Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Handoyo Prihatanto
"Pengaruh ekonomi global yang menimbulkan tekanan dan persaingan, membawa implikasi terhadap dinamika hukum ketatanegaraan yang terjadi di banyak negara, khususnya di Indonesia. Teori-teori tentang konstitusi maupun perundang- undangan diupayakan sedemikian rupa untuk menjawab tantangan kebutuhan masing-masing negara dalam menjawab relasi antara negara dan sitem ekonomi global. Perubahan yang terjadi terhadap negara tersebutlah yang memberi tugas bagi hukum tata negara pada khususnya untuk memberikan kepadanya bentuk dan ketertiban.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2007 tentang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Kawasan Perdaganan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang, telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menjadi Undang-Undang, dan telah diundangkan menjadi UU Nomor 44 Tahun 2007. Keberadaan Perpu tersebut menarik untuk dikaji karena dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2007 terjadi pengalihan kewenangan dalam menentukan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas dari yang sebelumnya menggunakan undang-undang yang merupakan domain DPR menjadi dengan Peraturan Pemerintah yang merupaan kewenangan Presiden. Tesis ini secara lebih khusus mengkaji setidaknya dua hal pokok dari Perpu Nomor 1 Tahun 2007, yakni dari sisi politik hukum dan penggunaan asas hal ikhwal kegentingan yang memaksa."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25998
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Siswantana Putri Rachmatika
"Indonesia merupakan Negara hukum yang menganut paham demokrasi dan menerapkan sistem pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat atau yang lazim disebut system pemerintahan demokrasi. Implikasi dari asas demokrasi dan kedaulatan rakyat itu adalah dilaksanakannya Pemilu. Pada tahun 2004, Pemilu Presiden dilakukan dengan mekanisme pemilihan langsung. Hal ini ternyata membawa pengaruh terhadap pelaksanaan Pilkada hingga akhirnya DPR membuat seperangkat aturan yang digunakan sebagai alat untuk melakukan Pilkada secara langsung yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pilkada.
Dalam peraturan ini, Pilkada masuk dalam rezim pemerintah otonomi daerah, sehingga penyelesaian sengketa Pilkada berada pada kewenangan Mahkamah Agung, bukan Mahkamah Konstitusi seperti dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Pada perjalanannya, penyelesaian sengketa pilkada di Mahkamah Agung banyak justru menambah permasalahan semakin kompleks, baik dari segi jangka waktu penyelesaian yang berlarut-larut, materi putusan yang banyak menimbulkan kontroversi dan bahkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan Mahkamah Agung untuk dapat menyelesaikan sengketa pilkada dengan cara mempraktikkan sistem peradilan yang bersih, cepat, dan murah. Banyaknya masalah penyelesaian sengketa pilkada di Mahkamah Agung menimbulkan keinginan untuk memasukkan pilkada sebagai rezim Pemilu sehingga konsekuensinya adalah penyelesaian sengketa pilkada diselesaikan di Mahkamah Konstitusi.
Pada akhirnya pembuat undang-undang memasukkan pilkada dalam rezim Pemilu dengan melakukan Perubahan Kedua Undang- Undang No. 32 Tahun 2004 dengan membentuk Undang-Undang No. 12 tahun 2008 yang dalam pasal 236C menyatakan bahwa penyelesaian sengketa Pilkada diselesaikan di Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini mencoba menjawab permasalahan-permasalahan yaitu apakah peralihan kewenangan penyelesaian sengketa Pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi merupakan hal yang konstitusional dan apakah peralihan kewenangan tersebut dapat menjamin kepastian hukum dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Penelitian ini merupakan tipe penelitian hukum normatif sehingga dalam menjawab permasalahan-permasalahan tersebut menggunakan metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, dan pendekatan perbandingan.

Indonesia is a country that adopted the law understand and apply democratic system of government based on sovereignity of the people or the prevalent system of government called democracy. Implications of the principle of democracy and the sovereignty of the people is the implementation of elections. In 2004, the Presidential Election is done with the direct election mechanism. This appeared to bring the influence of the implementation of the elections eventually the House of Representatives to create a set of rules that is used as a tool for direct election of regional to the Act No. 32 of 2004 on Local Government and the Government Regulation No. 6 of 2005 on Direct Election of Regional.
In this rule, the elections included in the regional autonomy regime, so that disputes are on the election authority the Supreme Court, not the Constitutional Court as in the legislative election and the Election of the President. On the journey, direct elections of regional settlement of disputes in the Supreme Court would add a lot more complex problems, both in terms of the settlement period of sustained, the decision that a lot of controversy and even distrust of the ability of people to the Supreme Court can resolve disputes in a way direct election of regional practice system the clean, fast, and cheap. The many problems the settlement of disputes in the Supreme Court direct elections of regional desirable to enter Election regime as a consequence so is the settlement of disputes pilkada completed in the Constitutional Court.
In the end, legislator enter direct election of regional regime in elections by making changes Second Act No. 32 of 2004 established the Act No. 12 of 2008 which states in Article 236C that election disputes are resolved in the Constitutional Court. This research is an attempt to answer the problems, namely whether the transition of authority from the election of regional dispute by Supreme Court to Constitutional Court is a constitutional authority and whether the transition can guarantee legal certainty in the implementation of democracy in Indonesia. This type of research is the study of law so that in a normative problems by using the method of approach to legislation, the concept of the approach, and comparative approach."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T25996
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zen Zanibar M.Z.
"Desentralisasi telah berlangsung sejak zaman Hindia Belanda (1903). Pengejawantannya di tingkat desa dimulai sejak diterbitkannya IGO 1906. Pengaturan periode tersebut bersifat pengakuan. Dalaml masa RI otonomi desa diakui secara konsitusional dalam Pasal 18. Dalam pekembangannya otonomi desa mengalami pasang surut. Hal itu disebabkan oleh berbagai pertimbangan, mulai dari desa sebagai titik berat otonomi dengan mengatur desa sebagai daerah otonom, Dati III, sampai akhirnya sebagai kesatuan masyarakat hukum di bawah kahupaten. Pengaturan desa periodef RI dengan peraturan baru sehingga desa lebih sebagai bentukan baru. Persoalan utama dalam disertasi ini: bagaiména perbedaan pengaturan desa diakui dan desa dibentuk: ii. Apakah kedua desa tersebut memiliki kewenangan yang sama dalam pengeloaan SDA. Desa yang diakui atau marga di Sumatera Selatan diatur dengan IGOB. Upaya perubahan dengan UU baru selama periode RI tidak banyak merubah penyelenggaraan marga karena sebagai besar qagal, kecuali UU No. tahun 1979. Marga memiliki kewenangan mengelola SDA seperti pada masa berlakunya IGOB. IGOB terakhir dicabut oleh UU Desapraja tahun 1965. Tetapi karena UU ini ditunda pemberlakunnya, maka pengaturan marga kembali diselenggarakan menurut hukum adat yang sesungguhnya sama dengan IGOB. Karena itu sejak ditundanya pemberlakuan UU Desapraja pengaturan marga diatur dengan peraturan-peraturan yang diterbitkan oleh Mendagri, Perda, dan Keputusan Gubernur. Kewenangan dalam bidang SDA antara kedua desa tersebut sangat berbeda. Perbedaan dimaksud tercermin dari pengaturan otonomi desa yang diatur oleh IGOB, hukum adat dan UU bail: dalam UU Pemerintahan (di) Daerah maupun UU tetang pemerintahan Desa. Perbedaan pengaturan dan kewenangan tersebut ternyata dipengaruhi oleh konstelasi politik nasional. Upaya Pemerintah Pusat menerapkan desentralisasi ternyata mengalami kesulitan. Kesulitan tersebut mengarahkan Pemerintah Pusat untuk menata penyelenggaraan negara lebih sentralistik. Pengaturan desentralisasi dan otonomi desa dalam berbagai UU dalam periode RI secara teoritis sejalan dengan teori desentralisasi statis, tetapi tidak sesuai dengan teori desentralisasi dinamis. Karena itu pengaturan tersebut sebagian besar relevan dengan teori desentralisasi statis Hans Kelsen tetapi tidak relevan dengan teori desentralisasi dinamis. Dari sisi kebijakan bentuk peraturan perundang-undangan desetralisasi relevan dengan teori kebijakan (policy process) tetapi dari tata cara pembentukannya tidak sejalan dengan teori hirarki perundang-undangan (stuféntheorie). Penggunaan istilah daerah otonom telah mengaburkan pengertian desentralisasi dan otonami secara teoritis . Konsep desentralisasi dinamis patut diterapkan dengan cara mengatur kewenangan propinsi, kabupaten/kota dan desa dalam satu undang-undang secara tegas sekaligus untuk menetralisir otonomi luas dalam rangka demokratisasi di tingkat lokal."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
D1061
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library