Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Armin
"Di penghujung abad ke dua puluh Indonesia di landa oleh gelombang reformasi yang menuntut perubahan yang mendasar dalam berbagai bidang. Salah satu tuntutan yang bergulir adalah pemberian otonomi yang lebih besar kepada daerah. Hal itu berimplikasi pada perubahan pola hubungan pusat daerah. Adanya perubahan dalam hubungan pusat daerah mendorong penulis untuk mengkaji lebih jauh.
Studi hubungan pusat dan daerah berfokus pada masalah kebebasan pemerintah daerah provinsi kalimantan timur dalam berprakarsa dan mengambil keputusan mencari sumber keuangan dan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas dan kepentingan masyarakat setempat. Suasana kebebasan di satu sisi dan adanya kontrol pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah di sisi lain memicu konflik kepentingan antara tingkatan pemerintahan. Di samping itu konflik kepentingan di provinsi kalimantan timur juga disebabkan oleh perebutan sumber daya oleh semua tingkatan pemerintah, baik pemerinta pusat dengan pemerintah daerah provinsi maupun antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini ada 5 aspek. Pertama, tipe penelitian eksplanatif. Kedua, pendekatan penelitian yang digunakan adalah struktural. Ketiga, konteks penelitiannya transisi. Keempat, teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam dan observasi terbatas. Kelima, teknik analisisnya kualitatif.
Temuan-temuan yang diperoleh dari studi ini akan dikemukakan sebagai berikut. Pertama, pemerintah daerah provinsi kalimantan timur memiliki kebebasan untuk berprakarsa dan mengambil keputusan mencari sumber keuangan sesuai dengan batas-batas kewenangan yang diberikan kepadanya. Batas-batas kewenangan itu ditentukan oleh pemerintah pusat dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Kedua, ada dua upaya pemerintah daerah provinsi kalimantan timur dalam berprakarsa dan menciptakan sumber pendapatan baru bagi daerahnya. Pertama, intensifikasi pendapatan asli daerahnya. Kedua, ekstensifikasi pendapatan asli daerahnya.
Ketiga, kontrol pemerintah pusat terhadap pelaksanaan otonomi daerah ada dua macam. Pertama, pengawasan terhadap pelaksanaan APBD dan peraturn daerah dan atau keputusan kepala daerah. Kedua pengendalian pemerintah pusat dilakukan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang selanjutnya dijadikan pedoman dan acuan bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Keempat, konflik kepentingan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi kalimantan timur terjadi disebabkan oleh dua faktor. Pertama, ketidakadilan dalam bagi hasil minyak dan gas. Pasalnya provinsi papua dan NAD diberikan bagi hasil minyak dan gas sebanyak 70%, sedangkan provinsi kalimantan timur dan riau hanya diberikan sebanyak 15%. kedua, konflik dalam penentuan Dana Alokasi Umum, konflik itu berawal dari simulasi DAU yang dilakukan oleh departemen keuangan pertengahan tahun 2001. Simulasi itu merugikan daerah penghasil termasuk provinsi kalimantan timur. Oleh karena itu daerah penghasil bersatu membentuk Kaukus Pekan Baru dan Kaukus jakarta. Kedua kaukus itu menuntut kepada panitia anggaran DPR RI agar kebijakan formulasi DAU yang disimulasikan ditinjau kembali. Panitia anggaran DPR RI berpendapat bahwa mereka tidak terikat dengan simulasi yang dilakukan oleh Departemen Keuangan. atas dasar itu dalma Rapat Kerja Panitia Anggaran DPR RI dengan Menteri Keuangan disimpulkan bahwa tidak ada Daerah yang menerima DAU lebih rendah dari 2001.
Kelima, konflik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah kota samarinda bersumber dari pencabutan peraturan daerah No. 20 Tahun 2000 tentang ketentuan pengusahaan pertambangan umum dalam wilayah kota samarinda. Pencabutan peraturan daerah itu didasarkan atas dua faktr. Pertama, peraturan daerah No. 20 Tahun 2000 bertentangan dengan kontrak karya (KK) yang dilakukan antara pemerintah pusat dengan pengusaha batubara. Kedua, peraturan daerah tersebut bertentangan dengan UU No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan.
Secara teoritis, studi ini menunjukkan relevansi terhadap beberapa teori yang diginakan dan mengkonstruksi teori baru tentang nasionalisme masyarakat Kalimantan Timur. Kebebasan pemerintah daerah provinsi kalimantan timur dalam berprakarsa dan mengambil keputusan mencari sumber keuangan dan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas dan kepentingan masyarakat setempat, menunjukkan relevansi dengan teori Otonimi Daerah menurut Abdul Muttalib dan Mohd Ali Khan. Teori yang dikemukakan oleh Mack dan Snyder dan Maswadi Rauf tentang konflik menunjukkan relevansinya. Di samping relevansi teoritis juga dikemukakan konstruksi teoritis mengenai tingginya nasionalisme masyarakat Kalimantan Timur. Tingginya nasionalisme masyarakat Kalimantan Timur disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, masyarakat tidak frustasi terhadap pemerintah-baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah-. Hal itu disebabkan oleh dua faktor. Pertama, masyarakat tidak mendapat tekanan dari pemerintah. Kedua, masyarakat masing-masing memiliki kesibukan sehingga kurang waktu untuk memikirkan masalah pemerintahan apalagi melakukan gerakan separatis. kedua, heterogenitas masyarakat kalimantan timur. Tingginya heterogenitas masyarakat sehingga tidak ada suku yang mayoritas. Ketiga, masyarakat dan elite beranggapan bahwa melakukan gerakan separatis kerugiannya lebih banyak dari pada manfaatnya. Kerugian bagi elite jika terjadi gerakan separatis atau semacamnya adalah mereka sendiri akan terlempar dari struktur kekuasaan. Sedangkan kerugian bagi masyarakat adalah kalau terjadi kekacauan maka iklim untuk berusaha juga akan terganggu. Oleh karena itu elite politik Kalimantan Timur memegang prinsip bahwa bekerjasama dengan pemerintah Pusat lebih banyak manfaatnya dari pada melawannya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
D475
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Sodjuangon
"Pembagian urusan pemerintahan merupakan salah satu isu sentral dalam proses desentralisasi. Indonesia dengan pengalaman 57 tahun melaksanakan desentralisasi juga tidak luput dari isu pembagian urusan pemerintahan yang direfleksikan pada Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang sudah berganti sebanyak enam kali. Mengingat hakikat desentralisasi adalah pembagian urusan antarberbagai tingkatan pemerintahan, beberapa pakar berpendapat bahwa masalah pembagian urusan pemerintahan merupakan masalah yang sulit dan kompleks karena selalu dipengaruhi oleh kondisi lingkungan politik, ekonomi dan sosial suatu negara. Kesulitan tersebut masih ditambah dengan pertentangan atau konflik kepentingan antartingkat pemerintahan (konflik vertikal) dan konflik kepentingan antarelemen dalam suatu tingkat pemerintahan (konflik horizontal) yang biasanya menyertai pembagian unman tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembagian urusan pemerintahan yang berlaku di Indonesia masa kini masih mengandung permasalahan serius dan berpotensi menimbulkan konflik balk antara Pusat dan Daerah maupun antardaerah yang dapat merongrong eksistensi bangsa dan negara, serta kurang optimalnya pelayanan masyarakat. Perrnasalahan yang timbul dalam pembagian urusan pemerintahan di Indonesia masa kini antara lain bersumber dari kelemahan bawaan desain model pembagian urusan pemerintahan dan kelemahan pada saat implementasi model pembagian urusan pemerintahan.
Penelitian dan pengkajian tentang pelaksanaan desentralisasi di Indonesia yang dilakukan oleh para pakar sudah cukup banyak, namun penelitian dan pengkajian yang secara khusus tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia sepanjang pengetahuan penulis masih sangat langka. Dengan pertimbangan tersebut penulis melakukan penelitian yang berjudul "Model Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/Kota". Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap kajian desentralisasi atau otonomi daerah sebagai bagian dari kajian Ilmu Administrasi, dan memberikan sumbangan pemikiran bagi para pengambil dan pelaksana kebijakan desentralisasi di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data diskusi kelompok pumpunan (focus groups discussion) interview individual, dan studi dokumentasi/literatur. Di samping itu peneliti juga meminta pendapat para kelompok ahli (expert judgement) dalam melakukan validasi terhadap rancangan model yang penulis kembangkan berdasarkan kajian teori-teori tentang pembagian urusan pemerintahan dan pengalaman berbagai negara termasuk Indonesia dalam pembagian urusan pemerintahan. Pada tahap akhir penulis juga melakukan konfirmasi atas rancangan model melalui seminar, dan hasilnya adalah model pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota masa depan.
Beberapa ciri model pembagian urusan pemerintahan masa depan tersebut adalah menganut prinsip umum, pendekatan dan kriteria; menggunakan pendekatan partisipatori dalam penentuan kebijakan pembagian urusan melalui suatu forum bersama; mempunyai mekanisme evaluasi dan lembaga evaluator urusan pemerintahan di tingkat pusat dan daerah yang beranggotakan unsur pemerintah, tenaga ahli dan masyarakat; dan mempunyai mekanisme penambahan dan pengurangan urusan.
Untuk menguji penerapan model di lapangan telah dilakukan simulasi terhadap dua bidang urusan pemerintahan yaitu bidang pendidikan nasional dan bidang kesehatan. Dari hasil simulasi menunjukkan bahwa pembagian urusan berdasarkan model UU Nomor 22 Tahun 1999 didominasi oleh pembagian urusan yang bersifat eksklusif pusat dan eksklusif daerah; sedangkan pada model pembagian urusan masa depan bercirikan perluasan urusan bersama (concurrent powers) antarberbagai tingkatan pemerintahan di samping keberadaan urusan pemerintahan yang bersifat eksklusif untuk masing-masing tingkat pemerintahan, yang berimplikasi diperlukannya task sharing antara berbagai tingkatan pemerintahan untuk menangani beberapa urusan pemerintahan yang memerlukan kerjasama, koordinasi dan kreativitas.
Beberapa implikasi dari hasil penelitian ini antara lain perlu menyempumakan kelemahan-kelemahan model pembagian urusan yang berlaku sekarang berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999; perlunya penerapan pendekatan pembagian urusan campuran (hybrida) yang menggunakan pendekatan partisipatoris dalam pengambilan kebijakan; perlunya kehadiran lembaga evaluator urusan baik di Pusat maupun Daerah sebagai saluran partisipasi masyarakat dalam penentuan pembagian urusan pemerintahan; perlunya menetapkan strategi implementasi model yang bersifat incremental atau evolusioner; perlunya mendorong kemandirian daerah untuk membiayai urusan pemerintahan melalui mekanisme perpajakan yang diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
D503
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Suarjaya
"Research on villages have been done by esperts from diverse discipline. Those kinds of research have also been carried out in different places in Indonesia. In Bali Many similar researches have been conducted by both local and international experts.
However, the previous studies conducted are merely focused on analyzing some aspects of the village such as the governmental administration, politcs, economy, social culture and resources. Bali has two types of villages, that give services to the public; they are State Administrative Village (desa Dinas) and Traditional Village (Desa pakraman). The Previous experts have not yet done research on the public services in both types of villages.
This present research is focused on analyzing public services by the State Administrative Village an The Tradisional Village in Wongaya Gerde Village, Tabanan Regency. The Method used in this research in a qualitative method. The objectives of this research are to describle public services provides by both types of villages; to analyze whether the public services geve by those villages can be synergized and how that can be done. The theories used for the analyzis are (1) the theory of administration development and the empowerment of the society; (2) the theory of decentralitation and local government; (3) and the theory of public services.
The State Administrative Village and the Tradisional Village, have different historical backgrounds in terms of their formation. These villages have their respective function and duties. The Traditional village is formed by the community for the community itself so it has a true autonomy. The main duties and functions of the Traditional Village are to give services to the society especially in the field of the social aspect, local custom, culture and religion. The State Administrative Village was first formed by the Colonial Government for its own bemefits. At the beginning. The State Administrative Village only gives services in the field of governmental administration and other governmental duties. Since the time decentralitation was introduced in Indonesia. In giving public services both villages undergo difficulties, since the independence era, government used the State Administative Village as the centre of government in running the government Administration.
From the era of old 0rder (Orde Lama) to the New Order (Orde Baru) the Traditional Village was marginalized. This is due to the introduction of the unifying concept of villages which was centrally regulated by the government. During the reformation era, the regulation No. 32 Year 2003 was implemented and the existence of the Traditional Village was acknowledged for its role in giving public services in order to improve the welfare of the community.
The Study shows that the Traditional Village has more privilege position, in the society because the society pays more respect to the Traditional Village in terms of the public services given to the society. Because in carrying out in activities, the Traditional Village is guided by the traditional law (Awig-awig). The members of the society obey this traditional law because they feel that the social punishment is much severer then the punishment of paying fine.
It is found that the are nine services provides by the State Administrative and Traditional Village, they are; (1) in the field of religion, (2) in the field of development, (3) in the field of environment, (4) in the field security, (5) In the field of economy, () in the filed of society welfare, (7) in the field of conflicts of custom, and (8) in the field of government.
Those services can be jointly provided by both types of village. The fields that can be synergized in providing services to the society are in the field of religion, development, government. Security, and economy. This can be done through coordination and consultation in implementing those service programs. In this case regulation are needed to control the coordination and consultation between both types of villages so that both of the villages can live in harmony and they can avoid conflicts of interest."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D831
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raharusun, Yohanis Anton
"Disertasi ini membahas mengenai desentralisasi asimetrik dalam negara kesatuan ditinjau dari perspektif perkembangan ketatanegaraan Indonesia: studi terhadap format pengaturan asimetrik di Yogyakarta, Aceh dan Papua dalam periode 1950 sampai 2012. Dalam penelitian ini, dikaji dan dianalisis mengenai penerapan desentralisasi asimetrik di Yogyakarta, Aceh dan Papua ditinjau dari perspektif elemen-elemen dasar pemerintahan daerah meliputi: (1) urusan dan kewenangan, (2) kelembagaan (3) personil (4) sumber keuangan (5) perwakilan (6) pelayanan publik, (7) pembinaan dan pengawasan. Permasalahan yang dikaji adalah (1) apakah kebijakan otonomi khusus dalam perspektif praktik ketatanegaraan Indonesia hanya diberikan kepada Yogyakarta, Aceh dan Papua. (2) penerapan desentralisasi asimetrik dapat menciptakan percepatan dan pencapaian tujuan demokratisasi ditinjau dari perspektif elemen dasar pemerintahan daerah. (3) strategi penerapan desentralisasi asimetrik di Yogyakarta, Aceh dan Papua ditinjau dari perspektif elemen dasar pemerintahan daerah dapat mempercepat kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (legal research) dan penelitian empiris dengan titik berat pada penelitian normatif. Sedangkan pengumpulan data yang dilakukan dengan studi dokumen dan wawancara. Data tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perundang-undangan yang mengatur otonomi khusus/istimewa (1950-2012) dalam praktiknya masih memperlihatkan pola sentralistik yang dominan dalam menerapkan elemen-elemen dasar pemerintahan daerah. Kebijakan desentralisasi asimetrik yang dipraktikkan di ketiga daerah tersebut memiliki karakter asimetrik yang berbeda-beda dalam menerapkan elemen-elemen dasar pemerintahan daerah sesuai karakter perundang-undangan yang berlaku di ketiga daerah tersebut. Perbedaan tersebut dalam hal pengaturan tentang urusan dan kewenangan, kelembagaan, perwakilan dan sistem pemilihan kepala daerah, kebijakan fiskal dan pelayanan publik. Perbedaan asimetrik lainnya adalah, Yogya lebih didasarkan pada alasan historically driven with some culturally oriented goals, Aceh lebih didasarkan pada alasan politically driven with religiously oriented goals dan Papua lebih di dasarkan pada alasan politically driven with slight religiously oriented goals. Meskipun terdapat perbedaan penerapan berbagai elemen dasar pemerintahan daerah tersebut di atas, namun kebijakan asimetrik yang diberikan kepada ketiga daerah tersebut dalam kenyataannya lebih dititikberatkan pada kebijakan fiskal. Dengan kebijakan fiskal yang besar dapat tersebut diharapkan membawa perubahan yang siginifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Namun, dalam kenyataannya titikberat kebijakan fiskal yang besar tersebut tidak diikuti dengan penerapan elemen-elemen dasar pemerintahan daerah sehingga dalam penyelenggaraan pemerintahan belum dapat memberikan manfaat dan perubahan yang signifikan, terutama dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan percepatan pencapaian tujuan demokrasi dan demokratisasi.
Temuan yang diperoleh dari hasil penelitian sebagai jawaban terhadap research quetions dari penelitian adalah, bahwa kebijakan desentralisasi asimetrik yang diberikan kepada Yogyakarta, Aceh dan Papua lebih dititikberatkan pada kebijakan fiskal yang didasarkan pada pertimbangan politik (politicaly driven) tanpa adanya suatu grand design atau blue print kebijakan asimetrik secara menyeluruh berdasarkan elemen-elemen dasar Pemerintahan Daerah. Ketujuh elemen dasar di atas, secara integrated merupakan alat tools untuk melihat substansi asimetrik untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Ketujuh elemen dasar pemerintahan daerah tersebut dipakai sebagai tools untuk mempertajam penerapan desentralisasi asimetrik di ketiga daerah tersebut di atas. Penataan terhadap elemen-elemen dasar tersebut haruslah bersifat terpadu dan menyeluruh, pendekatan yang bersifat piece-meal yang dilakukan akan selalu menghasilkan outcomes yang kurang optimal bahkan seringkali menimbulkan ketegangan antara Pusat dan Daerah. Oleh karena itu, dalam perkembangan praktik ketatanegaraan Indonesia di masa yang akan datang manakala pemerintah masih memberikan kebijakan-kebijakan yang bersifat khusus/istimewa terhadap daerah lain di Indonesia sebagai solusi politik dalam mempertahankan integritas negara kesatuan, maka diperlukan penataan terhadap ketujuh elemen dasar pemerintahan daerah tersebut merupakan suatu keniscayaan yang perlu diatur dalam payung hukum dalam bentuk perundang-undangan. Hal ini disebabkan karena desentralisasi asimetrik dalam perspektif negara kesatuan Republik Indonesia telah memiliki landasan konstitusional dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Ketentuan tersebut dapat saja dijadikan rujukan bagi Daerah lainnya di Indonesia untuk meminta status khusus atau keistimewaan yang sama seperti yang diberikan kepada Yogyakarta, Aceh dan Papua, mengingat ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 tersebut masih menimbulkan multi tafsir sehingga perlu dipertegas kembali makna ketentuan tersebut, manakala Pemerintah bermaksud akan melakukan amandemen kelima terhadap UUD 1945.

This study discusses asymmetrical decentralization in a unitary state viewed from the perspectives of Indonesian constitutional development. It focuses on the format of asymmetrical arrangements for Yogyakarta, Aceh, and Papua during the period of 1950 through 2012. It analyzes the specific asymmetrical characteristics of the special autonomy for the three provinces based on the 7 basic elements of a local government which comprise of: (1) local authority; (2) local institutions (3) personnel/staffing; (4) local sources of revenue, (5) representation and election system of regents, (6) public services, and (7) guidance and supervision. Specifically the issue analyzed here in this study include: (1) why the special autonomy in the perspective of the constitutional development given only to Yogyakarta, Aceh, and Papua and (2) whether the implementation of asymmetrical decentralization expected to accelerate democracy improvement and the realization of a democratic life, viewed from the perspective of the basic elements of local government, and (3) how this strategy of implementing asymmetric decentralization in Yogyakarta, Aceh, and Papua viewed from the perspective of the basic elements of local government can expedite welfare. This is a normatively legal study with a historical approach. The data collection was done through document study and interviews. The collected data were then analyzed qualitatively.
The study found that various types of local government regulations in Indonesia including the special autonomy regulations (1950-2012) in practice still indicate traces of centralistic patterns in implementing the local government elements. Through broad observation, the three provinces are seen to have differed slightly. The asymmetrical arrangements for Yogyakarta have been historically driven with some culturally oriented objectives; the asymmetrical arrangements for Aceh have been religiously driven through political maneuvers; and the asymmetrical arrangements for Papua have been politically driven with ethnic and some slight religiously oriented purposes. This discussion has been done in light of a local government elements and the implementation of asymmetric decentralization based on the local government elements. The asymmetric decentralizations implemented in three provinces have distinctive asymmetric features. They have not fully followed the asymmetric features found in the special autonomy regulations for these three provinces. The differences may be observed in the arrangements of authorization, institutions, representation and election system of regents, fiscal policies, and public services. Despite the above differences, the asymmetrical arrangements given to these three provinces have been heavily focused on fiscal policies ? which have been meant to bring about significant improvements in the running of the local governments, i.e. improvements of public services. In reality, the special autonomy has not resulted in significant improvements, particularly in the betterment of social welfare and the acceleration to reach democracy and democratization.
In summary, the asymmetrical decentralization granted for these three provinces in the form of heavily fiscal advantages, have been more politically driven without grand design or blue print of comprehensive asymmetric decentralization policy, which should have been strictly based on the local government elements. The seven basic elements are an integral tool to view the asymmetric substance to enhance prosperity and welfare of the people. The seven basic elements are utilized as tools to sharpen the implementation of asymmetric decentralization in the three regents above. Arrangement of the basic elements should be integrated and comprehensive; a piece-meal approach would always create outcomes less optimal or even cause tension between Central and Regions. Therefore, in the constitutional practices in the future, especially considering the central government still grants special policies to other regions in Indonesia as a political solution to maintain the integrity of the unitary state, then it is necessary to better arrange the seven basic elements of local governments under an umbrella law in the form of special regulations. As one may observe, asymmetrical decentralization is found in the Constitution 1945, Article 18B verse (1). It is possible for other regions in Indonesia to request special status such that granted to Yogyakarta, Aceh and Papua, remembering the Constitution 1945, Article 18B verse (1) still create multiple interpretations, such that it needs reinforcement the meaning of that clause, should the Government want to do the Fifth amendment of the Constitution 1945."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lazarus Revassy
"ABSTRAK
Topik umum disertasi ini adalah administrasi pemerintahan lokal irian jaya dengan lokasi penelitian di desa Harapan-Kwamki Lama-Timika, Kabupaten Mimika. Masalah utama disertasi ini adalah corak administrasi pemerintahan lokal dalam wilayah yang didiami oleh lebih daripada satu suku bangsa. Contoh kasus yang dibahas adan ditunjukkan dalam disertasi ini adalah desa Harapan-Kwamki Lama, Kabupaten Mimika.
Hal-hal yang tercakup di dalam masalah pokok di atas adalah (1) administrasi pemerintahan lokal, (2) corak politik kesukubangsaan, dan (3) program-program pembangunan serta proses pelaksanaan program-program tersebut. Dalam praksisnya, ketiga satuan permasalahan tersebut saling berkaitan secara sistemik atau holistik dan kemudian "mengada" dalam bentuk corak administrasi pemerintahan lokal. Bagian akhir inilah yang menjadi pusat perhatian dari disertasi ini, karena ia merupakan hasil dari saling hubungan antara pejabat-pejabat desa masing-masing dengan politik kesukubangsaannya dalam menginterpretasikan program-program pembangunan pemerintah dan pelaksanaan program-program tersebut serta tanggapan setiap satua etnis yang ada sebagai anggota masyarakat desa yang bersangkutan.
Untuk mengkaji masalah tadi, digunakan pendekatan kualitatif, antara lain dengan mengadakan kategorisasi konsep-konsep yang digunakan oleh masyarakat desa Harapan-Kwamki Lama. Konsep-konsep tersebut diperoleh dari informan kunci kemudian diperbandingkan dengan informasi dari informasi lain. Data diperoleh dengan wawancara mendalam dan pengamatan terlibat. Data yang telah dikumpulkan disusun dan dikelompokkan dalam pola, tema atau kategori lalu di maknakan, dijelaskan, dan dilihat keterkaitan antara satu dengan lainnya.
Kerangka berpikir yang digunakan untuk memecahkan masalah di atas adalah konsep-konsep mengenai (1) administrasi pemerintahan lokal, (2) kesukubangsaan, dan (3) konflik sosial. Bagian (1) berbicara tentang administrasi yang dilakukan oleh pemerintahan lokal serta pemerintah lokal. Pada bagian (2) dijelaskan konsep kesukubangsaan kemudian dikaitkan dengan program-program pembangunan dari atas dan dari bawah; bagian terakhir berbicara tentang konsep, model, dan potensi-potensi dari konflik sosial.
Heterogenitas etnisitas di desa Harapan-Kwamki Lama merupakan faktor yang sangat berperan dalam mengkaji masalah di atas. Dalam bidang administrasi pemerintahan lokal, faktor tersebut memunculkan kemajemukan personal perangkat desa, sementara dalam bahasa tentang corak politik kesukubangsaan, ia menunjuk pada peran kepemimpinan kepala desa dan perangkat desa lainnya (dari staf dan lini), baik sebagai pelaksana kepanjangan tangandari atasan maupun sebagai pelaksana dukungan legitimasi tradisional dari kelompok-kelompok suku bangsa yang ada di desa. Hal di atas akan lebih menarik jika dilihat soal tarik-menarik kepentingan dan peranan antara kepala desa, sekretaris desa, dan kepala dusun karena masing-masing merasa mendapat dukungan dari kelompok suku bangsanya.
Desa Harapan-Kwamki Lama dibentuk dengan tidak mengikuti konsep pemukiman menurut kebudayaan lokal. Hal tersebut berakibat terjadi konflik antarsukubangsa. Upaya untuk menghindari konflik sosial desa Harapan-Kwamki Lama dapat tercapai jika benar-benar memperhatikan kesalinghubungan antara administrasi pemerintahan lokal, program-program pembangunan, dan hakikat kesukubangsaan yang ada di desa Harapan-Kwamki Lama."
2002
D513
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jamal Bake
"Analisis pelembagaan demokrasi difokuskan pada: Pertama, sejauh mana nilai-nilai demokrasi sebagaimana dikemukakan Dahl dan Smith seperti jaminan terhadap hak warga masyarakat berpartisipasi dalam penyelenggaraan kebijakan publik di tingkat lokal, keterwakilan stakeholders, kesamaan hak dalam proses pengambilan keputusan, penyebarluasan informasi kebijakan, responsivitas dan kontrol masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan masyarakat diwujudkan. Kedua, tingkat kepedulian dan konsistensi masyarakat berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat, yang oleh Arnstein dapat diamati dalam beberapa level. Ketiga, menguji faktor-faktor individu yang mempengaruhi yang dan yang berhubungan dengan partisipasi warga dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Variabel dianalisis adalah tingkat pemahaman tentang anggaran publik, persepsi perlunya mengetahui proses pengelolaan program, persepsi tentang manfaat berpartisipasi, sikap rasa memiliki anggaran program, persepsi tentang pemberian "uang saku" kepada partisipan, rasa tanggung jawab sosial, harapan mempengaruhi keputusan, pendidikan, umur, dan pendapatan keluarga, yang dalam banyak referensi, dijelaskan, sering berpengaruh, dan berhubungan dengan partisipasi warga masyarakat dalam proses penyelenggaraan kebijakan publik, termasuk dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat.
Diperoleh kesimpulan: Pertama, penerapan nilai-nilai demokrasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat di Jakarta Utara, Jakarta Timur dan Jakarta Selatan relatif berkembang. Jaminan hak warga untuk berpartisipasi, keterwakilan stakeholders, persamaan hak dalam pengambilan keputusan, penyebarluasan informasi mengenai program, responsivitas serta kontrol masyarakat mulai diwujudkan meskipun belum maksimal. Kedua, masyarakat diberikan keleluasaan merencanakan, melaksanakan dan mengontrol pengelolaan program, menggambarkan bahwa, partisipasi berada pada level degree of citizen power. Warga masyarakat juga memiliki kepedulian berpartisipasi, meskipun belum konsisten berpartisipasi dalam semua tahapan kegiatan proses perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Ketiga, partisipasi warga masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat, baik secara bersama-sama, dipengaruhi oleh tingkat pemahaman tentang anggaran program pemberdayaan masyarakat, persepsi perlunya mengetahui proses pengelolaan program, persepsi mengenai manfaat berpartisipasi dan sikap rasa memiliki anggaran program, ?pemberian uang saku", rasa tanggung jawab sosial, harapan mempengaruhi keputusan, pendidikan, umur dan pondapatan. Namun secara parsial, hanya tingkat pemahaman makna anggaran, persepsi perlunya mengetahui pengelolaan program, sikap rasa memiliki, rasa tanggungjawab sosial, harapan mempengaruhi keputusan, dan tingkat pendidikan yang menunjukkan pengaruh signifikan, dan berkorelasi positif dengan partisipasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat, sedangkan persepsi tentang manfaat berpartisipasi, "pemberian uang saku", umur, dan pendapatan tidak menunjukkan pengaruh signifikan.
Semua aspek yang berpengaruh secara signifikan, menunjukkan hubungan positif dengan partisipasi. Artinya, semakin mengetahui bahwa anggaran program pemberdayaan masyarakat berasal dari rakyat, dan harus dimanfaatkan untuk kepantingan masyarakat, maka semakin tinggi persepsinya akan perlunya mengetahui proses pangelolaan program. Sikap rasa memiliki yang tinggi tentang anggaran program, didorong oleh rasa tanggung jawab sosialnya sebagai wakil warga, adanya harapan mempengaruhi keputusan dalam pengelolaan program, serta tingkat pendidikan tinggi menjadikan partisipasi warga masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program juga semakin tinggi.
Pemahaman mengenai anggaran, persepsi tentang program pemberdayaan masyarakat, dan faktor pendidikan, menunjukkan hubungan positif satu sama lain. Semakin memahami makna anggaran pemberdayaan masyarakat, semakin tinggi pula persepsi akan perlunya mengetahui proses pengelolaan program dan anggarananya, karena semakin tingginya sikap rasa memiliki anggaran tersebut, seiring dengan rasa tanggung jawab sosial tinggi untuk berpartisipasi di dalamnya, dengan harapan dapat mempengaruhi proses pengambilan kepulusan terkait pengelolaan program tersebut. Pendidikan tinggi, disertai dengan pemahaman yang kuat dalam membela kepentingan publik, akan membentuk sikap rasa memiliki yang tinggi anggaran program pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari angaran publik.
Melalui pelaksanaan program pembangunan yang partisipasi sebagai suatu pola pelembagaan demokrasi, manjadikan masyarakat dapat belajar mengenal dan memahami permasalahannya, serta dapat merumuskan cara mengatasinya secara bersama. Untuk itu itu, ruang partisipasi perlu dikembangkan, kesadaran dan pemahaman masyarakat perlu ditingkatkan melalui pencerahan oleh pemerintah, masyarakat sipil maupun media masa, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk mewujudkannya, diperlukan komltmen dan konsistensi para individu yang memiliki kekuasaan, mempunyai kewenangan, serta keberperanan para pemangku kepentingan termasuk para pembayar pajak. Perlu studi lebih lanjut tentang demokratisasi program pemberdayaan masyarakat dengan memasukkan variabel lain, seperti persepsi tentang kewajiban membayar pajak.
Proses pelembagaan demokrasi melalui pengembangan sistem perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat yang partisipatif, responsif, transparan, akuntabel, diIakukan secara jujur, mengutamakan kepentingan bersama, patuh pada aturan, proporsional, dan berkeadilan sesuai dengan prinsip tatakelola pemerintahan lokal yang baik (good local governance), perlu diwujudkan secara konsisten dan borkelanjutan. Penerapannya secara baik dapat mendorong kreativitas dan keswadayaan masyarakat dalam pembangunan, sekaligus merupakan perwujudan dari penyelenggaraan kebijakan, dan pelayanan publik, serta pembangunan berbasis kerakyatan, melalui pendekatan pemberdayaan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat secara umum, dan bagi masyarakat lokal secara khusus."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
D830
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Wirjatmi Tri Lestari
"ABSTRAK
Pelayanan publik merupakan suatu proses kegiatan yang diemban oleh suatu pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Proses kegiatannya melibatkan dua pihak yaitu penerima dan pemberi layanan. Keduanya saling berinteraksi secara dinamis dan kompleks. Para pakar mengakui adanya perbedaan nilai diantara keduanya, baik yang menyangkut kualitas maupun kinerja pelayanan. Disatu sisi tuntutan masyarakat seringkali berlebihan, sementara pada sisi lain pemerintah mempunyai kemampuan yang terbatas. Untuk meminimalkan perbedaan tersebut diperlukan suatu pengukuran kinerja yang baik dan dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Pengukuran kinerja pelayanan publik yang selama ini banyak dilakukan di Indonesia misalnya model LAKIP melalui Inpres 7/1999 dan IPM dari UNDP masih berorientasi pada paradigms government bersifat internal dan parsial. Sementara itu pengukuran kinerja yang dapat diterima oleh kedua belah pihak dan menggunakan paradigma good governance masih langka. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan ini adalah model pengukuran kinerja pelayanan publik dengan pendekatan systems thinking dan system dynamics. Dengan demikian judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah "Model Kinerja Pelayanan Publik Dengan Pendekatan Systems Thinking Dan System Dynamic (Studi Kasus Pelayanan Pendidikan Di Kota Bandung)".
Penelitian ini menggunakan disain studi kasus. Data diungkap dengan teknik pengukuran secara komprehensif. Peneliti berperan sebagai instrumen utama. Kelebihan pendekatan systems thinking dan system dynamics adalah (1) model yang dihasilkan dapat menampung secara rinci semua variabel penting baik dari perseptif pemerintah maupun masyarakat, dan dapat digunakan untuk mengatasi persoalan detail complexity. (2) dapat menjelaskan keterkaitan antar variabel penting tersebut secara dinamis, untuk mengatasi persoalan dynamic complexity. (3) Variabel yang dihasilkan dapat menggambarkan kegiatan yang diamati melalui variabel lunak, variabel nyata, maupun variabel dari hasil suatu perhitungan ke dalam suatu model secara bersamaan.
Model yang dihasilkan merupakan model pengukuran kinerja yang komprehensif, dengan aplikasi systems thinking dan system dynamics dalam penelitian pelayanan publik. Pendekatan ini selalu mempertimbangkan hubungan kausalitas dan proses balikan secara dinamis antar variabel dalam bentuk simpal balikan. Proses balikan secara dinamis dalam pelayanan, seperti juga fenomena masyarakat yang lain, terjadi dalam tiga kemungkinan perilaku (systems building blocks), yaitu (1) perilaku saling memperkuat (reinforcing), (2) perilaku penyeimbang (balancing), dan (3) perilaku yang menggambarkan adanya ketertundaan (delay). Perilaku seperti tersebut dapat diamati secara dinamis sepanjang waktu.
Pendekatan system dynamics selain digunakan untuk menguji keterkaitan antar variabel dalam systems thinking secara kompleks dan dinamis, juga digunakan untuk melakukan simulasi terhadap suatu kebijakan sebelum dilaksanakan, dengan bantuan perangkat lunak yaitu powersim dan vensim. Pendekatan ini dapat meminimalkan kesalahan suatu kebijakan.
Penelitan ini menghasilkan empat temuan penting. Pertama, kinerja layanan pendidikan di kota Bandung periode tahun 1996-2002 yang dilakukan dengan menggunakan model IPM, menurut klasifikasi UNDP berhasil mencapai kategori tinggi, dan berada pada peringkat pertama di antara daerah lainnya di Jawa Barat. Temuan kedua adalah hasil pengukuran kinerja berdasarkan LAKIP, menunjukkan kinerja dengan kategori baik. Namun masih belum optimal untuk dapat mencapai 100%. Kedua pengukuran ini tidak menggambarkan adanya keterkaitan dan mekanisme pengukuran yang seimbang. Ketiga, dengan pendekatan systems thinking, proses ini menghasilkan keterkaitan antar variabel yang dikelompokkan ke dalam dua strategi, yaitu internal dan eksternal serta dibagi ke dalam empat dimensi, meliputi masyarakat, proses internal dan keuangan, serta pertumbuhan dan pembelajaran. Strategi dan dimensi yang dihasilkan digambarkan dalam hubungan kausalitas berikut proses balikan dinamisnya, melalui kajian teoritik dan praktik, sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah. Secara konseptual kinerja pelayanan pendidikan di Kota Bandung dapat dikonstruksikan dalam dua pola perilaku generik yaitu pola batas pertumbuhan (limit to growth) serta pola pertumbuhan dan kekurangan modal (growth and underinvestment). Pola pertama mempunyai pembatas utama yaitu dana untuk membiayai dan meningkatkan kualitas pendidikan. Pola kedua, ditandai oleh kecenderungan peningkatan kualitas pendidikan dengan dana dad pemerintah yang terbatas. Pola ini mempunyai kecenderungan terus menerus terjadi dari waktu ke waktu, sehingga sangat penting untuk diketahui pengungkit yang mempunyai karakter pengaruh yang paling besar dalam menanggulangi keterbatasan tersebut. Keempat, berdasarkan temuan ketiga, disusun tiga skenario untuk mengatasi keterbatasan peningkatan kualitas pelayanan pendidikan. Skenario pertama adalah untuk mengatasi permasalahan keterbatasan pertumbuhan biaya pendidikan di Bandung, dapat dilakukan dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk mendanai kegiatan operasional pendidikan. Skenario kedua adalah peran pemerintah diarahkan untuk membangun kualitas pelayanan secara terus menerus dan menetapkan standar pelayanan. Skenario ketiga, diperkirakan bahwa meningkatnya kualitas pelayanan pendidikan mempunyai efek adanya daya tarik untuk bersekolah, maka skenario pertama dan kedua akan meningkatkan motivasi dan partisipasi masyarakat dalam pelayanan pendidikan yang berkualitas.
Berdasarkan hasil penelitian di atas disarankan, pertama agar menggunakan pendekatan systems thinking untuk pengukuran kinerja pelayanan publik pada umumnya, dan pelayanan pendidikan pada khususnya. Konsekuensinya penggunaan model IPM dan LAKIP perlu disesuaikan, terutama dalam keterkaitan antar variabel yang dibangun. Kadua, pengukuran kinerja tidak dapat diamati hanya pada suatu saat dan berdiri sendiri, maka system dynamics dapat menjadi solusi yang teramati secara terus menerus secara dinamis. Ketiga, pengukuran dapat dikatakan obyektif dan dapat diterima oleh pemberi dan penerima layanan, maka perlu mengikut sertakan masyarakat dengan mekanisme yang transparan. Keempat, keterbatasan pertumbuhan kinerja pelayanan pendidikan yang diuji melalui simulasi, maka dibuat tiga skenario untuk mengambil kebijakan. Pertama, untuk mengatasi permasalahan keterbatasan pertumbuhan biaya pendidikan, dapat dilakukan dengan meningkatkan peran serta masyarakat guna mendanai kegiatan operasional pendidikan. Kedua, pemerintah propinsi memprioritaskan pembangunan pendidikan kabupaten/kota disekitar Kota Bandung sehingga memiliki kualitas yang sama. Dengan demikian, Kota Bandung tidak menjadi satu-satunya tujuan sekolah di sekitar Kota Bandung. Ketiga, menggabungkan skenario petama dan kedua yaitu meningkatnya kualitas pendidikan akan meningkatkan motivasi dan partisipasi masyarakat dalam pelayanan pendidikan. Dalam rangka mencapai Indeks Pembangunan Manusia dengan score 80 pada tahun 2010, Dinas Pendidikan Kota dan Pemerintah Kota Bandung perlu terus meningkatkan mutu pelayanan karena pendidikan merupakan pengungkit terkuat bagi pembangunan manusia.
Implikasi akademik dalam penelitian ini adalah menghadapi perkembangan manajemen modern yang semakin kompleks dan adanya keterbatasan rasionalitas, maka pendekatan systems thinking dan system dynamics menjadi alternatif yang paling baik. Pendekatan ini dapat digunakan dalam proses manajemen sejak proses perencanaan hingga evaluasi hasil suatu kegiatan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D488
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Salam
"ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh tuntutan pelayanan masyarakat yang lebih baik dalam otonomi daerah yang Iebih Iuas, sebagai tuntutan reformasi terhadap pelayanan birokrasi daerah kepada masyarakat dalam sepala bidang, termasuk pelayanan transportasi. Tentang pelayanan transportasi ini, hampir seluruh Pemda menghadapi berbagai permasalahan, begitu pula halnya Pemda Kabupaten dan Kota Bogor. Ketidakberdayaan birokrasi daerah tersebut terlihat dari lemahnya SDM, teknologi dan sarana prasarana transportasi, Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kecil dari transportasi, jelas memberkan penataan ulang dalam tubuh organisasi birokrasi daerah yang perlu melakukan reformasi administrasi negara secara komprehensif dalam meningkatkan kinerja birokrasi daerah di bidang transportasi tersebut.
Masalah penelitian ini dibatasi pada "Persoalan reformasi administrasi negara di daerah tentang ketidakmampuan birokrasi daerah meningkatkan kinerjanya dalarn pelayanan transportasi". Pembatasan penelitian ini ada pada bidang administrasi negara, dalam persoalan kinerja birokrasi daerah, sedangkan pelayanan transportasi dipilih hanya sebagai kasus di Kabupaten dan Kota Bogor. Adapun pertanyaan penelitian adalah: "Bagaimana kinerja birokrasi daerah (Dinas Perhubungan Kabupaten Bogor serta Dinas Lalu Lintas dan Jalan Kota Bogor) dalam memberikan pelayanan transportasi kepada masyarakat, serta apa kebijakan birokrasi daerah Kabupaten dan Kota Bogor yang terbaik dalam mengatasi masalah pelayanan transportasi".
Metode penelitian ini menerapkan pendekatan analisis sistem dinamik yang menggabungkan antara pendekatan kuantitatif dengan kualitatif. Desain penelitian sistem dinamik secara substantif akan mengukur kinerja birokrasi daerah di lingkungan Pemda meialui metode system dinamik dan permodelan. Untuk itu diperiukan pendekatan dan mekanisme penelitian dengan mempertimbangkan sifat dinamik yang berubah mengikuti perkembangan waktu. Penulis menganggap sesuai menggunakan metode sistem dinamik dan permodelan karena model sistem dinamik melihat pola kecendrungan sistem berdasarkan analisis sistem dinamik yang nyata dan sangat panting, melalui 8 (delapan) tahap yang ditempuh dalam metode sistem dinamik, yaitu: (1) merumuskan masalah penelitian; (2) permodelan sistem dinamik (Causal Loop Diagram dan Stock Flow Diagram = CLD dan SFD); (3) pengumpulan data dan entry data dalam model (4) simulasi model dinamik (5) validasi model dinamik; (6) analisis sensitivitas; (7) simulasi kebijakan (model sistem dinamik); dan (8) merumuskan kesimpulan.
Hasil penelitian ini memperlihatkan data dan fakta tentang lemahnya kinerja birokrasi daerah di Kabupaten dan Kota Bogor, berupa kesemrawutan lalu lintas karena belum optimalnya pengelolaan transportasi. Analisis sistem dinamik menggambarkan kompleksitas permodelan yang tersedia dalam berbagai altematif pilihan Causal Loop Diagram (CLD), kemudian dan berbagai altematif pilihan CUD yang kompleks tersebut ditentukan pilihan dengan melewati proses trial and eror sampai mendekati titik yang paling sesuai tentang kinerja birokrasi daerah di lingkungan Pemda dalam pelayanan transportasi. Berdasarkan proses tersebut maka penelitian ini menerapkan 2 (due) archetype (model baku), yaitu model Fixes That Fail (Perbaikan Sesaat = Perbaikan yang Gagal) dan model Limits to Success (Batas Keberhasilan). Kedua archetype model tersebut, ditentukan dan dipilih dari 8 (delapan) model baku yang kompleks, yang ada dalam program sistem dinamik dan permodelan. Karena sifatnya yang kompleks, kedua model baku (archetype) yang dilipih tersebut mempunyai berbagai probabilitas yang dapat ditampilkan sesuai dengan kondisi dan fakta kinerja birokrasi daerah dalam mengelola transportasi di Kabupaten dan Kota Bogor. Berbagai probabilitas atau kemungkinan tersebut dapat diprediksikan untuk sekian tahun kedepan tanpa batas, boleh 5 (lima) tahun, 10 tahun, 100 tahun dan seterusnya. Karena itu, model Fixes That Fail (Perbaikan Sesaat Perbaikan yang Gaga') dan model Limits to Success (Batas Keberhasilan) dapat membuat model yang sesuai dengan apa yang dinginkan, berdasarkan kondisi dan fakta 5 (lima) tahun terakhir, maka akan dapat diprediksikan sekian tahun kedepan. Pilihan tersebut sesuai untuk penelitian ini, setelah menyesuaikannya dengan batasan masalah dan kondisi kinerja birokrasi daerah di lingkungan Pemda (dalam hal ini Dinas Perhubungan Kabupaten Bogor serta Dinas Lalu Lintas dan Jalan Kota Bogor). Tergambar dalam CLD tersebut, karena badan jalan yang ada terpakai, maka akan menimbulkan inisiatif untuk melebarkan jalan, pada waktu sesaat ini memang dapat mengatasi persoalan untuk sementara, tetapi ketika moda transportasi semakin bertambah dengan berbagai tipe dan jenis kenderaan, pelebaran jalan tersebut menjadi tidak terlalu berarti, karena luas lahan terbatas akan sulit melakukan pelebaran jalan, kecuali dengan menyediakan biaya yang lebih besar. Kedua model tersebut Fixes that Fail dan Limit to Succes yang digambarkan dalam CLD dapat dijelaskan lebih lanjut dalam Stock Flow Diagram (SFD=Diagram Alir), yang lebih menggambarkan kompleksitas permodelan, yang dapat dikaji dan dibahas dari berbagai segi dan berbagai altematif yang mungkin dilakukan, begilu pula halnya kinerja birokrasi daerah dalam pelayanan transportasi di Kabupaten dan Kota Bogor. Kompleksitas permodelan dan subsistem pelayanan transportasi yang merupakan transformasi dari archetype model Fixes that Fail, mengambarkan kondisi koordinasi pelayanan transpotasi yang tidak memadai, tidak harmonisnya koordinasi antara birokrasi daerah di Kabupaten dan Kota Bogor, serta lemahnya koordinasi birokrasi daerah dengan jajaran terkait lainnya telah menciptakan koefisien kemacetan yang selanjutnya meningkatkan koefisien penumpang terlantar, hal ini kemudian memperlihatkan rasio kebutuhan transportasi yang tergambar semakin meningkat laju pertumbuhannya. SFD yang menjadi andalan pendekatan sistem dinamik telah membuktikan bahwa kompleksitas yang melingkupi kirierja birokrasi daerah dalam pelayanan transportasi meliputi banyak hal dan kondisi, yang semestinya harus dilihat dan dikaji serta diselesaikan secara sistemik dan holistik, artinya perlu memperhatikan segala aspek dalam segala dimensi, dengan tidak mengabaikan salah satu aspek dan hanya melebihkanlmengutamakan aspek yang lainnya, demikian halnya aspek dan dimensi peningkatan kinerja birokrasi daerah dalam pelayanan transportasi di Kabupaten dan Kota Bogor. Selanjutnya archetype model limit to success, memperlihatkan mengubah kinerja birokrasi daerah dalam pelayanan transportasi hanya untuk sementara, karena dibatasi oleh dimensi waktu, dimensi kerampuan biaya, dan dimensi keterbatasan lahan. Salah satu solusi yang ditawarkan model ini hanyalah memperpanjang sifat sementara tersebut dengan memasukkan dimensi prilaku atau aktivitas dari adanya koordinasi birokrasi daerah menjadi durasi waktu yang relatif lebih lama, yaitu dengan memeratakan pembangunan ke seluruh pelosok wilayah sehingga penduduk tidak perlu harus mencari penghidupan ke pusat kota karena hal tersebut juga sudah dapat diperoleh di wilayahnya tanpa harus melakukan perjalanan ke pusat kota di Kabupaten dan Kota Bogor. Konsep yang ditawarkan model ini pada intinya bagaimana mengurangi perjalanan masyarakat, dengan memasukkan dimensi upaya memperpanjang atau memperbesar limit to success yang sedang dihadapi. Bila hal ini dihubungkan dengan pertumbuhan angkutan umum dan kendaraan pribadi akan sangat kontradiksi karena berbanding terbalik dengan tersedianya lahan yang sangat terbatas, sementara angkutan umum dan kenderaan pribadi terus mengalami peningkatan. Hasli simulasi model sistem dinamik memperlihatkan bahwa titik kemacetan sudah mencapai titik jenuh yang memprihatinkan, memerlukan pengelolaan transportasi dengan kinerja yang lebih baik, yang harus dipenuhi oleh birokrasi daerah Kabupaten dan Kota Bogor.
Dapat disimpulkan bahwa kinerja birokrasi daerah dalam pelayanan transportasi dipengaruhi oleh hubungan dinamis dari tiga sub-sistem, yaitu demografi, urbanisasi, dan pelayanan transportasi. Unsur-unsur utama atau leverage poin dalam sistem tersebut adalah imigrasi, pemerataan pembangunan, pertumbuhan ods transportasi pribadi, dan perilaku sosial. Hasil penelitian menunjukkan kinerja birokrasi daerah masih bergerak positif, walaupun dengan kinerja yang lemah. Lemahnya kinerja birokrasi daerah tidak hanya ditentukan oleh faktor internal birokrasi daerah 1W sendiri, seperti antara lain lemahnya kemampuan SDM, lemahnya koordinasi antar dan antara birokrasi daerah dengan berbagai jajaran terkait di Kabupaten dan Kota Bogor, melainkan juga oleh faktor eksternal yang datang dari luar birokrasi daerah, antara lain karena populasi penduduk yang semakin besar, jumtah lahan yang terbatas untuk pembangunan jalan, serta faktor sosial dalam pelayanan transportasi seperti disiplin para sopir dan pengelola angkutan umum, budaya pedagang kaki lima dan pengelolaan pasar dan sebagainya. Hal ini menjawab pertanyaan penelitian yang pertama bahwa sistem dinamik hubungan faktor-faktor yang berpengaruh dalam membentuk kinerja birokrasi daerah saling terkait, saling berinteraksi, saling mempengaruhi secara positif atau negatif. Sedangkan jawaban pertanyaan penelitian kedua adalah bahwa kebijakan birokrasi daerah terbaik dalam mengatasi kemacetan lalu lintas, antara lain dengan mencegah urbanisasi, memeratakan pembangunan, termasuk mengubah desa menjadi kota, sehingga penduduk tidak lagi harus datang ke kota. Saran penelitian ini adalah menerapkan 15 langkah yang diusulkan dan dihasilkan simulasi sistem dinamik penelitian disertasi ini.

ABSTRACT
This study was formed by the background of better public services demand in the more extensive local autonomy as reformation demand from various public component about local bureaucracy services for public in every sector, including transportation services. Regarding this transportation services, almost all of local government (Pemda) with its local bureaucracy was facing various problems, and so as the local government of the Regency and City of Bogor. The disability of that local bureaucracy was seen from weak human resources, transportation technology and instrument. The Original Local Revenue / Pendapatan Asli Daerah (PAD) of transportation sector was very limited and clearly need reconsideration and rearrangement in the body of local bureaucracy organization, which was needed to perform state administration reformation comprehensively in improving the performance of local bureaucracy on that transportation sector.
The problem of this study was limited on "The Issue of state administration reformation at outlying district on the scope of inability of local bureaucracy to improve its performance in transportation services. The limitation of this study was on state administration sector about the issue of local bureaucracy performance, whereas the transportation services were selected only as the case of Regency and City of Bogor. As to the question of this study was : "How the performance of local bureaucracy (The Department of Transportation of Bogor Regency and The Department of Traffic and Lane of Bogor City in order to provide transportation services for society) and what is the best policy of local bureaucracy in Regency and City of Bogor to overcome the transportation services problem:
'The method of this study was implementing analysis of dynamic system approach, which was combining quantitative approach with qualitative. The design of dynamic system substantively will measure the performance of local bureaucracy in local government's environment (Pemda) through dynamic system and modeling method. Therefore, the study approach and mechanism was needed by considering the alternating dynamic in nature following the time development. The writer suppose that it was appropriate to use the dynamic system and modeling method to achieve the determined aim in this study; because dynamic system model has looked on the pattern of system tendency based on analysis of dynamic system, which was real and extremely important, through 8 (eight) phases that has been going through in dynamic system method, that were:
(1) formulating study problem; (2) the dynamic system modeling (Casual Loop Diagram and Stock Flow Diagram = CLD and STD); (3) The data collecting and data entry in model; (4) Simulation of dynamic model; (5) validation of dynamic model; (6) sensitivity analysis; (7) Policy simulation .(dynamic system model); and (8) formulating conclusion.
The result of this study has presented data and fact about the weak performance of local bureaucracy in Regency and City of Bogor, in the form of traffic mess, because of transportation management that was not optimal. Analysis of dynamic system, was describing the complexity of modeling and which was available in various alternative choice of Causal Loop Diagram (CLD), and then from those complex CLD alternative choices, the option was determined through trial and error process until it was closed to the most appropriate point regarding the performance of local bureaucracy in. local government's environment (Pemda) on transportation services. Based on that process, therefore this study was limited only by implementing 2 (two) archetype (standard model), i.e. the Fixes that fail Model (Temporary Revision = the Failed Revision) and the Limits to Success Model (Batas Keberhasilan). Both of that two archetype model was determined and selected from the complex 8 (eight) standard model, which was presented on dynamic system and modeling program. Because of their complexity in nature, both of those selected standard model (archetype) had various probability that can be held appropriate with the condition and fact of local-bureaucracy performance on managing the transportation in Regency and City of Bogor. Various of those probability of opportunity can be predicted for some years on future without any limitation, it can be 5 (five) years, 10 years, 100 years, and so on. Therefore, the model of Fixes that Fail (Temporary Revision = The Failed Revision) and the model of Limits to Success (Batas Keberhasilan) can make appropriate model with the expected model, based on the last 5 (five) years condition and fact, then it can be predicted some years on future. Those options were appropriate with this study, after adjusting it with problem limitation and performance condition of local bureaucracy in the local government's environment (in this context, The Department of Transportation of Bogor Regency and The Department of Traffic and lane of Bogor City). It was described on that CLD - because when part of street has been used then it would cause an initiative to widen the street, in the current temporary time, it obviously can overcome problem for time being, but when the transportation mode was more in its amount with various type and kind of vehicle, that street widen became less significant, because of the limited area, it was difficult to perform the street widening, unless providing larger cost. Both of those model, Fixes that Fail and Limit to Success, which have been described in CLD, it can be explained further in Stock Flow Diagram (SFD), which will describe further' complexity of modeling, which can be recite and discuss from various sector and alternative that can be done, so as about the performance of local bureaucracy on transportation services in Regency and City of Bogor. The modeling complexity of the Transportation Services sub-system, which was a transformation of archetype model of Fixed that Fail, was describing the inadequate condition of transportation services coordination, and the coordination between local bureaucracy in Regency and City of Bogor that was not harmonic, and the weak coordination of local bureaucracy with the other related staff has created the traffic coefficient, which increase the coefficient of neglected passenger further, and these things then will show the ratio of transportation need that has been described as increased of its growth rate. SFD which was the reliable dynamic system approach has been proven that the complexity which covering the performance of local bureaucracy on transportation services including many things and condition, which indeed should be seen and assess and solved systematically and holistically, it means that it should note every aspect in every dimension, and should not disregard any aspect and only favor l giving priority other aspect, and so as the aspect and dimension of the improvement of the performance of local bureaucracy on transportation services in the Regency and City of Bogor. Then, the archetype model limit to success has shown alteration of the performance of local bureaucracy on transportation services temporarily, because it was limited by dimension of time, dimension of ability 1 cost, and dimension of field limitation. One of the offered solution by this model was only lengthen that temporary in nature by including the dimension of behavior or activity form the presence coordination of local bureaucracy into the more relative longer of time duration, that was by equalize the development throughout nation, hence the citizen does not need to find any living support to the center of, city, because that thing can be gained in their region without traveling to the center of city in Regency or City of Bogor. It needs transportation management with better performance, which has to be fulfilled by the local bureaucracy of Regency and City of Bogor.
It can be concluded that the performance of local bureaucracy on transportation services is affected by the dynamical relationship of three sub systems, i.e. demography, urbanization, and transportation services. The main elements or leverage point in those system are immigration, development equalization, the growth of private transportation mode, and social behavior. The study result shows that the performance of local bureaucracy is still positively moved, although with a weak performance. The weak performance of local bureaucracy is not only determined by the internal factor of that local bureaucracy itself, such as the weak ability of human resources, the weak coordination with and within local bureaucracy with various staff in Regency and City of Bogor; but also by external factor, such as the growing population, the limited street for street development, and the social factor on transportation services, e.g. the discipline of drivers and manager of public transportation, the culture of sidewalk trader and market management and etc. These should answer the first study question that dynamic system of the relationship of affecting factor on forming the performance of local bureaucracy is related, interacted and affecting each other either positively or negatively. While the answer of the second question of this study is that the policy of local bureaucracy is the best way to overcome the traffic jam, i.e. by preventing urbanization, distributing development including changing the village into city, so that the citizen does not need to come to the city anymore. The suggestion for this study is implementing the 15 steps which have been proposed and simulation resulted of dynamic system of this dissertation study.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
D584
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Wirdayanti
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang kebijakan peran gandagubernur dalam sistem pemerintah daerah di Indonesia dari waktu ke waktu,menganalisis tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peran gandagubernur dalam penyelarasan antara kepentingan pusat dan daerah, dan antardaerah di Jawa Barat dan menganalisis strategi penyelarasan antara kepentinganpusat dan daerah, dan antar daerah di Jawa Barat. Penelitian ini menggunakanparadigma post positivisme dengan pendekatan kualitatif.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Faktor- Faktor yang berpengaruhterhadap peran ganda gubernur dalam penyelarasan antara kepentingan pusat dandaerah, dan antara daerah dan daerah di Jawa Barat, antara lain : 1 Faktor politik,2 Faktor Kepemimpinan, 3 Faktor Kelembagaan dan 4 Faktor sosial.Hasil Kajian menunjukkan strategi penyelarasan kepentingan pusat dandaerah dalam sistem pemerintahan indonesia yakni: a Gubernur sebagai strukturperantara dalam hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah; b Gubernur sebagai Budget Optimizer dalam Perencanaan PembangunanBerbasis Kewilayahan; c Memperkuat organisasi peran gubernur sebagai wakilpemerintah pusat di daerah yang didukung oleh instrumen koordinasi, pembinaandan pengawasan Gubernur Selaku wakil pemerintah pusat di daerah dan peraturanperundang-undangan; d Alternatif peletakan wakil pemerintah.Rekomendasi penelitian yakni ; a Memperjelas kedudukan, peran danfungsi gubernur sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat di provinsi,melalui penguatan peraturan kebijakan baik pada level perundang ndash; undanganmaupun peraturan teknis terkait; b Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat didaerah dalam pelaksanaan peran dan fungsinya perlu didukung oleh sumberpendanaan yang kuat, sehingga gubernur dapat berperan sebagai budget optimizerdalam melaksanakan penyelarasan kepentingan pusat dan daerah, dan antardaerah. d Dana penguatan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat didaerah melalui mekanisme dana dekonsentrasi yang diberikan oleh pemerintahpusat hendaknya tidak seragam tetapi memperhatikan kebutuhan dari masingmasingdaerah. e Memperkuat kelembagaan sekretariat gubernur sebagai wakilpemerintah pusat sehingga dalam pelaksanaan tugasnya tidak tumpang tindihdengan tugas organisasi perangkat daerah yang ada.

This research analyzes the role of governor in the governance system ofIndonesia. This study focuses on factors that influence the governor 39;s dual roleand analyzes strategies in alignment between central and regional interests, andbetween regions in West Java. This research uses post-positivism paradigm byusing qualitative method.The results showed that the factors that influence for the role of governor inin alignment between central and regional interests, and between regions in WestJava are political factors, leadership factors, institutional factors and socialfactors.The central and sub-national interest alignment strategy required is tomaximize the governor 39;s role as an intermediary structure between the centralgovernment and local government, strengthening the role of the governororganization as a representative of the central government in the region, thegovernor as a budget optimizer in regional-based development planning. Tomaximize the governor 39;s dual role, it is necessary to strengthen the position, roleand function of the governor as the regional head and the representative of thecentral government in the province, through policy regulation at both thelegislative and related technical regulations, and alternative governor as arepresentative government.Recommendations from this study include : a to clear the position, role andfunction of the provincial head and representative of central government in theprovince by strengthening the policy, both the law and related technicalregulations; b to provide support for the governor as the central governmentrepresenttive, in term of strong financial source, to help the governor effectivelyassume the role of the budget optimizer that balances the needs between thecentral and regional as well as inter-regional; c for the central government totake into account the needs of each region in the mecanism of distibuting thedeconcentrated regional budget, instead of applying a single standar distribution; d to strengthen the provincial secretary institution as the representative of thecentral government to avoid overlap with other provincial apparatus in doing theirjob."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
D2527
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library