Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Benito Budidharma S.
"Aluminium had been used as filter inside the X-ray tube, in order to refine low energy photon that will decrease the radiographic quality. The use of this additional aluminium filter is expected to increase the detail in the interdental area, the first area affected in periodontal disease. Periodontal disease is the second most prevalent disease in Indonesia after caries. According to preventive principles, early recognition in periodontal tissue changes is necessary. The lack of modern radiographic equipment in Indonesia has become the major problem of detecting early periodontal disease, especially in the rural area. Therefore, it is important to increase the quality of diagnostic information in conventional radiograph, to detect early changes of periodontal tissue. The aim of this research is to observe the increasing detail in interdental area using additional aluminium filter. This research is held in Department of Dental Radiology, University of Indonesia, within 4 months period, with interdental area between right mandibular first molar and second molar in the radiographic phantom as the subject. The methodology used in this research is laboratoric experimental. The t-test result between filtered radiograph group and non-filtered radiograph group is p = 0,000 (p < 0,025). Therefore it is concluded that the use of additional aluminium filter can increase object detail in the interdental area.

Aluminium telah digunakan sebagai filter di dalam tabung pesawat sinar-X. Filter ini berfungsi untuk menyaring sinar-X berenergi rendah, yang menyebabkan berkurangnya kualitas radiograf. Penggunaan filter aluminium sebagai filter tambahan diharapkan dapat memperjelas detil daerah interdental yang merupakan tempat awal penyakit periodontal. Penyakit periodontal sampai saat ini merupakan penyakit gigi dan mulut yang menduduki peringkat ke dua setelah karies. Sesuai prinsip preventif, maka diperlukan deteksi dini terhadap perubahan jaringan periodonsium. Keterbatasan tersedianya alat radiografi modern di Indonesia merupakan masalah dalam deteksi dini penyakit periodontal, terutama di luar kota besar. Untuk itu diperlukan peningkatan kualitas informasi diagnostik radiograf konvensional dalam mengevaluasi perubahan dini jaringan periodonsium. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan detil gambaran radiografik daerah interdental dengan menggunakan filter aluminium tambahan. Penelitian ini dilakukan di Klinik Radiologi Departemen Radiologi Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, selama 4 bulan, dengan subyek daerah interdental antara gigi molar satu rahang bawah kanan dan gigi molar dua rahang bawah kanan pada phantom radiografik. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental laboratorik. Berdasarkan uji statistik antara kelompok radiograf dengan menggunakan filter dan kelompok radiograf tanpa filter aluminium tambahan, dengan menggunakan uji t tidak berpasangan didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0,025). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan filter aluminium tambahan dapat meningkatkan detil obyek daerah interdental."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mikail
"Latar Belakang: Penerapan teknik image enhancement pada radiografi digital saat ini dilakukan berdasarkan preferensi subjektif pengamat. Pengaturan peningkatan citra dilakukan untuk memperjelas citra radiografi, antara lain dengan mengubah kecerahan dan kontras, sehingga memudahkan interpretasi dalam penanganan kasus. Tujuan: Untuk mengetahui toleransi nilai kecerahan dan kontras pada radiografi digital kasus periodontitis apikal dan abses apikal dini yang gambaran radiografinya sulit dibedakan. Metode: Menyesuaikan pengaturan peningkatan gambar dengan menyesuaikan nilai kecerahan dan kontras pada nilai +10, +15, -10, -15 yang akan diamati, diproses, dan dianalisis menggunakan perangkat lunak analisis data. Hasil: Kisaran nilai yang dapat ditoleransi dalam pengaturan peningkatan dan penurunan kecerahan dan kontras pada kasus periodontitis apikal dan abses apikal dini adalah di bawah +10 dan di bawah -10. Kesimpulan: Mengatur kecerahan dan kontras ke nilai di atas 10 untuk peningkatan dan penurunan dapat mengubah informasi diagnostik secara signifikan.

Background: The application of image enhancement techniques in digital radiography is currently carried out based on the subjective preference of the observer. Image enhancement settings are made to clarify the radiographic image, among others by changing the brightness and contrast, so as to facilitate interpretation in case management. Objective: To determine the tolerance for brightness and contrast values ​​on digital radiography of cases of apical periodontitis and early apical abscess whose radiographic features are difficult to distinguish. Method: Adjust the image enhancement settings by adjusting the brightness and contrast values ​​at +10, +15, -10, -15 values ​​to be observed, processed, and analyzed using data analysis software. Results: The range of tolerable values ​​in the setting of increasing and decreasing brightness and contrast in cases of apical periodontitis and early apical abscess was below +10 and below -10. Conclusion: Setting the brightness and contrast to values ​​above 10 for increase and decrease can significantly change the diagnostic information."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priscilla Clarissa
"Latar Belakang: Untuk menilai status kesehatan gigi dan mulut, selama puluhan tahun para ahli studi epidemiologi kesehatan komunitas menggunakan indeks Decayed, Missing, and Filled Teeth (DMF-T). Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018, rerata skor indeks DMF-T penduduk Indonesia sebesar 7,1 yang tergolong tinggi. Kehilangan gigi merupakan kondisi oral ireversibel yang dideskripsikan sebagai indikator final mengenai keparahan kondisi kesehatan gigi dan mulut. Kehilangan gigi menyebabkan kerusakan fungsional, estetika, dan sosial-psikologis serta berdampak sangat besar terhadap kualitas hidup individu. Kehilangan gigi dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Maka dari itu, diperlukan data mengenai pengaruh berbagai faktor risiko terhadap kehilangan gigi pada berbagai kelompok usia.
Tujuan: Memperoleh data hubungan faktor risiko dan rerata jumlah kehilangan gigi pada subjek usia 31-75 tahun dari radiograf panoramik digital.
Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa 375 sampel radiograf panoramik digital subjek usia 31-75 tahun di Rumah Sakit Khusus Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indoneisa (RSKGM FKGUI). Subjek dibagi menjadi 3.
kategori: 31-45 tahun, 46-60 tahun, dan 61-75 tahun. Untuk mendapatkan jumlah kehilangan gigi dan data mengenai faktor risiko umur, jenis kelamin, karies/jumlah restorasi/lesi periapikal, dan kehilangan tulang/penyakit periodontal, dilakukan interpretasi radiograf panoramik digital. Kemudian dilakukan uji reliabilitas intraobserver dan interobserver dengan t-test dan Bland Altman.
Hasil: Median, nilai minimum, dan nilai maksimum jumlah kehilangan gigi pada kelompok usia 31-45 tahun sejumlah 1 (0-5) gigi, usia 46-60 tahun sejumlah 5 (0-19) gigi, dan usia 61-75 tahun sejumlah 10 (2-28) gigi. Jumlah kehilangan gigi antar kelompok usia berbeda bermakna (p<0.05 berdasarkan uji Kruskal Wallis). Jumlah kehilangan gigi bertambah seiring penuaan usia. Analisis korelasi faktor-faktor risiko terhadap kehilangan gigi menunjukkan bahwa usia dan status periodontal berhubungan sangat kuat dengan kehilangan gigi, jumlah karies gigi dan lesi periapikal memiliki hubungan sedang dengan kehilangan gigi, dan jenis kelamin dan jumlah restorasi gigi memiliki hubungan lemah dengan kehilangan gigi.
Kesimpulan: Jumlah kehilangan gigi pada usia 31-45 tahun berbeda bermakna dibandingkan pada usia 46-60 dan 61-75 tahun. Kehilangan gigi cenderung bertambah seiring penuaan usia. Faktor risiko yang hubungannya sangat kuat dengan kehilangan gigi adalah usia dan kehilangan tulang.

Background: To assess community oral health status, for several decades, epidemiologists have always used Decayed, Missing, and Filled Teeth (DMF-T) index. Based on the 2018 Basic Health Research, the mean of DMF-T index of Indonesia’s population was 7.1, which was considered high. Tooth loss is an irreversible oral condition that is often described as the final indicator of oral health status that causes functional, aesthetics, and social-psychological damage that greatly affects life quality. Tooth loss is a multi-factorial phenomenon. Thus, a concrete data is needed to assess the impact of risk factors on tooth loss in several age categories.
Objective: To obtain the data of tooth loss risk factors and the mean of missing teeth in 31-75-year-old subjects from digital panoramic radiograph.
Methods: This study was completed using secondary data of 375 digital panoramic radiographs in Universitas Indonesia Dental Hospital (RSKGM FKGUI). The subjects were devided into 3 categories: 31-45 years old, 46-60 years old, and 61-75 years old. In order to obtain the data of tooth loss and its risk factors: age, gender, caries/restoration/periapical disease, and periodontitis, the digital panoramic radiographs were interpreted. Then, the reliability test for both intraobserver and interobserver were conducted using t-test and Bland Altman test.
Results: The median, minimum, and maximum of tooth loss in the 31-45 years old group is 1 (0-5) teeth, 46-60 years old group is 5 (0-19) teeth, and 61-75 years old group is 10 (2-28) teeth. The number of tooth loss in all age groups are statistically different (p<0.05 in Kruskal Wallis test). The number of tooth loss increases as aging continues. Correlation analysis of the tooth loss risk factors showed that age and periodontitis have a very strong correlation with tooth loss, the number of tooth caries and periapical disease have a moderate correlation with tooth loss, and gender and restoration have a weak correlation with tooth loss.
Conclusion: The number tooth loss occurred in 31-45 years old group subject is significantly different compared to the number of tooth loss in 46-60 and 61-75 years old group. Tooth loss is strongly correlated with age and bone loss.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Widyastuti
"Latar Belakang: Informasi diagnostik tinggi tulang bukal atau lingual dari radiograf sangat penting untuk menegakkan diagnosis, rencana perawatan dan prognosis periodontitis. Destruksi tulang alveolar pada pasien periodontitis tidak hanya terjadi pada interproksimal melainkan juga mencakup permukaan bukal dan/atau lingual yang berada pada dimensi ketiga di radiograf konvensional. Destruksi yang terjadi di bukal dan/atau lingual tidak dapat terlihat secara langsung dari radiograf dua dimensi.
Tujuan: Untuk memperoleh signifikansi hasil evaluasi sisa tulang bukal atau lingual secara klinis dibandingkan dengan prakiraannya secara radiografis.
Metode: Studi potong lintang dilakukan pada 68 rekam medis dan radiograf intraoral gigi molar satu atau dua rahang bawah dengan evaluasi kehilangan tulang 2 sampai 6 mm atau secara radiografis digolongkan moderate. Evaluasi secara klinis menggunakan data kehilangan perlekatan, dan secara radiografis dengan menghitung jarak dari CEJ (cementoenamel junction) ke defek tulang bukal dan/atau lingual. Analisis statistik dilakukan dengan uji Wilcoxon.
Hasil: Nilai rata-rata pengukuran secara klinis adalah 4,28±0,99 mm dan secara radiografis adalah 3,97±1,13 mm. Rentang perbedaan hasil evaluasi prakiraan radiografis dan klinis berkisar antara 0-1,9 mm dengan rata-rata perbedaan sebesar 0,31±0,50 mm.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna antara hasil evaluasi prakiraan sisa tulang bukal dan/atau lingual secara radiografis dibandingkan klinis, dengan kecendrungan tinggi tulang secara radiografs tidak separah kondisi klinisnya yaitu lebih rendah 0 – 1.9 mm.

Background: Radiographs provide diagnostic information of the buccal and lingual bone height that is essential in the diagnosis, treatment plan, and prognosis of periodontitis. Alveolar bone loss in periodontitis patients does not only occur at proximal areas but also involves the third dimensional aspects at the buccal and/or lingual two-dimensional radiographs.
Objective: To acquire the significancy of the remaining buccal or lingual bone height assessed clinically in comparison with the radiographc estimation.
Method: The cross sectional study was conducted on 68 medical records and intraoral radiographs of the lower first or second molar with moderate 2-6 mm alveolar bone loss. Clinical evaluation was performed using the loss of attachments data at the buccal and/or lingual surface, and the radiographic assessment was done by calculating the distance from CEJ (cementoenamel junction) to buccal and/or lingual bone defects. The datas were then analysed using the Wilcoxon test.
Results: The average value of clinical compared to radiographic measurement was 4.28±0.99 mm and 3.97±1.13 mm consecutively. The difference between the estimated radiographic and clinical evaluation results was varied between 0-1.9 mm with the average difference value of 0.31±0.50 mm.
Conclusion: There was a significant difference between the estimated evaluation results of the remaining buccal and/or lingual alveolar bone height evaluated clinically compared to the radiographic estimation, with a tendency that the estimated height of the radiographic assessment was not as severe as its clinical condition by 0-1.9 mm.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library