Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 50 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nababan, Adetya Evi Yunita
"Skripsi ini membahas penerapan asas unus testus nullus testis dalam praktik peradilan pidana di Indonesia serta kekuatan pembuktian keterangan saksi de auditu berdasarkan KUHAP yang melekat pada keterangan penyidik dalam pertimbangan majelis hakim sebagai salah satu akibat yang ditimbulkan dari kelemahan penerapan asas unus testis nullus testis. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak semua hakim yang memeriksa perkara pidana dapat menerapkan dengan tepat ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang lebih dikenal dengan asas unus testis nullus testis.
Terdapat respon yang berbeda terkait penerapan asas tersebut. Hal ini karena belum ada peraturan yang mengakomodir kelemahan dari asas tersebut, yaitu keterbatasan alat bukti yang tersedia dalam suatu tindak pidana. Selain itu, penelitian ini juga akan memperlihatkan perbandingan atas tanggapan para hakim Indonesia dan tanggapan hakim di peradilan Negara bagian dalam menilai kekuatan pembuktian saksi de auditu (hearsay evidence). Peranan aktif hakim dalam menemukan kebenaran materiil melalui perannya menentukan kekuatan pembuktian keterangan saksi yang memiliki kekuatan pembuktian bebas juga dipaparkan dalam penelitian ini.

The focus of this study is the application of the principle unus testis nullus testis in the practice of criminal justice in Indonesia as well as the strength of evidence on witness testimony de auditu based on Indonesian Criminal Procedure are attached to the description of the investigator in the judges?verdict as one of the weakness from the application of the principle 'unus testis nullus testis'. The research method used is this study is normative literature. The results of this study indicate that not all judges are examining a criminal case by applying the appropriate provisions of Article 185 paragraph (2) Indonesian Criminal Procedure Code which is better known as the principle of unus testis nullus testis.
There are different responses related to the application of this principle. This is because there is no regulation that accommodate the weaknesses of this principle, namely the limitations of the available evidence in a criminal act. In addition, this study will also show the comparison of the responses of the judges of Indonesia and the responses of judges in Texas state courts in assessing the strength of evidence the witness de auditu (Hearsay evidence). The study also describes the active role of judges in finding the material truth through its role to determine the strength of statements of witnesses evidence who have the independent verification power.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S398
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Handayani
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S22564
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sumadi
"Proses pembuktian di dalam persidangan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam proses beracara di dalam suatu peradilan. Pada perkara pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup fungsi alat bukti keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti yang sah adalah sangat penting membantu majelis hakim untuk memahami masalah-masalah teknis ilmiah. Oleh sebab itu pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah mengenai bagaimana pendapat hakim dalam menilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan ahli yang dihadirkan oleh para pihak, baik dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) maupun dari terdakwa atau penasihat hukum dalam perkara tindak pidana pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan oleh PT. Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat. Skripsi ini juga membahas mengenai acuan atau dasar hukum apa yang dapat dipakai dimasa yang akan datang untuk melakukan penelitian/pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencemaran lingkungan hidup. Alat bukti keterangan ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan terdakwa atau penasihat hukum terdapat pertentangan yang sangat jauh berbeda satu sama lain. Hal ini menjadi tugas majelis hakim dalam menilai kebenaran keterangan alat bukti keterangan ahli dan dapat dilihat bagaimana majelis hakim menilai kekuatan pembuktian keterangan ahli. Mengenai acuan atau dasar hukum yang dapat dipakai untuk melakukan penelitian/pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencemaran lingkungan hidup adalah dapat dipakai Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup serta peraturan-peraturan yang ada dibawahnya termasuk Keputusan Kepala Bapedal Nomor 113 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum dan Pedoman Teknis Laboratorium Lingkungan.

Substantiation process before court is a critical part in a proceeding. In environment pollution or devastation lawsuit, professional opinion as one of legal exhibits serves as an important part in supporting the court understanding of scientific technical issues. The subject matter in this thesis, therefore, concerns with the judge opinion in assessing the intensity of substantiation of professional opinion proposed by the parties, both the general prosecutor (JPU) and the defendant or legal counsel in the environment pollution crime alleged against PT. Newmont Minahasa Raya in Buyat Gulf. This thesis also discusses about future applicable reference or legal basis to carry out study/inquiry of environment pollution crime. The professional opinion exhibits presented by either General Prosecutor (JPU) and defendant or legal counsel contradict significantly against each other. It is the duty of the court to evaluate the professional opinion exhibits and it can be observed there from how the judges consider the intensity of the professional opinion substantiation. With respect to the reference or legal basis applicable in this study/inquiry of environment pollution crime, it can be used Law Number 23 of 1997 on Environment Management and existing regulations under it including Decision of the Chief Environment Impact Controlling Agency Number 113 of 2000 on General Guide and Technical Guide for Environment Laboratory."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S22592
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ajeng Tri Wahyuni
"Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang dikenal dengan KUHAP menentukan bahwa upaya hukum Peninjauan Kembali dapat diajukan atas dasar ditemukannya keadaan baru (novum), pertentangan putusan pengadilan dan kekhilafan atau kekeliruan hakim. Permohonan Peninjauan Kembali sebagian besar diajukan atas dasar novum, bahkan timbul opini publik yang mempersepsikan novum sebagai syarat Peninjauan Kembali. Kualifikasi novum yang menjadi dasar Peninjauan Kembali belum diatur secara jelas di dalam KUHAP. Hal tersebut menimbulkan interpretasi tentang kualifikasi novum yang beragam di dalam masyarakat.
Kualifikasi novum yang belum dipertegas merupakan penyebab terjadinya penumpukan perkara Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP dinilai belum cukup memuaskan untuk menjawab persepsi publik mengenai batasan novum. Dasar yang dapat digunakan dalam menilai novum adalah penafsiran para Hakim Mahkamah Agung yang tercantum di dalam putusan-putusan Peninjauan Kembali. Hakim Mahkamah Agung bebas memutuskan untuk menerima novum yang diajukan sebagai dasar Peninjauan Kembali atau tidak.
Penjelasan atas novum sebagai dasar Peninjauan Kembali diperlukan untuk menjawab ketidaktegasan perihal keterangan waktu serta kualitas novum sebagai dasar Peninjauan Kembali, agar tercipta kepastian hukum dan penumpukan perkara di Mahkamah Agung berkurang. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kualifikasi novum sebagai dasar pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali yang sebagian besar didasarkan atas pendapat dan pemikiran para ahli maupun praktisi hukum."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22425
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, Manahan
"Kesesatan hakim dalam menggali fakta-fakta hukum seperti yang terjadi pada perkara Sengkon dan Karta, telah menyebabkan hakim menjatuhkan hukuman terhadap orang yang tidak bersalah, hal mana merupakan latar belakang dan filosofi diadakannya lembaga peninjauan kembali. Pada prinsipnya, KUHAP “melarang” untuk menjatuhkan putusan “yang melebihi” putusan yang dimintakan peninjauan kembali, dan hanya “memperkenankan” putusan yang menerapkan ketentuan pidana “yang lebih ringan”. Asas yang dianut KUHAP itu sejalan dengan tujuan lembaga peninjauan kembali, yang bermaksud membuka kesempatan kepada terpidana dalam membela kepentingannya, untuk terlepas dari ketidak-benaran penegakan hukum. Meskipun demikian, Mahkamah Agung telah “melegalkan” jaksa penuntut umum untuk “merampas” hak terpidana itu, yakni dikabulkannya permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh “jaksa penuntut umum” dan pula terhadap “putusan bebas”, lebih lagi dijatuhkannya putusan yang “tidak diperbolehkan”, sehingga peluang dan sarana upaya hukum yang diberikan undang-undang dan “hanya” kepada terpidana itu, berbalik “menjadi bumerang” dan “merugikan” terpidana sendiri. Demikian juga dalam memutus perkara peninjauan kembali, Mahkamah Agung “hanya” berdasarkan dokumen perkara yang berupa permintaan peninjauan kembali, berkas perkara semula, serta berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat hakim pengadilan negeri, “tanpa” terlebih dahulu melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap saksi sebagai novum, hal mana “penilaian” atas pembuktian “petunjuk” yang bersumber dari alat bukti keterangan saksi sebagai novum tersebut “bukan” sebagaimana ditentukan Pasal 188 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP. Karenanya, terhadap putusan Mahkamah Agung yang dianggap sebagai penemuan hukum dan dijadikan sebagai yurisprudensi itu, mesti direnungkan kembali dengan pengkajian secara mendalam.

Misjudge in law facts upholding of the courtroom verdict such as Sengkon and Karta law,had arisen a wrong verdict to innocent persons,that caused a philosophical ratio of a lawful review team. As a principle, KUHAP (Court of lawful Judicial Procedure)is “against” “overrule” of plea bargaining (Law Review) and it only “admits” a verdict which applies for “light penalty”.The basic right which is adhered in KUHAP must be in accordance with the lawful review team, that aims to give opportunity to the convicts to defend their favour, to be free from the unjustice of the law upholding.On the other hand,the Supreme Court has legalized General Prosecutors to “seize” the convicted rights,allows the plea of law review wich is issued by general prosecutors and also for “unguilty verdict”, and pass the verdict to the “unprecise moment” of the law, so the opportunities and facilities of the convicts for the personal law enforcement which denotes to defend under the bylaw and toward the convicts “alone”,but reverse toward the “disarmity” and “the loss of the convict rights”.And also in passing the verdict in the law review or plea bargaining, the Supreme Court in passing the verdict is “only” based on criminal case documents, previous case files, investigation imposing agenda and civil courtroom judgement record,”without” cross-examination in ahead of eyewitnesses as novum,but the true “assessment” is based on “the guide” of witness statement which testify the approved evidence case as a novum, “not” stipulated by KUHAP Chapter 188 verses (2), and (3).Thus, toward the Supreme Court Verdiction which is prejudice as law finding and as criminal jurisprudence should be re-discussed deeply."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S21992
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Robie Aryawan Haris
"Pembalikan beban pembuktian merupakan beban pembuktian yang dengan adanya sifat kekhususan yang sangat mendesak tidak lagi diletakkan pada diri penuntut umum, namun terletak pada terdakwa. Pembalikan beban pembuktian digunakan untuk pembuktian pada delik gratifikasi dalam tindak pidana korupsi. Gratifikasi didefinisikan sebagai pemberian dalam arti luas dan diberikan di dalam maupun di luar negeri baik menggunakan sarana elektronik maupun tidak. Gratifikasi diatur pada Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Mekanisme pembalikan beban pembuktian dalam delik gratifikasi dilakukan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dengan beban pembuktian ada pada penuntut umum. Hal itu terjadi karena pada Pasal 12B dicantumkan unsur ”yang berhubungan dengan jabatan dan yang berhubungan dengan kewajiban atau tugas”. Dengan adanya unsur tersebut maka berlaku ketentuan dalam hukum pidana yaitu pencantuman segala unsur dalam rumusan pasal menjadi kewajiban jaksa penuntut umum untuk membuktikannya. Menurut Pasal 12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 diberlakukan mekanisme pelaporan gratifikasi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai bentuk upaya pencegahan sebelum perkara masuk ke persidangan. Pembalikan beban pembuktian dalam delik gratifikasi merupakan hak bagi penerima gratifikasi, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi. Mekanisme pembalikan beban pembuktian justru melindungi penerima gratifikasi karena dengan dicantumkannya unsur ”yang berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugas” beban pembuktian kembali ada pada penuntut umum. Dalam mekanisme pelaporan ke KPK sesuai Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, penerima gratifikasi yang melapor mendapat status hukum sebagai pelapor. Pelapor mendapat perlindungan yang diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporannya. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yuridis dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif.

Reversal burden of proof is a burden of proof that with its special urgency is not being placed in the hand of the general prosecutor instead becomes the burden for the defendant. Reversal burden of proof is use for evidential process in gratification as a form of corruption. Gratification is a form of gift in a broad meaning and given inside or outside the country whether using electronic means or not. Gratification is mention in the provision 12 B in Act No.20 year 2001. Reversal burden of proof mechanism in gratification carried out according to code of criminal conduct process (KUHAP), with the burden of proof lies in the hand of the general prosecutor. It occurs because in the provision 12 B, the element “that connected with the profession and in contrary to the duty or obligation”. With these elements, then apply the rule in criminal law that every elements mention in the provision becomes the obligation of the general prosecutor to prove it. According to provision 12 C Act No.20 year 2001 the application of gratification reporting mechanism to the Corruption Eradication Commission (KPK) as a form of preventive action before the case goes in to the trial process. Reversal burden of proof in gratification is a right for gratification receiver, this is according to provision 37 Act No.20 year 2001 which stated that “defendant has the right to prove that his/her is innocent from doing corruption”. The reversal burden of proof mechanism is actually protecting gratification receiver, because with element “that connected with the profession and in the contrary to the duty or obligation” mention in the provision 12B, the burden of proof is back in the hand of the general prosecutor. In the reporting mechanism to KPK according to provision 31 Act No.31 year 1999, the gratification receiver who report to KPK get a status as reporting person. The reporting person get protection according to provision 10 Act No.13 year 2006 about the protection of Witness and Victim. The protection they get is that the reporting person can not be sue for the report they give. This research is a descriptive research using normative judicial research method."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Angga Bastian
"Salah satu asas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah Pengadilan mengadili menurut hukum dengan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Asas yang juga dikenal sebagai asas presumption of innocence ini adalah paham yang menyatakan bahwa seorang tidak dapat dinyatakan bersalah sebelum pengadilan memutus bahwa terdakwa tersebut memang bersalah.
Berkaitan dengan asas tersebut; KUHAP juga menjamin adanya asas perlindungan terhadap tersangka dari tindakan penyidik yang sewenang-wenang dalam menjalankan upaya paksa; secara khusus masalah penangkapan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka dibentuklah suatu lembaga yang dinamakan PRAPERADILAN. Praperadilan harus memastikan bahwa penangkapan yang dilakukan sudah sesuai dengan syarat dan tata cara penangkapan yang diatur didalam KUHAP. Ketentuan Pasal 1 butir 20 dan Pasal 17 KUHAP memberikan gambaran bahwa penangkapan yang dilakukan terhadap tersangka suatu tindak pidana tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang oleh penyidik. Skripsi ini akan membahas mengenai ketentuan syarat dan tata cara penangkapan, proses pemeriksaan praperadilan terhadap syarat dan tata cara penangkapan tersebut, serta penerapannya di dalam sebuah putusan praperadilan.
Metode penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan yang bersifat yuridis normatif yakni penelitian kepustakaan yang mengaitkan permasalahan dengan norma-norma hukum yang berlaku di Indonesia. Setelah dilakukan penelitian dapat diketahui bahwa ketentuan mengenai syarat penangkapan belum dirumuskan secara tegas oleh KUHAP dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Proses pemeriksaan praperadilan cenderung menggunakan mekanisme keperdataan yang sangat rigid secara formil namun kurang dalam mencari kebenaran materiil. Implikasi proses pemeriksaan yang demikian terlihat juga pada putusan praperadilan yang lebih banyak menekankan pertimbangannya pada ketentuan-ketentuan yang bersifat formil."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22412
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rengganis
"Pembebasan bersyarat adalah salah satu upaya untuk mempersiapkan narapidana hidup mandiri di tengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana. Pembebasan bersyarat diberikan kepada narapidana yang telah menjalani dua pertiga dari masa pidananya, dan dua pertiga masa pidana tersebut sekurang-kurangnya sembilan bulan. Narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat harus menjalani masa percobaan selama sisa masa pidananya ditambah satu tahun. Selama masa percobaan tersebut, narapidana tersebut harus memenuhi syarat umum dan syarat khusus sesuai dengan ketentuan undang-undang. Untuk itu diperlukan suatu lembaga yang dapat melakukan pengawasan secara intensif. Salah satu pihak yang bertugas mengawasi terpenuhinya syarat-syarat tersebut adalah Balai Pemasyarakatan (Bapas). Bapas bertugas melakukan pengawasan terhadap syarat khusus, yakni hal-hal yang berkaitan dengan kelakuan narapidana selama menjalani masa percobaan. Oleh karena itu, pengawasan yang dilakukan Bapas selanjutnya disebut sebagai pembimbingan. Narapidana yang berada di bawah bimbingan Bapas disebut klien pemasyarakatan (klien). Pembimbingan terhadap klien dilakukan oleh petugas Bapas yang disebut pembimbing kemasyarakatan. Pada dasarnya, Bapas memegang peranan yang penting dalam membantu narapidana berintegrasi kembali dengan masyarakatnya. Namun sampai saat ini masih banyak pihak yang kurang memahami peran penting Bapas, sehingga dapat menjadi penghalang terwujudnya tujuan pembebasan bersyarat. Untuk itu, penulis melakukan penelitian mengenai bagaimana mekanisme pembimbingan yang dilakukan oleh Bapas Jakarta Selatan terhadap narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22361
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Irsyad Noeri
"Dimana ada hak di sana ada kemungkinan menuntut, memperolehnya atau memperbaikinya bilamana hak tersebut dilanggar (ubi jus ibi remedium). Seseorang yang buta hukum tidak mungkin menuntut hak yang dimilikinya karena ia tidak tahu hak apa yang dia miliki seseungguhnya, disinilah pemenuhan hak atas bantuan hukum menjadi penting untuk menghilangkan diskriminasi antar manusia (dalam hal ini yang mengerti hukum dengan mereka yang buta hukum).
Persamaan kedudukan antara orang miskin (dan buta hukum) dengan orang kaya (dan tidak buta hukum) diatur dalam Pasal 56 KUHAP. Persamaan kedudukan di muka hukum adalah ciri utama sebuah negara hukum yang implementasinya dalam peradilan adalah adanya proses peradilan yang adil (due process of law).
Penelitian ini mencoba menjawab permasalahan apakah bantuan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 56 UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana telah terlaksana; bagaimana bantuan hukum dijalankan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; perbuatan hukum apa yang bisa dilakukan jika pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma terhadap orang miskin ini tidak dilakukan.
Ketiadaan sanksi bagi aparat penegak hukum jika ketentuan Pasal 56 KUHAP dilanggar dan kurangnya dana untuk program bantuan hukum cuma-cuma meningkatkan jumlah terdakwa yang memenuhi syarat, menolak didampingi penasehat hukum. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 56 KUHAP, sesuai ketentuan yang dimungkinkan dapat diungkapkan melalui Eksepsi, Pledoi, Banding dan Kasasi, yang merupakan kesempatan terdakwa berbicara, tetapi pada akhirnya tergantung kearifan Hakim."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S22426
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Wahyuni Herlambang
"Surat dakwaan adalah surat yang memuat perumusan
tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Surat
dakwaan menjadi dasar pemeriksaan sidang perkara pidana,
karena dirumuskan dari hasil pemeriksaan tahap penyidikan,
yang dituangkan dalam bentuk tertulis, yakni berita acara
pemeriksaan (BAP). Salah satunya adalah BAP keterangan
saksi. Saksi diperiksa untuk keterangan terkait dengan
tindak pidana yang mereka lihat, dengar, dan alami.
Permasalahan terjadi ketika perkara sidang 2 terdakwa
dipisah (splitzing). Timbul pertanyaan apakah keterangan
saksi yang sama di tahap penyidikan dapat dipergunakan
dalam 2 sidang terdakwa. Hal ini menjadi polemik penerapan
hukum, ketika majelis hakim mengeluarkan putusan akhir
berbunyi dakwaan tidak dapat diterima pada putusan akhir
perkara pidana dengan dasar pertimbangan surat dakwaan
tidak sah akibat BAP cacat hukum terhadap sidang yang telah
memasuki tahap pembuktian materi pokok perkara. Hal
tersebut tidak akan menjadi perdebatan apabila diputus
dalam putusan sela. Namun ketika sidang sudah memasuki
pemeriksaan aspek materiil (pembuktian) sampai selesai,
tetapi putusan akhir berbunyi dakwaan tidak dapat diterima,
maka diperlukan suatu pembahasan khusus mengenai hal ini.
Mengingat hukum acara pidana bertujuan untuk mencari
kebenaran materiil dan mengingat masih terdapat alat bukti
lain yang dapat dipertimbangkan sesuai Prinsip Minimum
Pembuktian Pasal 183 KUHAP. KUHAP sendiri tidak mengatur
tentang pengertian dan klasifikasi mengenai dakwaan tidak
dapat diterima, sehingga dipertanyakan apa yang menjadi
dasar hukum dari keputusan ini. Selain itu, hal ini
menimbulkan juga ketidakpastian mengenai status hukum dari
perkara tersebut, sehingga menyulitkan pilihan upaya hukum
yang dapat diajukan terhadap putusan ini. Skripsi ini
menggunakan metode penelitian kepustakaan dan wawancara,
untuk mendapatkan gambaran tentang kebijakan aparat penegak
hukum dalam menerapkan hukum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22421
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>