Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
Fabelza Safa Alifa
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan dan implementasi perlindungan data pribadi dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi, Pengendali Data Pribadi memiliki kewajiban-kewajiban tertentu, termasuk kewajiban untuk menyediakan informasi, memberikan akses, melakukan perbaikan, dan melindungi data pribadi dari pemrosesan tidak sah. Namun, terdapat pengecualian terhadap kewajiban-kewajiban ini dalam konteks kepentingan umum, salah satunya adalah kepentingan penyelenggaraan negara yang mencakup Pemilihan Umum. Penelitian ini menemukan bahwa dalam penyelenggaraan Pemilu, data pribadi digunakan dalam berbagai proses, mulai dari pendaftaran dan verifikasi partai politik, penyusunan daftar pemilih, hingga pemungutan suara. Namun, penggunaan data pribadi dalam Pemilihan Umum sering kali menghadapi berbagai masalah. Contohnya, insiden kebocoran data pemilih, seperti pada data pemilih pada Pemilihan Umum tahun 2014 dan tahun 2024. Data pribadi juga rentan disalahgunakan, seperti penggunaan Daftar Pemilih Tetap oleh partai politik untuk kepentingan kampanye, yang seharusnya hanya digunakan untuk kepentingan pemilih dalam memperoleh hak pilih mereka. Temuan ini menunjukkan perlunya sanksi yang lebih berat terhadap pelanggaran data pribadi, serta peningkatan keamanan dan pengawasan dalam pengelolaan data pemilih oleh Komisi Pemilihan Umum dan lembaga terkait lainnya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun regulasi mengenai perlindungan data pribadi telah berlaku, implementasinya dalam konteks Pemilihan Umum masih perlu diperkuat untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan data pribadi pemilih terlindungi dengan baik.
This study aims to analyze the regulation and implementation of personal data protection on General Elections in Indonesia. Based on Law Number 27 of 2022 on Personal Data Protection, data controller has various responsibilities, that include providing information, giving access, rectifying, and protecting personal data from unauthorized processing. However, there are exceptions to these responsibilities in the context of state administration activities, such as general elections. This study finds that personal data is used in various processes of elections, ranging from the registration and verification of political parties, the preparation of voter lists, to the voting process. However, the use of personal data in elections often faces various problems. For example, there have been incidents of voter data breaches, such as those that occurred in the 2014 and 2024 elections. Personal data is also vulnerable to misuse, such as the use of the Voter List by political parties for campaign purposes, which should only be used for voters in exercising their voting rights. These findings indicate the need for stricter sanctions against personal data violations, as well as enhanced security and oversight in the management of voter data by the General Elections Commission and other related parties. This study concludes that although regulations on personal data protection are in place, their implementation in the context of general elections still needs to be strengthened to prevent further misuse and ensure that voters' personal data is well protected."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Raynal Musfiel Vik Rachmat
"Penelitian ini merupakan analisis terhadap implikasi dari risiko terjadinya hukum pelindungan data pribadi oleh entitas yang berada dalam posisi dominan yang terjadi pada kasus Bundeskartellamt melawan Meta. Penelitian ini akan menggunakan metode yuridis-normatif. Penelitian ini akan membahas mengenai teori
consent dalam rezim pelindungan data pribadi, prinsip pemrosesan data pribadi, dan entitas yang berada dalam posisi dominan sebagai pengendali data pribadi. Pertama-tama, penelitian ini akan menganalisis kebijakan dari pemrosesan data pribadi yang dilakukan oleh Meta. Penelitian atas kebijakan tersebut dilakukan karena pemrosesan data pribadi yang dilakukan oleh Meta telah melanggar prinsip kepatuhan hukum, keadilan, dan transparan, sebab Meta melakukan pemrosesan data pribadi secara otomatis dan telah mengambil data pribadi penggunanya dari luar produk yang dimilikinya melalui cookies. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan pemrosesan data pribadi yang dilaksanakan oleh Meta tersebut. Di sisi lain, posisi Meta pada pasar media sosial dunia menduduki posisi yang dominan, terutama di Jerman. Dalam menjalankan kebijakan pemrosesan data pribadinya, Meta telah menyalahgunakan posisi dominannya untuk memaksa penggunanya agar memberikan persetujuan atas kebijakannya. Hal tersebut kemudian memicu perhatian dari Bundeskartellamt, badan anti monopoli Jerman yang menilai bahwa tindakan dari Meta tersebut merupakan bentuk dari penyalahgunaan posisi dominan. Maka dari itu, penelitian ini dilakukan juga untuk menganalisis implikasi pelanggaran hukum pelindungan data pribadi yang dilakukan oleh entitas yang berada pada posisi dominan.
This research is an analysis of the implication of personal data protection law violations risk by entities in dominant positions, as seen in the Bundeskartellamt versus Meta case. This research will adopt a juridical-normative approach. This research will explain the theory of consent within the framework of personal data protection law, the principle of personal data processing, and the role of dominant entities as data controller. First and foremost, this research will analyze the Meta’s policies regarding personal data processing, prompted by the fact that Meta’s processing of personal data has violated the lawfulness, fairness, and transparency principle due to its automated data processing practices and profiling its user personal data from external sources through cookies. Therefore, this research aims to analyze the implementation of personal data processing policies by Meta. On the other hand, Meta’s dominant position in the global social media market, especially Germany, has led it to exploit its dominance by forcing its user to consent to Meta’s privacy policies. Those activities triggered the attention of Bundeskartellamt, Germany antitrust authority, which deemed Meta’s action as an abuse of its dominant position. Therefore, this research is also aims to analyze the implication of personal data protection law violations committed by dominant positions entity."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Gabriela Sekarputri Suroyo
"Perkembangan teknologi mendorong adanya transformasi menuju era digital. Indonesia, sama seperti negara-negara lain di dunia turut bergantung pada pemanfaatan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi dewasa ini sudah dilakukan baik untuk penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, pendidikan hingga kegiatan pengolahan data sehari-hari. Kegiatan tersebut kemudian mengakibatkan berbagai aspek kehidupan manusia mulai memanfaatkan sistem teknologi informasi. Isu mengenai pentingnya memberikan perlindungan terhadap data pribadi bagi pengguna internet kian menguat. Salah satu penyebabnya adalah semakin maraknya kasus-kasus yang melibatkan kebocoran data pribadi seseorang. Pemikiran mengenai pentingnya melakukan pelindungan data pribadi berkaitan erat dengan kebebasan seseorang untuk menentukan dengan siapa mereka ingin membagikan informasi berupa data pribadinya. Guna menjawab tantangan tersebut, pemerintah kemudian mengundangkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Pelindungan Data Pribadi. Undang-Undang tersebut secara garis besar mengatur tentang kegiatan pemrosesan data pribadi serta hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Salah satu produk hukum yang melibatkan kegiatan pemrosesan data pribadi adalah Surat Izin Mengemudi (SIM). SIM merupakan suatu surat yang wajib dimiliki oleh seseorang agar dapat mengoperasikan kendaraan bermotor di jalan raya. Sayangnya, saat ini belum terdapat peraturan yang secara komprehensif mengatur mengenai kegiatan pemrosesan data pribadi dalam penerbitan SIM. Penelitian ini mengidentifikasi mengenai batasan-batasan yang selayaknya diterapkan dalam kegiatan pemrosesan data pribadi pada penerbitan SIM. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam menentukan batasan-batasan tersebut akan membantu dalam menerapkan prinsip pengumpulan data pribadi yang dilakukan secara terbatas dan spesifik, sah secara hukum, dan transparan sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi.
Technological developments encourage transformation towards the digital era. Indonesia, just like other countries in the world, also depends on the use of information technology. The use of technology today has been carried out both for carrying out government activities, education and daily data processing activities. These activities then resulted in various aspects of human life starting to utilize information technology systems. The issue of the importance of providing protection for personal data for internet users is increasing. One of the reasons is the increasing number of cases involving leaks of someone's personal data. The idea regarding the importance of protecting personal data is closely related to a person's freedom to determine with whom they want to share information in the form of their personal data. In order to answer this challenge, the government then promulgated Law Number 27 of 2022 concerning Personal Data Protection. The law broadly regulates personal data processing activities as well as the rights and obligations of the parties involved in them. One of the legal products that involves personal data processing activities is a driving license (SIM). A driver's license is a document that a person must have in order to operate a motorized vehicle on the road. Unfortunately, currently there are no regulations that comprehensively regulate personal data processing activities in issuing driving licenses. This research identifies the limitations that should be applied in personal data processing activities during the issuance of a driver's license. The aspects that need to be considered in determining these limitations will help in implementing the principles of personal data collection which is limited and specific, legally valid and transparent as contained in the Personal Data Protection Law. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Putu Adrien Premadhitya Merada
"Kecerdasan artifisial merupakan teknologi yang multiguna untuk membantu pekerjaan manusia, tak terkecuali bagi mereka yang berkiprah di dunia perfilman. Sebelumnya telah ada teknologi komputer untuk memanipulasi gambar seperti computergenerated imageries (CGI) pada proses pembuatan film khususnya dengan genre aksi, fantasi, horor, ataupun film-film yang mengangkat kisah pahlawan sehingga melahirkan istilah sinema sintetis. Kecerdasan artifisial hadir sebagai teknologi termutakhir yang tidak hanya dapat memanipulasi gambar tetapi juga suara dan video dengan mempelajari pola dan struktur dari sekumpulan data untuk menciptakan karakter, latar belakang, dan efek visual lainnya. Kecerdasan artifisial memanfaatkan tidak terkecuali data biometrik aktor khususnya untuk tujuan penciptaan karakter yang menandakan bahwa data pribadi aktor memerlukan pelindungan hukum selain pelindungan terhadap kekayaan intelektualnya. SAG-AFTRA Strike yang terjadi pada tahun 2023 di Amerika Serikat menjadi salah satu tonggak bahwa pelaku industri perfilman khususnya aktor memiliki kekhawatiran tersendiri atas penggunaan kecerdasan artifisial yang belum memiliki regulasi spesifik sehingga terjadi ketidakpastian hukum. Tulisan ini menganalisis pemanfaatan kecerdasan artifisial pada industri perfilman di Indonesia, Uni Eropa, dan Amerika Serikat sekaligus peraturan terkait, termasuk pertanggungjawaban apabila terjadi pelanggaran. Saat ini Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 (UU PDP) dan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 (SE 9/2023) sebagai dasar perlindungan bagi aktor Indonesia terhadap pemanfaatan kecerdasan artifisial. Meskipun demikian, pengaturan hukum yang ada di Indonesia belum selengkap peraturan yang berlaku di Uni Eropa dan Amerika Serikat mengenai tata cara perlakuan atau penanganan terhadap data biometrik dan masih bergantung kepada kontrak. Penelitian ini dilakukan dengan metode kajian literatur dan wawancara bersama tokoh-tokoh industri perfilman Indonesia.
Artificial intelligence (AI) is a versatile technology aimed to help humans conduct their work, including those who works in the film industry. There were also other computer technologies prior to AI used to manipulate images such as computergenerated imageries (CGI) to aid filmmaking especially for action, fantasy, horror genres, or movies about superheroes which produced the term synthetic cinema. AI serves as an advanced technology which can also manipulate sounds and videos by studying patterns and structures of a set of data to generate characters, backgrounds, and other visual effects. AI utilizes different sets of data such as biometric data of actors to create a character, showing that actor’s personal data requires legal protection aside from their intellectual property rights. The SAG-AFTRA Strike which happened in America in 2023 was a signal that people in the film industry, especially actors, have their own concerns regarding the usage of AI which have yet to be regulated through a specific regulation, posing legal uncertainty. This research analyzes the usage of AI in Indonesia, the European Union, and the United States’ film industry, the related regulations, as well as accountability in cases of violations. Indonesia currently have Law Number 27 of 2022 (PDP Law) and Circular Letter of the Ministry of Communication and Informatics Number 9 of 2023 (SE 9/2023) providing basic protection for Indonesian actors against the usage of AI. However, the regulations available in Indonesia is not as comprehensive as the ones available in the European Union and the United States and still relies more on contracts, particularly on how to handle biometric data. This research was conducted through literature studies and interview with Indonesia’s prominent film industry figures."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Aryani Sinduningrum
"Tulisan ini menganalisis bagaimana pelindungan hukum terhadap investor yang melakukan investasi aset kripto di Indonesia; bagaimana upaya kolaboratif antara Pemerintah, Otoritas Pengawas, dan Pelaku Industri Kripto untuk meningkatkan efektivitas pengaturan kripto dalam mengembangkan ekosistem finansial di Indonesia; dan bagaimana tanggung jawab Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) kepada Investor Kripto serta peran Pemerintah dan Otoritas Pengawas dalam hal terjadi PFAK yang menjadi Ilegal. Tulisan ini disusun dengan metode penelitian doktrinal. Hasil penelitian adalah pelindungan hukum industri kripto telah terlindungi dengan hadirnya Bursa Berjangka, Lembaga Kliring, dan Kustodian yang hak dan kewajibannya diatur dalam Perbappebti 13 Tahun 2020 juncto Perbappebti 8 Tahun 2021 serta diatur juga hak dan kewajiban PFAK dan Investor Kripto dalam perjanjian pelanggan. Pelindungan hukum lainnya dijamin dalam UUPDP, UUITE, dan UUPPSK. Namun terdapat kelemahan yaitu dalam perspektif syariah, kripto dianggap haram karena unsur perjudian dan ketidakpastian nilai. Namun dengan pesatnya industri kripto perlu diatur regulasinya. Kementerian Perdagangan, OJK, Pelaku Industri Kripto, dan Kementerian/Lembaga terkait telah melakukan kolaborasi namun harus ditingkatkan karena terdapat tantangan seperti peralihan tugas kepada OJK, literasi dan edukasi yang tidak hanya di kota besar saja, pelindungan data pribadi, hingga sifat terbuka dari aparat penegak hukum. Peluangnya yaitu potensi token lokal menjadi ‘go international’, potensi pendapatan pajak, dan potensi kripto menjadi virtual currency. Apabila izin usaha PFAK dicabut, PFAK harus mengembalikan aset investor dalam jangka waktu tertentu sedangkan Pemerintah berperan melakukan pembekuan izin usaha, pencabutan izin usaha, dan pengumuman public serta Pemerintah mendorong pembentukan lembaga kliring yang menjamin 70% dana yang berhasil di deposit dan kustodian menjamin 70% aset kripto yang berhasil ditransaksikan. Peran OJK adalah mengajukan permohonan pailit kepada PFAK walaupun dirasa tidak implementatif karena dikhawatirkan OJK bersifat subjektif. Upaya hukum yang dapat ditempuh Investor Kripto adalah penyelesaian jalur non-litigasi melalui LAPS-SJK dan BAKTI serta jalur litigasi diajukan gugatan wanprestasi kepada PFAK melalui Pengadilan Negeri.
This thesis analyzes how the legal protection of investors who invest in crypto assets in Indonesia; how collaborative efforts between the Government, Supervisory Authorities, and Crypto Industry Players to increase the effectiveness of crypto regulation in developing the financial ecosystem in Indonesia; and how the responsibility of Crypto Asset Physical Traders (PFAK) to Crypto Investors as well as the role of the Government and Supervisory Authorities in the event of PFAK becoming Illegal. This paper is prepared using doctrinal research method. The result of the research is that the legal protection of the crypto industry has been protected by the presence of the Futures Exchange, Clearing House, and Custodian whose rights and obligations are regulated in Perbappebti 13 of 2020 in conjunction with Perbappebti 8 of 2021 and also regulates the rights and obligations of PFAK and Crypto Investors in customer agreements. Other legal protections are guaranteed in UUPDP, UUITE, and UUPPSK. However, there are weaknesses, from a sharia perspective, crypto is considered haram because of the element of gambling and uncertainty of value. However, with the rapid development of the crypto industry, it is necessary to regulate it. The Ministry of Trade, OJK, Crypto Industry Players, and related Ministries/Institutions have collaborated but must be improved because there are challenges such as the transfer of duties to OJK, literacy and education that are not only in big cities, protection of personal data, and the open nature of law enforcement officials. The opportunities are the potential for local tokens to 'go international', potential tax revenue, and the potential for crypto to become virtual currency. If PFAK's business license is revoked, PFAK must return investor assets within a certain period of time while the Government has the role of freezing business licenses, revoking business licenses, and public announcements and the Government encourages the establishment of clearing houses that guarantee 70% of successfully deposited funds and custodians guarantee 70% of successfully transacted crypto assets. OJK's role is to submit a bankruptcy application to PFAK even though it is deemed not implementable because it is feared that OJK is subjective. Legal action that can be taken by Crypto Investors are non-litigation settlement through LAPS-SJK and BAKTI and litigation filed a default suit against PFAK through the District Court."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Maula Yusuf Ibrahim
"Transfer data pribadi merupakan salah satu bentuk dari pemrosesan data pribadi berupa perpindahan, pengiriman, atau penggandaan data pribadi. Terdapat tantangan dalam pelaksanaan transfer ini berkenaan dengan ketiadaan standar global mengenai pelindungan data pribadi yang menyebabkan adanya ketimpangan hukum. Akibatnya, berbagai negara menerapkan berbagai syarat agar sebuah data dapat ditransfer ke luar negeri, satunya adalah dengan prinsip kesetaraan. Prinsip ini menyatakan bahwa data hanya bisa ditransfer ke negara yang dianggap memiliki perlindungan data pribadi yang setara. Penelitian ini membahas apa yang dimaksud dengan kesetaraan dan bagaimana melakukan penilaiannya dan syarat-syarat transfer lain selain prinsip kesetaraan serta tantangan penerapannya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal dengan pendekatan kualitatif dan studi komparasi. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa ketiadaan standar global menyebabkan berbagai negara memiliki instrumen perlindungan data pribadi yang berbeda-beda. Kondisi ini menyebabkan kemungkinan ketimpangan hukum antar dua negara yang melaksanakan transfer data, termasuk dalam menerapkan prinsip kesetaraan. Untuk mengatasi hal ini, baik Indonesia maupun Uni Eropa memberikan sejumlah syarat transfer selain prinsip kesetaraan.. Dalam menjaga data pribadi Indonesia ditengah keberagaman instrumen hukum data pribadi yang dimiliki berbagai negara ini, Indonesia dapat menerapkan sanksi administratif berupa penghapusan data pribadi yang penegakannya dapat dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Data Pribadi atau Jaksa Pengacara Negara.
Personal data transfer is a form of personal data processing that involves the movement, transmission, or duplication of personal data. There are challenges in carrying out such transfers due to the absence of global standards for personal data protection, which results in legal disparities. Consequently, various countries impose different requirements for transferring data abroad, one of which is the principle of adequacy. This principle states that data can only be transferred to countries that are deemed to have equivalent personal data protection. This research discusses what is meant by adequacy and how it is assessed, as well as other transfer requirements besides the adequacy principle and the challenges in its implementation. The research employs doctrinal legal research methods with a qualitative approach and comparative studies. The findings of the research indicate that the lack of global standards has led to different personal data protection instruments across countries. This situation creates the potential for legal disparities between two countries involved in data transfers, including the application of the adequacy principle. To address this, both Indonesia and the European Union provide a number of transfer conditions beyond the adequacy principle. To safeguard personal data in Indonesia amid the diversity of personal data protection instruments held by various countries, Indonesia could implement administrative sanctions, such as the deletion of personal data, which could be enforced by the Personal Data Protection Authority or the Attorney General's Office."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Sitorus, Johannes Hasea
"Tulisan ini menganalisis terkait sejauh mana harmonisasi pengaturan transfer data lintas batas telah diterapkan pada negara-negara di Asia Tenggara. Tulisan ini disusun menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Di tengah perkembangan ekonomi saat ini, data merupakan suatu komoditas baru yang memiliki nilai tinggi dalam ekonomi digital. Harmonisasi pengaturan transfer data lintas batas diperlukan untuk mewujudkan adanya arus bebas data dengan kepercayaan atau lebih dikenal sebagai DFFT. Namun, arus transfer data perlu diatur lebih lanjut melalui peraturan perundang-undangan untuk melindungi kepentingan subjek data pribadi terhadap data pribadi yang juga melalui rangkaian transfer data lintas batas. Peraturan tersebut menjadi tantangan dalam mencapai suatu harmonisasi pengaturan transfer data lintas batas, mengingat setiap negara memiliki kedaulatan masing-masing terhadap hukum yang berlaku pada yurisdiksi mereka. Hal ini menjadi fenomena yang menarik, mengingat transfer data lintas batas merupakan suatu fakta yang terjadi akibat perkembangan ekonomi digital. Pada akhirnya, pengaturan mengenai transfer data lintas batas harus mencakup dua kepentingan besar: di satu sisi sebagai pelindung kepentingan subjek data pribadi terhadap data pribadi milik mereka, dan di sisi lain sebagai sarana dalam menjamin transfer data lintas batas untuk meningkatkan peluang ekonomi dari data itu sendiri.
This paper analyzes how far harmonization of cross-border data transfer arrangements has been applied to countries in Southeast Asia. This paper employs the normative juridical research method. In the current economic development, data is a new commodity that has a high value in the digital economy. Harmonization of cross-border data transfer regulations is needed to realize the Data Free Flow with Trust or also known as DFFT. However, the flow of data transfer needs to be further regulated through laws and regulations to protect the interests of data subjects for personal data that also goes through a cross-border data transfer. The regulation is a challenge in reaching a harmonized cross-border data transfer regulation, considering that each country has its own sovereignty over the laws that apply to their jurisdiction. This is an interesting phenomenon, considering that cross-border data transfer is a fact that occurs due to the development of the digital economy. Thus, the regulation of cross-border data transfer should fulfill two major objectives: on the one hand, to protect the interests of the data subjects in their personal data, and on the other hand, to ensure cross-border data transfer to increase the economic opportunities of the data itself."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Anggita Azzahra
"Pelindungan data pribadi (PDP) merupakan salah satu bentuk dari pemenuhan hak atas privasi. Maka dari itu, PDP harus dipastikan pemenuhannya dalam seluruh sektor di Indonesia, termasuk sektor pasar modal. Sektor pasar modal memainkan peran penting dalam kemajuan perekonomian Indonesia. Maka dari itu, segala kegiatan yang mendukung penyelenggaraan pasar modal, termasuk kegiatan CDD dan EDD, harus dipastikan efektivitasnya. Pada akhir tahun 2023, OJK meresmikan LAPMN melalui penerbitan POJK No. 15 Tahun 2023 sebagai infrastruktur pengadministrasian data CDD dan EDD secara tersentralisasi. Sentralisasi data melalui LAPMN memang dapat meningkatkan keefektivitasan pemanfaatan ruang siber dan menyederhanakan proses CDD dan EDD. Akan tetapi, kegiatan ini juga semakin memperbesar potensi terjadinya pelanggaraan PDP. Oleh karena itu, penyelenggaraan LAPMN harus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip PDP. Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji penerapan PDP dalam penyelenggaraan LAPMN di pasar modal Indonesia. Rumusan masalah yang diangkat penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan hasil penelitian menyarankan diperlukannya pengesahan peraturan pelaksana pelindungan data pribadi yang memuat beberapa ketentuan tambahan tertentu, serta rekomendasi penambahan ketentuan terkait PDP dalam penyelenggaraan LAPMN di Indonesia.
Personal data protection (PDP) is one form of fulfillment of the right to privacy. Therefore, PDP must be ensured in all sectors in Indonesia, including the capital market sector. The capital market sector plays an important role in the acceleration of the Indonesian economy. Therefore, all activities that support the implementation of the capital market, including CDD and EDD activities, must be ensured for their effectiveness. At the end of 2023, OJK inaugurated LAPMN through the issuance of POJK No. 15 of 2023 as an infrastructure for centralized administration of CDD and EDD data. Centralizing data through LAPMN can indeed increase the effectiveness of cyberspace utilization and simplify the CDD and EDD process. However, it also increases the potential for PDP violations. Therefore, the implementation of LAPMN must be in accordance with PDP principles. This study aims to examine the application of PDP in the implementation of LAPMN in the Indonesian capital market. The research is conducted qualitatively, and the results of the research suggest the need for the ratification of implementing regulations for the protection of personal data which contain certain additional provisions, as well as recommendations for the addition of provisions related to PDP in the implementation of LAPMN in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library