Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wahyudi Priyono Suwarso
Abstrak :
Semi-sintesis vanili dari eugenol dapat dibagi dalam 2 tahap reaksi, yaitu pertama reaksi isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol, dan kedua, reaksi oksidasi terhadap produk reaksi isomerisasi menjadi produk reaksi yang diinginkan, yaitu vanili. Pada penelitian ini, reaksi isomerisasi dari eugenol menjadi isoeugenol atau dari eugenil asetat menjadi isoeugenil asetat dilakukan melalui reaksi berikut ini: (1) Reaksi penataan ulang sigmatropik hydrogen (1,3) secara termal, yaitu dengan melakukan pemanasan langsung eugenol atau eugenil asetat pada suhu 2200 C selama 8 jam dapat menghasilkan isoeugenol sebanyak 52,2 % dan isoeugenil asetat sebanyak 65,7 % (kedua rendemen tersebut ditentukan dengan menggunakan spectrometer NMR), dimana dalam hal ini produk yang dihasilkan berupa cairan kental berwarna kuning-kecoklartan masih berupa campuran antara zat awal dan produk reaksi isomerisasi yang sulit untuk dipisahkan. (2) Reaksi penataan ulang prototropik (1,3) yang dikatalisis oleh katalis transfer fase (PTC): (18)-crown ether-6 terhadap eugenol yang dilakukan pada suhu kamar, akan dihasilkan isoeugenol yang berwarna kuning muda sebanyak 71,4 %, juga masih berupa campuran antara zat awal dengan produk reaksi isomerisasi yang sulit untuk dipisahkan. Tanpa perlakuan pemisahan lebih lanjut antara zat awal (eugenol atau eugenil asetat) dan produk reaksi (isoeugenol atau isoeugenil asetat), maka terhadap campuran produk reaksi isomerisasi tersebut dilakukan reaksi oksidasi dengan menggunakan larutan KMnO4 , sebagai oksidator, pada kondisi netral yang dikatalisis oleh katalis transfer fase (PTC): (18)-crown ether-6 pada suhu kamar selama 3 jam. Dari reaksi oksidasi tersebut dapat diperoleh vanili sebanyak 16,5 ? 22,9 % (dihitung dari zat awal reaksi: eugenol atau eugenil asetat). Data spektroskopi vanili hasil sintesis, tidak jauh berbeda dengan data spektroskopi vanili alam.
Semi-synthesis of vanillin from eugenol can be divided into two step reactions namely, isomerization of eugenol into isoeugenol, and cleavage oxidation of isomerization product into expected reaction product (vanillin). In this work isomerization of eugenol or eugenyl acetate into isoeugenol or isoeugenyl acetate has been done via the following reactions: (1) Sigmatropic hydrogen (1,3) thermalic rearrangement reaction: direct heating of eugenol or eugenyl acetate at 220oC for 8 hours can produce 52.2% of isoeugenol or 65.7% of isoeugenyl acetate (both chemical yields are measured by means nmr-spectrometer), where products are viscose yellow-brownish liquid as mixture of unseparated starting material and isomerization product. (2) Prototropic (1,3) rearrangement catalyzed by phase transfer catalyst (PTC): (18)-crown ether-6 at room temperature can be afforded 71.4% of isoeugenol as light yellow liquid (mixture of unseparated starting material and isomerization product). Without any separation of mixture between isomerization product and starting material followed by subsequent cleavage oxidation using KMnO4 as oxidator in neutral condition catalyzed by phase transfer catalyst: (18)- crown ether-6 at room temperature for 3 hours can be yielded 16.5-22.9% of vanillin (from the starting material; eugenol or eugenyl acetate). The spectroscopical data of synthetical vanillin is not rather different with the spectroscopical data of authentical natural vanillin.
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2002
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Santoso Tanuwibowo
Abstrak :
ABSTRAK


Usaha radio di Indonesia kurun waktu 5 tahun terakhir ini dalam keadaan stagnan karena berbagai faktor, di antaranya : pembatasan kekuatan daya pancar, dan maraknya usaha pertelevisian nasional. Meski demikian usaha radio di masa mendatang tetap mempunyai potensi yang besar, apalagi bila dibarengi dengan deregulasi.

Radio Sonora saat ini merupakan pemimpin pasar usaha radio swasta di Indonesia, setidaknya bila dilihat dari penghasilan dan kemampulabaannya. Sampai sejauh ini Sonora tetap dapat bertumbuh baik, sehingga posisinya semakin mantap dan sekaligus mampu bertahan menghadapi gelombang investasi usaha televisi yang semakin gencar.

Keberhasilan Sonora ini setidaknya membuktikan bahwa bila usaha radio dikelola secara baik, jeli membidik pasar, dan menggunakan pendekatan strategi bersaing yang tepat, usaha ini masih bisa tumbuh baik di tengah persaingan yang semakin ketat. Meski demikian, di masa mendatang peran pemerintah di dalam menciptakan kondisi usaha yang kondusif jelas amatlah penting. Berbagai deregulasi seperti peninjauan kembali pembatasan daya pancar dan perpanjangan waktu siaran, akan berdampak positif bagi radio swasta nasional di masa mendatang.

Dengan deregulasi - diharapkan dapat dilaksanakan dalam waktu dekat - radio swasta akan mampu memperkuat diri menghadapi kemungkinan masuknya media asing ke Indonesia, makin merebaknya televisi dan media cetak, serta makin meningkatnya kegiatan pembangunan. Dengan deregulasi sejak awal, maka radio swasta mempunyai waktu cukup leluasa untuk lebih menyiapkan diri menghadapi persaingan.

Sementara itu, bagi Sonora sendiri - yang berada dalam posisi puncak dan didukung grup usaha yang kuat dan sinergis - saat ini merupakan waktu yang tepat untuk mengkaji dan mengejawantahkan strategi bersaing dan pengembangan usahanya secara lebih konsisten dan agresif. Pilihan strategi bersaing Sonora - yang secara terselubung menerapkan strategi diferensiasi fokus - sudah tepat, tinggal disempurnakan dan dilaksanakan secara lebih konsisten dan terencana, dengan dukungan paket acara yang lebih bervariasi, dan inovatif. Paket acara yang terlalu baku - baik substansi maupun durasi - akan kurang menarik calon pendengar baru.

Hal lain yang tak kalah penting dan mendesak adalah keharusan bagi Sonora untuk lebih agresif melakukan pengembangan usaha. Pengembangan usaha yang disarankan adalah dengan mendirikan radio baru di luar Jakarta (strategi pengembangan pasar) atau mendirikan radio yang berbeda segmen (strategi pengembangan produk), baik dilakukan sendiri, ketja sama, atau melakukan akuisisi terhadap radio yang sakit. Dengan cara ini posisi bersaing Sonora akan semakin kuat.

1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herlinda
Abstrak :
Pemulung adalah pekerja yang memilah sampah yang masih bernilai guna untuk didaur ulang. Sepanjang hari pemulung bekerja dengan sampah sehingga membuat mereka mempunyai risiko kesehatan dan keselamatan kerja yang tinggi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko kesehatan dan keselamatan yang terjadi adalah dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD). Kesadaran dan keyakinan pemulung untuk mau menggunakan APD dibangun oleh pengetahuan dan pengalaman mereka yang menjadikan mereka memiliki persepsi sendiri terhadap risiko kesehatan dan keselamatan kerja yang ada. Health Belif Model (HBM) digunakan untuk menjelaskan persepsi pemulung terhadap risiko kesehatan dan keselamatan kerja tersebut. Dengan mengetahui persepsi pemulung terhadap risiko kesehatan dan keselamatan kerja dikaitkan dengan penggunaan APD, maka akan diperoleh alasan utama mengapa selama ini pemulung tidak menggunakan APD selama bekerja. Dengan diketahui alasan utama ini, maka akan dapat dijadikan dasar pengembangan program peningkatan daerajat kesehatan dan keselamatan pemulung sesuai kebutuhan mereka. ......Scavengers are workers who collect and sort solid waste that has value as recyclable materials. Scavengers who work all-day long with waste face high risks related to occupational health and safety. One of the efforts that could be carried out to reduce their health and safety risks is by using Personal Protective Equipment (PPE). The awareness and conviction by scavengers to want to use PPE are based on their knowledge and experience and personal perception towards the risk of occupational health and safety. The Health Belief Model (HBM) will be used to explain scavengers‟ perceptions of their health and safety risks. By understanding the perception of scavengers towards the risk of occupational health and safety linked to PPE use, we will know the main reasons why scavengers do not use PPE while working. Based on this awareness, a foundation will be established for the development of programs to improve the health and safety of scavengers in accordance with their needs.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
T28451
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library