Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hasmi Maha
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Harjono Karjadi
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widiastuti
Abstrak :
Latar Belakang
Debu banyak dijumpai di mana-mana termasuk di dalam atau di luar rumah, ditemukan terutama pads musim panas Debu terdiri dari partikel detrimen yang berasal dari rambut, daki, bulu binatang, sisa makanan serbuk sari, serpihan kulit manusia, bakteri, jamur, virus, serangga kecil dan lain-lain (Voorhorst dkk, 1969). Debu rumah merupakan komponen alergen inhalan yang panting, karena berperan sebagai pencetus timbulnya asma alergi yang telah dikenal sejak satu abad yang lalu (Voorhoret dkk, 1969). Dalam debu rumah terdapat Tungau Debu Rumah (TDR) yang banyak ditemukan pada rumah yang lembab, kasur kapuk,bantal, guling, serta perabot rumah yang lain. Sumber debu dengan jumlah TDR terbanyak adalah debu kamar tidur terutama debu di kasur (Voorhorst dkk,1969). Aulung dkk {1989) melaporkan bahwa sejumlah 226 dari 429 TDR terdapat pada kasur anak dan dikumpulkan dari seluruh ruang tidur yang terdiri dari kasur, lantai, dinding dan lubang angin, menempati urutan teratas dalam jumlah. Sundaru dkk (1993) melaporkan bahwa pada pengumpulan berbagai jenis tungau dari 3 macam kasur yang diteliti (masing-masing 20 kasur) secara sangat bermakna (p < 0,01) kasur kapuk mengandung populasi TDR jenis D. pteronyss inns dan I). farinae yang paling besar

jika dibandingkan dengan kasur pegas dan kasur busa. Manan dkk {1993) melaporkan bahwa dari masing-masing 10 kasur penderita asma yang diperiksa, kasur kapuk dihuni oleh 359 TDR terbukti sangat berbeda bermakna (p <0,05) jika dibandingkan dengan kasur busa yang dihuni oleh spesies TDR yang lama. Peranan TDR terhadap asma bronkial secara epidemiologis telah diteliti oleh Dowse dkk (1985). Pada penelitian tersebut terbukti bahwa adanya perubahan pola hidup penduduk setempat dari cara hidup yang sangat bersahaja menjadi moderen antara lain menggunakan selimut tebal, dapat meningkatkan prevalensi penderita asma sebesar 3,3%. Selain itu TDR berperan penting terhadap berbagai penyakit alergi antara lain rinitis dan dermatitis atopik (Carswel, 1988). Pada survei awal di tahun 1994 terhadap penderita asma yang berobat di Runah Sakit Cipto Mangunkusumo ternyata 85,7% penderita menggunakan kasur kapuk sebagai alas tidur dan pad penelitian pendahuluan yang dilakukan di perumahan STN, 90% menggunakan kasur kapuk sebagai alas tidur.
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herman Kusbiantoro
Abstrak :
Latar Belakang. Prevalensi asma terus meningkat dalam 30 tahun terakhir balk di negara maju maupun negara berkembang. Di Indonesia terutama di Jakarta kondisi polusi udara semakin parah. Asumsi yang berkembang di masyarakat mengatakan polusi udara mengganggu kesehatan. Pasien asma sering mengalami serangan pada seat musim dingin dan hujan. Di Jakarta belum ada data mengenai hubungan polusi udara den perubahan cuaca dengan kejadian serangan asma. Tujuan. Mengetahui hubungan antara kadar polusi udara (03, PMIO, SO2, NO2 dan CO) dan perubahan cuaca (suhu, kelembaban dan curah hujan) dengan kejadian serangan asma di DKI Jakarta. Metodologi. Dilakukan pencatatan kejadian serangan asma dari status IGD di lima rumah sakit di DKI Jakarta terhadap pasien yang tinggal di Jakarta dengan umur 14-50 tahun. Kemudian dibandingkan dengan parameter kadar polusi udara dan perubahan cuaca selama satu tahun (Nopember 2002-Oktober 2003). Dilihat kecenderungan antara polusi udara dan perubahan cuaca dengan kejadian serangan asma. Penelitian dilakukan sejak Januari-Juni 2005. Hasil.Terkumpul sebanyak 521 pasien yang mengalami 631 kali serangan terdiri dari Laki-laki 36,5 % dan Perempuan 63,5% dengan usia rerata 32,3 tahun. Sebagian besar mempunyai riwayat asma sebelumnya (87,7%) dengan faktor pencetus yang tercatat sebesar 15,8% , ISPA merupakan pencetus paling sering (70%) diikuti oleh paparan asap 18% dan udara dingin kurang dari 12%. Keeenderungan kunjungan serangan asma naik pada bulan Pebruari dan Juli. Kenaikan pada bulan Pebruari seiring dengan faktor cuaca meskipun secara statistik keseluruhan tidak bermakna hanya suhu udara menunjukkan korelasi negatif derajat sedang (r = -0,49; p> 0,05). Kecenderungan kenaikan serangan asma bulan Juli tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan polusi udara hanya terhadap 03 menunjukkan korelasi negatif derajat sedang (r = -0,50; p> 0,05). Simpulan. Kejadian serangan asma pada dewasa paling banyak adalah perempuan. Dari faktor pencetus yang tercatat terbanyak adalah ISPA, diikuti paparan asap dan udara dingin. Tingginya kunjungan serangan asma pada musim hujan tidak dipengaruhi polusi udara, tetapi kecenderungan seiring dengan faktor cuaca. Kunjungan serangan asma pads musim kemarau kecenderungannya seiring dengan polusi udara, meskipun dari uji statistik tidak bermakna hanya menunjukkan korelasi negatif seperti yang ditunjukkan oleh 03.
Background. Prevalence asthma increases for the last 30 years either in developed or developing countries. In Indonesia especially in Jakarta the condition of air pollution becomes worst. Peoples think that the air pollution affect to the health. Persons with asthma often having attack in cold air and rainy season. In Jakarta haven't got any data about the relation of air pollution and weather changing with asthma attack happened. Aims. To know relation between levels of air pollution (03, PMIO, S02, N02 and CO) and weather changes (Temperature, Humidity and Rainfall) with asthma attack in Jakarta. Methods. We perfomed registration of asthma attack in 5 emergency rooms in Jakarta to the patients who lives in Jakarta in age 14-50 years old. It is compared with the parameter of air pollution and weather change in a year (November 2002- October 2003). We observe the relation between air pollution and weather change with asthma attack. Results. During the study period, January - June 2005, there were 521 patients who got 631 attack, they were 36,5% men and 63,5% women, with the mean of age is 32,3 years old. Most of them have a history of asthma before (87,7%) with trigger factors only 15,8% recorded, most of them is upper respiratory tract infection ( 70%) followed by smoke exposed (18%) and cold air less than 12%. The trend visit of Asthma attack is increase in the month of February and July. The increases in February consecutive to the weather even though according to statistic is not significant, only air temperature showing negative corelation (r = -0.49; p> 0.05). The trend visit of asthma attack which increase in July doesn't show significant relation with air pollution only to the 03 showing the negative corelation with medium degrees (r = -0.50; p= > 0.05). Conclusions. Most of asthma attack in adult happened in women. Trigger factors are upper respiratrory tract infection, smoked exposed and cold air. The increasing of asthma attack in rainy season is not related to air pollution but the trend consecutive to the weather. The trend visit asthma attack in dry season consecutive to the air pollution especially to the 03 statistically is not significant, only negative relation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prasna Pramita
Abstrak :
Latar Belakang Prevalensi asma meningkat dalam 30 tahun terakhir dan bervariasi di berbagai negara, komunitas, etnis yang berbeda. Penelitian di Indonesia melaporkan prevalensi asma pada anak dan orang dewasa 6-7 %. identifikasi faktor-faktor risiko seperti faktor keturunan, atopi, urutan kelahiran dalam keluarga, rokok, hewan piaraan, gizi, pola makanan, obesitas dengan kejadian asma perlu untuk menjelaskan variasi tersebut. Sampai saat ini studi prevalensi asma dan identifikasi faktor risiko di daerah pantai dengan jumlah sampel yang besar belum pernah dilakukan di Indonesia. Tujuan Mencari faktor-faktor risiko asma pada anak sekolah usia 13 hingga 18 tahun di Kepulauan Seribu. Metodologi Uji potong lintang dilanjutkan dengan disain kasus kontrol bersarang. Pada responden dibagikan kuesioner yang dikelompokkan berdasar diagnosis asma, pernah asma dan bukan asma. Untuk kelompok asma dalam 12 bulan terakhir, pernah asma dan tidak asma (keiompok kontrol) dipilih secara acak untuk dilakukan uji tusuk kulitlskin prick test. Hasil Telah dilakukan di 15 sekolah (SD, SLTP, SLTA) yang tersebar di Kepulauan Seribu sebanyak 1505 responden terdiri atas 713 laki-laki dan 792 perempuan. Distribusi responden menurut jenis kelamin pada kasus asma dan kontrol tidak terdapat hubungan yang bermakna (IK 95%; 0,54-1,47, p=0,66). Hubungan orang tua menyandang asma dengan kejadian asma pada responden menunjukkan hubungan bermakna. Pada ayah (IK 95%; 6,09-59,9, p=0,001). Pada ibu (IK 95%; 1,23-7,95, p=4,001), Berdasarkan hasil uji tusuk kulit pada kelompok mengi dan kontrol menunjukkan hubungan yang bermakna (D. Pteronyssinus) dengan kejadian asma (p 0,0001). Sedangkan faktor risiko asma lainnya (urutan kelahiran dalam keluarga, rokok, hewan piaraan, dan obesitas) tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan kejadian asma. Simpulan PrevaIensi gejala asma pads anak usia 13 hingga 18 tahun di Kepulauan Seribu berdasarkan riwayat mengi = 11,8%, mengi 12 bulan terakhir = 5,4 %. Didapat hubungan bermakna pada orang tua menyandang asma terhadap kejadian asma pada anak. Hasil uji tusuk kulit (D. pteronyssinus) menunjukkan hubungan bermakna dengan kejadian asma.
Background The prevalence of asthma has been increasing in the last 30 years and varied among different countries, communities and ethnic groups. Study in Indonesia had reported that the prevalence of asthma in children and adults was 6-7%. Identification of risk factors, atopy, smoking, pet, nutrition, dietary pattern, obesity and incidence of asthma are necessary to explain the variation. Up to now, study on the prevalence of asthma and risk factors identification with big sample size in maritime region has never been conducted in Indonesia. Objectives The aim of the study is to determine risk factors of asthma in school children aged 13-18 years old in Kepulauan Seribu. Methods A cross sectional study continued by nested case control was conducted in Kepulauan Seribu in June 2005. All respondents have to fill out questionnaire forms and were grouped based on diagnosis of asthma, history of asthma and no asthma. For the asthma group in last 12 months, history of asthma and no asthma (control group) were selected randomly for skin prick test. Results Data was obtained from 1505 subjects in 15 schools (elementary school, junior high school, senior high school) consisted of 713 boys and 792 girls. The prevalence of asthma in adolescents aged 13 - 18 years old in Kepulauan Seribu based on symptom of wheezing (11.8%), wheezing in the last 12 months (5.4%). Distribution of respondents based on gender found no significant relation between asthma and control group (CI 95%; 0.54-1.47, p=4.66). Subjects with asthma associated significantly with their parents who also had asthma (fathers CI 95%; 6.09-59.9, p=0.04I and mothers CI 95%; 1.23-7.95, p=0.001). Based on skin prick test, we found there was significant relation between alergen (D. Pteronyssinus) with incidence of asthma (p=4.0001), while other risk factors (family size, smoking, obesity, pet) had not showed significant relation with asthma. Conclusions The prevalence of asthma in adolescent aged 13-18 years old in Kepulauan Seribu based on history of wheezing was 11.8%, while symptom of wheezing in 12 month was 5.4%. Subjects with asthma associated significantly with their parents who also had asthma. Skin prick test (D. pteronyssinus) had significant relation with incidence of asthma.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21415
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djabir Abudan
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T58816
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jimmy Tesiman
Abstrak :
Pendahuluan: Infeksi HIV menyerang pusat kontrol dari sistem imun yang mengakibatkan terjadinya infeksi oportunistik, keganasan dan kematian. Disregulasi dari sistem imun memegang peranan penting dalam progresifitas penyakit HIV. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pada pasien-pasien HIV mempunyai kecendrungan untuk menderita penyakit alergi seperti sinusitis, asma dan dermatitis atopik. Juga dilaporkan terjadinya peningkatan kadar serum imunoglobulin E dan peningkatan prevalensi atopi. Tujuan Penelitian: 1. Diketahuinya angka kejadian atopi pada pasien HIV dan non HIV. 2.Diketahuinya hubungan antara jenis kelamin, penggunaan obat intravena, riwayat alergi di keluarga dan jurnlah limfosit CD4 dengan kejadian atopi. 3. Diketahuinya korelasi antara jumlah limfosit CD4 dengan kadar IgE total Metode Penelitian: Dilakukan penelitian potong lintang terhadap 92 orang dengan infeksi HIV / AIDS dan 90 orang non HIV. Adanya atopi dinyatakan berdasarkan pemeriksaan uji tusuk kulit dengan menggunakan enam macam aeroalergen yang umurn di lingkungan. Terhadap pasien-pasien dengan HIV/AIDS yang sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan konfirmasi dengan ELISA 3 kali ataupun pemeriksaan Western Blot dilakukan pemeriksaan kadar imnuoglobulin E total, jumlah limfosit CD4 serta dilakukan pengambilan anamnesis. Hasil Penelitian: Dari sembilan puluh dua pasien dengan infeksi mv dan sembilan puluh orang non HIV yang diteliti, didapatkan terdiri atas 65 laki-laki (70.7%) dan 27 perempuan (29.3%) pada kelompok HIV, sedangkan pada kelompok non HIV terdiri atas 40 laki-laki (44.4%) dan 50 wanita ( 55.6%). Umur subjek penelitian berkisar antara 20 sampai dengan 55 tahun dengan rerata 29.325.7 tahun pada kelompok HIV, sedangkan rerata umur kelompok kontrol adalah 27.9 ± 4.5 tahun. Berdasarkan rute transmisi HIV didapatkan sebanyak 52 orang adalah pengguna obat-obatan intravena (56.5%), 35 orang melalui transmisi seksual (38%) sedang sisanya 5 orang (5.5%) mempunyai risiko keduanya. Jumlah limfosit CD4 berkisar 2 sampai 674 selluL dengan median 160 selluL. Kadar imunoglobulin E total berkisar dari 3 sampai dengan 20.000 IU/mL dengan median 283.5 ID/mL. Lima puluh orang dengan HIV dinyatakan atopi lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok non HIV (54.3% vs 30%, p= 0.001) Aeroalergen tersering yang menimbulkan sensitasi adalah D farinae sebanyak 50% dan D pteronyssinus (30%). Kami juga mendapatkan adanya korelasi negatif yang bermakna antara jumlah limfosit CD4 dengan kadar imunoglobulin E total. Kami tidak mendapatkan hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, rute transmisi, riwayat alergi di keluarga serta jumlahlimfosit CD4 dengan kejadian atopi. Kesimpulan: Terjadi peningkatan prevalensi atopi pada pasien-pasien dengan HIV/AIDS serta terdapat korelasi negatif yang bermakna antara jumlah limfosit CD4 dengan kadar imunogobulin E total. Oleh karena itu merupakan hal yang penting untuk melakukan evaluasi status atopi pasienHIV I AIDS untuk mencegah timbulnya penyakit alergi pada pasien terse but yang dapat mempercepat progresifitas penyakitnya melalui disregulasi dari sistem imun. ......Background: HIV infection attacks the centre of immune control system resulting opportunistic infection, malignancy and death. Dysregulation immune system plays the central role in the progression of the disease. Some studies have reported HIV -infected patient prone to have allergic disease such as sinusitis, asthma and atopic dermatitis. Elevated serum immunoglobulin E (Ig E) and increased prevalence of atopy also had been reported in HIV infected patient Objective: I.To determine and compare the prevalence of atopy among HIV infected/AIDS patient with non HIV patients and investigate its predictors. 2. To investigate the relationship between CD4 cell count, Ig E level and atopy Methods: A cross sectional method study was performed to 92 HIV infected/AIDS patient and 90 non HIV patients. They were studied for the presence of atopy based on the immediate hypersensitivity to six common aeroallergens by skin prick test. CD 4 cell count, total serum immunoglobulin level and medical history were taken. The HIV infected patients had been confirmed by the presence of antibody determined by ELISA method done three times or by western blot methods. Result: Ninety-two HIV infected patients and ninety non HIV patients had been studied, they were 65 males (70.7%) and 27 female (29.3%) in HIV arm and 40 males (44.4%), 50 females (55.6%) in non mv group. Subject's age between 20 to 55 years old. (mean: 29.3±5.7years) in HIV ann and 27.9 ± 4.5 years old in control group. Belonging to HIV route transmission: 52 intravenous drug users (56.5%), 35 heterosexual partners of HIV infected patients (38%) and 5 subjects who have both risks (5.5%). CD4 cell count of the subjects range from 2 to 674 cells, median 160 cellslmm3 . The total of immunoglobulin E level range from 3 to 20,000 IU/mL with median 283.5 IU/mL. 50 subjects with HIV + were identified as atopic higher than in non HIV (54.3% vs 30%, p= 0.001). The most common aeroallergen is D farinae (50% subjects of atopy shown positive result) and D pteronyssinus (30%). We also found a significant negative correlation between CD4 count and Total immunoglobulin E level (r= -0.544, p=O.OOO), but there is no relationship between gender, allergic history in family, route of transmission, and CD4 count with atopy. Conclusion: There is an increase prevalence of atopy among HIV I AIDS patients and negative correlationship between CD4 count and total Imunnoglobulin E level. It is important to evaluate the atopic state in HIV patient to prevent the patients from allergic diseases which could accelerate HIV infection by dysregulation of immune system.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T57662
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukamto
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T58800
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prasna Pramita
Abstrak :
Latar Belakang: Cutaneous Adverse Drug Reaction (CADR) dapat memengaruhi tatalaksana infeksi TB. Hal ini berdampak pada bukan hanya morbiditas dan mortalitas tapi juga resistensi kuman. Untuk itu, proporsi CADR dan faktor-faktor yang berhubungan pada penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) perlu ditentukan demi tatalaksana pasien yang komprehensif. Tujuan: Mengetahui gambaran kejadian CADR terkait pemberian OAT dalam bentuk proporsi, analisis peran faktor pejamu yang berkaitan dengan kejadian tersebut, dan OAT yang paling sering menimbulkan CADR. Metode: Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif dengan menggunakan rekam medik pasien Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo selama 1 Januari 2014 hingga 30 Juni 2015. Sampel diperoleh dengan metode konsekutif yang diseleksi berdasarkan kriteria penelitian. Data kemudian dianalisis untuk menilai hubungan antara CADR dengan usia, jenis kelamin, status HIV, status gizi, dan riwayatmlkojuujhjh Adverse Drug Reaction (ADR). Hasil: Proporsi CADR pada pemberian OAT mencapai angka 5,5%. Dari kelima variabel independen, variabel usia (RR=6,510; IK95% 2,036-20,819 p=0,008) dan riwayat ADR (RR=5,174; IK95% 1,500-17,838; p=0,009) berpengaruh terhadap kejadian CADR. OAT yang paling sering menyebabkan kejadian CADR adalah rifampisin. Analisis Cochran Mantel-Haenszel menunjukkan bahwa risiko relatif terjadinya CADR untuk faktor usia adalah 7,267 (IK95% 2,093-25,235 p <0,001) dan risiko relatif terjadinya CADR untuk faktor riwayat ADR adalah 5,880 (IK95% 1,552-22,273 p=0,003). Simpulan: Proporsi kejadian CADR setelah pemberian OAT adalah 5,5%. Variabel usia dan riwayat ADR bermakna secara statistik dan klinis terhadap kejadian CADR. Rifampisin adalah OAT tersering yang menimbulkan CADR. ......Background: Cutaneous Adverse Drug Reaction (CADR) affected the therapy of TB, which impacted not only its morbidity and mortality but also its resistance. Therefore, the incidence of CADR and the factors associated during the administration of Anti Tuberculosis Drugs (ATDs) needed to be determined in order to achieve comprehensive treatment. Objective: To know CADR events on ATD administration by finding the incidence, analyzing the host factors associated with those events, and searching the most common ATD that caused CADR. Methods: This study used retrospective cohort by accessing medical record registered in Cipto Mangunkusumo Hospital from January 1st 2014 until June 30th 2015. Samples were collected consecutively, selected by certain criteria. The data were then analyzed to determine the association between CADR and age, sex, HIV infection, nutritional status, and history of Adverse Drug Reaction (ADR). Results: The incidence of CADR after the administration of ATD was 5.5%. Among the five variables, age (RR=6.510; 95%CI 2.036-20.819, p=0.008) and past history of ADR (RR=5.174; 95%CI 1.500-17.838; p=0.009) were statistically and clinically correlated to CADR. The most frequent drug that triggered CADR was rifampicin. Cochran Mantel-Haenszel showed that the relative risk of CADR according to age was 7,267 (IK95% 2,093-25,235 p <0,001), while the relative risk according to the past history of ADR was 5,880 (IK95% 1,552-22,273 p=0,003). Conclusions: The incidence of CADR after ATDs administration was 5.5%. Age and past history of ADR were significantly associated with CADR. The most common ATD causing CADR was rifampicin.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library