Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
F Sinta Mira W
Abstrak :
ABSTRAK
Analisa Transaksional (Transactional Analysis) sebagai konsep yang diutarakan oleh Eric Berne di awal tahun 1960-an merupakan konsep yang menitikberatkan pada pola-pola perilaku. Studi Berne mengintegrasikan motivasi yang tidak disadari, transaksi interpersonal, dan pola-pola perilaku yang berulang. Dalam setting terapi perkawinan, Analisa Transaksional menawarkan suatu pendekatan yang terintegrasi untuk memahami dan mengatasi konflik perkawinan (Magran, 1981 ). Permasalahan yang terjadi dalam perkawinan sebagian besar terkait dengan masalah komunikasi. Dalam hal ini, pola interaksi yang didominasi oleh sikap negatif dan berbagai penyelesaian masalah dengan cara-cara negatif disebut sebagai distres dalam perkawinan. Salah satu bentuk transaksi dalam perkawinan yang sering terlihat pada pasangan yang bermasalah adalah transaksi yang sifatnya tersirat (Ulterior). Transaksi Ulterior ini adalah jenis transaksi yang merupakan landasan terjadinya games. Dalam Berne (1964) games dikatakan sebagai transaksi yang sifatnya masuk aka! (komplementer), namun mengandung unsur tersirat, dan memiliki basil akhir yang diprediksi (pay off). Berne ( 1964) juga menjelaskan tentang berbagai jenis games yang biasa te!jadi dalam lingkup perkawinan. Dalam penelitian ini, analisa games berupa gambaran tentang jenis-jenis games· yang biasa dimainkan oleh pasangan, proses terjadinya, tujuan, dan dampaknya. Selain itu, untuk melengkapi gambaran yang diperoleh, penelitian ini juga memberikan gambaran tentang pola interaksi pasangan selama ini, ego state yang dominan berperan dalam interaksi, dan isi pesan script yang dimiliki. Dari interview terhadap 3 orang subyek yang mengalami distres dalam pemikahannya dengan berbagai latar belakang permasalahan, diperoleh jenis-jenis games yang biasa dimainkan yaitu : 'See What You Made Me Do', 'Now I Got You, You S.O.B ', 'Harried', 'Comer', 'Look How Hard I've Tried', dan' Uproar'. Kesernua games ini memang merupakan games yang biasa terjadi dalam lingkup perkawinan. Tujuan dari games tersebut sebagian besar adalah untuk menyalahkan pasangan (membuat pasangan berada da!am posisi Not Ok), kecua!i pada Harried yang membuat posisi diri Not OK. Dari paradigma transaksi juga terlihat kecenderungan menyalahkan sebagai bentuk ego state Orang Tua, memiliki pesan tersirat yaitu berisi berbagai kebutuhan-kebutuhan yang tidak bisa disampaikan selama ini. Misalnya kebutuhan untuk dipuji, untuk didukung, untuk tidak ditinggalkan, untuk dimaafkan, dan sebagainya. Dampak dari games ini pun nampaknya semakin memperburuk permasalahan yang ada. Pada 2 orang subyek, suaminya pergi dari rumah karena permasalahan yang dihadapi ini. Bahkan saat penelitian ini dilakukan, ketiga subyek sudah memiliki rencana untuk mengajukan cerai ataupun berpisah dari suaminya. Keterhatasan pada penelitian ini adalah data yang diperoleh hanya dari sudut pandang istri. Sedangkan analisa games akan semakin baik jika diperoleh data dari kedua pasangan. Semakin baik lagi jika dilakukan dalam setting terapi perkawinan, sehingga hasil akhir yang diperoleh pun bisa berupa konseling untuk mengatasi games yang dimainkan ini.
2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zuraida G. Soepoetro
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1983
S2211
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nila Widowati
Abstrak :
ABSTRAK
Latah sebagai salah satu culture bound syndrome yang dlkaitkan dengan gangguan psikopatologi yang menunjukkan adanya gangguan kecemasan temyata semakin meluas dan tidak hanya terbatas pada kalangan tertentu saja. Latah adalah suatu bentuk reaksi keterkejutan yang tidak dapat dikendalikan. Fenomena latah temyata juga muncul dan meluas dalam kelompok seni dan dapat menjadi ciri kelompok tersebut. Berkembangnya latah dalam kelompok menunjukkan bahwa latah dapat 'menular', berarti dalam kelompok tersebut diasumsikan perilaku latah timbul akibat dari suatu proses belajar sosial. Tujuan penelitian ini adalah ingin menelaah proses timbulnya latah dalam suatu kelompok seni tari yang dikaitkan dengan teori belajar sosial dari Bandura serta faktor-faktor yang berpengamh dalam proses timbulnya latah. Penelitian ini dilakukan dengan mewawancarai anggota kelompok seni tari mahasiswa yang latah dengan ketentuan minimal telah enam bulan mengalami latah. Dari penelitian kualitatif ini diperoleh hasil bahwa timbul dan berkembangnya latah pada kelompok seni tersebut dapat diterangkan melalui proses modeling. Kekhususan perilaku latah menarik perhatian sekelilingnya sehingga fenomena tersebut mudah diingat. Kemudian dengan banyaknya stimulasi dalam kelompok yaitu upaya untuk saling mengejutkan sesama anggota kelompok membuat adanya proses latihan sehingga latah menjadi mudah diingat dan menjadi suatu kebiasaan. Diterimanya perilaku latah sebagai suatu ciri kelompok serta dianggap bisa memperluas pergaulan dapat menjadi penguat {reinforcement) bagi pelatah. Untuk penelitian lanjutan dapat mengunakan pendekatan teori lain seperti psikoanalisa sehingga dapat diperoleh gambaran yang lebih mendalam tentang perbedaan bentuk-bentuk reaksi latah.
1998
S2718
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dona Lisa Taula
Abstrak :
ABSTRAK
Kelompok Kecil adalah salah satu kelompok yang bertujuan untuk membina kerohanian anggota-anggotanya. Kelompok ini memiliki sejumjah aktivitas yang menuntut keterlibatan anggota-anggotanya secara efektif agar dapat mencapai tujuan bersama yakni kematangan pribadi anggota-anggotanya atas dasar iman Kristiani.

Penelitian ini bermula dari pengamatan peneliti terhadap adanya diskrepansi antara teori yang menyatakan bahwa tujuan yang homogen mempengaruhi tingginya efektifitas keterlibatan anggota dalam kelompok dengan fenomena yang diamati pada Kelompok Kecil di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Keterlibatan anggota ternyata justru tidak efektif walau tujuan masing-masing anggota sejalan dengan tujuan kelompok. Oleh karena itu timbul pertanyaan apa penyebab yang menghambat efektifitas keterlibatan anggota dalam kelompok tersebut.

Melihat bahwa kelompok ini sangat bermanfaat, maka diharapkan penelitian ini bukan hanya bermaksud untuk menemukan penyebab adanya diskrepansi antara teori dan fakta tapi juga untuk perkembangan program pembinaan itu sendiri, khususnya Kelompok Kecil.

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipakai untuk memahami penghayatan subyektif anggota terhadap keterlibatannya dalam kelompok. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara. Penelitian ini melibatkan empat subyek yang seluruhnya adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa diskrepansi ini disebabkan oleh empat kategori masalah yaitu ketidakberfungsian kelompok, masalah pemimpin, masalah anggota dan masalah aktivitas kelompok.

Bagi penelitian selanjutnya disarankan untuk meneliti faktor nilai yang dianut anggota dan menerapkan penelitian ini pada setting yang berbeda, sehingga masalah dapat dijelaskan dengan lebih komprehensif.
1998
S2744
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudy Aditya
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengalaman waskita dan pengaruhnya terhadap altruisme individu yang mengalaminya. Pengalaman waskita (clairvoyance) ini merupakan salah satu bidang kajian dari Psikologi Transpersonal. Sampai saat ini, penelitian mengenai pengalaman-pengalaman yang bersifat transpersonal, khususnya waskita, masih sangat kurang. Penelitianpenelitian selama ini hanya berusaha untuk membuktikan kebenaran adanya kemampuan waskita, tidak menyentuh aspek pengalaman dan pengaruh pengalaman tersebut bagi individu yang mengalaminya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang menekankan pada interpretasi subyektif individu terhadap pengalamannya tersebut. Untuk mengumpulkan data, dipilih wawancara sebagai teknik utama dan observasi sebagai teknik penunjang. Subyek penelitian berjumlah tiga orang. Mereka adalah para penyembuh prana yang mempunyai kemampuan waskita. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa ketiga subyek dapat melihat dan mendengar secara supernatural. Mereka mampu melihat obyek atau peristiwaperistiwa yang tidak dapat dilihat dengan menggunakan mata biasa, misalnya organ tubuh manusia dan penyakit yang menyerangnya, peristiwa-peritiwa di masa lalu maupun di masa yang akan datang, makhluk-makhluk halus baik yang menyeramkan maupun yang bersifat suci. Mereka juga dapat melakukan komunikasi dengan makhluk-makhluk tersebut. Pengalaman waskita ini mengandung elemen dari suatu peak experience (Maslow, 1970) atau suatu Exceplional Human Experience (White, 1999). Ketika melihat melihat dan berkomunikasi dengan makhluk-makhluk yang suci, mereka merasa nyaman, damai, dan bahagia. Sedangkan ketika mereka melihat hal-hal yang bersifat negatif (penyakit atau makhluk yang menyeramkan), mereka merasa tidak nyaman, cemas, dan agak takut. Ketiga subyek memaknai pengalaman waskita ini sebagai suatu rahmat yang diberikan secara khusus oleh Tuhan kepada mereka, dan harus digunakan untuk membantu sesama yang membutuhkan. Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa pengalaman ini dapat meningkatkan altruisme. Selain terhadap altruisme subyek, ternyata pengalaman ini juga berpengaruh dalam meningkatkan kesadaran diri yang menjadikan subyek lebih sering melakukan introspeksi terhadap segala tindakannya. Untuk penelitian lebih lanjut, peneliti menyarankan agar subyek penelitian diperluas, baik dari segi jumlah maupun latar belakang kehidupannya. Diharapkan hasil penelitian yang didapat lebih kaya sehingga dapat lebih mampu memahami pengalaman waskita ini.
2001
S2955
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Mundir
Abstrak :
ABSTRAK
Penggunaan narkotika dan psikotropika dapat menimbulkan berbagai dampak buruk secara psikologis baik intra maupun interpersonal, penurunan kualitas kesehatan tubuh dan pelanggaran hukum. Meskipun dapat menimbulkan berbagai dampak buruk akan tetapi sejak tahun 1998 terjadi peningkatan jumlah pengguna narkotika dan psikotropika yang cukup besar di Indonesia Saat ini diperkirakan terdapat sekitar 500.000 sampai 1.350.000 penderita ketergantungan narkotika dan psikotropika di Indonesia. Salah satu variabel psikologis yang penting dalam penggunaan narkotika dan psikotropika adalah motivasi. Berdasarkan hasil penelitian Sucahya, Siagian dan Sari (2001) tentang motivasi awal penggunaan narkotika dan psikotropika serta teori proses berlawanan yang dikemukakan Solomon dan Corbitt (dalam Franken, 1982) terlihat adanya perubahan antara motivasi awal penggunaan narkotika dan psikotropika dan motivasi yang membuat seseorang mempertahankan perilaku penggunaan narkotika dan psikotropika. Allport (1961) menamakan perubahan motivasi awal yang mendorong dimulainya perilaku dan motivasi yang mempertahankan perilaku sebagai otonomi fungsional (functional autonomy). Menurut Allport perilaku ketergantungan narkotika dan psikotropika termasuk dalam otonomi fungsional. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan deskripsi proses otonomi fungsional pada penderita ketergantungan narkotika. Penelitian ini dilakukan terhadap empat orang penderita ketergantungan narkotika dan psikotropika. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Jenis penelitian kualitatif yang digunakan adalah studi kasus. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam karena penelitian ini ingin mengetahui proses pengalaman subyektif individu yang tidak dapat diketahui dan dipahami tanpa pengungkapan secara verbal dari individu tersebut. Untuk melengkapi data hasil wawancara dilakukan observasi terhadap subyek dan proses berlangsungnya wawancara. Merujuk pada kata proses dalam tujuan penelitian ini maka deskripsi motivasi penggunaan narkotika dan psikotropika dilakukan pada tahaptahap penggunaan narkotika yang dikemukakan oleh Pagliaro dan Pagliaro (1996) yang terdiri dari tahap penggunaan awal, penggunaan sosial, penggunaan tetap, penyalahgunaan dan penggunaan kompulsif. Pada tahap penggunaan awal para subyek menggunakan ganja atau pil BK untuk sesuatu diluar efek langsung zat itu sendiri seperti penerimaan teman, memuaskan rasa ingin tahu atau menarik perhatian orang tua akan tetapi ketika para pengguna sudah merasakan intoksikasi maka motivasi mereka untuk kembali menggunakan ganja, pil BK atau ineks pada tahap penggunaan sosial, penggunaan tetap dan penyalahgunaan adalah keinginan untuk merasakan kembali intoksikasi. Pada tahap penggunaan tetap mulai muncul ketergantungan secara psikologis sehingga intensitas keinginan untuk merasakan intoksikasi kembali meningkat. Para subyek tidak hanya mengalami peningkatan dosis tapi juga perubahan zat yang digunakan. Ketika para subyek rutin menggunakan shabu atau heroin maka mereka pun mengalami gejala putus obat yang menyakitkan. Akhirnya, motivasi penggunaan narkotika dan psikotropika pun berubah menjadi keinginan untuk menghilangkan gejala putus obat. Motivasi inilah yang mendorong para subyek penelitian untuk menggunakan heroin secara kompulsif pada saat wawancara dilakukan. Eratnya perubahan motivasi penggunaan narkotika dan psikotropika dengan pengaruh narkotika dan psikotropika berupa intoksikasi, toleransi dan gejala putus obat membuat otonomi fungsional pada penderita ketergantungan narkotika dan psikotropika termasuk dalam otonomi fungsional perseveratif. Selain besarnya peran faktor fisiologis pada proses otonomi fungsional pada penderita ketergantungan narkotika dan psikotropika, Allport (1961) juga menyatakan bahwa aspek psikologis memegang peranan penting karena para penderita ketergantungan narkotika dan psikotropika sering kali mengembangkan sub sistem kepribadian untuk menyelesaikan masalah mereka dengan kembali menggunakan narkotika dan psikotropika Pentingnya aspek psikologis ini dalam riwayat ketergantungan narkotika para subyek tampak ketika mereka kembali menggunakan narkotika dan psikotropika setelah selama beberapa waktu meninggalkannya dan tidak lagi mengalami gejala putus obat. Saat itu mereka kembali menggunakan narkotika dan psikotropika karena adanya keinginan yang sangat kuat untuk kembali merasakan kenikmatan intoksikasi. Sehubungan dengan hasil penelitian ini disarankan agar informasi tentang penggunaan narkotika dan psikotropika serta ketrampilan sosial untuk menolak ajakan penggunaan narkotika dan psikotropika diberikan di sekolah sejak pendidikan dasar sebagai salah satu upaya pencegahan penggunaan narkotika dan psikotropika Bagi individu yang telah menggunakan narkotika dan psikotropika diperlukan terapi untuk mengatasi gejala putus obat serta pembekalan pengetahuan dan ketrampilan dalam mengatasi ketergantungan psikologis dan mengatasi masalah tanpa bantuan narkotika dan psikotropika. Untuk penelitian pada penderita narkotika dan psikotropika selanjutnya disarankan untuk memperhatikan kondisi fisik dan psikologis para subyek sehubungan dengan intoksikasi dan gejala putus obat yang mereka alami. Hal ini penting untuk meningkatkan keakuratan dan kedalaman data yang didapatkan. Penggunaan narkotika dan psikotropika selama bertahun-tahun dapat menurunkan kemampuan kognitif sehingga pertanyaan perlu disampaikan secaras sederhana dan jika perlu dapat diulang-ulang agar subyek penelitian memahami maksud pertanyaan.
2004
S3420
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Nurrachman
1979
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aprilia Fadjar Pertiwi
Abstrak :
ABSTRAK
Studi ini berangkat dari pemahaman akan pentingnya tindakan memaafkan orang lain yang jarang dipilih sebagai respon . Maka fenomena adanya subyek yang mampu memaafkan secara berkali-kali amatlah penting dan menarik. Tujuan penelitian adalah untuk menggali proses, alasan, kondisi dan manfaat memaafkan orang lain, pada subyek yang memiliki pengalaman berkali-kali memaafkan orang lain. Penelitian merupakan penelitian kualitatif berupa studi kasus, menggunakan metode wawancara mendalam serta observasi. Responden penelitian 2 orang, yakni Asep (bukan nama sebenarnya) yang memiliki pengalaman berkali-kali memaafkan orang lain (pelanggar) yang berbeda, dan Yanti (bukan nama sebenarnya), memiliki pengalaman berkali-kali memaafkan orang lain (pelanggar) yang sama. Hasil studi menunjukkan bahwa subyek merasa mendapatkan manfaat dari tindakan memaafkan orang lain seperti kelegaan karena melakukan apa yang dianggap benar, mendapatkan kemungkinan untuk rekonsiliasi dengan pelanggar, dan mengalami kebebasan dari perasaan sakit hati serta kemarahan. Mereka memiliki alasan tertentu dalam tindakannya. Pemahaman bahwa memaafkan orang lain adalah suatu kewajiban moral, disamping rasa cinta pada pelanggar, rupakan alasan yang kuat pada diri mereka sehingga mampu memaafkan secara berkali-kali. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi subyek dalam memaafkan secara berkali-kali, baik membantu atau pun menghambat, baik internal atau pun eksternal. Dalam menjalani proses memaafkan orang lain, ada pola khas yang dikembangkan oleh subyek, dimana subyek mendapatkan sumber penting yang membantunya dalam memaafkan orang lain secara berkali-kali. Sumber tersebut bisa merupakan ‘bekal’ yang sudah ada pada subyek sebelum pelanggaran terjadi, bisa juga merupakan ‘bekal’ dari lingkungan, yang diterima subyek sesudah mengalami luka akibat pelanggaran. Berdasarkan hasil analisa dan kesimpulan, peneliti memunculkan thesa: 1. Terdapat kondisi yang kondusif dalam tindakan memaafkan orang lain Kondisi tersebut bisa bersifat internal seperti kemampuan berfikir holistik, daya empati dan internalisasi berbagai nilai yang mendukung tindakan memaafkan. Bisa juga bersifat eksternal seperti dukungan sosial. 2. Terdapat kondisi yang tidak kondusif dalam tindakan memaafkan orang lain Kondisi ini bisa bersifat internal seperti kecenderungan untuk lekat kepada luka batin, bisa juga bersifat eksternal seperti membudayanya nilai yang menghambat tindakan memaafkan seperti nilai balas dendam. Dalam penelitian ini terdapat beberapa temuan menarik, yang sepanjang pemahaman penulis belum tercantum atau pun belum ditekankan oleh teori sebelumnya. Pertama, terdapat perbedaan antara teori dan hasil studi kasus dalam hal keterbatasan tindakan memaafkan. Misalnya dalam literatur dikatakan bahwa kualitas hubungan sesudah tindakan memaafkan akan menurun (Flanigan,1998), namun responden menyatakan bahwa hubungan bisa pulih seperti semula, bahkan meningkat. Jadi berdasarkan studi kasus, peneliti menyatakan diri berseberangan dengan pandangan mengenai keterbatasan tindakan memaafkan. Kedua, luka batin ternyata bisa berasal dari pelanggaran tidak langsung, karena melihat dan ikut merasakan penderitaan orang yang disayangi. Pemahaman ini memperkaya teori yang ada. Ketiga, Nilai budaya bisa berperan dalam upaya memaafkan orang lain. Nilai itu bisa membantu korban sejak mengalami pelanggaran, merasakan luka hingga saat berupaya memaafkan pelanggar. Keempat, dalam proses memaafkan, bisa teijadi langkah melingkar dimana subyek kembali ke tahap sebelumnya dalam proses memaafkan. Pada subyek yang memiliki pengalaman memaafkan orang lain secara berkali-kali ini, terdapat kemauan dan kemampuan untuk kembali menjalani proses tersebut, hingga tuntas. Kelima, terdapat keterkaitan pengalaman memaafkan yang satu dengan pengalaman memaafkan yang lain . Keterkaitan itu bisa bersifat negatif atau menghambat, bisa juga bersikap mendorong. Bila suatu pengalaman memaafkan memberi reward bagi subyek, maka pengalaman memaafkan ini membantu subyek untuk menjalani lagi tindak memaafkan di waktu selanjutnya, dan sebaliknya. Keenam, alasan untuk memaafkan orang lain bisa bergeser. Misalnya, semula karena keterpaksaan dan ketergantungan, namun pada waktu setelahnya karena kehendak bebas dalam melakukan kewajiban moral, karena rasa cinta pada pelanggar. Ketujuh, pada pelanggaran yang sama, respon korban bisa berbeda beda. Maka peneliti memandang bahwa faktor-faktor yang sudah ada sebelum teijadinya salah perlakukan, yang mempengaruhi korban dalam tindakan memaafkan orang lain (“bekal memaafkan), amatlahlah berperan disini. Bekal itu membuat subyek lebih siap dalam menerima dan mengolah pelanggaran, dan mengarahkan diri untuk melakukan tindak memaafkan. Kedelapan, terdapat strategi yang bisa dikembangkan individu untuk memaafkan orang lain. Misalnya saja dengan merendahkan harapan terhadap pelanggar, yang membantu korban agar tidak mengalami kekecewaan terlalu besar atas tindakan yang dilakukan pelanggar. Kesembilan, meski tindakan memaafkan bukan menjadi respon awal yang ditunjukkan korban, ternyata tindakan itu bisa dipilih dan dijalani korban setelahnya. Artinya, tindakan memaafkan bisa diajarkan serta dalam konteks lebih luas, bisa dibudayakan. Kesepuluh, untuk menciptakan budaya memaafkan, diperlukan kondisi yang mendukung, misalnya tersedianya nilai yang menguatkan tindakan memaafkan, serta upaya membentuk individu yang terbuka terhadap berbagai nilai tersebut. Penelitian juga mencantumkan keterbatasan dan memunculkan saran penelitian lanjutan.
2004
T38006
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyudin Ali
1995
S2391
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2   >>