Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Evi Indrasanti
"Kandidiasis orofaring yang disebabkan oleh C. albicans merupakan infeksi oportunistik yang paling sering terjadi pada pasien HIV/AIDS. Flukonazol telah digunakan secara luas untuk terapi kandidiasis. Beberapa penelitian saat ini telah melaporkan terjadinya resistensi spesies Candida terhadap flukonazol terutama pada pasien HIV/AIDS. Tujuan penelitian ini untuk melihat besarnya resistensi spesies Candida yang diisolasi dari pasien HIV/AIDS juga ingin diketahui categorical agreement antara metode otomatik Vitek2 dengan metode manual difusi cakram dalam menguji kepekaan spesies Candida terhadap antijamur. Penelitian potong lintang ini terdiri dari 137 isolat Candida yang didapatkan dari 86 subyek HIV/AIDS dengan Kandidiasis Orofaring di RSCM. Data karakteristik subyek dicatat dan dilakukan pengambilan swab orofaring. Identifikasi spesies dilakukan menggunakan media CHROMagar dan YST Vitek2. Uji kepekaan dilakukan memakai metode otomatik Vitek2 dan manual difusi cakram, kemudian dicari interpretasi error dan categorical agreement antara kedua metode. Didapatkan 8 spesies Candida yaitu C.albicans sebesar 77 (55,3%), C.glabrata 21(15,3%), C.tropicalis 19 (13,9%), C.krusei 9 (6,7%), C.parapsilosis 5 (3,6%), C.dubliniensis 4 (2,9%), C.famata 1 (0,76%), C.magnoliae 1 (0,76%). Angka resistensi C.albicans dengan Vitek2 terhadap FCA,VOR,AMB, dan FCT berturut turut adalah 0; 1,3%; dan 2,6%; dan 0, C.glabrata 9,5%; 9,5%; 5%; dan 0, C.krusei 100%; 0; 11,1%; dan 0, C.dubliniensis 0; 0; 25%; dan 0. Angka resistensi C.albicans dengan difusi cakram terhadap FCA,VOR,AMB berturut turut adalah 2,6%; 2,6%; 0, C.glabrata 52,4%; 23,8%; 23,8%, C.tropicalis 5,3%; 5,3%; 0, C.krusei 100%; 0; 11,1%, C.parapsilosis 0; 0; 2%. Categorical agreement uji resistensi antara metode otomatik Vitek2 dengan manual difusi cakram terhadap FCA, VOR, dan AMB berturut turut untuk C.albicans yaitu 90,9%; 92,2%; dan 98,7%, C.glabrata 19,05%; 71,4%; dan 80,95%, C.tropicalis 89,5%; 89,5%; dan 89,5%, C.krusei 100%; 88,9%; dan 55,6%, C.parapsilosis 100%; 100%; dan 80%, serta C.dubliniensis 75%; 100%; dan100%. Kami menyimpulkan C.albicans masih merupakan penyebab kandidiasis tersering, dan angka resistensi isolat Candida yang didapatkan dari subyek HIV/AIDS dengan kandidiasis orofaring di RSCM cukup rendah, kecuali C.krusei dan C.glabrata. Total categorical agreement untuk seluruh spesies Candida antara Vitek2 dengan difusi cakram cukup baik, kecuali untuk C.glabrata.

Oropharyngeal candidiasis caused by C. albicans is the most common opportunistic infection in patients with HIV / AIDS. Fluconazole has been used widely for the treatment of candidiasis. Recent studies have reported the occurrence of fluconazole resistance to Candida species, especially in HIV / AIDS patients. The purpose of this study is to determine frequency of resistance of Candida species isolated from patients with HIV / AIDS to antifungal drugs. Further, to explore the categorical agreement between Vitek2 automatic with manual disc diffusion method to determine the sensitivity of Candida species. This cross-sectional study conducted between October 2012 and March 2013 yield on 137 Candida isolates from 86 oropharyngeal candidiasis HIV/AIDS patients at RSCM. Data on baseline characteristic were recorded and isolation of Candidia species was obtained by performing oropharyngeal swab. Species identification using CHROMagar media and YST Vitek2 and sensitivity test by automatic Vitek2 methods and manual disc diffusion was performed. The error interpretation and categorical agreement between the two methods was then calculated We identified total of eight Candida species, 77 (55.3%) C.albicans and non albicans included C.glabrata 21 (15.3%) ; C.tropicalis 19 (13.9%) ; 9 (6.7%) C.krusei; 5 (3.6%) C.parapsilosis; 4 (2.9%) C.dubliniensis and 1 (0.76%) for each C.famata and C.magnoliae. Vitek2 resistance rates against C.albicans with fluconazole (FCA), voriconazole (VOR), amphoterisin B (AMB), and flucytosin (FCT) were 0; 1.3%; 2.6% and 0 respectively, C.glabrata 9.5%; 9.5%; 5% and 0, respectively. C.krusei 100%; 0; 11.1%, and 0 respectively. C.dubliniensis 0; 0; 25%, and 0. Using disc diffusion the resistance of FCA, VOR, AMB was 2.6%, 2.6%, 0 for C.albicans, C.glabrata 52.4%, 23.8%, 23.8%, C. tropicalis 5.3%, 5.3%, 0, C.krusei 100%; 0; 11.1%, C.parapsilosis 0; 0; 2%. Total categorical agreement for all Candida species against FCA, VOR and AMB, Vitek2 and disc diffusion method Vitek2 was C.albicans 90,9%; 92,2%; and 98,7%, C.glabrata 19,05%, 71,4%, and 80,95%, C.tropicalis 89,5%, 89,5%, and 89,5%, C.krusei 100%, 88,9%, and 55,6%, C.parapsilosis 100%, 100%, and 80% C.dubliniensis 75%, 100%, and 100% respectively. C.albicans still found as the most common caused of oropharyngeal candidiasis and remained sensitive to antifungal treatment. Among the non albicans species, susceptibilities of C.krusei and C.glabrata to antifungal treatment was poor. Sensitivity test using Vitek2 and disc diffusion methods resulted in excellent to
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Ramli
"

Respons radiasi kanker serviks diduga dapat ditingkatkan dengan pemilihan waktu radiasi tetap yang berpola sirkadian karena dianggap sesuai dengan fase radiosensitif G2-M sel kanker. Daur sirkadian dan melatonin dianggap berperan dalam radiosensitivitas. Dihipotesiskan respons radiasi pagi hari maupun efek samping radiasi pagi hari akan lebih baik dibanding sore hari.

Penelitian ini merupakan uji klinis dengan perolehan subjek secara berurutan. Alokasi pilihan waktu radiasi pada pagi (06.00–08.00) dan sore (16.00–18.00) hari dengan randomisasi blok tiap enam subjek terpisah antara stadium II dan III. Data diperoleh menggunakan metode open label. Pengukuran data klinis seperti ukuran tumor, respons klinis, dan efek samping dilakukan oleh dua dokter independen yang terlatih. Dilakukan pengukuran kadar melatonin dan fase G2-M siklus sel di institusi resmi. Respons baik dan buruk ditetapkan berdasarkan kriteria WHO sedangkan efek samping ada atau tidak, ditetapkan berdasarkan kiriteria RTOG.

Penyinaran di waktu pagi menunjukkan respons klinis lebih baik dibandingkan sore (p 0,025; 95% IK:1,27–33,08; adj OR: 6,48) untuk respons pascaradiasi maupun 2–4 minggu pascaradiasi (p 0,048; 95% IK 1,02–47,81; adj OR 6,98). Kadar Hb awal dan ukuran klinis tumor berpengaruh secara bermakna terhadap respons baik pascaradiasi maupun respons baik 2–4 minggu pascaradiasi. Dalam hal efek samping, pilihan waktu radiasi tidak menunjukkan hasil yang bermakna, namun kadar melatonin praradiasi berpengaruh, khususnya efek samping kulit (p 0,006; 95% IK 1,66–18,99; adj OR 5,62). Variabel yang bermakna memengaruhi efek samping terapi pada gastrointestinal adalah overall treatment time (p 0,031; 95% IK 1,19–39,93; adj OR 6,89), sedangkan untuk genitourinaria adalah PA diferensiasi (p 0,015; 95% IK 1,51–46,37; adj OR 8,36), penurunan berat badan (p 0,025; 95% IK 1,22–18,30; adj OR 4,72), dan nyeri sebelum radiasi (p 0,017; 95% IK 1,31–15,32; adj OR 4,47).

Simpulan: Respons radiasi kanker serviks uteri yang diradiasi pagi hari lebih baik daripada yang diradiasi sore hari, namun efek samping radiasi pagi hari tidak berbeda bermakna dibandingkan sore hari. Belum dapat dipastikan pengaruh besarnya proporsi fase G2-M terhadap respons klinis radiasi. Ada kecenderungan pengaruh kadar melatonin pagi hari terhadap respons klinis radiasi dan terbukti kadar melatonin berpengaruh pada efek samping kulit.

Kata kunci: kanker serviks, melatonin, radiosensitivitas, siklus sel, sirkadian


The radiation response of cervical cancer can be enhanced by the choice of a fixed radiation time of circadian pattern because it is considered to be in accordance with the radiosensitive phase of G2-M cancer cells. Circadian cycles and melatonin are thought to play a role in radiosensitivity. It is hypothesized that the response and side effects of morning radiation will be better than the afternoon.

This study was an RCT (randomized clinical trials) with consecutive sampling. Treatment allocation for radiation time in the morning (06.00–08.00) and afternoon (16.00–18.00) were determined by block randomization for every six subjects based on the stage (II and III). The data was obtained with an open label method. Measurement of clinical data such as tumor size, clinical response, and side effects were carried out by two-trained independent physicians. Measurement of melatonin levels and G2-M phases of cell cycle were carried out in official institution. Good and poor responses were set based on WHO criteria while the side effects were determined based on the RTOG criteria.

Morning radiation showed a better post-radiation and 2–4 weeks post-radiation clinical response compared with afternoon (p 0.025; 95% CI:1.27–33.08; adj OR: 6.48 and p 0.048; 95%CI 1.02–47.81; adj OR 6.98, respectively). The initial Hb level and clinical size of the tumor had a significant effect on good response both post-radiation and 2-4 weeks post-radiation. In regards to the side effects, radiation time did not show significant results in causing side effects, but pre-radiation melatonin level did on skin (p 0.006; 95%CI 1.66–18.99; adj OR 5.62). The significant variable in influencing gastrointestinal side effects was overall treatment time (p 0.031; 95%CI 1.19–3.93; adj OR 6.89), whereas for genitourinaria were differentiation of histopathology (p 0.015; 95%CI 1.51–46.37; adj OR 8.36), weight loss (p 0.025; 95%CI 1.22–18.30; adj OR 4.72), and presence of pain pre-radiation (p 0.017; 95%CI 1.31–15.32; adj OR 4.47).

Conclusion: The radiation response of irradiated uterine cervical cancer is better in the morning than the afternoon. Nevertheless, the side effects of morning radiation do not differ significantly compared to the afternoon. The influence of the G2-M phase proportion on the clinical response to radiation cannot be ascertained. The level of melatonin in the morning might affect the radiation response and affect the side effects on skin.

Keywords: cell cycle, cervical cancer, circadian, melatonin, radiosensitivity.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Wahyuningsih
"ABSTRAK
Kandidosis adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur Candida spp. Spesies
terbanyak yang dapat menyebabkan penyaldt adalah Candida albicans. Jamur
tersebut dapat ditemukan sebagai komcnsal dalam tubuh manusia, yaim dalam
saluran cema atau salman napas bagian atas. Pada keadaan tertcntu yaitu adanya
falctor predisposisi, jamur tersebut dapat berubah menjadi patogen dan menyebabkan
pcnyakif. Berdasarkan iokalisasi, Candida dapat menyebabkan infeksi superlisial
pada kuku, kulit, dan mukosa, tetapi juga dapal menyebabkan infeksi sistemik pada
organ dalam. Dalam proses teljadinya kandidosis sistemik turut berperan faktor
predisposisi antara lain pemberian antibiotik jangka panjang, pemberian obat
imunosupresan seperti kortikosternid dan sitostatik yang dapat mengakibatkankan
keadaan netropeni, keganasau termama hemarogenik., usia lanjut dan penyakit
metabolik seperti diabetes melitus (Emmons et al., 1977; Rippon, 1988; Odds, 1988;
Reiss er al., 1998).
Dalam beberapa dekadc telakhir, iiekuensi kandidosis sistemik meningkat
sepuluh kali tetapi diagnosis masih temp merupakan masalah (Maksymiuk et al.,
1984; Komshian et az., 1989, Rex 8I af., 1995; Edwards, 1997). scnmsnya diagnosis
pasti kandidosis sistcmik dapat ditegakkan dengan menemukan jamur dalam sediaan
histopatologi jaringan yang terkena, tempi cara terrsebut invasif dan mengandung
risiko terhadap penderita. Sclain itu pengambiian bahan untnk biopsi tidak mudah
dilakukan karena kondisi penderita yang biasanya sudah bm'uk dan sulit menetapkan
lokalisasi biopsi yang tepat karena sifat lesinya sendiri yang dapat berupa abses
multipel kecil-kccil (Emmons er al.,19'77; Rippon, 1988). Pada saat ini gold standard
untuk diagnosis kandisosis sistemik adalah biakan darah berulang, tetapi cara itu
sering memberikan hasil negatif dan perlu waktu lama apalagi bila diperlukan
identifikasi spesies. (Halley & Callaway, 1978; Walsh et ai., 1991; Bumie El al.,
1997).
Masalah diagnostik kandidosis sistemik disebabkan: (i) Penyakit tersebut tidak
mempunyai gejala klinik yang patognomonik; gejalanya tergantung pada organ yang
terkena sehingga diagnosis tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinik
saja. (ii) Pemeriksaan bahan klinik saja tidak memberikan hasil yang pasti karena sifat
Candida yang oportunis; ditemukannya jamur dari bahan klinik sulit untuk
menjelaskan perannya sebagai etiologi penyakit tersebut .(iii) Kultur darah lebih
sering negalif dan apabila positif satu kali saja sulit dibedakan dengan keadaan
sementara (transient candidemia) seperti yang dapat terjadi pada pemberian infus
(Bodey, 1984).
Selain biakan telah dikembangkan berbagai cara diagnosis, antara lain sara
serologi dan polymerase chain reaction (PCR). PCR, suatu metode berdasarkan teori
biologi molekuler, merupakan cara paling baru dan dianggap sebagai cara paling
sensitif untuk diagnosis kandidosis sistemik akan tetapi penerapan sehari-hari di
laboratorimn tidak mudah dilakukan (Miyakawa EI a1.,1993; Holmes er al., 1994).
Uji serologi yang ada saat ini mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang
rendah (Ruechel, 1989; Jones, 1990; Buckley er al., 1992). Hal itu dapat dijelaskan,
karena C. albicans merupakan jamur saprofit yang dapat hidup sebagai komensal
dalam tubuh manusia. Baik dalam keadaan saprofit maupun dalam keadaan patogen
jamur tersebut melepaskan antigen misalnya mannan yang berasal dari dinding sel.
Dengan demikian mannan akan merangsang pembentukan antibodi antimannan pada
kedua keadaan tersebut, sehingga deteksi antibodi antimannan tidak dapat digunakan
untuk membedakan keadaan saproiit dari kandidosis sistemik (de Repenugny,
Quindos er ai., l990a; Buckley et af., 1992; Ponton ex al, 1993).
Dua bentuk penting C. albicans adalah bentuk blastokonidia atau khamir dan
bentuk hifa semu yang dapat didahului pembentukan germ tube oleh blastokonidia.
Germ tube merupakan bentuk yang dianggap penting sebagai penentu virulensi karena
berperan dalam perlekatan dan invasi ke dalam jaringan (Sobel et al., 1984; De
Benardis el al., 1993; Calderone er al., 1994). Masing-masing bentuk balk khamir
maupun germ tube mempmmyai antigen spesiiik yang cliekspresikan pada dinding se]
(Penton & Jones, 1986). Bebempa peneliti telah melaporkan antigen spesitik germ
tube, antara lain antigen dengan berat molekul 19 kDa dan 230 kDa sampai 235 kDa
(Ponton & Jones, 1986), 47 dan 43 kDa (Casanova et al., 1989; 1991). Peneliti lain
menemukan bahwa antibodi terhadap germ tube tidak ditemukan pada orang yang
rnengandung C. albicans sebagai saproiit (Quindos et al., 1987; 1990a). Penemuan
tersebut memberikan dasar pemikiran untuk pengembangan uji diagnestik bam dalam
usaha mendaparkan cara diagnosis kandidosis sistemik yang lebih akurat."
1999
D432
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edwin Leopold Jim
"Kejadian infeksi dengue dewasa di Indonesia tergolong tinggi. Komplikasinya adalah sindrom renjatan dengue (SRD) akibat kebocoran plasma. Untuk mengatasi kebocoran plasma, WHO menganjurkan pemberian cairan kristaloid isotonik atau koloid seperti albumin 5%. Penelitian in vitro memperlihatkan ikatan albumin dengan reseptor glikoprotein 60 (gp60) di sel endotel menstimulasi ekspresi caveolin-1 dan Src protein tyrosine kinase (PTK) yang meningkatkan perpindahan albumin ke ekstravaskular, namun secara in vivo belum diketahui pengaruh cairan albumin terhadap proses transitosis dan caveolin-1 urin.
Penelitian ini merupakan open label randomized controlled trial sejak bulan November 2018 sampai dengan Januari 2020, di beberapa rumah sakit di Jakarta dan Banten. Dari 90 pasien, sebanyak 30 pasien memenuhi kriteria DD, dan 60 pasien memenuhi kriteria DBD. Alokasi secara acak dilakukan pada 60 pasien DBD, yang terdiri atas kelompok demam berdarah dengue yang diberikan ringer laktat (n = 30) dan kelompok demam berdarah dengue yang diberikan albumin (n = 30).
Pasien DBD yang diberikan albumin 5%, caveolin-1 plasma menurun pada jam ke-12 (p = 0,016); Src PTK lebih rendah pada jam ke-12 (p = 0,048); hemokonsentrasi lebih ringan pada jam ke-12 (p = 0,022) dan ke-24 (p = 0,001); kadar albumin serum lebih tinggi pada jam ke-12 (p = 0,037) dan ke-24 (p = 0,001); albumin urin lebih ringan pada jam ke-24 (p = 0,006) dan ke-48 (p = 0,005); dan lama rawat lebih pendek (p < 0,001) dibandingkan dengan ringer laktat.
Kesimpulan: pemberian cairan albumin 5% memperbaiki kebocoran plasma transitosis dan memperpendek lama rawat pasien DBD.

The incidence of adult dengue infection in Indonesia is quite high. The complication is dengue shock syndrome (DSS) due to plasma leakage. To overcome plasma leakage, WHO recommends giving isotonic crystalloid solutions or colloids such as albumin 5%. In vitro studies have shown that albumin binding to the glycoprotein receptor 60 (gp60) in endothelial cells stimulates the expression of caveolin-1 and Src protein tyrosine kinase (PTK) which increases albumin transfer to the extravascular space, but in vivo the effect of albumin fluid on the process of transitosis and urine caveolin-1 is not known.
This study is an open label randomized controlled trial from November 2018 to January 2020, in several hospitals in Jakarta and Banten. From 90 patients, 30 patients met the criteria for DD, and 60 patients met the criteria for DHF. Random allocation was made to 60 DHF patients, consisting of the dengue hemorrhagic fever group given Ringer's lactate (n = 30) and the dengue hemorrhagic fever group given albumin (n = 30).
Patients who were given albumin 5%, caveolin-1 plasma decreased at 12th hours (p = 0.016); Src PTK was lower at 12 hours (p = 0.048); milder hemoconcentration at 12th (p = 0.022) and 24th (p = 0.001) hour; serum albumin levels were higher at 12th (p = 0.037) and 24 hours (p = 0.001); urinary albumin was milder at 24th (p = 0.006) and 48th (p = 0.005); and shorter length of stay (p < 0.001) compared to ringer lactate.
Conclusion: administration of albumin 5% fluid improves transcytosis plasma leakage and shortens the length of stay of dengue infection patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Widiarni Widodo
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
D1764
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Suryo Adiyanti
"ABSTRAK
Manifestasi klinis yang menonjol pada demam berdarah dengue adalah kebocoran plasma karena gangguan pada sel endotel vaskular. Anti NS-1 dapat bereaksi silang dengan Protein Disulfide Isomerase (PDI) pada sel endotel. Jambu biji biasa digunakan untuk mengatasi gejala dengue namun belum pernah ada penelitian secara in vitro untuk mengetahui mekanisme senyawa aktif yaitu lycopene yang terdapat di dalamnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah lycopene dapat menurunkan apoptosis yang ditandai dengan Annexin V dan Heme oxygenase -1 (HO-1). Penelitian ini menggunakan kultur Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVEC) yang diberi stimulasi anti NS-1 dan terdiri atas 5 perlakuan yaitu kontrol positif, kontrol negatif, dan lycopene dosis 0.5, 1 dan 2 μM. Kontrol positif adalah HUVEC yang diberi anti NS-1 dan basitrasin karena basitrasin sudah diketahui bekerja sebagai anti PDI dan dapat menghambat apoptosis. Kontrol negatif adalah kultur HUVEC yang diberi anti NS-1 tanpa perlakuan lycopene. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya Annexin V pada kontrol positif menunjukkan hasil yang rendah secara bermakna dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa lycopene dengan dosis 0.5, 1 dan 2 μM tidak dapat menghambat apoptosis. Kadar HO-1 pada semua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan bermakna. Hal ini menunjukkan bahwa baik basitrasin maupun lycopene tidak mempengaruhi metabolisme HO-1. Dapat disimpulkan bahwa senyawa lycopene dengan dosis dosis 0.5, 1 dan 2 μM tidak menunjukkan pengaruh dalam apoptosis sel endotel setelah terjadi infeksi dengue.

ABSTRACT
Prominent clinical manifestation of dengue hemorrhagic fever is plasma leakage due to malfunction of endothelial cells. There is cross reaction between anti NS-1 and Protein Disulfide Isomerase (PDI) on endothelial cells. Psidium guajava is commonly used to improve condition in dengue symptoms but there is no research yet that study the in vitro mechanism how lycopene, a compound in Psidium guajava, works in this case. So this study aimed to know whether lycopene will decrease apoptosis of endothelial cells marked by Annexin V and Heme oxygenase-1 (HO-1) This study used Human umbillical vein endothelial cells (HUVEC) that given anti NS-1 stimulation and consisted of positive control, negative control and lycopene treatment with 0.5, 1 and 2 μM dose. Positive control is HUVEC with anti NS-1 and bacitracin that known act as anti PDI and inhibit apoptosis. Negative control is HUVEC with anti NS-1. Results showed that Annexin V only in positive control had lower Annexin V significantly compared to other treatments. This showed that lycopene 0.5,1 and 2 μM was not able to inhibit apoptosis. HO-1 in all treatments did not show significant difference. This showed that either bacitracin nor lycopene did not give effect to HO-1 metabolism. It was concluded that lycopene with 0.5, 1 dan 2 μM dose has no effect in endothelial cell apoptosis after dengue infection."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimah Eliana
"Latar Belakang: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya kekambuhan seperti, faktor klinis yaitu usia dan jenis kelamin, riwayat keluarga, besarnya ukuran kelenjar tiroid, ada tidaknya oftalmopati; faktor genetik yang berperan pada kejadian GD; dan faktor imunologi yaitu jumlah sel T regulator, kadar interleukin 10 (IL-10), interleukin 17 (IL-17) dan antibodi pada reseptor tiroid (TRAb).
Metode: Penelitian ini merupakan studi kasus kontrol yang membandingkan 36 pasien GD yang kambuh dan 36 pasien GD yang tidak kambuh. Pemeriksaan polimorfisme gen dilakukan dengan metode PCR RFLP. Pemeriksaan jumlah sel T regulator dengan flowsitometri. Pemeriksaan IL-10, IL-17 dan TRAb dengan ELISA.
Hasil: Analisis hasil penelitian membuktikan hubungan antara kekambuhan dengan faktor keluarga (p 0,008), usia saat didiagnosis (p 0,021), oftalmopati derajat 2 (p 0,001), kelenjar tiroid yang membesar melebihi tepi lateral muskulus sternokleidomastoideus (p 0,040), lamanya periode remisi (p 0,029), genotip GG gen CTLA-4 nukleotida 49 kodon 17 pada ekson 1 (p 0,016), genotip CC gen tiroglobulin nukleotida 5995 kodon 1980 pada ekson 33 (p 0,017), genotip CC gen TSHR SNP rs2268458intron 1 (p 0,003), jumlah sel T regulator (p 0,001), kadar IL-10 (p 0,012) dan kadar TRAb (p 0,002). Penelitian ini juga membuktikan hubungan antara faktor klinis yaitu faktor keluarga, usia, oftalmopati, pembesaran kelenjar tiroid dan lamanya periode remisi; dengan faktor genetik dan respons imun.
Simpulan: Polimorfisme genotip gen CTLA-4 nukleotida 49 kodon 17 ekson 1, gen tiroglobulin nukleotida 5995 kodon 1980 ekson 33, gen TSHR SNP rs2268458 intron 1 dan sel T regulator berperan sebagai faktor risiko kambuh pada pasien penyakit Graves.

Background: The management of Graves? disease (GD) is initiated with the administration of antithyroid drugs; however, it requires a long time to achieve remission and more than 50 percent of patients who had remission may be at risk for relapse after the drug is stopped. This study was aimed to identify factors affecting relapse of Graves? Disease
Methods: This was a case-control study comparing 36 patients relapsed GD and 36 patients who did not relapse. Genetic polymorphism examination was performed using PCR-RFLP. The number of regulatory T cells was counted using flow cytometry analysis and ELISA was used to measure serum IL-10, IL-17 and TRAb.
Results: The analysis of this study demonstrated that there was a correlation between relapse of disease and family factors (p 0.008), age at diagnosis (p 0.021), 2nd degree of Graves? ophthalmopathy (p 0.001), enlarged thyroid gland, which exceeded the lateral edge of the sternocleidomastoid muscles (p 0.040), duration of remission period (p 0.029), GG genotype of CTLA-4 gene on the nucleotide 49 at codon 17 of exon 1 (p 0.016), CC genotype of thyroglobulin gene on the nucleotide 5995 at codon 1980 of exon 33 (p 0.017), CC genotype of TSHR gene on the rs2268458 of intron 1 (p 0.003), the number of regulatory T cells (p 0.001), the levels of IL-10 (p 0.012) and TRAb levels (p 0.002). This study also showed the association between clinical factors, which included family factors, age at diagnosis, ophthalmopathy, thyroid gland enlargement and the long periods of remission with genetic factors and immune response.
Conclusion: Genetic polymorphisms of CTLA-4 gene on the nucleotide 49 at codon 17 of exon 1, thyroglobulin gene on the nucleotide 5995 at codon 1980 of exon 33, TSHR gene SNP rs2268458 of intron 1 and regulatory T cells play a role as risk factors for relapse in patients with Graves? disease.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Sudung O.
"ABSTRAK
Latar belakang: Sindrom nefrotik idiopatik (SNI) relaps anak terjadi karena ketidakseimbangan sel T-helper dan sel T-regulator. Perubahan komposisi bakteri usus besar dapat menyebabkan gangguan integritas usus, responsi imun, mungkin berperan terhadap relaps pada SNI.
Tujuan: Untuk mengetahui jenis dan komposisi bakteri usus besar pada SNI remisi dan relaps, hubungan jenis dan komposisi bakteri usus besar dengan IL-8 serum SNI relaps, gangguan integritas usus besar pada SNI relaps.
Metode: Penelitian prospektif di Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI- RSCM. Penelitian dua tahap yaitu SNI remisi yang diikuti sampai relaps. Diperiksa komposisi bakteri Enterococcus, Bacteroides, Escherichia, Clostridium, Lactobacillus, dan Bifidobacterium usus besar, alpha-1 antitrypsin dan calprotectin feses, IL-8 serum.
Hasil: Terdapat 49 subjek yang relaps berumur 2?12 tahun. Proporsi Enterococcus, Bacteroides, Escherichia, Clostridium lebih tinggi pada SNI relaps daripada SNI remisi. Proporsi Bifidobacterium lebih tinggi pada SNI remisi daripada SNI relaps. Terdapat peningkatan alpha-1 antitrypsin pada 51% SNI remisi dan 48% SNI relaps, serta peningkatan calprotectin pada 91.8% SNI remisi dan 95.9% SNI relaps. Median IL-8 serum lebih tinggi pada SNI relaps (13.2 pg/mL) dibandingkan SNI remisi (11.8 pg/mL).
Simpulan: Proporsi bakteri menguntungkan Bifidobacterium lebih tinggi pada SNI remisi dibandingkan SNI relaps. Proporsi bakteri patogen lebih tinggi pada SNI relaps dibandingkan dengan SNI remisi. Tidak terdapat hubungan antara jenis dan komposisi bakteri usus besar dengan peningkatan kadar IL-8 serum pada SNI relaps. Pada SNI relaps terdapat gangguan integritas usus besar.

ABSTRACT
Backgound: Relapses in idiopathic nephrotic syndrome (INS) may occur due to imbalance of T-helper and regulator T-cells. Alteration of colonic bacteria composition may cause a defect in colonic mucosal integrity and activate the immune system, leading to INS relapse. The aim of this study are to determine the composition of gut bacteria in INS remission and relapse, serum IL-8 in INS relapse, and defective bowel integrity INS relapse.
Methods: This prospective study on children with INS was conducted in two phases, starting in remission and followed up to relapse. Both during remission and during relapse, we collected stool samples from all subjects to examine intestinal bacteria composition comprising Enterococci, Bacteroides, Escherichiae, Clostridia, Lactobacilli, and Bifidobacteria, fecal alpha-1 antitrypsin, and fecal calprotectin. We also collected peripheral blood to measure serum IL-8 levels during remission and relapse.
Results: The proportions of pathogenic bacteria Enteroccocus, Bacteroides, Escherichia, and Clostridium were higher in INS relapse compared to remission. The proportion of the beneficial Bifidobacteria was statistically higher in INS remission compared to relapse. There was an increase of alpha-1 antitrypsin in 51% of INS in remission and 48% in relapse. Fecal calprotectin was increased in 91.8% of INS in remission and 95.9% in relapse. Median serum IL-8 in INS relapse (13.2 pg/mL) was higher than in remission (11.8 pg/mL).
Conclusions: The proportion of Bifidobacteria is higher in INS remission than in relapse, while the proportion of pathogenic bacteria is higher in relapse than in remission. There is no association between the composition of gut bacteria with serum IL-8 increase in relapsing INS. There is a defect in mucosal integrity in relapsing INS as demonstrated by elevated fecal alpha-1-antitrypsin and calprotectin.
"
2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
E.M. Yunir
"ABSTRAK
Luka kaki diabetik (LKD) merupakan komplikasi kronik diabetes yang meningkatkan mortalitas dan
morbiditas, serta menurunkan kualitas hidup. Komplikasi makro dan mikrovaskular/mikrosirkulasi
mempunyai pengaruh besar terhadap kejadian LKD dan proses penyembuhannya. Kondisi
mikrosirkulasi dapat dinilai melalui pemeriksaan transcutaneous perfusion oxygen (TcPO2). Kondisi
mikrosirkulasi dipengaruhi oleh HbA1c, glukosa darah sewaktu, neuropati, fibrinogen, PAI-1,
hsCRP, indeks MMP-9, indeks TcPO2, dan indeks TcPCO2, yang akan memengaruhi terbentuknya
jaringan granulasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran HbA1c, GDS, neuropati, fibrinogen, PAI-1, hsCRP,
indeks MMP-9, terhadap indeks TcPO2, indeks TcPCO2, dan indeks granulasi, serta mengetahui
peran serta indeks TcPO2 dan indeks TcPCO2 terhadap indeks granulasi pada luka kaki diabetik.
Sebanyak 68 subjek LKD tanpa penyakit arteri perifer di RS dr. Cipto Mangukusumo dan beberapa
rumah sakit jejaring, pada Desember 2015?Desember 2016, diberikan perawatan standar dan
dipantau setiap minggu sebanyak 4 kali. Pada pemantauan ke-1, ke-2, dan ke-3, dilakukan
dokumentasi LKD, pengambilan darah vena sebanyak 7,7 mL untuk pemeriksaan fibrinogen, PAI-1,
hsCRP, MMP-9, dan TIMP-1, darah arteri sebanyak 2 mL untuk pemeriksaan analisis gas darah,
serta pemeriksaan TcPO2 dan TcPCO2 dengan menggunakan TCM TOSCA/CombiM monitoring
systems buatan Radiometer. Pada pemantauan ke-4, hanya dilakukan dokumentasi LKD.
Pengukuran luas luka dan jaringan granulasi dinilai berdasarkan hasil dokumentasi fotografi dengan
menggunakan program ImageJ. Penilaian neuropati menggunakan pemeriksaan interval RR dan
kecepatan hantar saraf. Data laboratorium lainnya diperoleh dari data sekunder rekam medis.
Kemudian dilakukan analisis data dengan menggunakan path analysis (analisis lajur) pada data
repetitif dan SPSS pada data nonrepetitif.
Berdasarkan analisis didapatkan hubungan antara peningkatan glukosa darah sewaktu, fibrinogen,
dan PAI-1 dengan penurunan indeks TcPO2. Didapatkan juga hubungan antara beratnya neuropati
motorik dan sensorik, peningkatan glukosa darah sewaktu, fibrinogen, PAI-1, dan hsCRP dengan
penurunan indeks granulasi. Tetapi, indeks granulasi tidak dipengaruhi oleh indeks TcPO2. Indeks
TcPCO2 tidak memiliki hubungan terhadap semua variabel tersebut, kecuali hsCRP dan indeks
TcPCO2 tidak memengaruhi indeks granulasi.
Indeks TcPO2 pada LKD dipengaruhi oleh kadar glukosa darah sewaktu, fibrinogen, dan PAI-1,
tetapi tidak memengaruhi tumbuhnya jaringan granulasi. Tumbuhnya jaringan granulasi dipengaruhi
oleh glukosa darah sewaktu, neuropati motorik dan sensorik, peningkatan kadar fibrinogen, PAI-1,
dan hsCRP. Selain itu, indeks TcPCO2 tidak memengaruhi indeks granulasi

ABSTRACT
Diabetic foot wounds/ulcer (DFU) is chronic complication of diabetes, which increases
mortality and morbidity, and lower quality of life. Macro and microvascular/microcirculation
complications has a great influence on DFU and healing process. Microcirculation condition can
be seen from transcutaneous perfusion oxygen (TcPO2). The growth of granulation tissue in the
healing process is determined by microcirculation condition, among others influenced by
HbA1c, random blood glucose, neuropathy, fibrinogen, PAI-1, hsCRP, MMP-9 index, TcPO2
index, and TcPCO2 index.
This study aimed to investigatethe role of HbA1c, random blood glucose, sensory, motoric, and
autonomy neuropathy, fibrinogen, PAI-1, hsCRP, MMP-9 index, TcPO2 index, TcPCO2 index,
and granulation index, as well as the relationship between TcPO2 index, TcPCO2 index and
granulation index in diabetic foot wounds.
As much as 68 subjects DFU without peripheral arterial disease, in Cipto Mangunkusumo
Referral National Hospital, on December 2015?December 2016, were given standard
managementof diabetic foot ulcer and monitored once a week for four times. In the 1st, 2nd, and
3rd monitoring, DFU was documented, then 7.7 mL of venous blood was taken for fibrinogen,
PAI-1, hsCRP, MMP-9, and TIMP-1 examination, also 2 mL arterial blood for blood gas
analysis, and then examination of TcPO2 and TcPCO2was performed using TCM4
TOSCA/CombiM monitoring systems made by Radiometer. In the 4th monitoring, only DFU
was documented. Wound and granulation size was measured through photographic
documentation using ImageJ program. Neuropathy was diagnosed based on RR interval and
nerve conduction velocity study. Other laboratory data were obtained from medical records. The
data were analysed by path analysis for repetititive data and SPSS for nonrepetitive data.
From analysis, there is a significant correlation between the increasing random blood glucose
(RBG), fibrinogen, and PAI-1 with the decreasing of TcPO2, also found a significant
relationship between the severity of sensory and motoric neuropathy, the increasing levels of
RBG, fibrinogen, PAI-1, and hsCRP with the decreasing of granulation index. But, TcPO2 index
does not influence granulation index. TcPCO2 index does not have significant correlation with
all these variables, except hsCRP. Moreover, TcPCO2 index also does not influence granulation
index.
TcPO2 index of DFU is affected by RBG, fibrinogen, PAI-1, but does not affect the growth of
granulation tissue. Granulation tissue?s growing is influenced by the sensory and motoric
neuropathy, increased levels of fibrinogen, PAI-1, and hsCRP. Furthermore, TcPCO2 index does
not influence granulation?s growth."
2016
D2218
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elvie Zulka Kautzia Rachmawati
"ABSTRAK
Refluks laringofaring (RLF) pada anak merupakan kelainan yang sering ditemukan
dan dihubungkan dengan peningkatan insidens berbagai penyakit saluran napas dan
gangguan tumbuh kembang, oleh karena itu diperlukan instrumen diagnosis yang tepat
untuk penatalaksanaanya. Sampai saat ini, instrumen terstandarisasi belum ada,
sehingga diperlukan satu cara untuk mendiagnosis secara mudah, murah, nyaman, tidak
invasif namun mempunyai nilai diagnosis tinggi. Pada orang dewasa, RLF sering kali
dikaitkan dengan Hipertrofi Tonsil Lingual (HTL) dan keberadaan DNA Human
Papillomavirus (HPV), namun hal ini belum dapat dibuktikan pada anak. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan instrumen diagnostik RLF serta melihat hubungan antara
RLF dan HTL dan keberadaan DNA HPV pada RLF dengan HTL.
Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan 3 desain penelitian, yaitu uji
diagnostik kuesioner Skor Gejala Refluks (SGR) dan Skor Temuan Refluks (STR)
dibandingkan dengan pHmetri 24 jam, dilanjutkan dengan studi kasus kontrol untuk
menilai hubungan RLF dan HTL, serta uji melihat keberadaan HPV DNA pada HTL
dengan RLF dengan cara Linear Array genotyping. Kriteria inklusi adalah anak berusia
5‒18 tahun, memiliki beberapa keluhan seperti banyak riak di tenggorok, sering nyeri
menelan, rasa tersangkut dan mengganjal di tenggorok, mendehem, tersedak, bersuara
serak dan batuk kronik. Kemudian dilakukan pemeriksaan nasofaringolaringoskopi
untuk menilai keadaan faring dan laring dan pemasangan pHmetri. Apabila pasien RLF
terdapat HTL derajat 2 dan 3, dilakukan biopsi tonsil lingual untuk menilai keberadaan
DNA HPV.
Dari hasil penelitian ini, diperoleh satu instrumen baru yang terdiri dari keluhan
berdehem, batuk mengganggu dan choking, disertai kelainan pita suara dan edema
subglotik. Instrumen dengan titik potong 4, mempunyai nilai diagnostik yang baik
dengan nilai sensitivitas 75%, spesifisitas 76%, Nilai Prediksi Positif 80% dan Nilai
Prediksi Negatif 71%. Instrumen baru ini dapat digunakan untuk mendiagnosis RLF
pada anak. Tidak terdapat hubungan bermakna antara HTL dengan RLF dan keberadaan
HPV DNA tidak terdeteksi pada HTL pasien RLF.

ABSTRACT
Laryngopharyngeal reflux (LPR) is common condition in children which is connected
to the increased incidence of airway problems and a developmental delay, therefore a
reliable diagnostic tool is required to manage the condition. There is no standardized
instrument to diagnose LPR yet, consequently, obtaining an instrument which is cost
effective, simple, convenient, non-invasive but yield a good diagnostic values
(sensitivity, specificity, Positive Predictive Value (PPV) and Negative Predictive Value
(NPV)) is essential. In adult, LPR is frequently linked to Lingual Tonsil Hypertrophy
(LTH) and the presence of HPV DNA in its tissue, however those findings have not
been confirmed in pediatric population. The aim of this study is to obtain a good
diagnostic instrument for LPR, to observe the relationship between LPR and LTH and
to identify the existence of HPV DNA in LTH of patient with LPR.
A diagnostic study was done comparing adult questionaires for LPR i.e. Reflux
Symptom Index (RSI) and Reflux Finding Score (RFS) with 24 hour pHmetry, followed
by a case control study to determine the relationship between LPR and LTH and a
crossectional study to evaluate the existence of HPV DNA with Linear Array
genotyping in LTH. The inclusion criteria are age between 5‒18 years old, with the
complain of phleghmy throat, frequent odinophagia, the sensation of lump in the throat,
frequent throat clearing, choking episode, hoarseness and chronic cough. Then the patient
underwent nasopharyngolaryngoscopy for laryngeal evaluation followed by pHmetry
insertion. If LPR is confirmed, the biopsy will be taken from LTH, to see the existence
of HPV DNA.
A new diagnostic instrument, consists of frequent throat clearing, annoying cough,
choking, vocal cords abnormalities, and subglottic edema has been developed and it
demonstrates a good diagnostic outcome. The cut-off is score 4, which produced 75%
sensitivity, 76% specificity, 80% NPP, 71% NPN. Therefore, this instrument can be
applied to diagnose LPR in children. Neither a significant relationship between LPR and
HTL nor the existence of HPV DNA are demonstrated"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>