Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Efie Mariyam Nursari
Abstrak :
Latar Belakang: Osteoporosis merupakan penyakit tulang sistemik yang ditandai dengan penurunan massa tulang/densitas radiografik tulang dan kerusakan mikroarsi-tektur jaringan tulang. Berbagai indeks radiomorfometrik telah banyak digunakan untuk mengevaluasi tulang pada kasus osteoporosis radiograf panoramik dua dimensi. Analisis Fraktal Dimensi (FD) juga telah digunakan untuk mengidentifikasi struktur pada radio-graf dental dua dimensi. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi hubungan peruba-han densitas radiografik tulang rahang terkait BMD dengan menggunakan modalitas pen-citraan tiga dimensi CBCT, yang diwakili pemeriksaan indeks radiomorfometrik (CTCI, CTMI, CTI-S, CTI-I) dan FD value dengan memperhitungkan faktor-faktor risiko yang berpengaruh pada densitas radiografik tulang rahang di antaranya usia, jenis kelamin, jumlah gigi yang tersisa dan ketinggian tulang mandibula. Tujuan: Mengembangkan me-tode deteksi perubahan densitas radiografik tulang rahang pada kasus-kasus kedokteran gigi dengan pemeriksaan CBCT pada individu yang berisiko untuk mendeteksi osteopo-rosis. Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa 87 data set file DICOM CBCT dari pasien lansia dengan rentang usia 50-79 tahun di Klinik Radiologi Kedokteran Gigi RSKGM FKG UI dan Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta. Penilaian indeks radio-morfometrik CTCI, jumlah gigi yang tersisa, ketinggian tulang mandibula dilakukan me-lalui panoramik rekonstruksi CBCT dengan slice thickness 30 mm. Pengukuran indeks radiomorfometrik CTMI, CTI-S, CTI-I dan FD value dilakukan pada potongan koronal mandibula di regio foramen mentale terlihat paling jelas dan jarak mesiodistal terlebar. Penilaian FD dilakukan pada dua Region of Interest (ROI) berbentuk persegi berukuran 3x3 mm pada tulang trabekular dan kortikal. Hasil: Indeks radiomorfometrik CTCI, CTMI, CTI-S, CTI-I menunjukkan hubungan yang bermakna secara statistik (p=0.000) dengan FD value ROI tulang kortikal, sementara ROI tulang trabekular tidak menunjuk-kan hubungan yang bermakna. CTCI menunjukkan perbedaan bermakna dengan faktor risiko ketinggian tulang mandibula (p=0.004). CTMI menunjukkan perbedaan bermakna dengan jumlah gigi yang tersisa (p= 0.027) dan ketinggian tulang mandibula (p=0.010). Sementara FD value pada kedua ROI dan faktor risiko usia, jenis kelamin, jumlah gigi yang tersisa serta ketinggian tulang mandibula tidak menunjukkan hubungan yang ber-makna secara statistik. Kesimpulan: Penelitian ini merupakan penelitian pertama meng-gunakan modalitas CBCT yang membandingkan indeks radiomorfometrik melalui pano-ramik rekonstruksi dan analisis FD pada ROI trabekular dan kortikal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengukuran FD value pada tulang kortikal lebih dapat diandalkan dibandingkan tulang trabekular untuk mendeteksi perubahan densitas radiografik tulang rahang terkait osteoporosis. ...... ackground: Osteoporosis is a systemic bone disease characterized by decreased bone mass/radiographic bone density and changes in bone microarchitecture. Various radio-morphometric indices have been widely used to evaluate bone in osteoporosis cases on two-dimensional panoramic radiographs. Fractal Dimension (FD) analysis has also been used to identify structures on two-dimensional dental radiographs. This study was con-ducted to evaluate the relationship of radiographic density changes of the jawbones re-lated to BMD by using a three-dimensional imaging modality CBCT, represented by ra-diomorphometric indices (CTCI, CTMI, CTI-S, CTI-I) and FD value taking into account the risk factors that affect the radiographic density of the jawbone including age, gender, number of remaining teeth and mandibular bone height. Objective: To develop a method for detecting radiographic density changes of the jawbone in dental cases by CBCT ex-amination in individuals at risk for detecting osteoporosis. Methods: This study used sec-ondary data in the form of 87 DICOM CBCT file data sets from elderly patients with an age range of 50-79 years at the RSKGM FKG UI and Pondok Indah Hospital Jakarta. Assessment of the CTCI, number of remaining teeth, and mandibular bone height were performed through CBCT panoramic reconstruction with a slice thickness of 30 mm. The CTMI, CTI-S, CTI-I, and FD values were measured on the coronal section of the mandi-ble in the mental foramen region which was most clearly visible and the widest mesi-odistal distance. FD assessment was carried out in two Regions of Interest (ROI) with a rectangular shape measuring 3x3 mm in trabecular and cortical bone. Results: The radi-omorphometric indices CTCI, CTMI, CTI-S, and CTI-I showed a statistically significant correlation (p=0.000) with the FD value ROI of cortical bone, while the ROI of trabecular bone did not show a significant correlation. CTCI showed a significant difference with risk factors for mandibular bone height (p=0.004). CTMI showed a significant difference in the number of remaining teeth (p=0.027) and mandibular bone height (p=0.010). Mean-while, the FD value for both ROI and risk factors for age, sex, number of remaining teeth, and mandibular bone height did not show a statistically significant correlation. Conclu-sion: This study is the first study using the CBCT modality comparing radiomorphomet-ric indices through panoramic reconstruction and FD analysis on ROI of trabecular and cortical bone. The results showed that measuring the FD value of cortical bone is more reliable than trabecular bone for detecting radiographic density changes of the jawbone associated with osteoporosis
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Giovanni
Abstrak :
Latar Belakang: Sampai saat ini tingkat penyakit gigi dan mulut di Indonesia masih sangat tinggi yaitu 57,6% dari total populasi dan penyakit karies mencapai 88,8% dari jumlah tersebut. Terdapat beberapa metode untuk mendeteksi karies, dan salah satu metode yang paling sering digunakan adalah kombinasi pemeriksaan klinis dan pemeriksaan radiografis. Akan tetapi, lesi karies dini sering kali tidak terdeteksi. Saat ini computed radiography memiliki kelebihan yaitu dapat meningkatkan kualitas gambaran radiografik dengan menggunakan imaging tools berupa filter, yang diharapkan dapat meningkatkan akurasi deteksi lesi karies dini. Tujuan: Penelitian ini membandingkan akurasi gambaran radiografik tanpa filter dan penggunaan beberapa filter dalam digital imaging processor untuk deteksi lesi karies dini. Metode: Penelitian dilakukan dengan desain laboratorik eksperimental dengan metode uji diagnostik. Penelitian ini menggunakan lima set model gigi posterior, terdiri dari 16 gigi dengan 42 permukaan tidak memiliki karies, dan 36 permukaan dengan simulasi karies dini buatan. Data primer berupa gambaran radiografik tanpa filter dan menggunakan filter yang diperoleh dengan menggunakan digital imaging processor yaitu sistem storage phosphor plate Vistascan©. Seluruh gambaran radiografik tanpa filter, filter fine, caries 1, caries 2 dan HD (High Diagnostic) dinilai oleh tiga orang pengamat yang menyatakan ada atau tidak ada lesi karies dini. Hasil: Berdasarkan hasil uji statistik paired T-test, didapatkan hasil gambaran filter HD dan fine memiliki nilai sensitivitas yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan gambaran tanpa filter (p < 0,05). Gambaran filter caries 1 dan caries 2 tidak memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan gambaran tanpa filter. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada spesifisitas antara gambaran sebelum dan sesudah penggunaan filter. Nilai akurasi keseluruhan antara gambaran tanpa filter dan gambaran dengan filter meningkat secara signifikan hanya pada gambaran filter HD (p < 0,05). Kesimpulan: Gambaran filter HD menunjukkan nilai sensitivitas, spesifisitas, dan akurasi keseluruhan tertinggi diantara gambaran filter-filter yang ada dalam sistem Vistascan maupun gambaran tanpa filter. filter HD juga merupakan satu-satunya filter yang memiliki nilai akurasi keseluruhan lebih tinggi secara signifikan dibandingkan gambaran tanpa filter.
Background: Until now, record of 57.6% of the total population in Indonesia has oral diseases, with caries lesion problems amounting to 88.8% of these diseases. This can be interpreted as caries being highly prevalent in Indonesia. There are some methods to detect caries lesion, with one of the most popular method being combined clinical and radiographic examination. Nevertheless, early caries lesion is frequently undetected. Computed radiography offers the privilege of original image quality enhancement through imaging tools such as filters and is expected to increase the accuracy of early caries lesion detection. Objective: The aim of this study was to compare the accuracy of original radiographic images, and images which have been enhanced with specific filters on digital imaging processor for detection of early caries lesion. Methods: The type of research conducted was laboratory experiment research with diagnostic test methods. This research used 5 working model, containing 16 tooth with research 42 tooth surfaces were sound, and 36 had early caries lesions. Primary data were used in the form of radiographic images in several filters made by Vistascan storage phosphor plate system. All of the radiographic images were assessed by 3 observers who recorded the presence or absence of early caries lesions. Results: Using statistical paired T-test, the sensitivity of HD and fine filter images were significantly higher than the non-filter images (p < 0.05). The caries 1 and caries 2 images did not differ significantly than the original images. There is no significant difference between the specificity of original filter images and filter enhanced images. The overall accuracy between original filter images and filter enhanced images increased significantly only on HD filter (p < 0.05). Conclusion: HD filter showed the highest sensitivity, specificity, and overall accuracy from all other filters and the original images. Furthermore, HD filter is the only filter modalities that had significantly higher overall accuracy than the original images. Therefore, there is a significant increase in accuracy from the original images and filter enhanced images.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Syafina Fithri Fakhirah
Abstrak :
Latar Belakang: Berkurangnya kepadatan tulang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia dan jenis kelamin dan memiliki pengaruh terhadap perawatan kedokteran gigi. Radiograf panoramik digital dapat menjadi salah satu cara untuk memperkirakan penurunan densitas radiografik tulang. Tujuan: Memperoleh nilai rerata densitas radiografik tulang kortikal tepi bawah mandibula pada individu pria dan wanita yang berusia 20 – 60 tahun di RSKGM FKG UI dari radiograf panoramik digital. Metode: Menggunakan studi potong lintang dengan 300 sampel radiograf panoramik digital yang terbagi menjadi 150 sampel wanita dan 150 sampel pria dan dikategorikan berdasarkan kelompok usia berjumlah 75 sampel untuk setiap kelompok usia. Rerata densitas radiografik diperoleh di region of interest tulang kortikal tepi bawah mandibula menggunakan software I-Dixel Morita. Hasil: Hasil analisis statistik menunjukkan nilai rerata densitas radiografik tulang pada kelompok wanita sebesar 92,80 sedangkan pada kelompok pria sebesar 97,46. Berdasarkan kelompok usia, kelompok usia 31- 40 memiliki rerata densitas radiografik paling besar yaitu 101,99 sedangkan nilai terendah pada kelompok usia 51-60 sebesar 86,43. Kesimpulan: Rerata densitas radiografik tulang kortikal tepi bawah mandibula pada pria lebih tinggi dibandingkan wanita serta terus mengalami peningkatan dari usia 20 tahun dan mulai mengalami penurunan di usia lebih dari 40 tahun. ......Background: Reduced bone density can be influenced by several factors such as age and gender and has an influence on dental treatment. Digital panoramic radiographs can be used to estimate decreased bone density. Objective: To obtain the radiographic mean density of cortical bone at the inferior border of the mandible in male and female aged 20-60 years at RSKGM FKG UI using digital panoramic radiographs. Methods: A cross-sectional study with 300 digital panoramic radiograph samples divided into 150 female and 150 male samples and categorized by age group into 75 samples for each age group. The mean radiographic density was obtained in the region of interest of the cortical bone at the inferior border of the mandible using the I-Dixel Morita software. Results: the results of statistical analysis showed that the mean radiographic bone density in the female group is 92.80 while in the male group it is 97.46. Based on the age group, the 31-40 age group had the highest mean radiographic density which is 101.99, while the lowest value was in the 51-60 age group which is 86.43. Conclusion: The mean radiographic density of cortical bone at the inferior border of the mandible in men is higher than in women and continues to increase from the age of 20 and begins to decrease at the age of more than 40 years.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Aziza Rialita
Abstrak :
Latar Belakang: Alveolar bone loss dapat terjadi karena ketidakseimbangan remodeling tulang. Selain kehilangan tinggi, tulang alveolar juga mengalami penurunan volume tulang trabekula. Sudah banyak studi yang menilai densitas tulang dengan status periodontal, namun masih sangat sedikit yang melakukannya pada subjek dengan metabolisme tulang yang sehat. Tujuan: Memperoleh hasil evaluasi densitas radiografik interproksimal individu laki-laki dan perempuan usia 25-40 tahun dengan kondisi kehilangan tinggi alveolar sampai dengan setengah akar. Metode: Studi cross-sectional dengan 160 sampel (80 tinggi alveolar normal dan 80 kehilangan tinggi alveolar) radiograf panoramik digital individu laki-laki dan perempuan usia 25-40 tahun dari data sekunder di RSKGM FKG UI. Evaluasi densitas radiografik menggunakan metode pixel intensity dari hasil pengukuran nilai rerata graylevel menggunakan aplikasi I-Dixel Morita di interproksimal alveolar regio premolar dua mandibula. Selanjutnya, evaluasi kesepakatan pengukuran intraobserver dan interobserver dilakukan dengan uji reliabilitas interclass correlation coefficient (ICC). Analisis deskriptif dan uji komparatif dilakukan antar kategori kondisi tinggi alveolar dan jenis kelamin. Hasil: Hasil analisis rerata densitas berdasarkan kondisi tinggi alveolar, didapati terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara kondisi tinggi alveolar normal dan kehilangan tinggi alveolar. Evaluasi densitas interproksimal kondisi kehilangan tinggi alveolar lebih rendah (120.61 ± 1,92) dibandingkan kondisi tinggi alveolar normal (135.71 ± 1,57). Pada analisis rerata densitas antar jenis kelamin, terdapat perbedaan bermakna antar jenis kelamin dengan kondisi tinggi alveolar berbeda, tetapi antar jenis kelamin dengan kondisi tinggi alveolar yang sama tidak ditemukan perbedaan yang bermakna. Densitas interproksimal pada kondisi tinggi alveolar normal kelompok subjek perempuan (135,10 ± 1,90) memiliki rata-rata densitas lebih rendah dibandingkan kelompok subjek laki-laki (137,80 ± 2,41). Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna densitas interproksimal alveolar antara kelompok kondisi tinggi alveolar normal dan kehilangan tinggi alveolar, serta tidak ditemukan perbedaan bermakna antar jenis kelamin pada kondisi tinggi alveolar yang sama. ......Background: Alveolar bone loss occur because of the imbalance of bone remodeling process. In addition to decrease of alveolar height, it reduce trabecular volume as well. Several studies have already address the assessment of bone density with periodontal status, but there is little knowledge to assess it with healthy subjects. Objective: The aim of this study was to obtain results of interproximal radiographic density evaluation of male and female individuals aged 25-40 years old with the condition og losing alveolar height up to half of the root. Method: Cross-sectional study with 160 samples (80 normal alveolar height and 80 loss of alveolar height) digital panoramic of male and female individuals 25-40 years old using secondary data at RSKGM FKG UI. Evaluation of radiographic density used the pixel intensity method from the result of measuring mean graylevel value with I-Dixel Morita application in the alveolar interproximal region of the mandibular second premolar. Furthermore, the reliability evaluation of intraobserver and interobserver measurement was carried out by testing interclass correlation (ICC). Descriptive and comparative tests were permorfed between categories of alveolar height conditions and gender. Result: The analysis of average density between different alveolar height showed there was a statistically significant difference between normal alveolar height and decreased alveolar height. Evaluation of interproximal density in condition loss of alveolar height was lower (120,61 ± 1,92) than in condition normal alveolar height (135.71 ± 1,57). In average density between genders analysis showed statistically significant differences were found between genders with different alveolar height conditions, but there is no significant difference were found between gender with same alveolar height conditions. The interproximal density in normal alveolar height of the female subject group (135,10 ± 1,90) had an average density lower than the male subject group (137,80 ± 2,41). Conclusion: There was significant difference of interproximal density between normal alveolar height group and loss of alveolar height, and there was no significant difference between genders on same alveolat height condition
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Winaya
Abstrak :
Latar Belakang: Kondisi edentulus umumnya menjadi dominan pada usia ≥65 tahun. Prevalensi edentulus parsial sendiri di Indonesia mencapai 79,8%. Beberapa penelitian telah menunjukkan adanya temuan radiografik yang cukup tinggi pada radiograf panoramik pasien edentulus yang sehat. Temuan-temuan tersebut berdampak penting pada rencana perawatan prostodontik, terutama perawatan implant-supported prosthesis. Salah satu penyakit yang dijumpai pada usia pengguna gigi tiruan adalah osteoporosis. Hal tersebut menjadi perhatian khusus karena osteoporosis merupakan faktor risiko yang mempercepat penurunan residual ridge. Berdasarkan hal tersebut dan dengan sedikitnya penelitian yang menggunakan sampel edentulus parsial, maka diperlukan data untuk mengetahui frekuensi distribusi temuan insidental pada radiograf panoramik pasien edentulus parsial. Tujuan: Mengetahui frekuensi distribusi temuan insidental pada radiograf panoramik pasien edentulus parsial. Metode: Penelitian ini merupakan studi cross-sectional dengan menggunakan 385 sampel radiograf panoramik pasien edentulus parsial di RSKGM FKG UI. Radiograf dievaluasi dan diinterpretasi menggunakan i-Dixel Morita dan viewer box untuk mengetahui adanya temuan insidental, seperti gigi impaksi, sisa akar gigi, foreign bodies, lesi radiolusen/mixed/radiopak, atrofi maksila, dan lebar korteks tepi bawah mandibula (<3,0 mm). Data usia, jenis kelamin, dan hasil interpretasi radiograf panoramik dicatat dalam Microsoft Excel. Uji reliabilitas dilakukan menggunakan uji Gwet AC1, Kappa, dan ICC. Hasil: Prevalensi adanya minimal satu temuan insidental pada radiograf panoramik pasien edentulus parsial yang tidak memiliki keluhan/memiliki keluhan di luar temuan insidental, yakni 71,95% (277 radiograf). Total seluruh temuan insidental pada 277 radiograf adalah 549. Secara temuan insidental, urutan temuan insidental dari yang paling banyak hingga paling sedikit, yaitu lebar korteks tepi bawah mandibula (<3,0 mm), lesi radiolusen/mixed/radiopak, atrofi maksila, gigi impaksi, sisa akar gigi, dan foreign bodies. Rata-rata lebar korteks tepi bawah mandibula menurun seiring dengan bertambahnya usia dan lebih rendah pada perempuan, dengan rata-rata total lebar korteks tepi bawah mandibula adalah 3,12 mm. Kesimpulan: Prevalensi adanya minimal satu temuan insidental pada radiograf panoramik pasien edentulus parsial yang tidak memiliki keluhan/memiliki keluhan di luar temuan insidental cukup tinggi. Hal tersebut dapat menjadi peringatan bagi klinisi untuk dapat lebih lengkap dan berhati-hati dalam melakukan pemeriksaan, khususnya pada pasien edentulus parsial. ......Background: The edentulous condition generally becomes dominant at the age of ≥65 years. The prevalence of partial edentulous in Indonesia reaches 79.8%. Several studies have demonstrated high radiographic findings on panoramic radiographs of healthy edentulous patients. These findings have an important impact on prosthodontic treatment planning, especially the treatment of implant-supported prostheses. One of the diseases found at the age of denture wearers is osteoporosis. This is of particular concern because osteoporosis is a risk factor that accelerates the reduction of the residual ridge. Based on these and with the small number of studies using partial edentulous samples, data is needed to determine the frequency distribution of incidental findings on panoramic radiographs of partial edentulous patients. Objective: To determine the frequency distribution of incidental findings on panoramic radiographs of partial edentulous patients. Method: This study is a cross-sectional study using 385 panoramic radiographs of partial edentulous patients at RSKGM FKG UI. Radiographs were evaluated and interpreted using the i-Dixel Morita and viewer box for any incidental findings, such as impacted teeth, retained root teeth, foreign bodies, radiolucent/mixed/radiopaque lesions, maxillary atrophy, and mandibular cortical width (<3,0 mm). Data on age, sex, and interpretation of panoramic radiographs were recorded in Microsoft Excel. The reliability test was carried out using the Gwet AC1, Kappa, and ICC tests. Result: The prevalence of having at least one incidental finding on panoramic radiographs of partial edentulous patients who had no complaints/had complaints other than incidental findings is 71.95% (277 radiographs). The total of all incidental findings on 277 radiographs is 549. In terms of incidental findings, the order of incidental findings from most to least, namely mandibular cortical width (<3,0 mm), radiolucent/mixed/radiopaque lesions, maxillary atrophy, impacted teeth, retained root teeth, and foreign bodies. The mean mandibular cortical width decreased with age and is lower in females, with the average total of mandibular cortical width is 3.12 mm. Conclusion: The prevalence of at least one incidental finding on panoramic radiographs of partial edentulous patients who have no complaints/have complaints other than incidental findings is quite high. This can be a warning for clinicians to be more complete and careful in conducting examinations, especially in partial edentulous patients.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gery Gilbert
Abstrak :
Latar Belakang : Distribusi frekuensi impaksi gigi molar tiga maksila berdasarkan klasifikasi Pell-Gregory, Winter, dan hubungan dengan sinus maksila dapat menunjukan variasi yang dapat berperan penting dalam mengantisipasi kesulitan pada saat odontektomi. Tujuan : Mengetahui frekuensi kasus impaksi molar tiga maksila pada radiograf panoramik berdasarkan klasifikasi Pell-Gregory dan Winter serta hubungan dengan sinus maksila di RSKGM FKG UI. Metode : Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif kategorik menggunakan data sekunder berupa rekam medik pasien di RSKGM FKG UI. Hasil : Penelitian yang dilakukan pada 102 kasus impaksi molar tiga maksila menunjukkan kasus impaksi molar tiga maksila paling banyak pada wanita dengan persentase 62.7%, namun hasil uji statistik menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna antara perbedaan gender dengan masing-masing klasifikasi impaksi. Frekuensi tertinggi dari masing-masing klasifikasi adalah Kelas C sebesar 46.08% pada klasifikasi Pell-Gregory, impaksi distoangular sebesar 35.3% pada klasifikasi Winter, dan impaksi tipe 4 sebesar 60.78% pada klasifikasi berdasarkan hubungan dengan sinus maksila. Kesimpulan : Penelitian ini mendapatkan hasil distribusi frekuensi impaksi molar tiga maksila yang dapat menjadi acuan dalam menentukan tingkat kesulitan perawatan odontektomi. ......Background : A method of classification of third molar impaction is needed because the anatomical position of impacted third molars can show variations that will play an important role in anticipating difficulties during extraction. Objective : To determine the impaction frequency of maxillary third molar impaction cases, as seen on panoramic radiographs and classified based on Pell-Gregory and Winter classification and also the relationship with maxillary sinus in RSKGM FKG UI. Methods : The type of research conducted is categorical descriptive research, using secondary data in the form of patient medical records at RSKGM FKG UI. Results : From 102 cases of maxillary third molar impaction, it was found that maxillary third molar impaction was most common in women with a percentage of 60%, but the results of statistical tests show no significant relationship between gender differences with each classification. The highest frequency of each classification is Class C of 46.08%, distoangular impaction of 35.3%, and impaction of type 4 by 60.78%. Conclusion : Classification of maxillary third molar impact can be a reference in determining the difficulty level of odontectomy treatment.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Karina Fitriananda
Abstrak :
Latar Belakang:  Penyakit periodontal merupakan penyakit gigi dan mulut kedua terbanyak diderita masyarakat Indonesia. Penyakit periodontal terdiri dari gingivitis dan periodontitis. Periodontitis adalah inflamasi pada jaringan pendukung gigi yang disebabkan oleh mikroorganisme spesifik atau kelompok mikroorganisme. Dalam mendiagnosis penyakit periodontitis pada umumnya diperlukan pemeriksaan radiografis untuk melakukan evaluasi perubahan tulang alveolar, terutama perubahan tinggi tulang alveolar yang merupakan salah satu tanda adanya penyakit periodontal. Data ini diperlukan bagi tatalaksana pasien yang meliputi diagnosis, rencana perawatan, prakiraan prognosis dan observasi. Radiograf periapikal adalah “gold standard” pada pemeriksaan radiografis konvensional kasus periodontitis. Tujuan: Memperoleh nilai rata-rata penurunan tinggi tulang alveolar pada pasien penderita periodontitis kronis rentang usia 25-40 tahun secara radiografis di RSKGM FKG UI. Metode: Pengukuran penurunan tinggi tulang alveolar pada 192 sampel radiograf periapikal digital usia 25-40 tahun di RSKGM FKG UI. Hasil: Nilai rata-rata penurunan tinggi tulang alveolar pada gigi insisif sentral rahang atas permukaan mesial sebesar 5.13 ± 0.58 dan pada permukaan distal sebesar 3.82 ± 0.4. Pada gigi insisif sentral rahang bawah, nilai rata-rata penurunan tinggi tulang alveolar permukaan mesial sebesar 7.98 ± 0.6 dan pada permukaan distal 6.85 ± 0.48. Pada gigi molar 1 rahang atas, diperoleh nilai rata-rata permukaan mesial sebesar 3.73 ± 0.37 dan pada permukaan distal 4.66 ± 0.55, sedangkan pada gigi molar 1 rahang bawah permukaan mesial diperoleh nilai rata-rata 3.74 ± 0.43 dan permukaan distal sebesar 3.08 ± 0.17. Kesimpulan: Nilai rata-rata penurunan tinggi tulang alveolar pada permukaan mesial gigi insisif sentral rahang bawah kasus penyakit periodontal adalah yang tertinggi dibanding kelompok lainnya. ...... Background: Periodontal disease is the second most common tooth and mouth disease suffered by Indonesian society. Periodontal disease consists of gingivitis and periodontitis. Periodontitis is defined as an inflammatory disease of supporting bone tissues of teeth caused by specific microorganisms or groups of specific microorganisms. In diagnosing periodontitis, in general we need radiograph examination to evaluate changes in alveolar bone, especially changes in alveolar height which indicates the periodontal disease. This data is necessary for the management of the patient including diagnosis, treatment plan, prognosis, and observation.  Periapical is a “gold standard” on conventional radiographic examination on periodontitis cases. Objective: To obtain the average value of decreased alveolar bone height in 25-40 years old patients with chronic periodontitis at RSKGM FKG UI radiographically. Method: Measurement of decreased alveolar bone height in 192 digital periapical radiograph samples aged 25-40 years in RSKGM FKG UI. Result: The mean value of decreased alveolar bone height of maxillary central incisors on the mesial surface was 5.13 ± 0.58 and on the distal surface was 3.82 ± 0.4. On mandibular central incisors, the mean value of decreased alveolar bone height on the mesial surface was 7.98 ± 0.6 and on the distal surface was 6.85 ± 0.48. On maxillary first molars, the mean value of decreased alveolar bone height on the mesial surface was 3.73 ± 0.37 and on the distal surface was 4.66 ± 0.55. Whereas, on mandibular first molar, the mean value of decreased alveolar bone height on mesial surface was 3.74 ± 0.43 and on the distal surface was 3.08 ± 0.17. Conclusion: The average decreased in alveolar bone height on mesial surface of mandibular central incisors is the highest among other groups.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Engracia Alodia Marsha
Abstrak :
Latar Belakang: Radiografi panoramik merupakan salah satu teknik radiografi ekstraoral yang paling sering digunaakan. Pada umumnya, radiograf panoramik menunjukkan adanya magnifikasi sekitar 10-30%. Oleh karena itu, kesalahan dalam penentuan posisi pasien dapat menyebabkan magnifikasi ini lebih tidak proporsional. Struktur anatomi dan tingkat pemahaman instruksi dapat berbeda pada berbagai kelompok usia. Maka dari itu, diperlukan data mengenai frekuensi kesalahan posisi yang terjadi pada kelompok usia anak, dewasa, dan lansia. Tujuan: Memperoleh perbandingan kesalahan posisi radiograf panoramik yang terjadi pada kelompok usia anak, dewasa, dan lansia. Metode: Penelitian merupakan studi cross-sectional deskriptif menggunakan sampel berupa data sekunder radiograf panoramik pasien di Unit Radiologi Kedokteran Gigi RSKGM FKG UI. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna (P<0.05) pada posisi tulang belakang tidak tegak, posisi lidah tidak tepat, bergerak selama paparan, dan vertical error antara anak, dewasa, dan lansia. Kesimpulan: Kesalahan posisi pasien dalam radiograf panoramik relatif umum. Kualitas radiograf panoramik dapat ditingkatkan dengan instruksi yang lebih jelas dan meningkatkan perhatian operator selama memposisikan pasien. ......Background: Panoramic radiography is one of the most frequently used extraoral radiography techniques. Usually, panoramic radiographs show magnification of between 10% and 30%. Therefore, errors in the positioning of the patients cause this magnification to become even more disproportionate. Different anatomical structures and levels of understanding instructions may differ in different age groups. Thus, a concrete data is needed regarding the frequency of positioning errors that occur in the age group of children, adults, and the elderly. Objective: The aim of the study was to investigate the prevalence of panoramic radiographic errors and its correlation between the age group of children, adults, and the elderly.   Methods: This study is a descriptive cross-sectional study using secondary data in the form of panoramic radiographs of patients at Universitas Indonesia Dental Hospital (RSKGM FKGUI) . Results: It was recorded that spine is not in the upright position, improper positioning of the tongue, moving during exposure, and vertical error were statistically significant in children, adults, and the elderly (p<0.05). Conclusion: Patient positioning errors on panoramic radiographs are relatively common. The quality of panoramic radiograph can be improved with clearer instructions and intensifying operator attention during patient positioning.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christ Ryan Lima
Abstrak :
Latar belakang: Karies merupakan penyakit dengan prevalensi paling tinggi di seluruh dunia. Terdapat beberapa metode untuk melakukan deteksi karies, metode yang paling sering digunakan adalah pemeriksaan klinis dan pemeriksaan radiografik. Namun salah satu kesulitan terbesar dalam melakukan deteksi karies dini menggunakan pemeriksaan radiografik adalah mendeteksi demineralisasi tahap awal yang hanya berdampak kepada enamel. Banyak kemajuan di bidang teknologi deteksi karies yang berfokus pada kemampuan mendeteksi perubahan sekecil apapun pada proses demineralisasi lesi. Salah satu teknik tersebut adalah teknik radiografi digital subtraksi. Saat ini sudah banyak piranti lunak digital yang dapat digunakan untuk melakukan teknik subtraksi tetapi dengan tingkat akurasi yang berbeda. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, tingkat subjektifitas dan pengalaman pembaca termasuk faktor yang mempengaruhi akurasi dalam deteksi lesi karies. Oleh karena itu pada pengujian alat uji diagnostik baru sangat diperlukan pembuktian validitas melalui uji intra dan inter pembaca. Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat kesepakatan intra dan inter pembaca pada deteksi lesi karies dini menggunakan teknik radiografi digital subtraksi. Metode: Penelitian dilakukan menggunakan desain laboratorik eksperimen dengan metode uji intra dan inter pembaca. Penelitian dilakukan menggunakan data sekunder dalam bentuk radiograf sebelum dan sesudah pembuatan lesi karies menggunakan teknik radiografi digital subtraksi dengan piranti lunak Image Registration v2.0. Seluruh gambaran subtraksi dinilai oleh 4 observer yang menyatakan ada atau tidak ada lesi karies dini pada gambaran subtraksi tersebut. Hasil: Penilaian hasil subtraksi dilakukan pada 36 permukaan gigi yang memiliki lesi karies dini dan 42 permukaan gigi yang tidak memiliki lesi karies dini. Tingkat kesepakatan intra pembaca berada pada kisaran moderate (0.41 hingga 0.53) dan kesepakatan keseluruhan berkisar antara 62% hingga 70%. Tingkat kesepakatan inter pembaca berada pada kisaran rendah (0.15 dan 0.16), kisaran fair (0.22, 0.28, dan 0.37), dan kisaran moderate (0.46). Kesepakatan inter pembaca untuk permukaan gigi yang tidak memiliki lesi karies dini pada penilaian pertama (0.2) dan penilaian kedua (0.18). Kesepakatan inter pembaca untuk permukaan gigi yang memiliki lesi karies dini pada penilaian pertama (0.23) dan penilaian kedua (0.31). Pembaca mendeteksi dan menentukan lokasi lesi karies dengan benar pada 212 dari 312 permukaan gigi yang dibaca. Kesimpulan: Nilai indeks Kappa intra dan inter pembaca berada di kisaran rendah hingga moderate, akan tetapi didapatkan nilai rerata tingkat kesepakatan keseluruhan yang cukup baik pada deteksi lesi karies dini menggunakan teknik radiografi digital subtraksi. ......Background: Caries is still by far the most prevalent disease in the world. Early diagnosis of caries is noticeably assisted by clinical and radiographic examination. The greatest difficulty in caries detection involves early demineralization, which is confined only to the enamel. There are many advances in caries detection technology, for example is the ability to perform detailed monitoring of the caries process and the ability to detect and quantify small changes in lesion mineralization. One such technique is the digital subtraction radiography. Currently, there are many software that can be used to perform subtraction but with different levels of accuracy. From various studies that have been conducted, the level of subjectivity and observer experience are among the factors that influence the accuracy in detection of caries lesions. Therefore, in testing new diagnostic tools, it is necessary to prove its validity through intra and inter observer tests. Objective: This study aims to determine the level of intra and inter observer agreement on early caries lesion detection using digital subtraction radiography. Methods: This study was conducted using an experimental laboratory design with intra and inter observer test methods. The study was conducted using secondary data in the form of radiographic images (before and after caries lesions were made) using digital subtraction radiography using Image Registration v2.0 software. All subtraction images were assessed by 4 observers who indicated the presence or absence of early caries lesions in the subtraction images. Observer’s assessment data were analyzed to obtain an intra and inter observer agreement level. Results: Assessment of the results of the subtraction was carried out on 36 tooth surfaces with early caries lesions and 42 surfaces without early caries lesions. Intra-observer agreement levels are moderate (0.41 to 0.53) and overall agreement ranged from 62% to 70%. Inter- observer agreements level are in the low range (0.15 and 0.16), the fair range (0.22, 0.28, and 0.37), and the moderate range (0.46). Inter-observer agreement for tooth surfaces without early caries lesions in the first (0.2) and second (0.18) assessments. Inter-observer agreement for tooth surfaces that had early caries lesions in the first (0.23) and second (0.31) assessments. The observer detected and correctly located the caries lesion on 212 of the 312 tooth surfaces. Conclusion: The intra and inter- observer Kappa index scores are in the low to moderate range, however, the overall agreement level average is quite good for early caries lesion detection using digital subtraction radiography.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library