Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Denny Wijayanto
Abstrak :
Latar Belakang. Laparoskopi ginekologi memiliki insidens yang cukup tinggi dalam menyebabkan mual dan muntah paska operasi yaitu sekitar 50% dan belum ada obat-obatan yang terbukti efektif mencegah hal ini. Pemberian anti muntah tunggal disebutkan kurang efektif, sehingga dibutuhkan lebih dari satu macam obat, oleh karena itu dilakukan penelitian ini dengan membandingkan pemberian deksametason, ondansetron, serta deksametason dan ondansetron dalam mencegah mual dan muntah paska laparoskopi ginekologi. Metode. Merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan randomized clinical trial (RCT). Subyek penelitian dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu deksametason+plasebo, ondansetron+plasebo, dan deksametason+ondansetron yang diberikan 1 jam sebelum induksi. Hasil. Didapatkan 57 wanita yang memenuhi kriteria inklusi dan mengikuti penelitian, menjalani laparoskopi ginekologi. Hasil analisis statistik tidak didapatkan perbedaan bermakna rerata skoring mual dan muntah baik pada 6 jam (p=0,418) maupun 12 jam paska operasi pada ketiga kelompok perlakuan (p=0,588), namun demikian kombinasi deksametason dan ondansetron menghasilkan rerata skoring mual dan muntah yang lebih rendah daripada pemberian deksametason atau ondansetron saja. Kesimpulan. Pemberian deksametason, ondansetron dan kombinasi deksametason + ondansetron tidak menurunkan secara bermakna skoring mual dan muntah paska operasi pada wanita yang menjalani laparoskopi ginekologi. ...... Background. Gynecological laparoscopy has a fairly high incidence in causing postoperative nausea and vomiting which is about 50 % and there are no drugs that are proven to prevent this effecetively. A single antiemetic less effective to prevent post operative nausea and vomiting, so it takes more than one drug. This study was conducted to compare the administration of dexamethasone, ondansetron, and dexamethasone plus ondansetron in preventing nausea and vomiting after gynecological laparoscopy. Methods. This study was an experimental study with randomized clinical trials (RCTs) design. The study subjects were divided into 3 groups, dexamethasone + placebo, ondansetron + placebo and dexamethasone + ondansetron that was given 1 hour before induction. Results. A total of 57 women who fullfill the inclusion criteria and follow the study, undergoing gynecological laparoscopy. The Statistical analysis found no significant differences in mean scoring both nausea and vomiting at 6 hours (p=0.418) and 12 hours post operative in all three treatment groups (p=0.588), but the combination of dexamethasone and ondansetron can reduce post operative nausea and vomiting mean scoring than dexamethasone or ondansetron alone. Conclusion. Dexamethasone,ondansetron and dexamethasone + ondansetron combination does not reduce postoperative nausea and vomiting scoring significantly in women undergoing gynecological laparoscopy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58686
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Wuri Handayanto
Abstrak :
ABSTRAK
Tekanan balon pipa endotrakeal (ETT) akan menimbulkan komplikasi bila diberikan lebih atau kurang dari batas aman yang direkomendasikan. Perubahan tekanan ini, dapat disebabkan oleh perubahan posisi. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan tekanan balon ETT setelah perubahan posisi supine ke lateral decubitus. Penelitian ini merupakan uji klinis eksperimental untuk mengetahui perbedaan tekanan balon ETT setelah perubahan posisi supine ke lateral decubitus pada pasien yang menjalani anestesi umum. Sampel diambil dengan cara consecutive sampling dalam satu kelompok (n=40). Variabel yang diukur pada penelitian ini adalah tekanan balon ETT pada saat posisi supine dan pada saat setelah posisi lateral decubitus. Hasil menunjukan bahwa dari semua sampel penelitian yang diambil terdapat perbedaan yang signifikan pada tekanan balon ETT saat diposisikan supine dan lateral decubitus, dimana pada saat diposisikan lateral decubitus tekanan balon ETT lebih tinggi daripada tekanan balon ETT saat diposisikan supine. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Terdapat perbedaan yang signifikan pada tekanan balon ETT setelah perubahan posisi pasien dari supine ke lateral decubitus. Perubahan posisi ini terbukti dapat meningkatkan tekanan balon ETT.. Berdasarkan penelitian ini, disarankan perlu penggunaan alat pengukur tekanan balon ETT pada setiap tindakan anestesi umum dengan intubasi ETT khususnya untuk operasi yang memerlukan posisi pasien lateral decubitus, guna memastikan tekanan balon ETT selalu dalam batas aman. Sehingga komplikasi akibat tekanan balon ETT diluar batas aman tidak terjadi dan keamanan pasien tetap terjaga.
ABSTRACT
Endotracheal tube (ETT) cuff pressure will cause complications when given more or less than the recommended safe limits. These pressure changes, can be caused by a change in patiens position. This study aims to know the cuff pressure difference of endotracheal tube after position changes from supine to lateral decubitus. This study is an experimental clinical trial to determine the pressure cuff difference of endotracheal tube after position changes from supine to lateral decubitus in patients undergoing general anesthesia. Samples were taken by consecutive sampling in one group (n = 40). Variables measured in this study is the cuff pressure during supine position and after position changes to lateral decubitus position. The results showed that of all study samples are taken there are significant differences in cuff pressure when positioned supine and lateral decubitus, At which time the ETT cuff pressure is higher when positioned in lateral decubitus than supine position. The conclusion of this study was there are significant differences in ETT cuff pressure after changing position of the patient from supine to lateral decubitus. This change causes an increase in cuff pressure was statistically significant. Based on this study, it is advisable to use a ETT cuff gauge in every act of general anesthesia with ETT intubation, especially for operations that require long surgery with lateral decubitus position, to ensure the cuff pressure was always within safe limits. So that the complications of cuff pressure did not occur beyond safe limits and patient safety is maintained.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufiq Agus Siswagama
Abstrak :
ABSTRAK
Batuk yang muncul saat induksi anestesi merupakan sesuatu yang tidak diharapkan, terutama pada kasus dengan peningkatan tekanan intrakranial, peningkatan tekanan intraocular, open eye injury, retinal detachmen peningkatan tekanan intra abdomen, eneurisma aorta, pneumothoraks, hipereaktivitas jalan napas dan sebagainya. Kejadian reflek batuk setelah pemberian bolus fentanyl intravena / fentanyl induce cough ( FIC) telah dilaporkan berkisar antara 18 sampai 65 persen kasus. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efek pemberian pre-emptive fentanyl 25 μg intravena terhadap kejadian batuk setelah bolus fentanyl 2 μg/kgBB intravena (Fentanyl Induce Cough). Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda, bersifat eksperimental dan ditujukan untuk menguji keefektifan pemberian pre-emptive fentanyl 25 μg intravena sebelum bolus fentanyl 2 μg/kgBB intravena dalam hal mengurangi kekerapan Fentanyl Induce Cough (FIC). Pasien dirandomisasi sederhana dengan menggunakan kertas undian yang telah dibuat menjadi 2 kelompok yaitu kelompok yang akan mendapat injeksi intravena normal salin 0,5 ml dan diikuti fentanyl 2 μg/kgBB (kelompok I) serta injeksi intravena fentanyl 25 μg, diikuti fentanyl 2 μg/kgBB (kelompok II). Variabel yang diukur adalah insiden batuk dan derajad batuk yang muncul setelah bolus intravena fentanyl 2 μg/kgBB. Hasil penelitian ini menunjukkan pemberian pre-emptive fentanyl 25 μg intravena satu menit sebelum bolus intravena fentanyl 2 μg/kgBB walaupun menunjukkan kecenderungan menurunkan kejadian FIC dari 40 % menjadi 15%, akan tetapi secara statistik tidaklah bermakna. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa pemberian pre-emptive fentanyl 25 μg dapat menurunkan insiden FIC (Fentanyl Induce Cough). Akan tetapi penurunannya secara statistik tidak bermakna.
ABSTRACT
Cough induced by induction of anesthesia is something that is not expected, especially in the condition such as increase of intracranial pressure, increase of intraocular pressure, open eye injury, retinal detachment, increase of intra-abdominal pressure, aorta aneurism, pneumothorax, airway hyper-reactivity etc. Cough reflex occurring after bolus of fentanyl intravenously (fentanyl-induced cough/FIC) is reported in 18 until 65% of cases. The goal of this research is to know the effect of pre-emptive intravenous fentanyl 25 μg to cough incidence after bolus of intravenous fentanyl 2 μg/kgBW. This research is a double-blind experimental study that studies the effectivity of intravenous fentanyl 25 μg before bolus intravenous of fentanyl 2 μg/kgBW to reduce the incidence of fentanyl-induced cough (FIC). The patients were divided into two groups with simple randomized method. One group received normal saline 0,5 cc first and then fentanyl 25 μg/kgBW (group I). The other group received intravenous injection of 25 μg fentanyl followed by intravenous bolus of fentanyl 2 μg/kgBw (group II). The variables measured were cough incidence and cough degree which occurred after bolus of intravenous fentanyl 2 μg/kgBW. The result of this research described that even though giving pre-emptive intavenous fentanyl 25 μg, one minute before bolus intravenous fentanyl 2 μg/kgBW can reduce the FIC incidence from 40% to 15%, but was not statistically significant. The conclusion of this research is that the giving pre-emptive fentanyl 25 μg tend to decrease FIC incidence, even though the decrease is not statistically significant.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library