Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rifai Nur
Abstrak :
ABSTRAK
Pasca Perang Kemerdekaan Indonesia terjadi suatu perubahan pemerintahan daerah yang diberi hak otonom. Pada masa Perang Kemerdekaan dengan pemerintahan NIT otonomi daerah di Sulawesi Selatan dilaksanakan dalam konteks negara federasi, sedangkan pasca revolusi otonomi daerah dilaksanakan dalam konteks negara kesatuan.

Studi otonomi daerah difokuskan pada hambatan-hambatan yang menyebabkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang otonom terkendala. Suasana kebebasan daerah disatu sisi dan kontrol serta pengendalian pusat di sisi lain, begitupula dengan struktur sosial berhadapan dengan struktur pemerintah. Kemudian, kelompok unitaris pada satu sisi dan di sisi lain kelompok federalis, saling berinterasi bekerjasama dan terkadang pula bersaing dengan wadah kepentingan, etnik dan idiologi.

Metodologi penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan pendekatan strukturis. Tipe eksplanatif dengan konteks penelitian transisi. Pengumpulan data menggunakan dokumen arsip, dokumen media cetak dan wawancara.

Temuan-temuan yang diperoleh dari studi ini diuraikan berikut. Pertama, pemerintah Sulawesi Selaian dan daerah-daerah di Sulawesi Selatan memiliki kebebasan yang terbalas dalam berkreasi, merencanakan, mengambil keputusan, melaksanakan keputusan itu. Kebebasan yang terbatas itu dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Kedua, pemerintah Sulawesi Selatan memperoleh 7 urusan sebagai hak otonominya disamping hak dasar yang telah dimiliki. Otonomi diletakkan pada 3 level, yaitu Sulawesi Selatan, Swatantra/Swapraja dan desa. Pada level ketiga hanya bersifat uji coba, kemudian setelah berlangsung beberapa tahun lalu dicabut dan dihentikan. Ketiga, Pemerintahan daerah pada level swapraja dijalankan berdasarkan tradisi yang mengandung azas demokrasi. Swapraja mewarisi tradisi pemerintahan dalam konteks federasi faliti dan monarki kostitusi. Undang-Undang sebagai dasar penyelenggaraan negara disusun berdasarkan perjanjian antara raja dan wakil-wakil dari paliti (negara bagian). Di dalamnya diatur masalah hak-kewajiban yang didasarkan pada perpaduan antara konsep to manurung dan ajaran Islam.

Keempat, kendala-kendala yang menghambat penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan pembangunan saling berkait satu sama lain. Kendala-kendala itu adalah belum adanya persepsi yang sama diantara penyelenggara negara, swapraja dan ajjoareng sebagai pusat kekuasaan dan panutan pengaruhnya tak tergantikan, dominasi pemerintahan militer atas sipil, sentralisasi pengelolaan perdagangan kopra, sentralisasi pengelolaan pajak, dan eskalasi politik yang tinggi.

Seeara teoritis, Studi ini menunjukkan relevansi terhadap beberapa teori yang digunakan dan mengkonstruksi teori baru tentang demokrasi di daerah masyarakat Sulawesi Selatan. Hak, kewajiban dan kebebasan individu, kelompok, swasta dan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, mempunyai relevansi dengan teori yang dikemukakan oleh Arthur Mass, Sarundajang dan Ndraha. Teori yang dikemukakan oleh Huntington, Mohtar Mas?oed dan Maswadi Rauf tentang keampuhan gagasan tentang kemajuan (the idea of progress). Kemajuan yang diyakini akan mendorong munculnya demokrasi. Syaratnya adalah pengembangan kekuatan masyarakat, terutama melalui pembentukan sistem kepartaian yang bertanggung jawab kepada rakyat. Kemudian kebebasan individu dan kelompok serta daerah untuk mengembangkan kemajuan dalam rangka kemandirian rnenunjukkan relevansinya. Parsons dan Geertz kebudayaan sebagai sistem simbol-simbol. Dengan sistem itu, manusia memberi makna pada pengalamannya sendiri. Pada taraf tertentu, hal ini sesungguhnya menyangkut semua negara baru, yang ccnderung menjadi tumpukau tradisi-tradisi yang bersaing yang kebetulan terkumpul menjadi kerangka-kerangka kerja politis yang lebih direka daripada secara organis memeperkembangkan peradaban- peradaban, teori nilai budaya ini relevan dengan nilai budaya darah putih dan darah merah masyarakat Sulawesi Selatan. Kemudian hubungan patronase masyarakat Bugis Makassar dalam ajjoareng-joa sangat relevan untuk memahami pola hubungan masyarakat Bugis-Makassar. Keempat, Teori hubungan patronase .T.C. Scott. Suntherland dan Darmawan Rahman Mas?0d dalam pendekatan sejarah conflict and accomodation dalam memahami konflik dan integrasi kelompok-kelompok kepentingan, budaya, sosial dan politik yang saling berhadapan tetapi juga saling bersama-sama relevan. Juga konstruksi teori demokrasi melihat bagaiman tradisi- tradisi berisi azas demokrasi. Orang-orang Bugis Makassar menjalankan demokrasi sebagai tradisi di dalam pemerintahan dan sosial dapat dilihat dalam: (1) sistem perwakilan dan pemuusyawaratan dalam pengambilan keputusan (2) keputusan yang tertinggal berada di tangan rakyat. Keputusan Raja dapat dibatalkan oleh dewan adat, keputusan dewan adat dapat dibatalkan oleh lembaga yang lebih rendah yakni anang/tokoh-tokoh masyarakat, dan keputusan tokoh-tokoh masyarakat dapat dibatalkan oleh rakyat. Kedua, Di dalam tradisi pemerintahan dan sosial orang Bugis- Makassar kelompok lemah selalu diberi perlindungan bahkan di Luwu diberi kursi di dalam parlemen. Ketiga, orang-orang Bugis-makassar harus bersifat jujur, benar, adil dan berani di dalam memimpin dan kehidupan keseharian. Keempat, orang-orang Bugis-Makassar harus saling siporanmu, merasa saling membutuhkan dan saling memberi manfaat meskipun yang bersangkutan memiliki sejumlah keterbatasan. Jadi orang Bugis-makassar selalu menghargai orang lain.
2007
D1657
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulasman
Abstrak :
ABSTRAK
Revolusi di Sukabumi tidak bisa dipisahkan dari revolusi Indonesia, karena revolusi di tingkat lokal merupakan bagian integral dan revolusi nasional. Untuk menjelaskan revolusi di Sukabumi, maka diajukan beberapa perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi faktor pendorong terjadinya revolusi di Sukabumi?
2. Bagaimana proses terjadinya revolusi di Sukabumi?
3. Bagaimana peranan kyai dan pesantren dalam revolusi di Sukabumi?

Berdasarkan perspektif sosiologis, gerakan revolusi di Sukabumi 1942-1946 dapat dikategorikan sebagai aksi sosial. Gerakan yang terjadi di Sukabumi dapat dikategorikan pada collective action. Hal ini terlihat dari tahap-tahap gerakan-gerakan yang dilakukan kelompok islam, sosialis, komunis, nasionalis, apakah mereka itu pemuda, kaum biokrat, tokoh agama, tentara dari Resimen II TKR Sukabumi, maupun masyarakat yang tergabung dalam kelasykaran, merupakan aksi kolektif, dimana kepentingan bersama merupakan tujuan tidak terpisahkan dari gerakan perlawanan.

Sudi ini digunakan metodologi dan endekatan strukturis dari Christoper Lioyd, yang merupakan gabungan antara deskripsi dan analisis.

Ruang lingkup penelitian disertasi ini adalah daerah Sukabumi masa revolusi pada tahun 1945 sampai dengan 1946. Wilayah yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah kabupaten dan kotamadya Sukabumi. Dalam lingkup tersebut yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian ini tidak hanya mengenai suatu peristiwa tertentu, melainkan melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah itu dan perkembangan beberapa aspek kehidupan dalam masyarakat sejak pasca proklamasi kemerdekaan sampai dengan peristiwa penghadangan terhadap konvoi pasukan Sekutu. Penelitian ini bertujuan rekonstruksi dan explanasi peristiwa secara komprehensif dan holistik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam perumusan masalah.
2007
D1852
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setia Gumilar
Abstrak :
[ABSTRAK
Dalam perjuangannya di Kabupaten Garut, posisi ulama mempunyai peran yang signifikan. Hampir setiap masa atau periode sejarah, ulama di Garut berkiprah dalam berbagai aspek kehidupan, terutama bidang agama. Pada masa orde baru, ulama di Garut diposisikan oleh pemerintah untuk senantiasa berada dalam jalur yang sebenarnya, yaitu aspek keagamaan. Tetapi seiring dengan perubahan masa, ulama di Garut berusaha kembali menunjukkan jati dirinya dalam posisi yang tidak hanya terbatas pada aspek agama, tetapi juga pada aspek politik. Oleh karena itu telah terjadi pergeseran gerakan ulama di Garut pada kurun waktu 1998-2007. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa ulama di Garut pada periode 1998-2007 tidak hanya berkemampuan dalam bidang keagamaan semata, tetapi ulama mempunyai kemampuan dalam bidang politik. Adapun metode yang digunakan adalah metode sejarah, yang meliputi 4 tahapan, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiograpi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada periode sebelumnya (Orba) ulama kecenderungannya hanya bergerak dalam koridor keagamaan. Pada kurun waktu 1998-2007 gerakan ulama merambah pada aspek lain, diantaranya politik. Gerakan politik ulama pada kurun waktu ini diantaranya berusaha untuk menyatukan kembali keberadaannya yang dipahami telah mengalami kerenggangan akibat pertarungan politik nasional. BKUI menjadi media untuk menyatukan kembali posisi ulama. Kemudian, gerakan politik ulama di Garut berusaha untuk menjadikan syari?at Islam sebagai landasan berperilaku di kabupaten Garut. LP3SyI menjadi media untuk upaya tersebut. Gerakan lain adalah gerakan anti korupsi dengan diwujudkan dalam keseriusanya memberikan masukan dan koreksi terhadap APBD baik dalam proses perencaaan ataupun pelaksanaannya.;
ABSTRACT
The change that occurs in Garut Regency has positioned Islamic scholars to have a significant role in various aspect of lives, especially in religious affairs, almost in every age or period of Islamic scholar?s history. On new order era, Islamic scholars in Garut were positioned by Government to be in the right tract, namely religious aspect. However, along with the changing period, Islamic scholars in Garut have attempted to reposition their identity, which is not only limited to religious but also in political aspect. This shows that there has happened a movement shift of the Islamic scholars in Garut in the period of 1998- 2007. The research is to verify that Ulama in Garut starting from 1998-2007 are not only capable of operating reilgious affairs but political affairs as well. The method of this research employed historical method consisting of Heuristic, critical, interpretation, anf historiography stages. The findings showed that in the previous period (New order era), Islamic scholars tended to only move in religious corridor. Meanwhile, in the period of 1998-2007, Islamic scholars? movement reached other aspects, such as politic. In this period, through BKUI (a uniting media for Islamic scholars? position), Islamic scholars? movements were aimed to reunite their position which was considered as experiencing a gap as a result of national political chaos. Then, Islamic scholars? movement in Garut attempted to create syari‟at Islam (Islamic Law) as behavior base in Garut regency through media called as LP3SyI. Other movement is anti corruption action by seriously providing inputs and feedbacks to APBD (Regional Budgeting) both in the planning process and the implementation.;The change that occurs in Garut Regency has positioned Islamic scholars to have a significant role in various aspect of lives, especially in religious affairs, almost in every age or period of Islamic scholar?s history. On new order era, Islamic scholars in Garut were positioned by Government to be in the right tract, namely religious aspect. However, along with the changing period, Islamic scholars in Garut have attempted to reposition their identity, which is not only limited to religious but also in political aspect. This shows that there has happened a movement shift of the Islamic scholars in Garut in the period of 1998- 2007. The research is to verify that Ulama in Garut starting from 1998-2007 are not only capable of operating reilgious affairs but political affairs as well. The method of this research employed historical method consisting of Heuristic, critical, interpretation, anf historiography stages. The findings showed that in the previous period (New order era), Islamic scholars tended to only move in religious corridor. Meanwhile, in the period of 1998-2007, Islamic scholars? movement reached other aspects, such as politic. In this period, through BKUI (a uniting media for Islamic scholars? position), Islamic scholars? movements were aimed to reunite their position which was considered as experiencing a gap as a result of national political chaos. Then, Islamic scholars? movement in Garut attempted to create syari‟at Islam (Islamic Law) as behavior base in Garut regency through media called as LP3SyI. Other movement is anti corruption action by seriously providing inputs and feedbacks to APBD (Regional Budgeting) both in the planning process and the implementation., The change that occurs in Garut Regency has positioned Islamic scholars to have a significant role in various aspect of lives, especially in religious affairs, almost in every age or period of Islamic scholar‘s history. On new order era, Islamic scholars in Garut were positioned by Government to be in the right tract, namely religious aspect. However, along with the changing period, Islamic scholars in Garut have attempted to reposition their identity, which is not only limited to religious but also in political aspect. This shows that there has happened a movement shift of the Islamic scholars in Garut in the period of 1998- 2007. The research is to verify that Ulama in Garut starting from 1998-2007 are not only capable of operating reilgious affairs but political affairs as well. The method of this research employed historical method consisting of Heuristic, critical, interpretation, anf historiography stages. The findings showed that in the previous period (New order era), Islamic scholars tended to only move in religious corridor. Meanwhile, in the period of 1998-2007, Islamic scholars‘ movement reached other aspects, such as politic. In this period, through BKUI (a uniting media for Islamic scholars‘ position), Islamic scholars‘ movements were aimed to reunite their position which was considered as experiencing a gap as a result of national political chaos. Then, Islamic scholars‘ movement in Garut attempted to create syari‟at Islam (Islamic Law) as behavior base in Garut regency through media called as LP3SyI. Other movement is anti corruption action by seriously providing inputs and feedbacks to APBD (Regional Budgeting) both in the planning process and the implementation.]
2015
D2095
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulasman
Abstrak :
ABSTRAK
Revolusi di Sukabumi tidak bisa dipisahkan dari revolusi Indonesia, karena revolusi di tingkat lokal merupakan bagian integral dan revolusi nasional. Untuk menjelaskan revolusi di Sukabumi, maka diajukan beberapa perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi faktor pendorong terjadinya revolusi di Sukabumi?
2. Bagaimana proses terjadinya revolusi di Sukabumi?
3. Bagaimana peranan kyai dan pesantren dalam revolusi di Sukabumi?

Berdasarkan perspektif sosiologis, gerakan revolusi di Sukabumi 1942-1946 dapat dikategorikan sebagai aksi sosial. Gerakan yang terjadi di Sukabumi dapat dikategorikan pada collective action. Hal ini terlihat dari tahap-tahap gerakan-gerakan yang dilakukan kelompok islam, sosialis, komunis, nasionalis, apakah mereka itu pemuda, kaum biokrat, tokoh agama, tentara dari Resimen II TKR Sukabumi, maupun masyarakat yang tergabung dalam kelasykaran, merupakan aksi kolektif, dimana kepentingan bersama merupakan tujuan tidak terpisahkan dari gerakan perlawanan.

Sudi ini digunakan metodologi dan endekatan strukturis dari Christoper Lioyd, yang merupakan gabungan antara deskripsi dan analisis.

Ruang lingkup penelitian disertasi ini adalah daerah Sukabumi masa revolusi pada tahun 1945 sampai dengan 1946. Wilayah yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah kabupaten dan kotamadya Sukabumi. Dalam lingkup tersebut yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian ini tidak hanya mengenai suatu peristiwa tertentu, melainkan melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah itu dan perkembangan beberapa aspek kehidupan dalam masyarakat sejak pasca proklamasi kemerdekaan sampai dengan peristiwa penghadangan terhadap konvoi pasukan Sekutu. Penelitian ini bertujuan rekonstruksi dan explanasi peristiwa secara komprehensif dan holistik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam perumusan masalah.
2007
D627
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifai Nur
Abstrak :
ABSTRAK
Pasca Perang Kemerdekaan Indonesia terjadi suatu perubahan pemerintahan daerah yang diberi hak otonom. Pada masa Perang Kemerdekaan dengan pemerintahan NIT otonomi daerah di Sulawesi Selatan dilaksanakan dalam konteks negara federasi, sedangkan pasca revolusi otonomi daerah dilaksanakan dalam konteks negara kesatuan.

Studi otonomi daerah difokuskan pada hambatan-hambatan yang menyebabkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang otonom terkendala. Suasana kebebasan daerah disatu sisi dan kontrol serta pengendalian pusat di sisi lain, begitupula dengan struktur sosial berhadapan dengan struktur pemerintah. Kemudian, kelompok unitaris pada satu sisi dan di sisi lain kelompok federalis, saling berinterasi bekerjasama dan terkadang pula bersaing dengan wadah kepentingan, etnik dan idiologi.

Metodologi penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan pendekatan strukturis. Tipe eksplanatif dengan konteks penelitian transisi. Pengumpulan data menggunakan dokumen arsip, dokumen media cetak dan wawancara.

Temuan-temuan yang diperoleh dari studi ini diuraikan berikut. Pertama, pemerintah Sulawesi Selaian dan daerah-daerah di Sulawesi Selatan memiliki kebebasan yang terbalas dalam berkreasi, merencanakan, mengambil keputusan, melaksanakan keputusan itu. Kebebasan yang terbatas itu dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Kedua, pemerintah Sulawesi Selatan memperoleh 7 urusan sebagai hak otonominya disamping hak dasar yang telah dimiliki. Otonomi diletakkan pada 3 level, yaitu Sulawesi Selatan, Swatantra/Swapraja dan desa. Pada level ketiga hanya bersifat uji coba, kemudian setelah berlangsung beberapa tahun lalu dicabut dan dihentikan. Ketiga, Pemerintahan daerah pada level swapraja dijalankan berdasarkan tradisi yang mengandung azas demokrasi. Swapraja mewarisi tradisi pemerintahan dalam konteks federasi faliti dan monarki kostitusi. Undang-Undang sebagai dasar penyelenggaraan negara disusun berdasarkan perjanjian antara raja dan wakil-wakil dari paliti (negara bagian). Di dalamnya diatur masalah hak-kewajiban yang didasarkan pada perpaduan antara konsep to manurung dan ajaran Islam.

Keempat, kendala-kendala yang menghambat penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan pembangunan saling berkait satu sama lain. Kendala-kendala itu adalah belum adanya persepsi yang sama diantara penyelenggara negara, swapraja dan ajjoareng sebagai pusat kekuasaan dan panutan pengaruhnya tak tergantikan, dominasi pemerintahan militer atas sipil, sentralisasi pengelolaan perdagangan kopra, sentralisasi pengelolaan pajak, dan eskalasi politik yang tinggi.

Seeara teoritis, Studi ini menunjukkan relevansi terhadap beberapa teori yang digunakan dan mengkonstruksi teori baru tentang demokrasi di daerah masyarakat Sulawesi Selatan. Hak, kewajiban dan kebebasan individu, kelompok, swasta dan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, mempunyai relevansi dengan teori yang dikemukakan oleh Arthur Mass, Sarundajang dan Ndraha. Teori yang dikemukakan oleh Huntington, Mohtar Mas?oed dan Maswadi Rauf tentang keampuhan gagasan tentang kemajuan (the idea of progress). Kemajuan yang diyakini akan mendorong munculnya demokrasi. Syaratnya adalah pengembangan kekuatan masyarakat, terutama melalui pembentukan sistem kepartaian yang bertanggung jawab kepada rakyat. Kemudian kebebasan individu dan kelompok serta daerah untuk mengembangkan kemajuan dalam rangka kemandirian rnenunjukkan relevansinya. Parsons dan Geertz kebudayaan sebagai sistem simbol-simbol. Dengan sistem itu, manusia memberi makna pada pengalamannya sendiri. Pada taraf tertentu, hal ini sesungguhnya menyangkut semua negara baru, yang ccnderung menjadi tumpukau tradisi-tradisi yang bersaing yang kebetulan terkumpul menjadi kerangka-kerangka kerja politis yang lebih direka daripada secara organis memeperkembangkan peradaban- peradaban, teori nilai budaya ini relevan dengan nilai budaya darah putih dan darah merah masyarakat Sulawesi Selatan. Kemudian hubungan patronase masyarakat Bugis Makassar dalam ajjoareng-joa sangat relevan untuk memahami pola hubungan masyarakat Bugis-Makassar. Keempat, Teori hubungan patronase .T.C. Scott. Suntherland dan Darmawan Rahman Mas?0d dalam pendekatan sejarah conflict and accomodation dalam memahami konflik dan integrasi kelompok-kelompok kepentingan, budaya, sosial dan politik yang saling berhadapan tetapi juga saling bersama-sama relevan. Juga konstruksi teori demokrasi melihat bagaiman tradisi- tradisi berisi azas demokrasi. Orang-orang Bugis Makassar menjalankan demokrasi sebagai tradisi di dalam pemerintahan dan sosial dapat dilihat dalam: (1) sistem perwakilan dan pemuusyawaratan dalam pengambilan keputusan (2) keputusan yang tertinggal berada di tangan rakyat. Keputusan Raja dapat dibatalkan oleh dewan adat, keputusan dewan adat dapat dibatalkan oleh lembaga yang lebih rendah yakni anang/tokoh-tokoh masyarakat, dan keputusan tokoh-tokoh masyarakat dapat dibatalkan oleh rakyat. Kedua, Di dalam tradisi pemerintahan dan sosial orang Bugis- Makassar kelompok lemah selalu diberi perlindungan bahkan di Luwu diberi kursi di dalam parlemen. Ketiga, orang-orang Bugis-makassar harus bersifat jujur, benar, adil dan berani di dalam memimpin dan kehidupan keseharian. Keempat, orang-orang Bugis-Makassar harus saling siporanmu, merasa saling membutuhkan dan saling memberi manfaat meskipun yang bersangkutan memiliki sejumlah keterbatasan. Jadi orang Bugis-makassar selalu menghargai orang lain.
2007
D839
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didik Pradjoko
Abstrak :
Disertasi ini menunjukkan dinamika politik lokal di Kawasan Flores Timur, Kepulauan Solor dan Timor Barat sebagai akibat dari kebijakan politik kolonial Belanda antara 1851-1915. Fokus kajian disertasi ini adalah menganalisis sikap Kerajaan Larantuka terhadap kebijakan politik kolonial Belanda, Misi Katolik Belanda, penduduk negeri pegunungan, dan kerajaan lokal sekitarnya.Kerajaan Larantuka yang dipimpin oleh raja-rajanya melakukan strategi politik sekutu dan seteru dalam mempertahankan kedaulatannya menghadapi kekuatan-kekuatan yang mengancamnya. Selama Abad ke-17 hingga abad ke-18, Kerajaan Larantuka bersekutu dengan Portugis dan para Kapiten Mayor dari keluarga Portugis Hitam, keluarga da Hornay dan da Costa untuk menghadapi kekuatan Belanda VOC dan Kerajaan Muslim Lima Pantai Solor Watan Lema. Pada abad ke-19, Kerajaan Larantuka dipaksa menerima hasil perjanjian Portugal dan Belanda yang dimulai sejak 1851 dan disetujui pada 20 April 1859. Perjanjian tersebut berisi penyerahan wilayah Flores dan Kepulauan Solor-Alor kepada Belanda. Sejak saat itu, Kerajaan Larantuka menjadi kerajaan bawahan Pemerintah Hindia Belanda. Belanda kemudian mengikat kontrak dengan Kerajaan Larantuka pada 28 Juni 1861, namun Korte Verklaring tersebut masih memberikan keleluasaan Kerajaan Larantuka untuk menjalankan pemerintahan secara otonom/zelfbesturende.Raja-raja Larantuka sejak 1851 melakukan perubahan strategi politik sekutu dan seterunya sebagai upaya tetap mempertahankan kedaulatannya. Perubahan kebijakan politik sekutu dan seteru yang dilakukan oleh Kerajaan Larantuka itu berbeda dengan periode pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Kerajaan Larantuka pada periode 1851-1915, menjalankan politik sekutu dan seterunya dengan tidak menetap. Kerajaan Larantuka bersekutu dengan penguasa lokal Belanda, dengan meminta bantuan Residen Timor dan daerah Taklukannya untuk menghadapi seterunya, yaitu Kerajaan Lima Pantai. Kebijakan bersekutu dengan Belanda juga dilakukan oleh Kerajaan Larantuka ketika menghadapi pemberontakan negeri-negeri bawahannya di pegunungan yang mengancam wilayah inti kerajaan di sekitar Larantuka. Dalam beberapa kasus yang lain Kerajaan Larantuka justru bersekutu dengan Kerajaan Muslim Lima Pantai untuk menghadapi pemberontakan negeri-negeri bawahannya sendiri, di Solor dan Adonara. Dalam menghadapi kebijakan politik kolonial Belanda yang menjadi seteru karena masalah intervensi Residen dan pejabat sipil Belanda di Larantuka, Raja Larantuka bersekutu dan bekerjasama dengan pihak misi Katolik Belanda di Larantuka, meskipun dalam kasus lain Raja dan pihak misi Katolik berseteru terutama tentang masalah poligami raja dan perilaku raja yang masih menjalankan kepercayaan-kepercayaan nenek moyang yang dianggap lsquo;kafir rsquo; oleh misi Katolik Larantuka. Secara umum persekutuan antara raja Larantuka dan para pastor Katolik Belanda pada akhirnya menunjukkan persekutuan yang lsquo;abadi rsquo; sampai diasingkannya Raja Don Lorenzo II DVG pada tahun 1904, yang dianggap membangkang terhadap kebijakan kolonial Belanda. Strategi sekutu dan seteru juga dipengaruhi oleh mitos konflik Demon-Paji, konflik dua bersaudara di jaman dahulu akibat bermacam sebab, tetapi terutama karena konflik memperebutkan istri, sehingga muncul istilah ldquo;Perang Tikar Bantal rdquo;. Demon menurunkan penduduk Kerajaan Larantuka yang beragama Katolik sedangkan Paji menurunkan penduduk Kerajaan Lima Pantai yang beragama Islam. Kedaulatan kerajaan-kerajaan di kawasan Flores dan Kepulauan Solor berakhir dengan adanya penataan wilayah yang dilakukan Belanda dengan mengintegrasikannya ke dalam Keresidenan Timor dan daerah Taklukannya pada tahun 1915. ...... The dissertation discusses the dynamic of local politics in East Flores region, Solor Islands and West Timor as a result of Dutch Colonial political policies between 1851 1915. The focus of dissertation is to analyze the response of Larantuka Kingdom about the policy of Dutch colonial politics, Dutch Catholic Mission, the people of Mountain country and surrounding local kingdom.The Kingdom of Larantuka that led by several kings conducted allied and enemy political strategy to defense the kingdom in fighting againts other powers that threatened their sovereignty. During the 17th until 18th century, the Kingdom of Larantuka allied with Portuguese and a couple of local commanders from black Portuguese family, da Hornay and da Costa to fight againts the VOC and Kingdom of Lima Pantai Solor Watan Lema. In 19th century, Kingdom of Larantuka was forced to accept the result of Portuguese and Dutch agreement which was started since 1851 and was ratified on April 20, 1859. The agreement was about the transfer of Flores region and Solor Alor Islands from Portuguese to the Dutch. Since the ratification of the agreement, the Kingdom of Larantuka became one of Dutch colonial government conquered areas. Subsequently, the colonial government binded a political contract with the Kingdom of Larantuka on June 28, 1861, however, the contract or Korte Verklaring still provided discretion to the kingdom to run autonomous administration or zelfbesturende. Since 1851, the Kings of Larantuka Kingdom conducted some changes of their allied and enemy political strategy as efforts to maintain the kingdom sovereignty. The change of the strategy was different with the policies which were taken by the kingdom in 17th and 18th centuries. During 1851 1915, the Kingdom of Larantuka applied temporary allied and enemy political strategy. The Kingdom of Larantuka allied with local Dutch rulers and asked for Resident of Timor and with their conqured areas to fight againts their enemies, Kingdoms of Lima Pantai. The allied policy with the Dutch was also conducted with the Kingdom of Larantuka when they overcame the rebellion of their vassals in mountain that threatened the center of the kingdom area around Larantuka. However, later in some cases, precisely the Kingdom of Larantuka allied with Kingdoms of Lima Pantai to fight against the rebellion of their vassals in Solor and Adonara. To response the Dutch colonial political policies that became the enemy because of Resident and Dutch civil officers intervention in Larantuka, the King of Larantuka allied and cooperated with Dutch Catholic Mission party in Larantuka although in other case the king and Catholic Mission had different opinion especially about the king poligamy and the king behavior who still practised their achestor beliefs that were considered lsquo heathen rsquo by Larantuka Catholic Mission. In general, the ally between the King of Larantuka and Dutch Catholic priests finally showed forever ally until the excile of the King Don Lorenzo II DVG in 1904 who was considered to resist to Dutch colonial policy. The strategy of allied and enemy was also influenced by myth of Demon Paji conflict. The conflict was about the two brothers in ancient time because of various causes, especially the rivalry to get wife that rose the term of lsquo the war of sleeping met and pillow rsquo. Demon desecended Catholic people of Larantuka Kingdom and Paji descended Islamic people of the Lima Pantai Kingdoms. The sovereignty of kingdoms in Flores region and Solor Islands came to end with the existence of the region structuring that was conducted by the Dutch colonial government by integrating the areas into the Residency of Timor and its conqured areas in 1915.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
D2355
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Achdian
Abstrak :
Disertasi ini membahas perkembangan politik pergerakan nasional Indonesia dan kaitannya dengan perkembangan politik kewargaan di kota kolonial Surabaya sepanjang periode 1906 sampai berakhirnya kekuasaan kolonialisme Belanda pada Maret 1942. Kiprah politik kaum pergerakan antikolonial di Indonesia tidak dapat disangkal telah menjadi tema besar dalam kajian sejarah Indonesia modern. Namun, bagaimana pandangan politik dan kiprah mereka terkait lingkungan kota tempat mereka tinggal sampai sekarang tetap menjadi pembahasan yang relatif terabaikan dalam kajian sejarah Indonesia. Disertasi ini dengan demikian memberi sumbangan dengan menunjukkan peran aktif kaum pergerakan dalam dinamika politik kota dan visi mereka tentang hak-hak kewargaan orang Indonesia di dalamnya.
This disertation is an effort to describe the engagement of Indonesian nationalist with the idea and practices of modern citizenships in the colonial city of Surabaya during the periods of 1906 until the end of Dutch colonialism. Although the study on Indonesian nationalist movement has already been an extensive study in the literature of anticolonial movement in the early twentieth century, however the nature of political engagement of nationalist activists with modern ideas and citizenships in the urban politics is still a relatively underdeveloped. By showing the nature of engagement and participation of nationalist politics in the colonial city of Surabaya, this dissertation is therefore has become an effort to fulfill this gap in the existing literatur.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
D2411
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siswantari
Abstrak :
Disertasi ini membahas tentang Strategi-strategi Perhimpoenan Kaoem Betawi pada masa kepemimpinan M. Masserie dan Abdul Manaf, dalam meningkatkan kesejahteraan Kaoem Betawi dan keindonesiaan. Perhimpoenan Kaoem Betawi merupakan organisasi pertama yang dibentuk oleh orang Betawi yang diakui sebagai badan hukum pada tahun 1923. Perhimpoenan ini mengalami perkembangan dari organisasi yang bersifat lokal menjadi organisasi yang mengedepankan keindonesiaan. Pembentukan Perhimpoenan tidak lepas dari adanya mitos masa kesuburan orang Betawi yang membuat Orang Betawi bergerak untuk mencapai kembali kejayaan tersebut, ditambah lagi dengan adanya kemunduran orang Betawi akibat berkurangnya tanah pekarangan, membuat orang Betawi bergerak untuk mencapai kemajuannya dengan mendirikan Perhimpoenan Kaoem Betawi. Faktor kemunculan Perhimpoenan Kaoem Betawi, tidak lepas dari pengaruh perkembangan kota Batavia pada awal abad ke-20 yang menjadi pusat pendidikan, pemerintahan dan ekonomi Hindia Belanda. Kota Batavia telah pula menjadi pusat gerakan politik pribumi, dimana berbagai organisasi kedaerahan telah tumbuh dan berkembang. Hal itu membawa Orang Betawi tidak mau ketinggalan turut pula aktiv menyuarakan aspirasi politiknya. Metodologi yang digunakan dalam disertasi ini adalah narativisme. Narativisme merupakan metodologi dalam filsafat sejarah yang digunakan untuk merekonstruksi masa silam. Menafsirkan masa lampau dengan mengaitkan berbagai fakta dari masa silam yang semula tidak koheren dan tanpa struktur menjadi satu kesatuan yang menyeluruh. Temuan penelitian ini adalah : lewat peranan M. Masserie dan Abdul Manaf, Perhimpoenan Kaoem Betawi telah menumbuhkan solidaritas Betawi untuk kemajuan Kaoem Betawi dan keindonesiaan. Berbagai strategi dilakukan untuk kemajuan Masyarakat Betawi dan keindonesiaan, diantaranya melalui Surat Kabar, Pendidikan, Gemeenteraad Batavia, dan menjalin kerjasama dengan gerakan organisasi pergerakan lainnya. ...... This study discussed about the strategies of the Association of Betawi Community (Kaoem Betawi) during the leadership period of Masserie and Abdul Manaf, for improving welfare of Betawi people (Kaoem Betawi) and Indonesianness. The Association of Betawi Community (Kaoem Betawi) was the first organization formed by the Betawi people to be recognized as a legal entity in 1923. This association experienced developments from local organization into organization that prioritized Indonesianness. The formation of the Association could not be separated from the myth of the fertility period of the Betawi people. This caused the movement to regain the glory, added with the decline of the Betawi people due to the reduction of the yard, made the Betawi people moving to achieve the progress by establishing The Association of Betawi Community ( Kaoem Betawi). The emergence factor of the Association of Betawi Community ( Kaoem Betawi) was inseparable from the influence of the development of the Batavia city in the early of 20th century which became the center of education, government and the economy of the Dutch East Indies. The Batavia city had also become the center of the indigenous political movement, where the various regional organizations had grown and developed. That made the Betawi people did not want to miss and also actively voiced their political aspirations. The methodology used in this dissertation was narativism. Narativism was a methodology in historical philosophy used to reconstruct the past and interpreting the past by relating various facts from the past that were previously incoherent and without structure into a single whole. The research result was finding the role of M. Masserie and Abdul Manaf for The Association of Betawi Community which had grown Betawi solidarity for the advancement of the Betawi Community and Indonesianness. Various strategies were carried out for the advancement of the Betawi society and Indonesianness, including by Newspaper, Gemeenteraad Batavia Education, and cooperating with other movement organizations.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
D2608
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Anggari Harapan
Abstrak :
Disertasi ini membahas perkembangan konflik dan polarisasi politik Eropa pada awal abad XIX pasca Revolusi Prancis 1789 yang berimbas ke wilayah Hindia Timur, koloni Belanda, sekutu terkuat Prancis. Perseteruan kedua kubu berujung pada Perang-perang Koalisi yang meminta banyak korban. Traktat Amiens yang ditandatangani pada tahun 1802 merupakan upaya untuk mewujudkan perdamaian di Eropa. Traktat ini berisi kesepakatan penguasaan atas wilayah pihak-pihak yang berseteru, termasuk Hindia Timur sebagai wilayah koloni Belanda yang terbawa ikut dalam perseteruan antara Prancis-Belanda dan Inggris. Namun perang pecah kembali, sehingga Prancis dan Belanda berupaya untuk mempertahankan Hindia Timur dari serangan Inggris sementara Inggris berusaha untuk merebut Hindia Timur agar posisinya di Asia aman dari ancaman Prancis dan Belanda. Daendels pun dikirim ke wilayah koloni dengan tugas pokok mengamankan Jawa dari serangan Inggris. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi di Hindia Timur tidak terlepas dari situasi yang berkembang di Eropa, meskipun kemudian tampuk pimpinan dialihkan kepada Janssens yang akhirnya menyerah kepada Inggris tujuh bulan kemudian
This dissertation analyzes the development of conflicts and political polarization in early 19th Europe and its impact of this development on the Dutch colony, the East Indies. France and Great Britain were involved in conflict following the French Revolution in 1789 and declared war against each other. The Dutch Republic sympathized with France and became its strongest ally. The warring countries tried to make peace in the form of the Treaty of Amiens in 1802. The agreement covered a wide territory in Europe, Asia and America, including the East Indies. When war broke out again between France and Great Britain, Daendels was sent to the colony to defend it from the British. But after just three years he was called back to Europe and succeeded by Janssens who nullified Daendels rsquo; earlier efforts to defend Java and his own efforts when it fell to the British seven months later.
Depok: Universitas Indonesia, 2015
D2487
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tangkilisan, Yuda Benharry
Abstrak :
ABSTRAK
Disertasi ini membahas upaya pelayaran dan perdagangan Amerika Serikat menerobos kebijakan merkantilistik Hindia Belanda di kepulauan Indonesia melalui diplomasi kurun waktu 1784 hingga 1855. Pelayaran Amerika Serikat ke kepulauan Indonesia bermula pada tahun 1784 dalam perjalanan menuju Kanton, Cina. Perdagangan bermula pada tahun 1786 pada saat sebuah kapal Amerika Serikat membeli barang untuk diperdagangkan di Kanton. Pola perdagangan iintas lautan Amerika Serikat adalah Ekspor, Reekspor dan Berantai. Dalam pola Perdagangan Berantai, kepulauan Indonesia merupakan Salah satu tempat persinggahan. Diplomasi Amerika Serikat membuka peiabuhan dan osar Hindia Belanda dilakukan dengan tindakan imperialistik. Hasilnya adalah Perjanjian 1855 yang mengatur tentang perwakilan konsuler Amerika Serikat di Hindia Belanda. Metodologi yang digunakan berasal dari teori Diplomasi, Imperialisme, Perdagangan (Pasar) Bebas dan Struktudsme. Selain data kualitatii kerangka anaiisis memakai juga data kuantitatif. Hasil akhir memperlihatkan bahwa Perjanjian 1855 merupakan pinlu masuk kepentingan ekonomi Amerika Serikat yang lebih luas di kepulauan Indonesia. Untuk Hindia Belanda, perjanjian ilu melapangkan jalan ekspansi kolonialnya di pulau Sumatera. Dampak langsung terhadap perdagangannya terhambat oleh Perang Saudara (1861-1865). Selain itu, politik dan diplomasi ekonomi luar negeri Amerika Serikat walau berlandaskan doktrin pasar bebas, tidak mengabaikan peranan pemerintah. Kemudian, walau berstatus negeri jajahan, pemerintah Hindia Belanda memiliki kebijakan yang terkadang tidak selalu selaras dengan Negeri Induk (Belanda).
ABSTRACT
This dissertation analizes efforts of American shipping and commerce breaking the Netherlands Indies mercantilistic policies in Indonesian Archipelago by means of diplomacy in the times of 1784 to 1855. American shipping to Indonesian Archipelago began in 1784 in a voyage for Canton, China. The commerce began in 1786 when an American ship bought some goods to trade for Canton. American overseas trading patterns were Export, Reexport and Network Commerce. The last mentioned treated Indonesian archipelago as a part of a commercial network that centered at Canton. American diplomacy opened the Netherlands Indies ports and market by an imperialistic way. It resulted in Treaty 1855 that allowed the Americans to establish a consulate office at Batavia. The methodology consists of several points of view, i.e nom Diplomacy, Imperialism, Free Trade or Free Market and Structurist theories. The analysis based on qualitative and quantitative data. Final results show that the Treaty 1855 was an entry point for the widespread of American economic interests in the whole of Indonesian archipelago- However, its direct impact in commerce was disturbed by the Civil War (1861-1865). For the Netherlands Indies, it encouraged expansive motives in Sumatera. Beside these, it shows that even though the United States of America is a liberal state, the role of government in international economics is still great. The last is that as a colonial state the Netherlands Indie had its own policy and did not entirely depended on the Netherlands.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
D1669
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>