Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Diany Nurliana Taher
"Latar belakang Depresi berhubWlgan dengan meningkatnya angka kesakitan dan kematian terutama pada pasien pasca infark miokard. Prevalensi depresi pada pasien infark miokard diperlcirakan berkisar antara 16%-190/0. Risiko kematian meningkat menjadi 3,5 kali lebih besar pada pasien pasca infark miokard yang menderita depresi dibanding yang tidak depresi. Menurunnya variabilitas denyut jantung merupakan faktor risi.ko kematian pada pasien pasca infark miokard yang disertai adanya depresi Hal ini disebabkan karena terjadinya disfungsi otonom.1 ). Carney mendapatkan semua parameter yang dinilai pada variabilitas denyut jantung (ultrQ low frekuensi, very low frekuensi, low frekuensi dan high frekuensl) secara bermakna lebih rendah pada pasien yang didapatkan adanya depresi dibanding yang tidak disertai depresi? Adapun tujuan dari pene1itian ini a.dalah lUltuk me1ihat apakah rerdapat beda rerata variabilitas denyut jantung antara pasien pasca infark miokard yang mengalami depresi dil>anding yang tidak depresi. Bahan daD metode Pene1itian ini merupakan studi potong lintang. Pada pasien pasca Infark Miokard yang telah melewati masa akut penyakitnya.Dilakukan di subbagian jantung dan psikosomatik bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUPN-CM antara bulan April200S- Agustus 200S Diperoleh subyek sebesar 24 orang untuk. ke10mp0k. pasien yang menderita depresi dan 24 orang kelompok yang tidak didapatkan adanya depresi. Pada kedua kelompok kemudian dipasang Holter monitoring, untuk melihat variabilitas denyut jantungnya. Hasil : Rerata usia pada kelompok depresi lebih muda daripada kelompok tidak depresi.(depresi 55,21±9,23 , tidak depresi 57,83 ±8,75). Pasien laki laki didapatkan lebih banyak baik pada ke10mp0k depresi mauplUl tidak depresi. Tingkat pendidikan subyek terbanyak adalah SMA (depresi(50,0%) tidakdepresi(66,7%)). Riwayat Diabetes Melitus terbanyak didapatkan pada kelompok depresi (50%) hipertensi juga didapatkan terbanyak pada kelompok depresi 79,20/0. Sekitar 75 % pasien dengan depresi mempunyai kebiasaan merokok, sementara pada kelompok yang tidak depresi, kebiasaan merokok didapatkan sebesar 37,5% . Sedangkan dari basil analisis bivariat, pada ketiga komponen Holter Monitoring dengan domain frekuensi didapatkan beda rerata yang bermakna dari variabilitas denyut jantung, antara pasien infark miokard yang menderita depresi dibanding tanpa depresi. Dimana pada pasien yang disertai adanya depresi didapatkan variabilitas denyut jantungnya lebih rendah. Pada Very Low Frekuensi didapatkan rerata yang lebih rendah pada kelompok depresi dibandiog yang tidak depresi (2,470±1,12 >< 2,9030±1,31 P 0,0 IS), rerata Low Fre1cuensi juga didapatkan lebih rendah pada kelompok yang depresi ( 1 ,958± 1,11 >< 2,520± 1,28 P 0~007) Demikian juga pada High Frekuensi , didapatkan rerata yang lebih rendah pada pasien yang disertai adanyadepresi ( 1,645±1,10 >< 2,143±1,11 P 0,003 ) Kesimpulan Pasien pasca infark miokard yang disertai adanya depresi mempunyai variabilitas denyut jantung yang lebih rendah dibanding yang tidak depresi.

Introduction Depression is associated with an increased risk of morbidity and mortality especially after acute myocardial infarction. The prevalence of depression patient after acute myocardial infarction ranging 16% to 19".4. The mortality rate is increase 3,5 fold in patient myocardial infarction with depression compare not depression.The decrease of heart rate variability is reflection of the mortality risk patient acute myocardial infarction with depression. Altered cardiac autonomic tone remains one of the most plausible explanations.1 ,2 Carney study demonstrated that all 4 log-transformed frequency domain indices of HRV ( ULF,VLF,LF and HF) were significantly lower in post MI patients with depression than in post MI patients without depression.2 The purpose of this study was to compare the heart rate variability between in post MI patients with depression than in post MI patients without depression. Methods A cross-sectional study.Patient with a recent acute MI who were depressed.Al1 patients admitted between Aprill-Augustus 2008 to Cardiology unit and Psycosomatic division in CiptoMangunkusumo Hospital. During that time, 24 patients post myocardial infarction with depression and 24 patients post myocardial infarction without depression took part in our study. The Heart rate Variability measured by Holter Monitoring. Result Comparison between depressed and nondepressed patients: depressed patients were slightly younger ( 55,21±9,23 ,57,83 ±8,75). Were likely to be male , level of education was Senior High School, to have diabetes mellitus (50010) hypertension 79,2% and to be current cigarette smoker compared with nondepressed patients. All 3 log- transformed frequency domain indices of HRV ( VLF,LF and HF) were significantly lower in post-MI patients with depression than in post-MI without depression. Mean Very Low Frequensi lower in depressed group than the group without depression (2,47O±1,12 >< 2,9030±1,31 P 0,018), Mean Low Ftekuensi also lower in depressed group than nondepressed group (1,958±1,11 >< 2,520±1,28 P 0,007) Mean High Frekuensi also lower in depressed group than in nondepressed group ( 1,645±1,10 ><2,143±1,1l p 0,003 ) Conclusion Post myocardial infarction patients with depression had a lower heart rate variability than in post myocardial infarction patients without Oepression."
Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran, 2008
T59042
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eric Daniel Tenda
"Latar Belakang: Seiring berjalannya pandemi COVID-19, diperlukan tes diagnostik yang lebih baik, cepat, andal, mudah dan tersedia secara luas. Foto rontgen dada digunakan sebagai pemeriksaan awal untuk menegakkan diagnosis kerja. Kecanggihan Artificial Intelligence (AI) diketahui dapat meningkatkan presisi diagnosis Pneumonia pada foto rontgen dada. Salah satu program AI yang sedang marak digunakan adalah CAD4COVID-Xray. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan melihat perbedaan performa skoring AI dibanding skoring Brixia pada foto rontgen dada untuk mendiagnosis dan menentukan derajat keparahan pneumonia COVID-19. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong-lintang pada 300 pasien terduga dan terkonfirmasi pneumonia COVID-19. Rontgen dada dinilai secara kuantitatif menggunakan program CAD4COVID dan semi-kuantitatif menggunakan sistem skoring Brixia. Analisa performa diagnostik dinilai menggunakan estimasi AUC dan perbandingannya, serta perbandingan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif dan akurasi. Hasil: AI probability score (AUC 0,542, IK95% 0,471-0,613), AI ALA score (AUC 0,442, IK95% 0,375-0,510) dan overall CXR score (AUC 0,461, IK95% 0,393-0,528) tidak memiliki kemampuan diskriminasi hasil RT-PCR SARS CoV-2 pada subjek terduga COVID-19. AI probability score (AUC = 0,888, IK95% 0,820- 0,956), AI ALA score (AUC = 0,875, IK95% 0,789-0,953) dan overall CXR score (AUC = 0,878, IK95% 0,808-0,948) memiliki kemampuan diskriminasi sangat baik untuk menentukan derajat keparahan penyakit subjek terkonfirmasi COVID-19. AI probability score (Sn 87,2%, Acc 85,6%) dan AI ALA score (Sn 82,6%, Acc 80,4%) lebih sensitif dan akurat dibandingkan overall CXR score (Sn 75,6%, Acc 78,4%) untuk mendiskriminasi derajat keparahan penyakit pneumonia COVID-19. Simpulan: AI probability score, AI ALA score dan overall CXR score tidak memiliki kemampuan membedakan hasil RT-PCR SARS CoV-2 pada subjek terduga COVID-19. AI probability score, AI ALA score dan overall CXR score memiliki kemampuan yang sangat baik untuk membedakan derajat keparahan penyakit subjek terkonfirmasi COVID-19. AI probability score dan AI ALA score lebih sensitif dan akurat dibandingkan overall CXR score untuk membedakan derajat keparahan penyakit pneumonia COVID-19.

Background: As the COVID-19 pandemic progresses, a better, faster, reliable, easy and widely available diagnostic tests are needed. Chest X-rays are currently used as an initial examination to confirm a working diagnosis. Advancement of Artificial Intelligence (AI) is known to increase diagnosis precision of pneumonia on chest X-rays. One of the AI programs that is widely being used during the COVID-19 pandemic is CAD4COVID-Xray. Objective: This study aims to determine and compare the performance of AI scoring system using colour heat-map compared to Brixia scoring system on chest X-rays to diagnose and determine the severity of COVID-19 pneumonia. Methods: This study is a cross-sectional study, involving 300 suspected and confirmed COVID-19 pneumonia patients. Chest X-rays were assessed quantitatively using the CAD4COVID program and semi-quantitatively using the Brixia scoring system. Performance analysis is assessed using AUC estimation and its comparison, as well as comparisons of sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value and accuracy. Results: AI probability score (AUC 0.542, 95% IK 0.471-0.613), AI ALA score (AUC 0.442, 95% IK 0.375-0.510) and overall CXR score (AUC 0.461, 95% CI 0.393-0.528) did not have the ability to discriminate RT-PCR results of subjects with suspicion of COVID-19. AI probability score (AUC = 0.888, 95% CI 0.820- 0.956), AI ALA score (AUC = 0.875, 95% IK 0.789-0.953) and overall CXR score (AUC = 0.878, 95% CI 0.808-0.948) had excellent strength of agreement to determine disease severity in subjects with confirmed COVID-19. AI probability score (Sn 87.2%, Acc 85.6%) and AI ALA score (Sn 82.6%, Acc 80.4%) are more sensitive and accurate than overall CXR score (Sn 75.6%, Acc 78 ,4%) to determine the severity of COVID-19 pneumonia. Conclusions: AI probability score, AI ALA score and overall CXR score did not have the ability to discriminate RT-PCR results of subjects with suspicion of COVID-19. AI probability score, AI ALA score and overall CXR score had excellent strength of agreement to determine disease severity in subjects with confirmed COVID-19. AI probability score and AI ALA score are more sensitive and accurate than overall CXR score to determine the severity of COVID-19 pneumonia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Salman Paris
"Latar Belakang: Karsinoma narofaring (KNF) termasuk kanker dengan prevalensi yang cukup tinggi di Indonesia dengan prognosis yang cukup. Dalam menentukan progresifitas suatu kanker, didapatkan peranan penting dari penurunan tumor supresor gen dan peningkatan proliferasi. Hal tersebut ditandai oleh marker p53 sebagai gen supresor yang menginduksi apoptosis dan Ki67 sebagai marker proliferasi sel. Hingga saat ini belum terdapat penelitian mengenai hubungan overekspresi p53 dan Ki67 terhadap respon kemoradiasi dan analisis kesintasan selama 3 tahun pada KNF stadium lokal lanjut. Tujuan: Mencari hubungan antara overekspresi p53 dan Ki67 terhadap respon kemoradiasi dan kesintasan 3 tahun pasien KNF stadium lokal lanjut. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain analisis kesintasan. Penelitian ini menggunakan desain penelitian kohort retrospektif, dengan pengambilan data dari rekam medis kemudian ditelusuri riwayat perjalanan penyakitnya. Sample penelitian berupa jaringan pada blok parafin pasien KNF stadium lokal lanjut yang diambil secara consecutive sampling dari populasi penelitian dari periode 2015–2017 di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sejumlah 82 orang. Hasil: Dari total 82 pasien KNF stadium local lanjut, terdapat 65 pasien kelamin laki – laki (79,3%) dan 17 pasien perempuan (20,7%), dengan usia paling banyak pada kelompok 41 – 50 tahun sebanyak 31,8%. Overekspresi p53 ditemukan pada 36 pasien (43,9%), sementara overekspresi Ki67 ditemukan pada 35 pasien (42,7%). Dari respon kemoradiasi, pasien dengan overekspresi p53 dan Ki67 berpeluang memberikan respon negatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan low ekspresi (RR = 3,052 dengan IK95%: 1,777 – 5,242, p = 0,009; RR = 2,573 dengan IK95%: 1,547 – 4,297, p = 0,002 berturut-turut). Dinilai dari kesintasan 3 tahun, pasien dengan overekspresi p53 memiliki kesintasan 3 tahun yang lebih buruk dibandingkan dengan low ekspresi (HR = 19,827 dengan IK95%: 5,974 – 65,798, p = <0,001). Begitu juga dengan overekspresi Ki67 memiliki kesintasan 3 tahun yang lebih rendah.

Background: Naropharyngeal carcinoma (NPC) is a cancer with a fairly high prevalence in Indonesia with a fairly poor prognosis. Tumor supressor gene and cancer proliferation played an important roles in determining the progression of a cancer. This was indicated by the marker p53 as a suppressor gene that induces apoptosis and Ki67 as a marker of cell proliferation. There has been limited research on the relationship of p53 and Ki67 overexpression to the chemoradiation response and 3-year survival in locally advanced NPC. Objective: To determine the relationship between p53 and Ki67 overexpression with chemoradiation response to therapy and 3-year survival in locally advanced NPC patients. Methods: This research is an observational analytic study with a survival analysis design. This study used a retrospective cohort study design, by collecting data from medical records and then tracing the history of the disease. The research sample was tissue in the paraffin block of locally advanced NPC patients taken by consecutive sampling from the study population from period 2015–2017 at Dr. Cipto Mangunkusumo National Hospital with a total number of 82 patients.
Results: From a total of 82 patients with locally advanced NPC, there were 65 male patients (79.3%) and 17 female patients (20.7%), with the most age being in the 41-50 years group as many as 31.8 %. Overexpression of p53 was found in 36 patients (43.9%), while overexpression of Ki67 was found in 35 patients (42.7%). Based on therapy response, patients with overexpression of p53 and Ki67 had a higher chance of giving a negative response compared to those with low expression (RR = 3,052 with IK95%: 1,777 – 5,242, p = 0,009; RR = 2,573 with IK95%: 1,547 – 4,297, p = 0,002 respectively). Assessed by 3- year survival, patients with p53 overexpression were statistically significantly worse than those with low-expression (HR = 19,827 with IK95%: 5,974 – 65,798, p = <0,001). Likewise, Ki67 overexpression was statistically significant and had a lower 3-year survival compared to low Ki67 expression (HR = 14,634 with IK95%: 5,074 – 42,204, p = <0,001). Conclusion: Locally advanced NPC patients with p53 overexpression and Ki67 overexpression have a tendency to give a negative chemoradiation response and have a lower 3-year survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ridzqie Dibyantari
"Latar belakang: Pengkajian Paripurna Pasien Geriatri (P3G) bermanfaat dalam pelayanan pasien lanjut usia. Domain yang sering dinilai adalah status fungsional, disabilitas, status nutrisi, dan kognitif. Namun, pengerjaan P3G membutuhkan waktu yang lebih lama, sehingga dikembangkan bentuk singkat P3G, di antaranya Geriatric 8 (G8). Belum ada publikasi mengenai kesahihan, keandalan, dan performa diagnosis G8 pada populasi umum lansia di Indonesia. Tujuan: mengetahui kesahihan, keandalan, dan performa diagnostik G8. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di Poli Geriatri RSCM. Dilakukan pemeriksaan G8 dan P3G terhadap pasien yang memenuhi kriteria seleksi subjek penelitian, kemudian dilakukan uji kesahihan dengan mencari koefisien korelasi dan analisis kappa. Pasien dengan gangguan pada satu domain P3G dikatakan gangguan P3G, yaitu ADL  19, IADL  7, MoCA-INA  25, MNA < 24, atau timed up and go  10 detik. Hasil: terdapat 80 orang subjek penelitian dengan rerata usia 73,68 tahun, Interrater dan intrarater concordance masing-masing adalah 1 dan 0,904 (p<0,005). Interclass corelation coefficient berkisar antara 0,77 (0,412 – 0,913) sampai dengan 1 (1 – 1). Didapatkan nilai Cronbach 0,697. Titik potong acuan yang digunakan 14,25 menunjukkan sensitivitas 70,27 (58,82 – 80,34), spesifisitas 83,33 (35,88 – 99,58), dengan AUC 0,846 (p<0,005), IK95% 0,667- 1,0) Simpulan: G8 cukup sahih dan memiliki keandalan yang baik sebagai instrumen penapisan pasien rawat. Titik potong G8 yang disarankan adalah 14,5 sehingga pasien dengan skor lebih rendah disarankan untuk menjalani pemeriksaan P3G lengkap.

Background: Comprehensive geriatric assessment (CGA) has been proved to be beneficial for older adults care. Domains that usually assessed in CGA are functional status, disability, cognitive function, and nutrtion status. However, CGA takes more time to complete, hence shorter versions of CGA were developed, including Geriatric 8 (G8). G8 was developed to screen older adults with cancer who would benefit the complete CGA. There was no publication regarding validity, reliability, and diagnostic performance of G8 for general population of older adults in Indonesia. Objective: This study aimed to evaluate validity, reliability, and diagnostic performance of G8 in older adults. Methods: This is a cross-sectional study conducted in Geriatric Clinic of Cipto Mangunkusumo National Hospital. Both CGA and G8 were performed, concordance between these tests were analyzed to determine validity, reliability, and diagnostic performance of G8. Abnormal CGA is defined by at least one abnormal CGA domain is identified, i.e ADL  19, IADL  7, GDS  5, MoCA-INA  25, MNA < 24, or timed up and go  10. Commorbidities was assessed by CIRS-G. Results: We found strong inter-rater and intra-rater condordance (kappa=1 and kappa=0.904, p<0.005, respectively). Interclass Coefficient Corelation was ranged 0.77 (0.412 – 0.913) to 1 (1 – 1). We also found acceptable Cronbach of 0.697. For diagnostic performance, the sensitivity was 70.27 (58.82 – 80.34), specificity 83.33 (35.88 – 99.58), with AUC 0.846 (p<0.005), CI95% 0.667-1.0). Conclusion: G8 screening tool is valid and reliable to be used in older adults. G8 also demonstrated good diagnostic performance. We propose 14.5 as cut off point for older adults who need full form geriatric assessment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Haryanto Surya
"Latar Belakang. Coronavirus Disease-19 (COVID-19) sampai sekarang masih menjadi ancaman kesehatan global. Baku emas diagnosis COVID-19 adalah pemeriksaan RT-PCR dari sampel usap nasofaring. Pengambilan sampel dengan cara ini memiliki kekurangan seperti rasa tidak nyaman pada pasien, risiko perdarahan, dan risiko paparan pada tenaga medis. Saliva merupakan salah satu alternatif sampel yang bisa digunakan untuk tujuan ini. Tujuan. Mengetahui sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, dan akurasi RTPCR saliva. Metode. Penelitian potong lintang pasien dewasa suspek COVID-19 pada April-Juni 2021 di instalasi gawat darurat rumah sakit Siloam Lippo Village. Pasien yang memenuhi syarat dan menyatakan setuju dilakukan pemeriksaan RT-PCR dari sampel usap nasofaring dan saliva. RTPCR dikerjakan dengan menilai gen N dan gen ORF1AB menggunakan alat Rotorgen QPlex-5Plus dengan batas positif CT Value < 40. Hasil. Sebanyak 126 pasien suspek COVID-19 yang eligible ikut penelitian selama periode studi. Enam pasien menolak mengikuti penelitian. Analisis akhir dikerjakan pada 120 pasien dengan proporsi laki-laki 42,5% dan median usia 50 tahun. Hasil RT-PCR positif ditemukan pada 69 (57,5%) sampel saliva dan 75 (62,5%) sampel usap nasofaring. Sensitivitas uji RT-PCR COVID19 dari sampel saliva adalah 86,67% (95% CI 76,84- 93,42), spesifisitasnya 91,11% (95% CI 78,78- 97,52). Nilai NDP yang didapat adalah 94,20% (95% CI 86,39-97,65) dan nilai NDN yang didapat 80,39% (95% CI 69,57-88,03). Akurasi yang didapat adalah 88,33% (95% CI 81,2093,47). Rerata CT value RT-PCR dari sampel saliva lebih tinggi dibandingkan sampel nasofaring, baik pada gen N (mean saliva 26,22 vs nasofaring 22,18; p= 0,01) maupun ORF1AB (mean saliva 26,39 vs nasofaring 23,24; p= 0,01). Simpulan. Saliva yang diambil dengan metode drooling merupakan sampel yang akurat untuk pemeriksaan RT-PCR COVID-19.

Background. Coronavirus Disease-19 (COVID-19) is still a global health problem. Diagnostic gold standard for COVID-19 is RT-PCR of the nasopharyngeal swab specimen. However, this method has several issues such as patient’s discomfort, risk of bleeding, and risk of exposure to examiner. Saliva is a viable alternative sample for this examination. Aim. To find out the sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value, and accuracy of saliva RT-PCR. Method. Crossectional study in adult patient with suspect ofCOVID-19 during April-June 2021 in emergency unit Lippo Village Hospital. Eligible and agreed patient are examined with RT-PCR from nasopharyngeal swab and saliva. RT-PCR was done by targeting gene N and ORF1AB using Rotorgen QPlex-5-Plus with CT value cut off 40. Result. A total of 126 suspected COVID-19 cases were admitted to ER during study period. Six patients were disagree to join. Final analysis was carried out on 120 patients (42.5% male, media age 60). Positive RT-PCR was found in 69 (57.5%) saliva specimens and 75 (62.5%) nasopharyngeal specimens. Sensitivity of saliva specimens was 86.67% (95% CI 76.84- 93.42), with specificity of 91.11% (95% CI 78.78-97.52). NDP of saliva was 94.20% (95% CI 86.39-97.65) with NDN of 80.39% (95% CI 69.57-88.03). Saliva’s accuracy was 88.33% (95% CI 81.20-93.47). Mean CT value of saliva specimens was higher than nasopharyngeal specimens in both gene N (mean saliva 26.22 vs nasopharyngeal 22.18; p= 0.01) and ORF1AB (mean saliva 26.39 vs nasopharyngeal 23.24; p= 0.01). Conclusion. Saliva collected with drooling method is an accurate sample for COVID-19 RT-PCR."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library