Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sirait, Silfi Pauline
"ABSTRAK
Latar Belakang: Hiponatremia ditemukan pada 15-20 admisi rumah sakit. Hiponatremia berhubungan dengan adverse outcome pada pasien gagal jantung. Penggunaan akuaretik dipertimbangkan untuk tatalaksana hiponatremia pada gagal jantung. Adverse outcomes akibat hiponatremia berdampak terhadap pembiayaan, dan merupakan target potensial untuk intervensi. Studi ini bertujuan menilai efektivitas klinis tatalaksana hiponatremia pada gagal jantung serta menganalisis biaya medis antar metode tatalaksana. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien dengan gagal jantung dekompensasi akut dengan hiponatremia pada Januari 2014 ndash; Mei 2017. Hasil Penelitian: Total subjek 128 pasien, dengan 71 55.5 subjek mendapatkan terapi konvensional ditambah antagonis reseptor AVP. Terdapat perbedaan bermakna p = 0.041 kenaikan natrium median kelompok antagonis reseptor AVP 4 -8 ndash; 26 dan tanpa antagonis reseptor AVP 3 -16 ndash; 16 , dan perbedaan bermakna p < 0.0001 lama masa rawat median 10.50 3-40 hari pada kelompok antagonis reseptor AVP dan 6 3-71 hari pada kelompok tanpa antagonis reseptor AVP . Analisis biaya parsial tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada biaya rerata harian antar kedua kelompok. Kesimpulan: Terdapat perbedaan kenaikan kadar natrium darah di hari ketiga pengobatan dan lama masa rawat antar metode tatalaksana hiponatremia pada gagal jantung dekompensasi akut. Tidak terdapat perbedaan biaya bermakna antar metode tatalaksana hiponatremia pada gagal jantung dekompensasi akut.

ABSTRACT
Background Hyponatremia is found in 15 20 of hospital admissions and is associated with adverse outcomes in heart failure, where aquaretics may be considered in its management. Adverse outcomes due to hyponatremia affects funding, and is a potential target for intervention to decrease expenses. We aim to evaluate the clinical effectiveness of hyponatremia treatment methods in heart failure and analyze medical costs between them. Method This is a cross sectional study among acute decompensated heart failure patients with hyponatremia in NCCHK from January 2014 until May 2017. Result 128 subjects were analyzed, with 71 55.5 subjects receiving conventional therapy and AVP receptor antagonist and 57 44.5 receiving conventional therapy only. There was a significant difference in sodium increase 4 8 ndash 26 in AVP receptor antagonist patients and 3 16 ndash 16 in those without, p 0.041 , and in length of stay 10.50 3 40 days in AVP receptor antagonist patients and 6 3 71 in those without, p 0.0001 . Cost analysis showed no significant difference in average daily cost. Conclusion There is a significant difference in sodium increase after three days of therapy and in length of stay. There is no significant cost difference with the addition of AVP receptor antagonist."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andy Kristyagita
"Latar Belakang: Hipertensi berkontribusi secara bermakna terhadap morbiditas dan mortalitas kardiovaskular (KV) di dunia. Dua penyebab terpentingnya adalah asupan garam dan disfungsi endotel yang dapat dinilai menggunakan flow-mediated dilatation (FMD). Modifikasi keduanya dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas hipertensi. Diet rendah natrium DRN belum diterapkan secara optimal di dunia karena keterbatasan produk garam rendah natrium. Belum ada studi tentang perbandingan efek diet rendah natrium yang bervariasi terhadap perbaikan fungsi endotel yang dinilai melalui FMD pada subjek hipertensi derajat I, khususnya di Indonesia.
Metode: Uji klinis ini dilaksanakan di RSJPD Harapan Kita terhadap 52 subjek hipertensi derajat I (26 laki-laki dan 26 perempuan), berusia 25 - 59 tahun, dan berindeks massa tubuh 18,5 - 29,99 kg/m2. Subjek dieksklusi jika berpenyakit atau berfaktor risiko KV, memiliki penyakit liver, kanker, alergi rumput laut, infeksi berat, atau dalam terapi KV, hormonal, steroid, atau terapi herbal rutin. Data primer didapat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Subjek-subjek dirandomisasi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok DRN dengan kadar natrium 21 - 23% dan kelompok DRN dengan kadar natrium 38 - 40%, kedua diet diberikan dalam bentuk kuah. Nilai FMD diukur sebelum intervensi dan 60 menit setelahnya.
Hasil: Karakteristik dasar, termasuk diameter arteri brakialis prakompresi dan pascakompresi serta FMD, tidak berbeda bermakna di antara kedua grup. Pada kelompok DRN 38 - 40%, nilai FMD pada menit ke-60 pasca-intervensi menurun dibandingkan nilainya pra-intervensi, tetapi perbedaan tersebut tidak bermakna median [kisaran]: 7,92 [0,00 - 17,50]; p>0,05). Pada kelompok DRN 21 - 23%, nilai FMD pada menit ke-60 pasca-intervensi meningkat dibandingkan nilainya pra-intervensi, tetapi perbedaan tersebut juga tidak bermakna 7,65 [1,36 - 19,51]; p>0,05).
Simpulan: Nilai FMD pasca-intervensi tidak berbeda bermakna antarkelompok. Ketidakbermaknaan perbedaan nilai-nilai FMD dalam penelitian ini mungkin disebabkan oleh aspek-aspek internal subjek yang memengaruhi fungsi endotel dan prosedur evaluasi FMD.

Background: Hypertension contributes significantly to cardiovascular (CV) morbidity and mortality in the world. Two of its most important causes are salt intake and endothelial dysfunction which can be assessed using flow-mediated dilatation (FMD) test. Modification of both may decrease its morbidity and mortality. Low-sodium diet (LSD) has not been optimally implemented in the world due to the limited low-sodiumsalt products. There has been no study regarding the effects of low-sodium salt with various sodium concentrations on FMD of grade-I-hypertension subjects, especially in Indonesia.
Methods: This clinical trial was conducted at the NCC Harapan Kita on 52 grade-Ihypertension subjects 26 men, 26 women , aged 25 - 59 years old, with body mass index of 18.5 - 29.99 kg/m2. Subjects were excluded if they had CVD, CV risk factors, liver disease, cancer, seaweed allergy, severe infection, or on routine CV-, hormonal-, steroid, or herbal-therapy. Primary data were collected from anamnesis and physical examinations. We randomly assigned the subjects into two groups, i.e. the group LSD with natrium concentration of 21 - 23% and the group of LSD with natrium concentration of 38-40% . Both diets were given in a soup form. The FMD values were measured before the intervention and 60 minutes after it.
Results: Baseline characteristics, including pre-compression and post-compression brachial artery diameter and baseline FMD, were not significantly different between both groups. At group LSD 38 - 40%, FMD value at 60 minutes post-intervention was decreased compared to its baseline value, but the difference was not significant median [range]: 7.92 [0.00 mdash;17.50]; p>0.05). At group LSD 21 - 23%, FMD value at 60 minutes post-intervention was increased compared to its baseline value, but the difference was also not significant 7.65 [1.36 mdash;19.51]; p>0.05). Conclusion: The post-intervention FMD values were not significantly different between both groups. The non-significant differences between FMD values in this study may be due to the subjects' internal aspects influencing endothelial function and FMD evaluation procedure."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bhayu Hanggadhi Nugroho
"Latar belakang: Aritmia ventrikular idiopatik, baik kompleks ventrikel prematur (KVP) maupun takikardia ventrikel (TV), dapat menyebabkan terjadinya penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri (VKi) yang akan menimbulkan kardiomiopati dan meningkatkan mortalitas. Banyak faktor yang berkontribusi menyebabkan terjadinya kardiomiopati akibat KVP (KA-KVP) meskipun mekanisme terjadinya belum sepenuhnya dipahami. Variasi sirkadian KVP dilaporkan berhubungan dengan terjadinya penurunan fraksi ejeksi VKi. Deteksi dini adanya disfungsi sistolik intrinsik Vki dapat dilakukan melalui pemeriksaan speckle tracking ekokardiografi dengan mengukur nilai global longitudinal strain (GLS). Sampai saat ini belum diketahui apakah variasi sirkadian KVP berhubungan dengan penurunan fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variasi sirkadian aritmia ventrikular idiopatik dengan fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri melalui speckle tracking ekokardiografi.
Metode: Penelitian ini adalah studi potong lintang dengan total subjek 67 pasien (17 laki-laki [25,4%]; usia rata-rata 46.5 + 9.8 tahun; fraksi ejeksi ventrikel kiri 63,2% + 7,5%) dengan KVP yang berasal dari jalur keluar ventrikel dari pemeriksaan elektrokardiogram 12 sadapan. Semua pasien menjalani pemeriksaan Holter monitoring 24 jam dan speckle tracking ekokardiografi. Dilakukan perhitungan variasi sirkadian beban KVP dan nilai global longitudinal global (GLS) kemudian dilakukan analisis statistik untuk menilai hubungan kedua variabel tersebut.
Hasil: Sebanyak 31 pasien (46.3%) mengalami gangguan fungsi sistolik Vki (GLS lebih buruk dari -18%). Pasien dengan gangguan fungsi sistolik VKi memiliki GLS yang kurang negatif (-15.1% + 1.8% vs -21.3% + 2.0%; p=<0,001), beban KVP yang lebih tinggi (22.2% + 11.1% vs 13.9% + 8.3; p=0,001), variasi sirkadian beban KVP yang rendah (koefisien variasi beban KVP per 6 jam 26.8% + 15.6 vs 52.0 % + 28.2%; p=<0,001), dan episode TV non-sustained yang lebih sering (10 pasien [76.9%] vs 3 pasien [23.1%]; p=0,019). Sebanyak 70.6% pasien dengan jenis kelamin laki-laki mengalami gangguan disfungsi sistolik VKi (p=0,002). Pada analisis multivariat didapatkan beberapa prediktor terhadap gangguan fungsi sistolik Vki antara lain variasi sirkadian beban KVP yang rendah dengan [(koefisien variasi beban KVP per 6 jam < 35%), odds ratio (OR)=3.89 interal kepercayaan (IK)95%=1.09-13.80 p=0.036], episode TV non-sustained (OR=14.4, IK 95%=2.36-88.55, p=0.008), beban KVP > 9% (OR=6.81, IK 95%=1.35-34. Kesimpulan: Variasi sirkadian aritmia ventrikular idiopatik yang rendah berhubungan dengan penurunan fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri melalui speckle tracking ekokardiografi. Variasi sirkadian beban KVP per 6 jam < 35% memiliki risiko 3.89 kali lebih tinggi untuk terjadinya disfungsi sistolik ventrikel kiri

Background: Idiopathic ventricular arrhythmias (AVI) including premature ventricular complex (PVC) or ventricular tachycardia (VT) can cause left ventricular (LV) dysfunction which may lead to cardiomiopathy. The mechanisms of this cardiomyopathy remain elusive, many factors are believed to contribute. PVC burden is influenced by circadian rhythmicity and lack of PVC circadian variability was proposed as one mechanism of LV dysfunction. Since early detection of LV systolic dysfunction can be done by speckle tracking echocardiography examination, further studies are needed to assess intrinsic left ventricular systolic function and its correlation with PVC circadian variation in patients with idiopathic ventricular arrhythmias.
Objective: This study aimed to investigate the correlation between circadian variation of IVA and left ventricular intrinsic systolic function assessed by speckle tracking echocardiography.
Methods: The subjects of this cross sectional study were 67 consecutive patients (17 men [25.4%]; mean age 46.5 + 9.8 years; left ventricular ejection fraction 63.2% + 7.5%) with PVC originated from ventricular outflow tract based on 12 lead electrocardiogram. All patients underwent 24-hour Holter monitoring and speckle tracking echocardiography examinations. The circadian variation of PVC burden and global longitudinal strain (GLS) were determined and statistical analysis was conducted to evaluate their correlation. Results: A total 31 patients (46.3%) had impaired LV systolic function by GLS ( worse than -18%). Patients with impaired LV systolic function had a less negative GLS (-15.1% + 1.8% vs -21.3% + 2.0%; p=<0.001), a higher PVC burden ((22.2% + 11.1% vs 13.9% + 8.3; p=0,001), less variation in circadian PVC distribution (coefficient of variation 6 hourly 26.8% + 15.6 vs 52.0 % + 28.2%; p=<0.001), and more frequent episode of non-sustained VT (10 patients [76.9%] vs 3 patients [23.1%]; p=0.019). Total 70.6% patient with male gender experienced impaired LV systolic function (p=0.002). Independent predictors for impaired systolic LV function were less variation in circadian PVC distribution [(coeficient of variation < 35%), odds ratio (OR)=3.89, 95% confidence interval (CI)= 1.09-13.80, p=0.036)], episode of non-sustained VT (OR=14.4, 95%CI=2.36-88.55, p=0.008), PVC burden > 9% (OR=6.81, CI 95%=1.35-34.41, p=0.020), and male gender (OR=14.4, CI 95%=2.02-101.1, p=0.004).
Conclusion: Lack of circadian variation of IVA is associated with impaired LV systolic function by GLS. Coefficient of variation PVC burden < 35% has 3.89 times higher risk for development of left ventricular systolic dysfunction.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Berlian Indriansyah Idris
"[Pasien dengan hiperglikemia saat mengalami infark miokard akut (IMA) diketahui memiliki prognosis yang lebih buruk dibanding pasien normoglikemia, terlepas dari apakah mereka diketahui memiliki diabetes
sebelumnya atau tidak. Selain itu, pasien dengan hiperglikemia mengalami luaran yang lebih buruk setelah menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKKP). Ishihara dkk. melaporkan kematian di rumah sakit yang lebih tinggi pada pasien dengan hiperglikemia, dan tidak ada perbedaan kematian yang bermakna antara pasien diabetes dengan nondiabetes.;Pasien dengan hiperglikemia saat mengalami infark miokard akut (IMA) diketahui memiliki prognosis yang lebih buruk dibanding pasien normoglikemia, terlepas dari apakah mereka diketahui memiliki diabetes
sebelumnya atau tidak. Selain itu, pasien dengan hiperglikemia mengalami luaran yang lebih buruk setelah menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKKP). Ishihara dkk. melaporkan kematian di rumah sakit yang lebih tinggi pada pasien dengan hiperglikemia, dan tidak ada perbedaan kematian yang bermakna antara pasien diabetes dengan nondiabetes., Pasien dengan hiperglikemia saat mengalami infark miokard akut (IMA) diketahui memiliki prognosis yang lebih buruk dibanding pasien normoglikemia, terlepas dari apakah mereka diketahui memiliki diabetes
sebelumnya atau tidak. Selain itu, pasien dengan hiperglikemia mengalami luaran yang lebih buruk setelah menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKKP). Ishihara dkk. melaporkan kematian di rumah sakit yang lebih tinggi pada pasien dengan hiperglikemia, dan tidak ada perbedaan kematian yang bermakna antara pasien diabetes dengan nondiabetes.]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library