Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irwin Rizaldi
"ABSTRAK
Kepadatan kendaraan bermotor semakin lama semakin dikeluhkan oleh warga
Jakarta karena waktu tempuh untuk mencapai tujuan menjadi semakin lama. Target
pemerintah DKI Jakarta untuk membangun sistem transportasi massal saat ini sedang
dilaksanakan. Salah satu sistem yang dibangun oleh pemerintah DKI Jakarta adalah MRT
(Mass Rapid Transit) berbasis rel. Pembangunan MRT akan memberi dampak terhadap
ruang kota yang dilintasinya. Sebagaimana yang ditunjukkan dari preseden berbagai
kota di dunia, pemerintah DKI juga berharap MRT akan mendorong konsep
pengembangan Transit-Oriented Development (TOD).
Actant dalam teori sastra adalah orang atau makhluk atau benda yang bermain
dalam satu set peran aktif dalam suatu narasi.. Dalam konteks dunia maya, actant dapat
dikaitkan dengan keberadaan teknologi internet yang dapat memproduksi ruang,
mempermudah aktivitas manusia, membantu manusia bekerja jarak jauh,
mengendalikan pergerakan orang dan barang dan meningkatkan nilai ekonomi ruang.
Dalam hal ini aktan bergerak untuk memproduksi hal-hal tersebut. Selain teknologi
internet, dimensi sosial juga berpengaruh terhadap ruang kota dengan manusia sebagai
pelakunya. Kedua elemen, yaitu aktan dan dimensi sosial akan menjadi penggerak
perubahan ruang kota pasca pembangunan MRT. Tujuannya untuk mencapai konsep
TOD yang mendorong kepadatan secara proporsional, fungsi yang bercampur, sirkulasi
dan ruang publik yang berorientasi kepada pejalan kaki, dan peningkatan kualitas
lingkungan hijau.

ABSTRACT
The number of vehicles has been increasing rapidly. This caused Jakarta citizen
takes a longer time to reach their destination due to the high traffic. The Government of
DKI Jakarta is developing mass transportation systems which is currently being
implemented. One of them is MRT (Mass Rapid Transit) rail-based that could impact the
cities that would be passed-through. Like many other cities in the world, the
government believe that MRT would eventually grow into the development of Transit-
Oriented Development (TOD) as well.
Actant is person or creature or object that have an active role in narrative. In
cyberspace, the movement of actant can be related with the presence of internet
technology to create space, accommodate human activities, support people to work
remotely, control the movement of people and goods, and enhance the economic value
of space. Besides of Internet technology, social dimensions influence the urban space
with humans as actor as well. Both actant and social dimension will be the ?agent of
change? in the urban space after the final phase of MRT development. The aim is to
achieve TOD concepts which lead to the proportional density of citizen, mixed functions,
the pedestrians-oriented circulation and public spaces, and the improvement of
environmental quality issues."
2016
T49679
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olla Varalintya Yochanan
"Generasi milenial Indonesia (usia antara 21 hingga 35 tahun) memiliki karakter yang berbeda dengan generasi lainnya. Oleh karena itu, pengembang memandang perlu adanya sebuah konsep penawaran produk hunian terbaru dan dapat menjawab segala kebutuhan mereka, yang sebelumnya belum mampu terpenuhi. Hal ini dipandang sebagai sebuah kesempatan menguntungkan bagi para pengembang untuk menciptakan sebuah tipe properti baru yang sesuai dengan karakter milenial. Konsep hunian co-living merupakan penawaran tepat yang bertujuan untuk memenuhi keinginan milenial. Akan tetapi, isu ketidakseimbangan antara harga unit co-living dengan daya beli milenial Indonesia menjadi sebuah permasalahan. Sehingga pengembang perlu menciptakan beberapa strategi untuk mewujudkan co-living yang menguntungkan dan dapat memfasilitasi kebutuhan milenial Indonesia.
Tantangan bagi para developer adalah bagaimana cara menciptakan dan menjual sebuah proyek co-living yang layak dan berkualitas kepada mereka yang membutuhkan fasilitas hunian yang lebih baik lagi, terutama bagi mereka yang memiliki kondisi finansial yang tidak stabil. Hasil riset menunjukan bahwa disamping price (harga) sebagai purchasing determinant factor, milenial Indonesia juga mementingkan experience (pengalaman) dan utility (ketersediaan fasilitas yang fungsional). Mereka juga lebih tertarik dengan tipe hunian exciting yang sesuai dengan lifestyle milenial. Oleh karena itu, pengembang dapat mengurangi resiko kerugian atau kegagalan dalam mengembagkan proyek co-living dengan strategi branding kuat sebagai transformative co-living space, tidak memfokuskan pemasukan hanya dari penjualan unit saja, namun juga melalui penjualan co-working space, virtual office, dan area komersil. Sedangkan strategi terakhir adalah dengan pengembangan diberbagai area (urban, suburban, rural).

Today’s Indonesian millennials (age between 21 to 35 years) possess distinct characteristics which differ them from the other generations. Thus, the current offered housing in the market that fulfils the older generation does not fully satisfy the millennials. This was rather seen as a profitable opportunity by the developers to create a new type of living arrangement that is made to suit the millennials. Thus, living arrangements such as co-living begin to expand and target to fulfil millennials’ desires. However, with the imbalance between co-living space prices and millennials’ purchasing power, developers need to create strategies to create a profitable and facilitating co-living development for Indonesian millennials.
The challenge lies in how to create and sell a feasible and high quality co-living project to those who have extra needs but are rather financially unstable. The preliminary results show that Indonesian millennials put an importance on experience and utility (availability of the functional facilities) beside price as a purchasing determinant factor. They are also interested in a more exciting type of dwelling that is up to their lifestyle’s pace. Thus, developers can lessen the risks of their co-living project’s financial loss through strong branding as a transformative co-living space, de-emphasizing focus on unit sales through additional income sources from co-working space, virtual office, and commercial space, and developing in various areas (urban, suburban, rural).
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
T47670
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Nabilla Putri
"ABSTRAK
Keberadaan Pusat Kesenian Jakarta - Taman Ismail Marzuki PKJ-TIM merupakan respon terhadap kebutuhan seniman akan ruang berekspresi. Didirikan oleh Ali Sadikin pada tahun 1968, Taman Ismail Marzuki dilengkapi dengan berbagai fasilitas sehingga dapat menampung berbagai kegiatan kesenian. Pada tahun 1970-1990an, menampilkan karya di taman Taman Ismail Marzuki menjadi patokan sukses bagi seniman-seniman, bukan hanya seniman yang berbasis di Jakarta, tetapi juga seniman Indonesia. Selanjutnya dibangun pula Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta LPKJ sebagai tempat untuk belajar dan mengembangkan kesenian, yang pada tahun 1985 berubah nama menjadi Institut Kesenian Jakarta IKJ .Dua institusi kesenian ini terletak di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Akan tetapi, adanya Pusat Kesenian ini tidak menjadikan kawasan Cikini berciri atau memiliki karakter seni. Fungsi-fungsi bangunan berdiri di sepanjang jalan utama Cikini Raya-Pegangsaan Timur dan Teuku Cik Ditiro tanpa menyokong keberadaan satu sama lain. Hal ini salah satunya dikarenakan oleh kurangnya ruang diluar TIM dan IKJ yang menampung kegiatan pelaku seni, khususnya pelajar IKJ. Kolaborasi berbagai elemen, ruang publik dan artspace dengan melibatkan pihak IKJ merupakan bentuk intervensi di kawasan Cikini untuk meningkatkan kualitas pengalaman ruang di Cikini dan menjadikan kawasan ini sebagai lingkungan slow-paced. Menerjemahkan proses koreografi sebagai metode perancangannya, kawasan Cikini kemudian didesain ulang menjadi Kawasan Seni untuk Jakarta.

ABSTRACT
The existence of Jakarta Arts Center Taman Ismail Marzuki PKJ TIM is a response to the needs of Indonesian artists rsquo for a space of expression. Built during Ali Sadikin era in 1968, Taman Ismail Marzuki is equipped with facilities to accommodate numerous arts activities. In 1970 1990s, performing works in Taman Ismail Marzuki became a successful benchmark for artists, not only for Jakarta based artists, but also nation wide artists. Furthermore, the Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta LPKJ was established as a place to learn and develop the arts, which in 1985 changed its name to the Jakarta Art Institute IKJ . These two arts institutions are located in Cikini area, Central Jakarta. However, the existence of the Art Center does not affect the area, character wise. Many buildings with various functions stand along the main roads Cikini Raya Pegangsaan Timur and Teuku Cik Ditiro without supporting each other. One of the reasons is the absence of spaces outside TIM and IKJ that could accommodate the activities of artists, especially students of IKJ. Collaborating and exploring elements of public space and art space through IKJ involvement is then a form of intervention in Cikini to improve the quality of experiencing space and become a slow paced neighborhood. Translating the process of choreography as the design method, Cikini area is then redesigned to be an Art District for Jakarta."
2017
T49359
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library