Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Joko Rilo Pambudi
"Latar Belakang: Aterosklerosis dan penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama meningkatnya morbiditas dan mortalitas penderita artritis reumatoid (AR) Pemeriksaan ketebalan intima media (KIM) arteri karotis dengan ultrasonografi B-mode merupakan surrogate marker aterosklerosis dan penyakit kardiovaskular.
Metode: Dilakukan penelitian potong lintang pada 86 subyek penderita AR yang memenuhi kriteria EULAR/ACR 2010 yang berobat di Poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Aterosklerosis didefinisikan jika ditemukan pada pemeriksaan ultrasonografi KIM ≥ 1,0 mm pada salah satu : a. karotis komunis, a. karotis interna atau bulbus karotis sisi kanan atau kiri. Plak aterosklerosis didefinisikan jika didapatkan abnormalitas pada tebal KIM, bentuk dan atau tekstur dinding arteri.
Hasil: Aterosklerosis dan plak aterosklerosis masing-masing didapatkan pada 47 subyek (47,7%) dan 25 subyek (29,0%).Usia ≥ 40 tahun, adanya hipertensi, lama sakit ≥ 24 bulan pada analisis multivariat mempergunakan regresi logistik didapatkan berhubungan bermakna dengan aterosklerosis dengan RO (95%KI) masing-masing 10,70 (2,93-39,10), 4,99 (1,15-21,61) dan 3,66 (1,11-11,99). Adanya hipertensi, adanya anti-CCP dan usia ≥40 tahun berhubungan bermakna dengan plak aterosklerosis dengan RO (95%KI) masing-masing 3,96 (1,15-13,57), 3,20 (1,11-9,24) dan 3,61 (1,03-12,63).
Kesimpulan: Proporsi aterosklerosis dan plak aterosklerosis masing-masing didapatkan 47,7 % dan 29 %. Usia ≥ 40 tahun, adanya hipertensi dan lama sakit ≥ 24 bulan berturut-urut merupakan prediktor adanya aterosklerosis sementara adanya hipertensi, antibodi anti-CCP dan usia ≥ 40 tahun merupakan prediktor adanya plak aterosklerosis.

Background: Atherosclerosis and cardiovascular diseases have been known as the cause of increasing mortality among rheumatoid arthritis (RA) patients. Carotid intima media thickness (CIMT) measurement by B-mode ultrasound have been used as surrogate marker of atherosclerosis and cardiovascular disease.
Method: A cross sectional study involving 86 RA patients fulfill EULAR/ACR 2010 critera was conducted at Rheumatology Clinic FMUI/Cipto Mangunkusumo Hospital. CIMT examinations were perform at right and left side of carotid artery. Atherosclerosis was define if we found CIMT ≥ 1,0 mm at one of CCA, or ICA or carotid sinus. Plaque atherosclerosis presence if 1 of the following 3 criteria were met: abnormal wall thickness, abnormal shape, and abnormal wall texture.
Result: Atherosclerosis and plaque was found in 47,7% and 29 % of patients. Age ≥ 40 years old, hypertension and duration of illness ≥ 24 months were associated with atherosclerosis in multivariate logistic regression analysis with OR (95%CI) 10.70 (2.93-39.10), 4.99 (1.15-21.61) and 3.66 (1.11-11.99) respectively. Whereas hypertension, presence of anti-CCP antibody and age ≥ 40 years old, were associated with plaque formation with OR (95%CI) 3.96 (1.15-13.57), 3.20 (1.11-9.24) and 3.61 (1.03-12.63) respectively.
Conclusion: Proportion of atherosclerosis and plaque atherosclerosis were 47.7% and 29%. Age ≥ 40 years old, hypertension and duration of illness ≥ 24 months was the predictors of atherosclerosis, while hypertension, presence of anti-CCP antibody and age ≥ 40 years old was the predictors of plaque atherosclerosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58701
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miftah Azrin
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1999
T59103
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Alvin Tagor
"Latar Belakang. Flat fool adalah salah satu kelainan kaki yang sering dijumpai pada penderita artritis reumatoid. Selain nyeri yang disebabkan oleh penyakitnya, penderita AR juga dapat mengalami nyeri akibat flat foot. Selama ini kita selalu menganggap nyeri kaki dan gangguan berjalan pada penderita AR selalu disebabkan oleh AR, padahal mungkin juga akibat flat fool. Di Amerika prevalensi flat foot sebesar 50%. Untuk itu ingin diketahui proporsi kelainan ini pada penderita AR yang mengunjungi poliklinik reumatologi RSCM, serta gambaran dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Tujuan. (1) Mengetahui proporsi flat foot pada penderita AR. (2) Mengetahui rasio odds faktor-faktor lama menderita penyakit (LMP), Disease Activity Score (DAS), dan Indeks Massa Tubuh (IMT) terhadap kejadianflat foot pada penderita AR.
Metodologi. Dilakukan studi potong lintang pada penderita AR dengan keluhan kaki yang berobat ke poliklinik reumatologi RSCM untuk mengamati gambaran cetak kaki, dan kelainan kaki yang diderita, IMT, DAS, dan LMP. Gambaran kelainan kaki pada penderita AR disajikan dalam bentuk statistik deskriptif. Faktor-faktor yang mempengaruhi flat foot dianalisa dengan uji chi square serta perhitungan rasio odds.
Hasil. Selama periode Juli - September 2005 terkumpul sebanyak 52 orang penderita AR di Poliklinik Reumatologi Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Dua orang tidak sesuai dengan kriteria inklusi, sehingga hanya 50 orang yang dapat dianalisa. Ditemukan proporsi kelainan ini sebesar 40% (11(95% 26% - 53%). Pengujian bivariat menggunakan uji chi square menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian flat foot ialah IMT (P = 0,03; 012 = 3,7; IK95% 1,1 - 12,2) dan DAS (P = 0,047; OR = 0,2; IK 95% 0,03 - 0,9). Untuk mengetahui faktor-faktor yang paling berperan, dilakukan uji multivariat terhadap faktor-faktor dengan P < 0,25 (LMP, DAS, dan IMT). Ditemukan faktor yang paling berperan ialah IMT (P = 0,05; OR = 3,5;IK95% 0,99 - 12,2).
Kesimpulan. Proporsi kelainan flat foot pada penderita AR yang berobat di Poliklinik Reumatologi RSCM tidak berbeda dengan penelitian di Amerika. Faktor risiko yang berhubungan ialah IMT. Penelitian ini tidak menemukan hubungan LMP dan DAS terhadap kejadian. Flat foot pada penderita AR.

Background. Flat foot, as one of the deformities found on Rheumatoid Arthritis (RA) patients, also causes pain. In the case of RA patients, we often thought foot pain or gait disturbances were caused by pain from RA, on the other hand they might be caused by flat foot. Study in United States of America (USA) revealed the prevalence of flat foot were 50%. For this reason we would like to know the proportion of these deformities among RA patients visiting the rheumatology outpatient unit in dr. Cipto Mangunkusumo hospital, and factors which influenced it.
Objectives. To find : (1) the proportion of flat foot on RA patient, (2) the odds ratios of Body Mass Index, disease duration, and Disease Activity Score on the prevalence of flat foot in RA patients.
Methods. A cross sectional study was done on RA patients with lower extremity complaints who came to Rheumatology outpatient unit at Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta. The study was done by observing foot print, foot deformities, Body Mass Index (BMI), Disease Activity Score (DAS), and disease duration. The description of flat foot was presented in the form of descriptive statistics. Factors which influenced flat foot were analyzed using chi square method and odds ratios measurements.
Results. We observed 52 patients with RA during July - September 2005 in rheumatology outpatient unit Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Two patients did not conform inclusion criteria, thus excluded from this study. We found the proportion of flat foot in those patients was 40% (95% CI = 26% to 53%). Bivariate analysis using chi square method revealed BMI (P = 0.03, OR = 3.7 95% CI = 1.1 to 12.2) and DAS (P = 0.047, OR = 0.2, 95% CI = 0.03 to 0.9) as factors related to flat foot in RA patients. Further analysis on variables which had P value <0.25 (BMI, DAS, and disease duration) using multivariate method revealed BMI as the factor related to flat foot in RA patients.
Conclusion. The flat foot proportion on RA patients visiting Rheumatology outpatient Unit RSCM did not differ from that in USA. Factor related to this deformity was BMI. This study did not find relations of disease duration and DAS to flat foot in RA patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21422
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Supriadi
"Latar Belakang. Sindrom delirium memberikan dampak yang sangat besar yaitu dengan mengakibatkan bertambahnya lama perawatan, timbulnya komplikasi dan angka ketergantungan serta kematian yang tinggi. Beberapa penelitian di luar negeri mengenai faktor prognosis berupa retrospektif dan prospektif telah dilakukan dengan hasil yang bervariasi.
Tujuan. Mengetahui hubungan antara risiko kematian pada penderita sindrom delirium pada geriatri dengan pneumonia, skor APACHE II tinggi, klasifikasi ADL ketergantungan total, hipoalbuminemia dan anemia.
Metodologi. Desain penelitian prospektif kohort dari bulan Desember 2004 sampai dengan agustus 2005 di ruang rawat inap penyakit dalam RSUPNCM Jakarta. Subyek pada pasien usia >60 tahun yang memenuhi kriteria inklusi. Sindrom delirium dinilai dari anamnesis dengan menggunakan Confusion Assessment Method (CAM).
Hasil. Didapatkan dari 96 sampel, 49 orang pria (51%) dan 47 orang wanita (49%), 38 meninggal di rumah sakit. Kisaran umur antara 60 hingga 89 tahun dengan rerata 70,50 tahun. Angka kematian sindrom delirium di rumah sakit adalah 39,60%, dengan variabel bebas pneumonia angka kematian 68,40%, klasifikasi ADL ketergantungan total 34,30%, hipoalbumin 65,80% dan anemia 76,30%. Berdasarkan analisis bivariat didapatkan antara pneumonia dengan risiko kematian RR 1,32 (IK 95% 0,51-3,45)p= 0,67, rerata skor APACHE II tinggi dengan risiko kematian 20,2 +SB 5, p= 0,001, ldasifikasi ADL ketergantungan total dengan risiko kematian RR 8,23 (IK 95% L60-47,88) p= 0,001, hipoalbuminemia < 2,50 g/dL dengan risiko kematian RR 2,71 (1K 95% 1,32-8,79) p= 0,001 dan anemia dengan risiko kematian RR 3,22 (1K 95% 1;19-8,87) p= 0,01. Berdasarkan regresi logistik didapatkan skor APACHE II dengan titik potong ? 16, anemia dan tingkat ketergantungan total yang berhubungan dengan risiko kematian pada sindrom delirium dengan RR masingmasing adalah 30,80 (IK 95% 7,79-122,12) p= 0.001, 4,80 (IK 95% 1,25-18,36) p-0.02 dan 1,59 (IK 95% 1,05-2,40)p= 0,03.
Simpulan. Skor APACHE II > 16, anemia dan ADL ketergantungan total merupakan faktor prognosis kematian yang paling berperan pada pasien sindrom delirium pada geriatri.

Backgrounds. Delirium syndrome can give very big impact such as prolonged hospitalization, complication, high number of dependence and increasing the mortality rate. Some researches on prognostic factors of delirium syndrome in the form of retrospective and prospective studies have been done with vary result.
Objectives. Knowing death risk relation between delirium syndrome patient with 'pneumonia, high score of APACHE II, ADL total dependence classification, hypo albumin and anemia.
Methods. Design of the research is prospective cohort study at the patient with delirium syndrome from December 2004 up to August 2005 which hospitalized in RSUPNCM Jakarta Subject of age patient > 60 years fulfilling criterion inclusion. Delirium syndrome is assessed from anamnesis by using Confusion Assessment Method (CAM).
Main Results. From 96 sample, 49 men (51%) and 47 women (49%), 38 are death in hospital. The age range is from 60 to 89 years of age, with mean 70.50 years. The mortality rate of syndrome delirium in hospital is 39.60%, with independent variable of pneumonia is got prevalence of death 68.40%, ADL total dependence classification 34.30%, hypo albumin 65.80% and anemia 76.30%. Based on bivariate analysis got result between pneumonia with risk of death RR 1.32 (Cl 95% 0.51-3.45) p= 0.67, between mean high score of APACHE II with risk of death 20.20 ± SD 5, p= 0.001, ADL total dependence classification with risk of death RR 8.23 (CI 95% 1.60-47.88) p= 0.001, between hypoalbumin < 2.50 gldL with risk of death RR 2.71 (CI 95% 1.32-8.79) p= 0.001, and between anemia with risk of death RR 3.22 (Cl 95% 1.19-8.87) p= 0.01. By logistics regression got score of APACHE II with cut of point 16, anemia and ADL total dependence classification which deal with death risk at delirium syndrome with RR each is 30,8 (CI 95% 7.79-122.12)p- 0.001, 4.08 (CI 95% 1.25-1836) p= 0.02 and 1.59 (CI 95% 1.05-2.40)p= 0.03.
Conclusions. APACHE II scores X16, anemia and the ADL total dependence classification represent factor of most prognosis death share at geriatric patient with delirium syndrome.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21423
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Anindya Prathitasari
"Artritis reumatoid (AR) merupakan penyakit otoimun kronik terutama menyerang
sendi. AR dapat menyebabkan deformitas sendi yang menurunkan kualitas hidup
penderitanya. Penatalaksanaan AR dilakukan dengan terapi metotreksat (MTX)
dosis rendah yang berfungsi menghambat progresi penyakit. MTX memiliki efek
samping gangguan fungsi hati, yang didefinisikan sebagai peningkatan nilai SGOT dan atau SGPT hingga melebihi batas atas normal. Faktor yang diduga dapat
memengaruhi gangguan fungsi hati adalah jenis kelamin, usia, dosis kumulatif dan durasi terapi MTX. Prevalensi gangguan fungsi hati akibat pemberian MTX pada pasien AR di Indonesia masih belum diketahui. Penelitian ini bertujuan mencari proporsi gangguan fungsi hati akibat terapi MTX pada pasien AR di RSCM tahun 2013-2015 serta hubungannya dengan faktor yang berpengaruh. Data mengenai jenis kelamin, usia, dosis kumulatif dan durasi terapi MTX, nilai SGOT, dan nilai SGPT diperoleh dari 115 rekam medis pasien AR. Proporsi gangguan fungsi hati akibat terapi MTX pada pasien AR di RSCM adalah sebesar 42.60%. Jenis kelamin, usia, dosis kumulatif dan durasi terapi MTX tidak berpengaruh terhadap gangguan fungsi hati (p>0.05). Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kejadian gangguan fungsi hati dan faktor jenis kelamin, usia, dosis kumulatif dan durasi terapi MTX pada pasien AR yang diterapi MTX di RSCM tahun 2013-2015."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70311
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tanggo Meriza
"Latar Belakang : Adiponektin saat ini dianggap berperan penting dalam etiopatogenesis gangguan metabolik dan inflamasi termasuk artritis reumatoid (AR). Data terbaru menekankan peran adiponektin dalam peradangan dan degradasi matriks yang dapat menyebabkan kerusakan sendi erosif. Hubungan tingkat adiponektin serum dengan kerusakan sendi radiografi pada pasien dengan AR perlu diteliti lebih lanjut. Selain itu, telah dilaporkan bahwa adiponektin memberikan efek anti-aterosklerosis pada pasien non AR. Menariknya, beberapa studi telah melaporkan peningkatan kadar adiponektin pada pasien AR, hal ini berlawanan mengingat tingginya prevalensi aterosklerosis pada AR. Dengan demikian, efek adiponektin pada aterosklerosis belum sepenuhnya jelas.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang. Subjek penelitian diambil dari 50 orang pasien yang memenuhi kriteria EULAR/ACR 2010 untuk AR yang datang ke poliklinik reumatologi RSCM Jakarta. Pengambilan sampel adalah secara consecutive sampling. Dilakukan pemeriksaan kadar adiponektin serum dan foto rontgen tangan/kaki dengan menggunakan Skor Sharp-van der Heijde (SSH). Adanya aterosklerosis ditentukan dengan mengukur ketebalan Tunika Intima Media arteri karotis melalui pemeriksaan USG karotis bilateral.
Hasil: Dari 50 pasien yang diteliti, 28 (56%) mengalami peningkatan kadar adiponektin. Aterosklerosis ditemukan pada 13 (26%) subjek. Uji Spearman memperlihatkan tidak ada hubungan antara adiponektin serum dengan aterosklerosis pada pasien AR (p =0.706 dan r=0,055). Adiponektin juga tidak berhubungan dengan skor SSH, tetapi setelah di analisa dengan beberapa karakteristik AR, adiponektin berhubungan dengan SSH pada kelompok pasien dengan anti CCP negatif (p=0,036 dan r=0,38).
Kesimpulan: Dari penelitian ini, peneliti menyimpulkan bahwa kadar adiponektin serum meningkat pada pasien AR, tetapi peningkatan adiponektin serum tidak berhubungan dengan aterosklerosis. Adiponektin berhubungan dengan kerusakan sendi pada kelompok pasien dengan anti CCP negatif.

Background : Adiponectin is now considered important players in the etiopathogenesis of metabolic and inflammatory disorder including rheumatoid arthritis ( RA ). Recent data stress the role of adiponectin in inflammation and matrix degradation that may contribute to erosive joint damage. The association of serum adiponectin level with radiographic joint damage in patients with RA need to be explored. Furthermore, it has been reported that adiponectin exerts an antiatherosclerotic effect in non RA patients. Interestingly, several studies have reported increased level of adiponectin in RA patients, findings which appear paradoxical in light of the higher prevalence of atherosclerosis in RA. Thus, the effect of adiponectin on atherosclerosis has not been clarified sufficiently.
Methods: This was a cross sectional study. Subjects were fifty patients who fulfill Eular Criteria/ACR 2010 for RA from the Rheumatology clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital / Faculty of Medicine University of Indonesia Jakarta. Patients with RA underwent serum adiponectin assessment and hand/feet x-rays, scored using the Sharp-van der Heijde Score (SHS). Carotid intima media thickness represent of atherosclerosis was measured by using Ultrasound (USG Bmode).
Results: Of the 50 patients studied, 28 (56%) showed an increased in adiponectin levels. Atherosclerosis was diagnosed in 13 (26%) of this subject. Spearman test showed there was no correlation between adiponectin serum level with adiponectin in RA patients (p =0.706 and r=0,055). Adiponectin level did not correlate with SHS, but after adjusting for disease characteristics, adiponectin level correlate with SHS in negative anti CCP group (p=0,036 and r=0,38).
Conclusion : From this study, we conclude that adiponectin serum level was increase in rheumatoid arthritis patients, but the increasing of the adiponectin serum level was not correlated with atherosclerosis event. Adiponectin level correlate with radiographic joint destruction in negative anti CCP group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Perdana Aditya Rahman
"ABSTRAK
Latar Belakang
Kejadian trombosis merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien LES, selain infeksi dan aktivitas penyakit. Faktor risiko trombosis pada LES sangat beragam seperti sindrom antifosfolipid, aterosklerosis dini, autoantibodies dan inflamasi yang akan mengaktifkan trombosit dan jalur koagulasi. Studi ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara MPV dengan D-dimer dan Mex-SLEDAI dan mencari titik potong dari MPV yang memberikan peningkatan D-dimer.
Metode
Studi potong lintang pada pasien LES yang tidak mengonsumsi antiplatelet/ antikoagulan. Penelitian ini mengeksklusi pasien dengan tuberkulosis/ herpes zoster aktif, wanita hamil, sepsis dan gangguan hati. Seluruh pasien dinilai aktivitas penyakitnya dengan Mex-SLEDAI dan sampel darah diambil untuk pemeriksaan MPV dan D-dimer. Korelasi antara MPV dengan Mex-SLEDAI dan D-dimer dianalisis dengan uji Spearman.
Hasil Penelitian
Enam puluh tiga subyek (62 perempuan, 1 laki-laki), dengan median usia 33 (18-55) tahun. Median durasi terdiagnosis adalah 3 (0-25) tahun. Keterlibatan mukokutan, muskuloskeletal dan nefritis didapatkan pada 82,5%, 79,4%, dan 50,7% berturut-turut. Skor Mex-SLEDAI berentang dari 0 – 13, dengan 60.3% subyek dalam kondisi remisi (< 2) dan 27% berada dalam kondisi aktif (> 5). Median dari MPV adalah 9,9 (8,2-12,9) fL dan median dari D-dimer 365,51 (97,58 – 4938,1) ng/ml. Tidak didapatkan korelasi antara MPV dengan D-dimer (r= 0,049, p= 0,700), dan MPV dengan Mex-SLEDAI (r= 0,018, p= 0,888). Tidak didapatkan perbedaan MPV antara kelompok D-dimer normal dan tinggi, yaitu 9,75 (8,6 – 12,9) dan 10,1 (8,2 – 12,8) fL, p = 0,641. Dari kurva ROC, MPV 10,3 fL memiliki sensitifitas 48,1% dan spesifisitas 75% dalam memprediksi peningkatan D-dimer.
Kesimpulan
Tidak didapatkan korelasi antara MPV dengan D-dimer dan MPV dengan Mex-SLEDAI. Tidak didapatkan perbedaan MPV antara kelompok D-dimer normal dan tinggi. Titik potong MPV untuk memprediksi peningkatan D-dimer adalah 10.3 fL.

ABSTRACT
Background
Thrombotic event is one of mortality cause in SLE patients beside infection and disease activity. Thrombotic risk factors in SLE consist of antiphospholipid syndrome, accelerated atherosclerosis, autoantibodies and inflammation that will activate platelet and coagulation cascade. This study aimed to determine the correlation between MPV with D-dimer and Mex-SLEDAI as parameter of disease activity, and to find the cut-off value of MPV that correlate with D-dimer levels.
Methods
A cross sectional study of SLE patients who do not consume antiplatelet/ anticoagulant medication. Active tuberculosis/ herpes zoster, pregnant woman, sepsis, and liver disorders were excluded. All patients were assessed for Mex-SLEDAI score and blood sample for MPV and D-dimer was taken. Correlation between MPV with Mex-SLEDAI and D-dimer was analyzed using Spearman’s analysis test.
Study Results
Sixty three subjects (62 females, 1 male), with median age 33 (18-55) years old. Median duration of diagnosis is 3 (0–25) years. Mucocutaneous, musculoskeletal and nephritis were found in 82.5%, 79.4% and 50.7% subjects respectively. Mex-SLEDAI score ranging from 0–13, 60.3% subjects are in remission (<2) and 27% in active disease (>5). Median of MPV 9.9 (8.2–12.9) fL and median of D-dimer 365.51 ng/ml (97.58–4938.10). There were no correlation between MPV with D-dimer (r=0.049, p=0.700), and MPV with Mex-SLEDAI (r=0.018, p=0.888). There is no difference of MPV among groups with normal or high D-dimer, which are 9.75 (8.6 – 12.9) and 10.1 (8.2 – 12.8) fL, p = 0.641. From ROC curve, MPV 10.3 fL had 48.1% sensitivity and 75% specificity in predicting D-dimer increment.
Conclusions
There are no correlation between MPV with D-dimer level and MPV with Mex-SLEDAI score. There is no difference of MPV among group with normal and high D-dimer levels. Cut-off value for MPV to predict increased D-dimer level was 10.3 fL.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58760
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khadijah Fitriah
"Artritis Reumatoid AR merupakan penyakit inflamasi sistemik kronik yang menyerang dan merusak sendi-sendi pada tungkai atas dan bawah. AR menyebabkan morbiditas dan disabilitas yang dapat menurunkan kualitas hidup Inflamasi kronis seiring dengan progresivitas penyakit menyebabkan penurunan indeks massa tubuh pada pasien AR. Titer Anti-CCP yang bersifat spesifik terhadap AR dapat menggambarkan progresivitas dan prediksi keparahan penyakit. Penelitian mengenai titer anti-CCP dan indeks massa tubuh belum dilakukan di Indonesia. Sehingga penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui korelasi antara titer anti-CCP dengan nilai indeks massa tubuh IMT di RSCM. Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional dengan jumlah sampel sebanyak 42 rekam medis. Data mengenai titer anti-CCP, berat badan, tinggi badan, dan nilai indeks massa tubuh diperoleh dari rekam medis pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara titer anti-CCP dengan nilai indeks massa tubuh p>0.05; r-0.03.

Rheumatoid arthritis is a chronic systemic inflammation that attacks and damages joints of upper and lower extremities. RA causes morbidity and disability, hence, affects the quality of life. Chronic inflammation, as the disease progressing, causes lowering of body mass index in RA patients. Titer of Anti CCP, which is specific for RA, indicates the progressivity and severity of the disease. Study about anti CCP titer and body mass index has not been done in Indonesia. Therefore, this study rsquo s done to understand the correlation between anti CCP titer and body mass index score in Rheumatoid Arthritis patients in RSCM. The design of this study is cross sectional study with 42 samples. The data including anti CCP titer, body weight, height, and body mass index are collected from patients rsquo medical records. The result of this study shows that there is no correlation between anti CCP titer and body mass index score in Rheumatoid Arthritis patients in RSCM p 0.05 r 0.03."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deka Yuli Fadillah
"Artritis Reumatoid AR merupakan salah satu penyakit yang berhubungan dengan sistem imun yang menyebabkan kerusakan sendi dan mengakibatkan terjadi penurunan kualitas hidup pasien. Nilai DAS28 CRP menggambarkan aktivitas penyakit AR. Titer Anti-CCP merupakan pemeriksaan yang sangat spesifik digunakan untuk memberikan gambaran prognosis penyakit pasien AR. Penelitian tentang korelasi titer Anti-CCP dengan nilai DAS28 CRP belum pernah dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara titer Anti-CCP dengan nilai DAS28 CRP di RSCM. Pada peneltian ini desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional dengan sampel berjumlah 43 data. Data mengenai titer Anti-CCP dan DAS28 CRP didapatkan melalui rekam medis pasien. Hasil menyatakan bahwa tidak terdapat korelasi p=0,582 antara titer Anti-CCP dengan DAS28 CRP dengan nilai r yang menunjukkan korelasi sangat lemah r=0,086.

Rheumatoid arthritis is one of a disease relating with immunity that causes destruction in joints which affects quality of life of its patients. DAS28 CRP score represents the activity of the disease. Anti CCP titer is a specific test to portray the prognosis for the patients. Study about correlation between DAS28 CRP score and Anti CCP titer has not been done in Indonesia. Therefore, this study rsquo s done to understand the correlation between DAS28 CRP score and Anti CCP titer in RSCM. The design of this study is cross sectional study with 43 samples. Data of Anti CCP score and DAS28 CRP score are collected from patients rsquo medical records. The result of this study shows that there is no correlation between Anti CCP titer and DAS 28 CRP score in Rheumatoid Arthritis patients in RSCM with a very low correlation p 0,582 r 0,086."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Utami Al Hadi
"ABSTRACT
Artritis Reumatoid AR merupakan penyakit inflamasi kronis sistemik yang ditandai dengan pembengkakan dan nyeri sendi, serta kerusakan dari membran sinovial pada persendian. Dalam memonitor penyakit ini, digunakan Disease Activity Score-28 DAS28 yang dapat menunjukkan aktivitas penyakit AR dari waktu ke waktu. DAS28 bermanfaat untuk mengevaluasi pengobatan serta menentukan keputusan klinis lainnya. DAS28 dapat dihitung menggunakan beberapa komponen seperti jumlah sendi yang nyeri, bengkak, nilai Visual Analogue Scale VAS , serta penanda inflamasi berupa nilai Laju Endap Darah LED atau C-Reactive Protein CRP . DAS28-LED dan DAS28-CRP digunakan secara luas dan keduanya ekuivalen. Namun, nilai LED dapat dipengaruhi berbagai faktor lain, seperti kejadian infeksi, yang angkanya cukup tinggi di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat perbedaan antara nilai DAS28-CRP dengan DAS28-LED di Indonesia. Data ini belum diketahui sebelumnya. Data mengenai jenis kelamin, usia, jumlah sendi nyeri dan bengkak, nilai VAS, LED, dan CRP diperoleh dari 40 rekam medis pasien AR yang berobat di RSCM pada tahun 2015. Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa terdapat perbedaan bermakna rerata antara nilai DAS28-CRP dan DAS28-LED sebesar 1,0107.

ABSTRACT
Rheumatoid Arthritis RA is a systemic chronic inflammation disease marked by swollen and tender joint, also destruction of joint rsquo s synovial membrane. To monitoring this disease, Disease Activity Score 28 DAS28 used to show disease activity of RA in times to times. DAS28 is useful to evaluate disease rsquo s treatment and guide clinician to take a decision for the treatment itself. There are some component needed to count DAS28 score, they are number of tender and swollen joint, Visual Analogue Scale, and inflammatory marker such as Erythrocyte Sedimentation Rate ESR or C Reactive Protein CRP . Either DAS28 ESR or DAS28 CRP are used widely and are said to be equivalent to each other. Otherwise, ESR influenced by many other factors, one of them is infection disease, whose the incident number in Indonesia is relatively high. Therefore, the objective of this stuy is to know the comparison between DAS28 ESR and DAS28 CRP in Indonesia, which is still unknown. Data about gnder, age, number of tender and swollen joint, VAS, ESR, and CRP are obtained from 40 RSCM RA patients rsquo medical record in 2015. From this research known that there are significant mean difference between DAS28 CRP and DAS28 ESR which is 1,0107."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>