Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Biddulth
"Pendahuluan : Insidensi pembesaran kelenjar prostat mencapai 50% pada pria berusia 50 tahun keatas. Berbagai modalitas pemeriksaan radiologi memiliki sensitifitas yang berbedabeda dalam estimasi volume kelenjar prostat. Modalitas yang paling tersedia di Indonesia pada layanan kesehatan adalah USG transabdominal dan Computed tomography scan (CT scan).
Tujuan : Menilai korelasi modalitas USG transabdominal dan CT scan dalam estimasi ukuran volume kelenjar prostat.
Metode : Studi korelasi dilakukan pada pasien pria berusia diatas 50 tahun keatas yang menjalani pemeriksaan CT scan whole abdomen dan dilakukan pengukuran volume kelenjar prostat dengan USG transabdominal. Setiap dimensi ukuran kelenjar prostat dan volume merupakan data numerik terdistribusi tidak normal, sehingga digunakan uji Spearman.
Hasil : Dari 23 subjek penelitian, didapatkan korelasi dimensi panjang (r=0,53, p=0,01), dimensi lebar (r=0,81, p=0,00), dan dimensi tinggi (r=0,64, p=0,001) yang signifikan. Untuk korelasi volume kelenjar prostat (r=0,80, p=0,000) didapatkan signifikan.
Kesimpulan : Terdapat korelasi yang signifikan pada setiap ukuran dimensi kelenjar prostat dan volume yang didapatkan.

Introduction : Prostate gland enlargement incidence about 50% in male population age 50 years and above. There are so many radiology modalities with difference sensitifity in estimating prostate volume. The most available modalities in Indonesian health care services are transabdominal sonography and computed tomography scan (CT scan).
Objective : Assessing correlation in both modalities in evaluating prostate volume measurement.
Methods : Correlation study was done in male ages 50 years and above underwent whole abdominal CT scan and prostate gland were measured by transabdominal sonography. Both numeric data were abnormal distribution, so Spearman test was done.
Results : There are significant correlation either between length (r=0,53, p=0,01), wide (r=0,81, p=0,00), and height dimensions (r=0,64, p=0,001) or volume measurement (r=0,80, p=0,000) in 23 subjects.
Conclusions : Significant correlation either in each prostate dimension or prostate volume measurement.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paramitha Adriyati
"Latar belakang: Karsinoma sel hati (KSH) merupakan salah satu kanker dan penyebab kematian akibat kanker tersering. Magnetic resonance imaging (MRI) abdomen multifase adalah modalitas pilihan untuk diagnosis KSH, karena dapat menggambarkan perubahan patofisiologi selama hepatokarsinogenesis melalui sekuens dynamic contrast enhanced (DCE), T1-weighted imaging (T1WI) dengan chemical shift imaging, T2- weighted imaging (T2WI), diffusion-weighted imaging (DWI), peta apparent diffusion coefficient (ADC), serta fase hepatobilier. Alpha fetoprotein (AFP) sebagai penanda serologis KSH terkait surveilans, diagnostik, dan prognostik, juga berperan dalam hepatokarsinogenesis dengan menunjukkan perbedaan agresivitas tumor. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara temuan morfologi dan karakteristik KSH pada MRI dengan kadar serum AFP.
Metode: Studi retrospektif ini dilakukan pada pasien KSH yang menjalani MRI abdomen multifase kontras spesifik hepatobilier dan kadar serum AFP di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, serta belum menjalani prosedur pengobatan apapun. Dilakukan analisis menggunakan uji Chi Square atau uji Mutlak Fisher antara temuan morfologis dan karakteristik KSH pada MRI, serta menggunakan uji Mann-Whitney antara nilai rerata apparent diffusion coefficient (ADC) dengan kadar serum AFP.
Hasil: Diperoleh 82 subyek dengan usia rerata subyek 58 tahun, diameter tumor >5cm (58,5%) dan tumor multipel (59,8%) paling banyak ditemukan, serta memiliki perbedaan proporsi yang bermakna dengan kadar serum AFP (nilai p = 0,030 dan p = 0,000). Vaskularisasi tumor, kapsul tumor, lemak intratumoral, tumor hiperintens T2, restriksi difusi, dan tumor hipointens fase hepatobilier lebih banyak ditemukan pada kadar serum AFP ≥ 100ng/mL, namun tidak ditemukan perbedaan proporsi bermakna. Terdapat perbedaan bermakna nilai rerata ADC antara 39 subyek dengan kadar serum AFP < 100ng/mL dan 43 subyek dengan AFP ³ 100ng/mL. Median nilai rerata ADC 1,19 (0,71 – 2,20) pada subyek dengan kadar serum AFP < 100ng/mL, median 0,97 (0,72 – 1,77) pada subyek dengan AFP ≥ 100ng/mL, dan nilai p = 0,003.
Simpulan: Proporsi tumor berdiameter > 5cm dan tumor multipel pada subyek dengan AFP ≥ 100ng/mL secara bermakna lebih tinggi dibandingkan pada subyek dengan AFP < 100ng/mL. Nilai rerata ADC pada subyek dengan AFP ≥ 100ng/mL secara bermakna lebih rendah dibandingkan AFP < 100ng/mL. Sehingga nilai rerata ADC dapat membantu memprediksi kadar serum AFP pada pasien KSH.

Background: Hepatocellular carcinoma (HCC) is one of the most common cancers and cancer-related death. Multiphase contrast-enhanced abdominal magnetic resonance imaging (MRI) is the modality of choice for the diagnosis of KSH, as it can depict pathophysiologic changes during hepatocarcinogenesis through sequences: dynamic contrast enhanced (DCE), T1-weighted imaging (T1WI) with chemical shift imaging, T2-weighted imaging (T2WI), diffusion-weighted imaging (DWI), apparent diffusion coefficient (ADC) maps, and hepatobiliary phase. Alpha fetoprotein (AFP) as a serological marker of HCC related to surveillance, diagnostics, and prognostics, also plays a role in hepatocarcinogenesis by showing differences in tumor aggressiveness. This study aims to analyze the relationship between morphological findings and characteristics of HCC on MRI with serum AFP levels.
Methods: This retrospective study was conducted on HCC patients who underwent hepatobiliary-specific contrast-enhanced multiphase abdominal MRI and serum AFP levels at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, had not undergone any treatment procedures. Chi Square or Fisher's exact test between morphological findings and characteristics of HCC on MRI, and Mann-Whitney test between mean apparent diffusion coefficient (ADC) values and serum AFP levels were analyzed.
Results: There were 82 subjects with a mean age of 58 years, tumor size >5cm (58.5%) and multiple tumors (59.8%) were more common, had a significant difference in proportion with AFP serum levels (p value = 0.030 and p = 0.000). Tumor vascularization, tumor capsule, intratumoral fat, T2 hyperintense tumor, diffusion restriction, and hepatobiliary phase hypointense tumor were more common in serum AFP level ≥ 100ng/mL, but there was no significant difference in proportion. There was a significant difference in mean ADC between 39 subjects with serum AFP level < 100ng/mL and 43 subjects with AFP 100ng/mL. The median ADC score was 1.19 (0.71 – 2.20) in subjects with serum AFP level < 100ng/mL, median 0.97 (0.72 – 1.77) in subjects with AFP ≥ 100ng/mL, and p value is 0.003.
Conclusion: The proportion of tumors > 5cm in diameter and multiple tumors in subjects with AFP ≥ 100ng/mL was significantly higher than that in subjects with AFP < 100ng/mL. The mean value of ADC in subjects with AFP ≥ 100ng/mL was significantly lower than AFP < 100ng/mL. So that the mean value of ADC can help predict serum AFP levels in patients with HCC.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hafidz Muhammad Prodjokusumo
"Latar Belakang: Kanker hati adalah penyebab paling umum kedua kematian akibat kanker di seluruh dunia, dan kejadian keganasan hati 'primer' telah meningkat secara signifikan, terutama Hepatocellular Carcinoma/ HCC. Karakteristik jaringan pada keganasan biasanya lebih padat/ kaku dibandingkan jaringan normal. Ultrasonografi dengan teknologi shear wave (gelombang geser) adalah metode perhitungan kekakuan jaringan, saat ini terdapat dua tipe; elastografi gelombang geser titik (pSWE) dan elastografi gelombang geser dua dimensi (2D-SWE). Belum ada studi yang menggunakan dua tipe gelombang geser tersebut pada lesi HCC yang sama untuk melihat kesesuaian antara nilai keduanya. Tujuan: Mengetahui derajat korelasi antara nilai USG pSWE dan nilai USG 2D-SWE pada HCC. Metode: Sebanyak 17 subjek penelitian dengan diagnosis HCC dilakukan pemeriksaan USG pSWE dan dilanjutkan dengan 2D-SWE (pada hari yang sama atau maksimal tujuh hari setelahnya) pada lesi HCC untuk menentukan nilai kekakuan jaringan (dalam satuan kPa dan m/s). Setelah itu dilakukan analisis korelasi antara nilai USG pSWE dengan USG 2D-SWE, dan dilanjutkan dengan mencari formula regresi di antara kedua nilai tersebut. Hasil: Pada lesi HCC terdapat korelasi positif kuat yang signifikan antara hasil USG pSWE dengan 2D-SWE pada perhitungan dengan kPa (R = 0,882 / p < 0,01) dan m/s (R = 0,875 / p < 0,01) , didapatkan pula formula regresi nilai kPa pSWE = 2,99 + 0,75 x kPa 2D-SWE dan nilai m/s pSWE = 0,31 + 0,82 x m/s 2D-SWE. Kesimpulan: Pada lesi HCC, dapat dilakukan pemeriksaan nilai kekakuan jaringan menggunakan pSWE maupun 2D-SWE, baik menggunakan satuan kPa maupun m/s dengan hasil yang setara.

Background: Liver cancer is the second most common cause of cancer death worldwide, and the incidence of 'primary' liver malignancies has increased significantly, particularly Hepatocellular Carcinoma / HCC. Characteristics of tissue in malignancy are usually denser / stiffer than normal tissue. Ultrasound with shear wave technology is a method of calculating tissue stiffness, currently there are two types; point shear wave elastography (pSWE) and two-dimensional shear wave elastography (2D-SWE). There have not been studies using these two types of shear waves in the same HCC lesions to see the congruence between the two values. Objective: To determine the degree of correlation between the USG pSWE value and the 2D-SWE USG value on HCC. Methods: A total of 17 study subjects with a diagnosis of HCC were subjected to pSWE ultrasound examination and followed by 2D-SWE (on the same day or a maximum of seven days thereafter) on HCC lesions to determine the value of tissue stiffness (in kPa and m/s units). After that, a correlation analysis was carried out between the USG pSWE and USG 2D-SWE values, and continued by looking for the regression formula between the two values. Results: In HCC lesions, there was a significant positive correlation between pSWE ultrasound results and 2D-SWE in the calculation with kPa (R = 0.882 / p <0.01) and m / s (R ​​= 0.875 / p <0.01), also obtained the regression formula for the kPa pSWE value = 2.99 + 0.75 x kPa 2D-SWE and the m/s pSWE value = 0.31 + 0.82 xm / s 2D-SWE. Conclusion: In HCC lesions, tissue stiffness values ​​can be examined using pSWE and 2D-SWE, using either kPa or m / s units with equivalent results."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Yanuar Amal
"Latar Belakang:Kanker prostat merupakan keganasan ketiga yang paling sering ditemukan di Indonesia. Sekitar 90-95% kanker prostat adalah adenokarsinoma asinar. Prognosis kanker prostat dan strategi tatalaksana didasarkan pada derajat keganasan. Tujuan penelitian ini untuk evaluasi rasio ADC dalam menentukan agresivitas kanker prostat.
Metode:Sebanyak 32 sampel kanker prostat dari zona perifer yang terbukti dengan biopsi dan telah dilakukan pemeriksaan MRI 1,5T dengan body coil. Rasio ADC dihitung menggunakan nilai ADC tumor dengan urin di vesika urinaria, otot obturator, dan ramus pubis sebagai referensi. Analisis rasio ADC dengan hasil histopatologi grade group <2 dan >3 menggunakan student t. Kurva ROC digunakan untuk akurasi diagnostik rasio ADC dalam menentukan grade group.
Hasil:Terdapat 12 dan 20 sampel grade group <2 dan >3. Rasio ADC tumor-urin 0,24, tumor-obturator internus 0,64, dan tumor-ramus pubis 0,85, lebih rendah dan bermakna pada pasien dengan grade group >3 (p <0,005). AUC dihitung menggunakan rasio ADC tumor-urin menunjukkan hasil tertinggi (0,988) di antara rasio ADC tumor-obturator internus (0,887) dan tumor-ramus pubis (0,783).Kesimpulan:Ketiga rasio ADC berbeda bermakna dalam membedakan grade group<2 dan grade group>3, serta merupakan prediktor signifikan dari kanker prostatgrade group >3.

Background: Prostate cancer is the third most common malignancy in Indonesia. Approximately 90-95% of prostate cancers are adenocarcinoma acinar. Prostate cancer prognosis and treatment strategies are based on degree of malignancy. Objective of this study was to evaluate the ADC ratio in determining the aggressiveness of prostate cancer.
Method: Thirty two prostate cancer samples from peripheral zones were proven by biopsy and 1.5T MRI examination was performed with body coil. ADC ratio was calculated using ADC value of tumor with urine in bladder, obturator muscle, and pubic ramus as a reference. Analysis ADC ratio with grade group <2 and >3 using a student T-test. The ROC curve is used for the accuracy of ADC ratio in determining the grade group.
Results: Twelve and 20 samples of grade group <2 and >3. Three ADC ratio (0.24, 0.64, and 0.85, respecively) lower in grade group >3 (p <0.002). AUC was calculated, ratio ADC tumor-urine show the highest results (0.988) among tumor-internal obturator (0.887) and tumor-pubic ramus (0.783).
Conclusion: Three ADC ratio have differed significantly in distinguishing grade group <2 and >3, and were a significant predictor of grade group >3 prostate cancer.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donny Albertha
"Latar Belakang: Karsinoma endometrium adalah keganasan pada organ reproduksi wanita yang terjadi umumnya pada wanita pasca menopase. Pemeriksaan radiologi khususnya MRI merupakan penunjang penting dalam menentukan staging dan keterlibatan organ organ rongga panggulyang akan menentukan pilihan terapi. Perkembangan teknik fungsional MRI yakni diffusion weighted imaging (DWI) dan apparent diffusion coefficient (ADC)digunakan untuk membedakan lesi jinak dengan ganas, grading disertai dengan perluasannya, tetapi sayangnya teknik inimemiliki keterbatasanyakni nilai yang dihasilkan pada setiap alat MRI heterogen. Saat ini berkembang teknik baru yang membandingkan nilai ADC jaringan lesi dengan nilai ADC jaringan sehat dengan hasil nilai yang lebih homogen.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah membuktikan nilai rerata rasio ADC memilikihasil lebih homogen dibandingkan dengan nilai rerata ADC.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif potong lintang menggunakan data sekunder. Penelitian dilakukan mulai bulan Desember 2018 hingga Maret 2019, dengan jumlah sampel sebanyak 21 sampel.
Hasil: Median nilai ADC tumor endometrium, urin, dan miometrium adalah 0,58 mm2/s, 3,26 mm2/s, dan 1,52 mm2/s. Berdasarkan coefficient of variation (COV) nilai rasio ADC lebih homogen dibandingkan dengan nilai ADC tumor (nilairasio ADC tumor-urine 35,1%, tumor-miometrium 41,7%, dan ADC tumor 42,2%).
Kesimpulan: Nilai rasio ADC memiliki nilai yang lebih homogen dibandingkan dengan nilai ADC, sehingga dapat digunakan sebagai parameter non-invasif dalam mengevaluasi tumor.

Background: Endometrial carcinoma is most common gynecologic malignancy that occurs usually in postmenopausal women. Imaging examination, especially MRI, is important in determining the staging and involvement of intrapelvic organs, which will determine the therapy for the patient. Diffusion weighted imaging (DWI) and apparent diffusion coefficient (ADC) can be used to help distinguish benign or malignant lesions, grading and expansion of the lesion, but unfortunately this technique produced heterogeneous values. Currently a new technique is developing that compares the tissue ADC value of lesions with healthy tissue, resulting more homogeneous values.
Purpose: The purpose of this study is to prove the average value of the ADC ratio has more homogeneous results than the average value of the ADC.
Methods: This study uses a cross-sectional descriptive design, using secondary data. The study was conducted from December 2018 to March 2019, with a total sample of 21.
Result: The median ADC value of endometrial, urine, and myometrial tumors was 0.58 mm2 / s, 3.26 mm2 / s, and 1.52 mm2 / s. Based on coefficient of variation (COV) the ADC ratio value is more homogeneous compared to the tumor ADC value (tumor-urine ADC ratio value is 35.1%, myometrial tumor 41.7%, and tumor ADC 42.2%).
Conclusion: The ADC ratio value has a more homogeneous value than the ADC value, so it can be used as a non-invasive parameter in evaluating tumors.
"
Lengkap +
[Jakarta, Jakarta]: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58839
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Krishna Pandu Wicaksono
"ABSTRAK
Latar belakang dan Tujuan : Varises esofagus merupakan komplikasi sirosis hati dengan mortalitas tertinggi. Pemeriksaan USG Doppler yang bersifat non invasif, tersedia luas dan relatif murah, dipertimbangkan sebagai metode skrining, namun belum ditemukan parameter Doppler splenoportal yang dapat digunakan sebagai indikator varises dengan akurat. Indeks volume aliran vena lienalis terhadap kecepatan aliran vena porta dipikirkan dapat menjadi parameter baru yang akurat.
Metode : Studi observasional potong lintang dilakukan pada 28 pasien sirosis hati di Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam kurun waktu November 2015 hingga Februari 2016. Indeks dan parameter Doppler lainnya merupakan data primer. Subjek dibagi menjadi tiga kelompok, yakni kelompok non varises, varises kecil dan besar. Uji komparatif dilakukan untuk membandingkan indeks dan parameter Doppler lainnya diantara ketiga kelompok tersebut. Analisis kurva receiver operating characteristic (ROC) dilakukan pada parameter yang secara statistik bermakna untuk mendapatkan nilai sensitifitas dan spesifisitasnya.
Hasil : Nilai tengah indeks pada kelompok non varises 9,60 (4,67 – 15,07), varises kecil 21,18 (8,92 – 25,24) dan varises besar 64,43 (46,67 – 145,88) dengan nilai p<0,001. Pada analisis kurva ROC didapatkan titik potong indeks 15,78 dengan sensitifitas 80% dan spesifisitas 100% untuk membedakan kelompok varises kecil dan non varises, serta titik potong 36,0 dengan sensitifitas dan spesifisitas 100% untuk membedakan kelompok varises besar dan kecil.
Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakna antara indeks volume aliran vena lienalis terhadap kecepatan aliran vena porta secara ultrasonografi dengan derajat varises esofagus secara endoskopi pada pasien sirosis hati dan indeks tersebut dapat digunakan sebagai indikator varises esofagus dengan akurasi tinggi.

ABSTRACT
Background and Objective : Esophageal varices is a complication of liver cirrhosis with high mortality. Doppler ultrasound examination is non-invasive, widely available and relatively low cost to be considered as a screening method of varices. Unfortunately, there is still no splenoportal Doppler parameter that can be used as an indicator of varices with high accuracy. Index of splenic vein flow volume to portal vein flow velocity is thought to be a new, more accurate parameter.
Methods : A cross-sectional observational study conducted in 28 patients with liver cirrhosis in the Division of Hepatology Department of Internal Medicine Cipto Mangunkusumo Hospital during November 2015 to February 2016. Index and other splenoportal Doppler parameters are the primary data. Subjects were divided into three groups : a group of non varices, small and large varices. The comparative test conducted to compare the mean index and other splenoportal Doppler parameters among the three groups. Analysis of receiver operating characteristic (ROC) curve was performed on parameters that are statistically significant to get the sensitivity and specificity value.
Results : Median index in the group of non varices is 9,60 (4,67 – 15,07), 21,18 (8,92 – 25,24) in small varices and 64,43 (46,67 – 145,88) in large varices group with p<0.001. ROC curve analysis generated optimal cutting point index 15,78 which gives 80% sensitivity and 100% specificity to differentiate small and non varices group and the cutoff point of 36.0 which provides 100% sensitivity and specificity to differentiate among the large and small varices.
Conclusions : There is a significant association between the index of splenic vein flow volume to portal vein flow velocity by ultrasound with the degree of esophageal varices by endoscopy in patients with liver cirrhosis and this index can be used as indicator of esophageal varices with high accuracy."
Lengkap +
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Andy Janitra
"Latar belakang dan tujuan: Fibrosis hepar merupakan hal yang perlu diketahui untuk memulai terapi antiviral pada pasien hepatitis C kronik. Pemeriksaan USG Doppler yang bersifat non invasif, tersedia luas dan relatif murah dipertimbangkan sebagai metode alternatif untuk menentukan derajat fibrosis di daerah yang tidak memiliki fibroscan. Parameter splenic artery pulsatility index (SAPI) dipikirkan dapat digunakan sebagai indikator derajat fibrosis. Namun saat ini belum ditemukan nilai titik potong SAPI untuk populasi di Indonesia.
Metode: Studi observasional potong lintang dilakukan pada 34 pasien dengan hepatitis C kronik di Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam kurun waktu Desember 2015 hingga Februari 2016. Indeks dan parameter Doppler lainnya merupakan data primer. Subjek dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok fibrosis non signifikan dan kelompok fibrosis signifikan. Uji komparatif dilakukan untuk membandingkan rerata indeks dan parameter Doppler lainnya diantara kedua kelompok tersebut. Analisis kurva receiver operating characteristic (ROC) dilakukan pada SAPI untuk mendapatkan nilai sensitifitas dan spesifisitasnya.
Hasil: Median SAPI pada kelompok fibrosis signifikan adalah 1.02 dengan range 0.7-1.8 sedangkan median SAPI pada kelompok fibrosis non signifikan adalah 0.89 dengan range 0.7-1.3 dengan nilai p=0.021. Dengan analisis ROC didapatkan titik potong indeks 0.96 yang memberikan sensitifitas 73.9% dan spesifisitas 81.8% untuk membedakan kelompok fibrosis signifikan dan fibrosis non signifikan.
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara indeks SAPI secara USG dengan derajat fibrosis yang didapat dari fibroscan dan indeks tersebut dapat digunakan sebagai indikator fibrosis signifikan dengan akurasi yang cukup tinggi.

Background and Objective: Liver fibrosis needs to be evaluated in order to begin anti viral therapy in chronic hepatitis C patients. Doppler ultrasound which is non invasive, widely available and relatively cheap is being considered as an alternative method to determine the degree of fibrosis in areas which do not have a fibroscan available. Splenic artery pulsatility index (SAPI) can be used as an indicator of significant fibrosis, however the cut off value for Indonesian population has yet to be determined.
Method: A cross-sectional observational study is conducted in 34 patients with chronic hepatitis C in the Hepatology Division Department of Internal Medicine Cipto Mangunkusumo Hospital during December 2015 to February 2016. The index and other Doppler parameters are primary data. Subjects are divided into two groups: significant fibrosis group and non significant fibrosis group. Comparative test is conducted to compare the mean index and other Doppler parameters among the two group. Analysis of receiver operating characteristic (ROC) curve was performed on parameters that are statistically significant in order to obtain the sensitivity and specificity value.
Results: Median SAPI in significant fibrosis group is 1.02 with a range of 0.7-1.8 while the median SAPI in non significant group is 0.89 with a range of 0.7-1.3, p=0.021. From ROC curve analysis, we obtained the optimal cutting point index 0.96 which gives 73.9% sensitivity and 81.8% specificity to differentiate significant fibrosis group and non significant fibrosis group.
Conclusion: There is a significant association between SAPI which is obtained by Doppler and the degree of fibrosis obtained from fibroscan which can be used as an indicator for significant liver fibrosis with quite high accuracy.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Afrihadi Putra
"Latar belakang dan tujuan : Derajat perlemakan hepar merupakan salah satu hal yang penting untuk dievaluasi pada calon donor transplantasi hepar. CT scan tanpa kontras merupakan salah satu modalitas radiologis yang dapat digunakan untuk menilai perlemakan hepar. Belum ada penelitian yang membuktikan akurasi CT scan tanpa kontras pada perlemakan hepar mild-moderate pada calon donor transplantasi hepar.
Metode: Analisis korelasi atas angka atenuasi hepar serta rasio atenuasi hepar/lien terhadap derajat perlemakan hepar secara histopatologi terhadap 30 subjek penelitian, menggunakan data sekunder dalam kurun waktu Januari 2010 sampai Juli 2016. Analisis kurva ROC juga dilakukan dan didapatkan titik potong optimal serta nilai sensitifitas dan spesifisitasnya.
Hasil : Dengan uji korelasi spearman didapatkan p = 0,003, r = - 0,52 antara angka atenuasi hepar dengan derajat perlemakan secara biopsi. Sementara uji korelasi spearman terhadap rasio atenuasi hepar/lien dengan hasil biopsi didapatkan P

Background and objektive: Liver steatosis is one of important things that have to be evaluated in candidate of liver donor transplantation. There is no study proved the accuracy of unenhanced CT scan for assesing mild moderate liver steatosis in candidate of donor liver transplantation.
Methods: A cross sectional correlation study between radiologically liver atenuation value, liver spleen atenuation ratio and histopathologically liver steatosis grade conducted in 30 subjects by using secondary data in period of January 2010 to July 2016. Analysis of ROC was performed and get the optimal cut off value and also the sensitivity and specificity of that value.
Results: With Spearman correlation test, there is a significant negative correlation p 0,003, r 0,52 between liver atenuation value and liver biopsy. The spearman correlation test to liver spleen atenuation ratio and liver biopsy get a significant negative correlation p 0,001, r 0,65. This study also get the optimal cut off value 52,42 HU Sn 88 , Sp 80 for liver atenuation value and 1,05 Sn and Sp 100 for liver spleen atenuation ratio in differentiating 20 and ge 20 hepatic steatosis.
Conclusions: There is moderate negative correlation between liver atenuation value and liver spleen atenuation ratio radiologically and hepatic steatosis histopathologically liver biopsy .The correlation coefficient between liver spleen ratio and liver biopsy is higher than liver attenuation.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yustie Amelia
"Latar belakang dan tujuan: Endometriosis susukan dalam (ESD) posterior yang ekstensif memerlukan tatalaksana pembedahan radikal dan lintas disiplin. Modalitas diagnostik standar seperti USG dan laparaskopi lemah dalam menilai ekstensi ESD posterior di lokasi yang sulit terjangkau. MRI berpotensi menjadi modalitas diagnostik pilihan karena bersifat multiplanar dan baik dalam diferensiasi jaringan lunak. Penelitian ini bertujuan mengetahui kesesuaian MRI pelvis dengan temuan operasi dan histopatologi pada diagnosis dan pemetaan pre operatif kasus ESD posterior.
Metode: Sebanyak 37 pasien yang menjalani operasi dengan indikasi ESD posterior dan pemeriksaan MRI pelvis di pusat rujukan endometriosis (2015-2018) dipelajari secara retrospektif. Gambar MRI dianalisis oleh dokter spesialis radiologi divisi ginekologi secara independen kemudian dibandingkan dengan laporan operasi dan analisis sediaan histopatologi oleh dokter spesialis patologi anatomi. Analisis statistik dilakukan menggunakan uji McNemar dan koefisien Cohen's Kappa. Hasil: Kesesuaian MRI pelvis dengan temuan operasi dan histopatologi untuk diagnosis ESD posterior secara keseluruhan memiliki nilai konkordan (McNemar p) 78%(0,288). Kesesuaian pemetaan berdasar lokasi memiliki nilai konkordan (McNemar p) dan koefisien Kappa di fornix posterior 83,8%(0,219) dan 0,32; rektovagina 89,2%(0,125) dan 0,3; retrocervix 67,6%(0,00) dan 0,23; ligamentum sakrouterina kanan 56,8%(0,210) dan 0,08; ligamentum sakrouterina kiri 62,2%(0,791) dan 0,04; rektosigmoid 89,2%(0,625) dan 0,75. Kesesuaian penilaian ada tidaknya ekstensi ESD posterior ke rektosigmoid, infiltrasi lapisan muskularis dan submukosa usus masing-masing memiliki nilai konkordan (McNemar p) dan koefisien Kappa (p) 100%(1,000) dan 1(0,000); 89,2% (0,617) dan 0,78(0,001); 1,1%(1,000) dan 0,35(0,146).
Simpulan: Terdapat kesesuaian yang baik antara MRI pelvis dengan temuan operasi dan histopatologi untuk diagnosis ESD posterior, sedangkan untuk pemetaan preoperatif terdapat kesesuaian yang bervariasi dengan tingkat kesesuaian terbaik untuk pemetaan lokasi di rektosigmoid dan penilaian infiltrasi lapisan muskularis usus serta kesesuaian terendah untuk pemetaan lokasi di ligamentum sakrouterina dan retrocervix.

Background and purpose: Extensive posterior deep infiltrating endometriosis (DIE) requires radical and interdisciplinary surgery. Standard diagnostic modalities such as ultrasound and laparoscopy are weak in assesing posterior DIE extensions to inaccessible areas. MRI has the potential value to be modality of choice because it's multiplanar ability and excellent in soft tissue differentiation. This study aims to assess the concordance of the diagnosis and preoperative mapping of posterior DIE compared to intraoperative and histopathological findings.
Methods: Thirty-seven patients who underwent surgery and pelvic MRI examinations for posterior DIE at the endometriosis referral center (2015-2018) were studied retrospectively. MRI images were analyzed by a gynecology radiologists independently then compared to the surgical report and histopathological analysis. Statistical analysis was performed using the McNemar test and the Cohen's Kappa coefficient.
Results: Concordance (McNemar p) of posterior ESD diagnosis 78% (0,2888). Concordance (McNemar p) and Kappa coefficient of preoperative mapping for location in posterior fornix 83.8%(0.219) and 0.32; rectovaginal 89.2%(0.125) and 0.3; retrocervix 67,6%(0,000) and 0,23; right uterosacral ligament 56.8%(0.210) and 0.08; left uterosacral ligament 62.2%(0.791) and 0.04; rectosigmoid 89.2%( 0.625) and 0.75. Concordance values (McNemar p) and Kappa coefficients (p) for assesment of posterior DIE extension to rectosigmoid were 100% (1,000) and 1 (0,000); infiltration of the muscular layer were 89.2% (0,617) and 0.78 (0,001); infiltration of the (sub)mucosal layer were 81.1% (1,000) and 0.35 (0,146).
Conclusion: There is good concordance between pelvic MRI with intraoperative and histopathologic finding for the diagnosis of posterior ESD but various level of concordance in preoperative mapping of posterior ESD with the best concordance in preoperative mapping of rectosigmoid location and muscularis layer infiltration, the weakest concordance in preoperative mapping for uterosacral ligament and retrocervix location."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Heltara Ramandika
"Latar Belakang: Peningkatan tekanan intraabdomen dapat menurunkan perfusi berbagai sistem organ, terutama organ intraabdomen dengan vaskularisasi tinggi seperti ginjal. Indeks resistensi RI dan indeks pulsatilitas PI ginjal adalah parameter kuantitatif ultrasonografi USG Doppler yang mengukur derajat resistensi atau impedansi aliran darah dan dapat berperan sebagai indikator perfusi ginjal. Dalam kepustakaan masih belum terdapat data nilai korelasi antara RI dan PI ginjal terhadap tekanan intraabdomen melalui insuflasi CO2 pada subjek manusia.
Tujuan: Mengetahui korelasi antara nilai RI dan PI ginjal dengan tekanan intraabdomen.
Metode: Desain penelitian merupakan potong lintang dan menggunakan data sekunder. Sampel berjumlah 36 data pasien yang telah menjalani laparoskopi nefrektomi donor ginjal hidup di RSUPN Cipto Mangunkusumo RSCM dan RSCM Kencana periode Agustus 2017 hingga Januari 2018. Data pengukuran tekanan intraabdomen (mmHg), RI dan PI ginjal intraoperatif baik sebelum insuflasi baseline maupun saat insuflasi CO2 didapatkan dari rekam medik dan laporan operasi.
Hasil: Setiap subjek mendapatkan tekanan insuflasi CO2 yang berbeda, dengan nilai tekanan antara 8, 9, 10, 12, 13 atau 14 mmHg saat laparoskopi. Terdapat perbedaan bermakna (p<0,001) antara rerata nilai RI dan PI ginjal baseline (0,574 dan 0,951) dibandingkan rerata RI dan PI ginjal saat insuflasi CO2 (0,660 dan 1,188). Namun tidak didapatkan adanya korelasi maupun kemaknaan secara statistik antara tekanan intraabdomen terhadap RI ginjal (r=0,16 dan p=0,349) ataupun PI ginjal (r=0,14 dan p=0,429) saat dilakukan insuflasi CO2.
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara RI maupun PI ginjal dengan tekanan intraabdomen saat dilakukan insuflasi CO2 intralaparoskopi.

Background: Increased intraabdominal pressure may decrease perfusion of various organ systems, especially intraabdominal organs with high vascularization such as kidney. The renal resistance index RI and pulsatility index PI are Doppler ultrasound US quantitative parameters which measure degree of blood flow resistance or impedance and may act as indicators of renal perfusion. Amongst literature yet there is still no data of correlation between renal RI and PI with intraabdominal pressure during CO2 insufflation on human subject.
Purpose: To evaluate correlation between renal RI-PI value and intraabdominal pressure.
Method: The study design is cross sectional and utilize secondary data. Thirty six samples of renal donor patients data who had undergone laparoscopic nephrectomy procedure in Cipto Mangunkusumo National General Hospital RSCM and RSCM Kencana hospital were acquired from August 2017 to January 2018. Intraoperative measurements data of intraabdominal pressure (mmHg), renal RI and PI, both before baseline and during CO2 insufflation were obtained from medical records and surgery reports.
Results: Each subject received a different CO2 insufflation pressure, with a pressure value either 8, 9, 10, 12, 13 or 14 mmHg during laparoscopy. There was a significant difference (p <0.001) between mean of baseline renal RI and PI (0.574 and 0.951) compared to mean renal RI and PI during CO2 insufflation (0.660 and 1.188). There was no correlation between intraabdominal pressure with renal RI (r = 0.16 and p = 0.349) or renal PI (r = 0.14 and p = 0.429) during CO2 insufflation.
Conclusion: There was no correlation between renal RI or PI with intraabdominal pressure during CO2 insufflation intralaparoscopy."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>