolak-balik hasil penyidikan antara penyidik dengan penuntut umum. Dampaknya adalah menumpuknya perkara tindak pidana di Kejaksaan. Sehingga terjadi ketidakpastian hukum baik bagi tersangka maupun korban, hal inilah yang akan dilihat dalam perspektif hak asasi manusia. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan desain preskriptif. Hasil penelitian menyimpulkan prapenuntutan tidak dilakukan secara maksimal oleh penuntut umum karena ketidaktegasan penuntut umum menyikapi suatu perkara. Karenanya perlu ketegasan penuntut umum dalam menyatakan sikap terhadap suatu perkara yang didukung oleh standar operasional prosedur, dengan demikian kepastian hukum sebagai salah bentuk satu hak asasi manusia akan dapat diperoleh oleh korban maupun tersangka.
ABSTRACT
The relation between investigators and prosecutors in case handling abridged with pre-prosecution. In this pre-prosecution there is no limit how many times can come back and forth between certified the results of the investigation by the public prosecutor. The implications of this is the build up the matter of a criminal offense in prosecutor ' s office. So happen uncertainty law good for the suspect, as well as victims these matters would be seen in perspective human rights. This research is research juridical normative with a design prescriptive. The results of research concludes pre-prosecution not carried out optimally by the public prosecutor because indecisiveness prosecutors due to a cause. Therefore need to explicitness prosecutors in declaring attitude toward a cause that is powered by standard operating procedures, thus legal certainty as any the form of a human rights will be obtained by the victim, and suspect.
2013
T35992
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Subhan
Abstrak :
Perkembangan korporasi di Indonesia dalam waktu singkat menjadi sangat cepat dan pesat karena sifatnya yang sangat ekspansif menjangkau seluruh wilayah bisnis yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dengan subur dan mendatangkan keuntungan. Hal lain ditandai juga dengan peranan oleh pemerintah melalui peraturan-peraturan yang memberikan kemudahan berusaha dan fasilitas lainnya. Korporasi sebagai pelaku kejahatan dan tindak pidana Korupsi sebagai sebuah delik harus dilihat dalam kerangka pembangunan berkesinambungan. Korupsi telah mempengaruhi kehidupan ketatanegaraan serta merusak sistem perekonomian dan masyarakat dalam skala besar sehingga tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Masalah pokok dalam tesis ini adalah masalah kebijakan hukum pidana dalam formulasi aturan pemidanaan (Pertanggungjawaban pidana) korporasi dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh PT. Duta Graha Indah, Tbk. dalam perkara Wisma Atlit yang perkaranya banyak menarik perhatian di Indonesia, maka penelitian yang dilakukan sifatnya yuridis normatif yaitu penelitian berdasarkan sumber data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual serta metode penelitian kepustakaan dan penelitian empiris. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa dalam formulasi aturan pemidanaan (pertanggungjawaban pidana) korporasi dalam tindak pidana korupsi terdapat kelemahan-kelemahan yang sebenarnya tetap bisa disiasati sehingga penegakkan hukum tidak seperti bersifat tebang pilih. Namun kedepan diharapkan banyak pembaruan dan penambahan atau penyempurnaan aturan sehingga tidak menimbulkan kesimpangsiuran penafsiran, yang akan berpengaruh pada aplikasinya oleh para penegak hukum.
Corporate developments in Indonesia in a short time became very quick and fast because it is very expansive reach all areas of the business that has the ability to thrive and be profitable. Another thing is also characterized by the role of government through regulations that provide ease of doing business and other facilities. Corporations as criminals and corruption as a criminal offense must be viewed within the framework of sustainable development. Corruption influenced state life and destructed economic and society system in a large scale, hence, no longer it may be grouped as an ordinary crime but should be granted as an extraordinary crime. Main problem of this theses are the problem of criminal law policy incriminal regulation formula (criminal responsibility) of corporation in corruption criminal action, committed by PT. Duta Graha Indah Tbk. in the case of "Wisma Atlit" that this case attracted much attention in Indonesia, so this thesis is conducted by normative juridis which based on secondary data source that is including primary legal materials, secondary, and tertiary, with the approach of legislation (statute approach) and the conceptual approach, as well as the method of literature research and empirical research. Research resulted that there are some weaknesses on the formulation ofcriminal regulation (criminal responsibility) of corporation in corruption that are actually still be circumvented so that law enforcement is not as discriminately. In the future we expected a lot of updates and additions or improvements rules so as to avoid the confusion of interpretation, which will affect the application by law enforcement.
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T35720
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Nengah Gina Saraswati
Abstrak :
ABSTRAK
Dalam mengatur pola hubungan antara Penyidik dan Penuntut umum, KUHAP mengatur mengenai asas pemisahan fungsional (diferensiasi fungsional) yang memisahkan secara tegas mengenai fungsi Penyidikan dan Penuntutan. Kedua fungsi tersebutberdiri secara independenya itu bebas dari campur tangan institusi lainnya. Menurut KUHAP hubungan fungsional antara Penyidik dan Penyidikdan Penuntut Umum diselenggarakan melalui Prapenuntutan.Namun pada pelaksanaannya hubungan fungsional tersebut tidak berjalan efektif dengan adanya ego sektoral dan Prapenuntutan yang bersifat administratif. Selain itu sering terjadi perbedaan pandangan antara penyidikdanpenuntut umum dalam proses Prapenuntutan. Hal ini terjadi, ketikaPenuntut umum meneliti berkas perkara ternyata Penuntut umum berpendapat bahwa Penyidik tidak tepat mencantumkan Pasal dari suatu delik yang dipersangkakan pada berkas perkara hasil Penyidikan. Sementara kewenanganPenuntut umum dalam meneliti dan mengembalikan berkas perkara, hanyalah sebatas memberikan petunjuk untuk melengkapi hasil penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik sesuai ketentuan Pasal 14 huruf b KUHAP. Sedangkan KUHAP sendiri,t idak memberikan penjelasan batasan definisi ?Petunjuk melengkapi berkas perkara hasil penyidikan? yang merupakan wewenang Penuntut umum dalam proses Prapenuntutan. Dalam prakteknya terjadi perbedaan penafsiran antara penyidik dan penuntut umummengenaikelengkapan berkasperkara. Selain itu, KUHAP tidak mengatur batasan sampai berapa kali petunjuk dapat diberikan Penuntut umum kepada Penyidik. Hal ini tergambar dengan adanya ?bolak-balik berkas perkara? antara penyidik dan penuntut umum sehingga mengakibatkan penanganan perkara yang berlarut-larut.Oleh karena itu, maka jalan keluar yang ditempuh sebagai penyelesaian permasalahan tersebut adalah dalam wujud diselenggarakannya Gelar perkara, Forum Mahkumjapol, serta koordinasi dan konsultasi. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normative yang data utamanya adalah data sekunder sedangkan data primer digunakan sebagai pendukung, dengan menggambarkan wewenang penuntut umum dalam Prapenuntutan dan melakukan wawancara dengan narasumber yang terkai dengan kewenangan tersebut. Penelitian bertujuan untuk mendapat bentuk-bentukperbaikan yang dapat dilakukan dalam pengaturan pola hubungan antara Penyidik dan Penuntut umum, yang dalam hukum acara pidana yang akan datang.
ABSTRACT
In regulating the relationship between The Investigator and The Prosecutor, The Criminal Procedure Code regulates theprinciple of separation of functional (functional differentiation) which explicitly separating the functions of investigation and prosecution. Both of these functions independently standing free from interference by other institutions. According to The Criminal Procedure Code, the functional relationship between The Investigators and The Prosecutors organized through Pre-prosecution. However, in practice the functional relationship was not effective because of sectoral ego and administrative processs of pre-prosecution. Besides frequent disagreements between The Investigators and The Prosecutors in Pre-prosecution process.This occurs when The Prosecutor examined the case file, The Prosecutor found that The Investigator write down the not right article of a offence which presupposed in the out come investigation case files.While the authority of The Prosecutor to examine and return the case file, only limited in clues to complete the results of investigations conducted by The Investigators in accordance with Article14 letter of the Criminal Procedure Code. While the Criminal Code it self, does not provide an explanation limits the definition of "Complete results of the investigation case file" whichis the authority of the Prosecutor in Pre-prosecution process. In practice there is a difference of interpretation between the investigator and the public prosecutor about the completeness of the case file. In addition, the Criminal Code does not set limits to how many times the prosecutor guidance can be given to the investigator.This is illustrated by the "case file back and forth" between The Investigator and The Prosecutor handling the case, resulting handling of criminal cases that is drag on. Therefore, the solution to complete the case file is in ?Gelar Perkara?, Mahkumjapol Forum, as well as coordination and consultation.This research is normative juridical research that the main data is the secondary data while the primary data used as a support, by describing theauthority ofThe Prosecutor in Pre-prosecution process and conducting interviews with sources associated with such authority. The objective was to get the pattern to dorepairs in the regulation ofthe relationship between The Investigator and The Prosecutor in the future.
2013
T35106
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.S. Gunadi Sjarif
Abstrak :
Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat) dengan keberadaannya sebagai Negara hukum (rechtstaat) memiliki konsekuensi yang melekat padanya, bahwa konsepsi (rechtstaat) maupun konsepsi (the rule of law), menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu ciri khas pada Negara yang di sebut (rechtstaat). Pada setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia, apakah dalam kategori “berat”, atau ringan “ringan”, akan menimbulkan kewajiban bagi Negara untuk mengupayakan pemulihan (reparation), bentuk pemulihan itu dikenal dengan istilah kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Perlindungan terhadap saksi dan korban, menjadi sesuatu yang penting dalam perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, karena merupakan kejahatan yang diklasifikasikan sebagai kejahatan yang berdampak luas baik tingkat nasional maupun internasional. Tuntutan terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat telah mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian diikuti oleh Undang-Undang Nomor. 26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia, dimaksudkan untuk menjawab berbagai persoalan pelanggaran hak asasi manusia khususnya pelanggaran HAM berat. Kemudian lahirnya Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan salah satu regulasi yang diharapkan dapat memecahkan kebuntuan serta terbukanya wacana tentang persoalan pemulihan (reparasi) bagi saksi dan korban. sehingga mampu mengatasi kelemahan-kelamahan yang selama ini terjadi dalam konteks perlindungan dan pemenuhan hak-hak saksi dan korban. Dari pengalaman tiga pengadilan pelanggaran HAM berat yang sudah dilaksanakan di Indonesia yaitu kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura. Tidak ada satupun korban yang mendapatkan kompensasi dan restitusi. Bahwa keputusan-keputusan dalam kasus-kasus tersebut menyatakan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat dan menimbulkan korban, tetapi karena pelaku mendapat vonis bebas, dengan demikian tidak ada kewajiban untuk membayar ganti kerugian kepada korban. Kegagalan dari beberapa pengadilan HAM berat untuk melakukan proses penghukuman yang efektif dan memberikan remedies kepada korban menyisakan banyak pertanyaan mengenai proses pengadilan yang terjadi. Ketidakberhasilan pengadilan HAM ini, selain membebaskan para terdakwa, juga tidak mampu memenuhi hak-hak korban, yang meliputi hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban. ...... Indonesia is a State of law (rechtstaat) with its existence as a state law (rechtstaat) have consequences attached to it, that the conception (rechtstaat) and conceptual (the rule of law), putting human rights as one of the characteristic of the state of the call (rechtstaat). At any violation of human rights, whether in the category of "heavy" or light "light", will give rise to an obligation for the State to seek recovery (reparation), a form known as the recovery of compensation, restitution and rehabilitation. Protection of witnesses and victims, to be something important in the case of human rights violations that heavy, because it is a criminal offense that is classified as high impact both nationally and internationally. Demands on the resolution of cases of gross human rights violations have prompted the enactment of Law Number 39 Year 1999 on Human Rights, which was then followed by Law Number. 26 Year 2000 on Human Rights Court, is intended to address issues of human rights violations particularly serious human rights violations. Then the enactment of Law Number 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims is one regulation that is expected to break the deadlock and open discourse on issues of recovery (repair) of witnesses and victims. so as to overcome the weaknesses that have occurred in the context of the protection and fulfillment of the rights of victims and witnesses. From the experience of the three trials gross human rights violations that have been implemented in Indonesia, namely the case of gross human rights violations in East Timor, Tanjung Priok and Abepura. None of the victims received compensation and restitution. That decision-making in such cases states have serious human rights violations and cause casualties, but because the perpetrator gets acquittal, thus there is no obligation to make restitution to the victim. Failure of a human rights court to make the process effective punishment and provide remedies to victims leaves many questions about the litigation occurred. The failure of these human rights court, in addition to freeing the defendants, also unable to fulfill the rights of victims, which includes the right to compensation, restitution and rehabilitation for victims.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35108
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simplexius Asa
Abstrak :
Penelitian ini dirancang untuk menilai fungsionalisasi hukum pidana dalam mengatasi persoalan penanggulangan HIV & AIDS dalam Peraturan Daerah (PERDA) tentang Penanggulangan HIV & AIDS. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi perbuatan pidana dan subyek hukum pidana; menganalisis kesesuaian antara perilaku berisiko yang dikriminalisasi dengan teori kriminalisasi; serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan PERDA dalam masyarakat, sesuai perspektif hukum pidana. Penelitian ini adalah normative legal research dengan pendekatan deskriptive-analitic. Hasilnya penelitian memberi kesimpulan: (1) Perilaku yang dikriminalisasi adalah perbuatan yang dapat secara langsung menyebabkan seseorang tertular HIV dan AIDS, seperti: hubungan seks tanpa kondom; penyuntikan NAPZA dengan jarum suntik tidak steril secara bersama-sama dan berganti jarum; tidak menerapkan universal precaution; dengan sengaja mendistribusikan darah atau organ/jaringan tubuh yang sudah terinfeksi HIV kepada orang lain. Perilaku yang dapat menghambat upaya penanggulangan HIV dan AIDS, seperti: tidak menyelenggarakan pemberian informasi/penyuluhan tentang pencegahan dan HIV dan NAPZA; tidak memeriksakan kesehatan tenaga kerja yang berada dibawah pengawasannya; tidak merahasiakan status HIV seseorang; memberikan pelayanan kesehatan secara diskriminatif; telah membuka status HIV seseorang tetapi tidak melakukan tindakan medis apapun untuk meningkatkan ketahanan dan kualitas hidup ODHA. Subyek tindak pidana terdiri atas setiap orang; kelompok masyarakat secara komunal; petugas kesehatan; petugas laboratorium; paramedis dan dokter serta pejabat pemerintah; badan hukum privat dan atau badan hukum publik. (2) Perumusan perbuatan pidana telah sesuai dengan teori kriminalisasi, antara lain: perlindungan terhadap kepentingan umum; efisiensi dan efektivitas terutama cost and benefit principles; azas kemanfaatan yang lebih besar serta aspek legal morality. Kriminalisasi terhadap perbuatan pidana tertentu tidak diformulasi secara jelas dan pasti sesuai azas lex certa dan lex stricta sehingga dapat menimbulkan multi-interpretasi di kalangan penegak hukum dan masyarakat. (3) Kriminalisasi dan pembentukan norma hukum pidana belum memperhatikan aspek substance of law, structure of law dan culture of law sehingga sulit ditegakkan. ......This research is designed to assess utilization of criminal law to contend HIV and AIDS problem in Local Regulation regarding HIV and AIDS care. In the perspective of criminal law, the purposes of the research are to identify the criminal offence and subject of wrongdoers; to analyze the conformity between criminalized risk behavior and theory of criminalization; and to analyze the influential factors in the implementation of the local regulation in the community. The research is a normative legal research with descriptive analytical approach. The research resulted the following concluding points: (1) the criminalized behaviors are actions that can directly cause HIV and AIDS transmission to a person such as: sexual intercourse without using condoms; narcotic substance injection through sharing of non-sterilized needles within the circle of injecting drug users; failure to apply universal precaution principle; and intentionally distributing infected organ or blood transfusion to other people. Other criminalized behaviors can impede the effort to eradicate HIV and AIDS program such as failure to conduct information dissemination on HIV and AIDS and other dangerous substances; failure to carry out medical examination of employees by supervisors; failure to keep the confidentiality of people living with HIV and AIDS (PLWHA); provide a discriminative heath services, disclosure of the status of an HIV infected person without subsequent medical intervention to ensure improvement of the quality of life of PLWHA. The potential criminal wrongdoers consist of: individual, community groups, health officer, laboratory officer, medical officer, medical doctor, government officer, private and/or public corporation. (2) In general, formulations of criminal offences are confirmed by criminalization theories, among others: public interest protections, efficiency and effectiveness in particular cost and benefit principles, principle of maximum utilities and principle of legal morality. Criminalization against specific offences is unclearly and uncertainly formulated as clear as principle of lex certa and lex stricta, thus it can cause such multi-interpretation in the circle of law enforcement officers. (3) Criminalization and formulation of the norm of criminal law is not grounded on the aspects of substance of law, structure of law and culture of law as yet causing difficulties in the enforcement.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28602
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>