Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tadjuddien Noor Bolimakalu
Abstrak :
ABSTRAK
Penyelenggaraan negara di manapun sentralnya ada pada pundak kepala eksekutif dengan titel Presiden atau Perdana Menteri. Dalam kenyataannya pelaksanaan tugas dan wewenang Kepala eksekutif ini selalu mendapat sorotan dan menjadi tema studi yang tidak kunjung berakhir. Keadaan yang sama juga dialami oleh Presiden Indonesia. Pengamatan penulis menunjukkan bahwa ada kekurangan sarana studi dalam melihat Presiden menurut UUD 1945 dalam berbagai tulisan maupun komentar. Menurut hemat penulis untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya Presiden menurut UUD 1945 perlu dilihat dengan kacamata budaya penyelenggaraan negara yang dipengaruhi oleh budaya bernegara tempo dulu baik zaman kerajaan maupun zaman penjajahan serta membandingkan dengan Presiden negara lain baik di wilayah Eropah Kontinental maupun Anglosaxon. Budaya hidup bernegara tempo dulu baik yang dimiliki dan dialami oleh bangsa Amerika (Amerika Serikat), bangsa Perancis maupun bangsa Indonesia ternyata dengan penelitian sederhana ini membuktikan adanya pengaruh. Bangsa Amerika sejak tempo dulu sebelum mendirikan negara Amerika Serikat telah hidup berdasarkan prinsip kebebasan dan persamaan yang berakar dari hasrat mereka berimigrasi dari Eropah ke Amerika. Prinsip tersebut mewarnai hampir segala segi kehidupan bernegara termasuk bagaimana mereka menempatkan Presiden dalam negara mereka. Bangsa Perancis berabad-abad hidup dalam rezim monarki termasuk pula monarki absolut. Revo lusi Perancis merupakan buah karya bangsa Perancis untuk membetulkan penyelenggaraan negara Setelah revolusi itu bangsa Perancis hidup dalam negara Republik. Akan tetapi Republik pun tidak mulus. Akhirnya sampai Republik tahun 1 9 5 8 dan amendmen 1962 dan 1964. Pasang surut berneaara banasa Perancis tersebut kemudian menghasilkan posisi Pres iden Peranci s seperti sekarang, yaitu memiliki kekua- « ^ vfnrr T mt besar Pengalaman bangsa Indonesia mirip saan yang amat besar- ^ bahkan ada kemiripan antara qaqasan Demokrasi Terpimpin dengan gagasan penafsiran UUD gagasan uemoKic Gaulle. Persamaan itu terletak pada nn^isi"presiden dengan kekuasaan yang besar dalam penye- 1 enaaaraan negara guna menanggulangi labilitas negara yang lenggaraan ncyai» 3 nenelitian m i adalah tidak men^ n^u^ o n e s i a tidak melebihi kedudukan Presiden bahwa presl?®n . presiden Perancis bahkan secara yuri- Amerika Serikat • ibannya jauh lebih besar sementara wewenangnya3 y a n g besar memang dibutuhkan dalam penyelenggaraan negara Indonesia. Kalau ada nada bariton terhadap kedudukan Presiden Indonesia sebenarnya karena telah keliru pemahamannya. Hal ini terjadi karena studi yang dilakukan terlalu banyak menggunakan kaca mata orang lain. Kalau perlu memperbaiki citra kekuasaan lembaga Kepresidenan maka menurut hemat penulis perbaikan yang terpenting terletak pada perbaikan dinamika lembaga tertinggi dan tinggi negara lainnya.
1995
T36514
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hotmauli
Abstrak :
Persoalan pengenaan pajak oleh pemerintah menjadi perbincangan yang menarik untuk dicermati, disebabkan dalam pengenaan pajak, pengaturan mengenai hak dan kewajiban wajib pajak maupun fiskus menjadi hal yang wajib ada dalam dasar hukum pengenaannya. Untuk rnenyeimbangkan hak dan kewajiban ini dalam peraturan perpajakan dibutuhkan politik hukum pemerintah yang mampu mengakomodasi kedua hal ini. Tesis ini menuangkan bagaimana "Politik Hukum Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia". Ada tiga masalah penting yang diamati dalam tesis ini, yaitu; politik pembentukan hukum, politik penegakan hukum pajak bumi dan bangunan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi politik hukum pajak bumi dan bangunan di Indonesia. Perbedaan-perbedaan politik pembentukan hukum pengenaan pajak bumi dan bangunan ditentukan oleh tiga faktor pengaruh yaitu, konsep penguasaan dan pemilikan hak atas tanah, perkembangan singkat keadaan negara, khususnya yang berkaitan dengan kebijaksanaan fiskal dalam penerimaan negara dan politik pemerintahan secara umum pada masa pemberlakuan peraturan perundangan-undangan pajak bumi dan bangunan. Dalam hal politik penerapan dan penegakan hukum ada perbedaan yang muncul dalam hal pelaksanaan kewajiban perpajakan. Berdasarkan Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan sejak tahun 1985, tanggung jawab pelaksanaan pajak bumi dan bangunan tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab wajib pajak. Wajib pajak hanya berkewajiban untuk membayar pajak bumi dan bangunannya, sedangkan proses penetapan dan penghitungan pajak bumi dan bangunan dilakukan oleh aparat perpajakan dengan menggunakan sistem official assessment. Politik hukum pelayanan pajak bumi dan bangunan dilaksanakan untuk mencapai dua tujuan yaitu; pertama, kebijaksanaan pelayanan hukum pajak bumi dan bangunan ditujukan untuk membantu pemerintah dan masyarakat merealisasikan kaidah-kaidah hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan pajak bumi dan bangunan; kedua, kebijaksanaan pelayanan hukum pajak bumi dan bangunan ditujukan sebagai sarana untuk mewadahi pelayanan hukum pemerintah sebagai kontraprestasi akibat adanya pembebanan pembayaran pajak yang dikenakan pada masyarakat. Realisasi kebijaksanaan hukum yang pertama ditunjukkan dengan adanya sistem pelayanan pajak bumi dan bangunan berdasarkan fungsinya. Berbeda dengan yang pertama, realisasi kebijaksanaan hukum yang kedua sampai saat ini belum ada pengaturan yang tegas.
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meray Hendrik Mezak
Abstrak :
Indonesia adalah negara berdasar atas hukum. Oleh karena itu, segala peraturan perundang-undangan harus bersumber pada hukum dasar dan aturan-aturan pelaksana tidak dibenarkan bertentangan dengan hukum dasar dan peraturan yang lebih tinggi. Di samping itu segala tindakan penyelenggara pemerintahan harus dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum. Guna mengatasi terjadinya penyimpangan produk peraturan perundang-undangan perlu adanya sarana pengendali konstitusional yang disebut hak menguji materiil di Indonesia dirumuskan dalam Pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970 dan diperkuat dengan Tap. MPR No. III/MPR/1978 serta terakhir dipertegas dengan Pasal 31 UU No. 14 Tahun 1986 yang pada intinya memberikan kewenangan pada Mahkamah Agung untuk menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan dari tingkat di bawah undang-undang karena bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi. Putusan ini dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan perkara pada tingkat kasasi. Dalam pengertian dapat berarti pelaksanaan hak uji materiil tidak harus melalui pemeriksaan perkara biasa yang urut-urutannya dimulai dengan perkara tingkat pertama, banding dan kemudian kasasi, akan tetapi dalam pelaksanaannya belum optimal dan terkesan tidak efektif. Oleh karena itu, penerapan Legislatif Review merupakan alternatif yang tepat guna menjaga konsistennya konstitusionalisme di Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rasji
Abstrak :
Sejalan dengan perkembangan kehidupan kenegaraan Indonesia, sering muncul kebutuhan pengaturan mengenai suatu hal, yang landasan hukum konstitusinya kurang atau tidak jelas bahkan tidak ada. Ini menimbulkan kesulitan dalam membuat peraturan tersebut agar tetap sesuai dengan UUD 1945. Akibatnya, kadang-kadang muncul peraturan yang dirasakan bertentangan dengan ketentuan UUD 1945. Ketetapan MPR sebagai jenis peraturan khas Indonesia, telah mewarnai sistem pengaturan negara Indonesia. Persoalannya, apa fungsi Ketetapan MPR dalam sistem pengaturan negara di Indonesia, sehingga segala peraturan yang muncul tetap sesuai dengan UUD 1945. Dan hasil penelitian, memperlihatkan, bahwa Ketetapan MPR mengatur materi muatan pelaksanaan UUD 1945. Karena itu, Ketetapan MPR mempunyai fungsi merinci/menjabarkan/mengatur lebih lanjut dan menafsirkan ketentuan UUD 1945 untuk mengantisipasi kebutuhan pengaturan suatu hal oleh legislatif dalam bentuk UU atau oleh eksekutif dalam bentuk Perpu dan Keppres. Ketetapan MPR akan menjembatani antara UUD 1945 dengan UU/Perpu atau Keppres dalam mengantisipasi kebutuhan hukum (peraturan) yang landasan konstitusionalnya belum atau tidak jelas bahkan tidak ada, sehingga akan memberi landasan hukum bagi pembentukkan UU/Perpu/ Keppres dan peraturan lain di bawahnya. Dengan demikian, Ketetapan MPR membatasi kewenangan legislatif dan Presiden artinya Presiden bersama DPR tidak boleh membentuk UU dan Presiden tidak boleh membentuk Perpu/Keppres untuk mengatur suatu hal, apabila landasan hukum konstitusinya tidak jelas/ tidak ada; dan menciptakan kewenangan legislatif dan Presiden artinya legislatif Presiden bersama DPR berwenang membentuk UU dan Presiden berwenang membentuk Perpu/Keppres apabila Ketetapan MPR telah memberi landasan hukum pembentukannya melalui penjabaran/perincian atau penafsiran ketentuan UUD 1945. Fungsi demikian masih menghadapi kendala yuridis yakni belum adanya Ketetapan MPR yang menetapkan fungsi tersebut dan kendala institusional yakni MPR tidak aktif setiap saat sehingga tidak mempu mengantisipasi kebutuhan hukum yang ada. Karena itu, sebabnya MPR membentuk suatu ketetapan yang menetapkan hal di atas dan MPR lebih aktif untuk bersidang lebih dari satu kali dalam masa lima tahun Berta MPR menetapkan suatu Ketetapan tentang hak menguji material bagi semua peraturan perundang-undangan.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zen Zanibar M.Z.
Abstrak :
Sejak digulirkan tahun 1983 deregulasi dipandang oleh pemerintah dan swasta sebagai langkah kebijakan penting dalam mendukung kegiatan ekonomi. Selama ini deregulasi lebih banyak dilihat dan dibahas dari kaca mata ekonomi dan politik. Sementara dari kaca mata hukum sedikit sekali. Padahal sebenarnya pembahasan dari sudut hukum sangat penting untuk dikedepankan mengingat kebijakan deregulasi dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Menurut sistem hukum Indonesia setiap produk hukum berupa peraturan perundang-undangan haruslah bersumber dan berdasar pada norma hukum yang lebih tinggi. Atas dasar pemikiran tersebut maka menjadi pertanyaan adalah; apakah deregulasi yang dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan UUD 1945; dan, faktor apa saja yang mempengaruhinya. Jawaban pertanyaan tersebut akan mengungkapkan: adakah deregulasi dilandasi oleh ide mewujudkan kesejahteraan umum; ide memenuhi kebutuhan nasional; dan faktor yang mempengaruhi pemerintah melakukan deregulasi. Hasil penelitian ini membuktikan beberapa hal, yaitu : pertama Pemerintah Orde Baru sangat dominan dalam menentukan kebijakan demikian pula dalam menentukan kebijakan deregulasi; kedua, Kebijakan deregulasi sebagian besar tidak mencerminkan Pancasila sebagai Cita Hukum baik dalam fungsi kontitutif maupun regulatif; ketiga, tidak terungkap adanya ide untuk mewujudkan kesejahteraan umum, karena ternyata deregulasi belum menyentuh kepentingan sebagian besar rakyat; keempat, tidak terlihat bahwa deregulasi berakar atau menjabarkan pasal ekonomi dan kesejahteraan masyarakat; kelima, sebagai peraturan perundang-undangan ternyata deregulasi dari sudut bentuk sesuai dengan Sistem Hukum Nasional, sementara dan sudut isi sebagian tidak mencerminkan keterkaitannya dengan hukum tertulis yang lebih tinggi. Kenyataan terakhir ini diperlihatkan pula oleh pengabaian Politik Hukum Nasional. Adapun faktor yang mempengaruhi pemerintah melakukan deregulasi yaitu; pertama, negara asing, lembaga internasional, dan investor asing; kedua, pendapat ahli dan kalangan universitas; ketiga, nilai pribadi yang disebabkan oleh kedekatan pribadi. Oleh karena itu perlu dibentuk badan yang berfungsi mengkaji kebijakan deregulasi baik yang lalu maupun yang akan datang atau dilimpahkan kepada badan yang sudah ada, yaitu DPA atau AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Ramly
Abstrak :
ABSTRAK


Sebagian besar penduduk Indonesia menganut agama Islam. Menurut data resmi yang diterbitkan oleh Biro Riset Statistik. di antara 183.457.000 jiwa penduduk Indonesia pada tahun 1990, terdapat 87.1 % pemeluk agama Islam. Hukum Islam merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat yang mayoritas Islam itu. Tesis ini ingin memperbincangkan kedudukan hukum Islam dalam berbagai konstitusi yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia. Oleh karenanya pula dengan sendirinya, tidak mungkin dipisahkan dari pembahasan peranan hukum Islam terutama dalam pembinaan hukum nasional Indonesia. Penelitian ini mengandung unsur kajian perbandingan untuk memmahami apakah ada perbedaan kedudukan hukum Islam di dalam tiga konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Kajian dimulai dengan sebuah rangka teori yang dipergunakan untuk menganalisis data secara kualitatif. Data yang dihimpun dalam penelitian ini digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu data primer dan data sekunder. Metode analisis yang digunakan bercorak deduktif. Meskipun menyadari bahwa penelitian ini adalah penelitian hukum, namun mengingat hukum adalah gejala sosial, sedangkan perumusan kaidah-kaidah hukum positif adalah sebuah proses politik, maka pendekatan berbagai disiplin ilmu sosial - selain ilmu hukum - seperti sejarah, sosiologi dan praktek serta pengkajian Islam dipergunakan juga.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hukum Islam adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut agama Islam. Hal ini diakui oleh penguasa V.O.C., sebelum terbentuknya Hindia Belanda pada akhir abad ke-18. Pemerintah Hindia Belanda sendiri, ternyata tidaklah konsisten dalam memandang kedudukan hukum Islam dalam masyarakat pribumi. Snouck Hurgronje misalnya berperan besar dalam meligitimasi kehendak pemerintah Kolonial Belanda dengan mengemukakan teori Resepsi. Menurut teori ini, hukum Islam baru berlaku jika ia telah diterima oleh hukum Adat.

Menjelang Indonesia merdeka, ada usaha-usaha dari pemimpin politik "golongan Islam" untuk memperjuangkan kedudukan hukum Islam secara lebih tegas dalam penyusunan konstitusi Indonesia merdeka. Dirumuskanlah Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. Dengan terjadinya pencoretan kata-kata yang berhubungan dengan syari'at Islam di dalam Piagam Jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945, maka kedudukan hukum Islam di dalam konstitusi menjadi samar-samar. Hampir sama keadaannya dengan UUD 1945 yang berlaku antara tahun 1945 - 1949, kedudukan hukum Islam juga tidak tersurat dikemukakan di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Sampai Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku pada bulan Agustus 1950, polilik hukum itu belum pernah dikemukakan secara tegas oleh pemerintah. Kedudukan hukum Islam di dalam UUD Sementara 1950 juga tetap samar-samar.

Kedudukan hukum Islam nampak lebih jelas di dalam UUD 1945 dalam periode berlakunya yang kedua, sejak ia didekritkan berlakunya oleh Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959. UUD 1945 yang didekritkan "dijiwai", oleh Piagam Jakarta yang mengandung rumusan syari'at Islam.

Perkembangan terakhir dalam dasawarsa terakhir ini memperlihatkan arah yang semakin jelas dari kedudukan dan peranan hukum Islam dalam pembinaan hukum Islam. Hukum Islam menjadi salah salu komponen baku penyusunan hukum nasional di samping hukum Adat dan hukum eks Barat. Dengan timbulmya kesadaran beragama di kalangan pejabat negara, pejabat pemerintah dan politikus, hasrat untuk menempatkan peranan hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional semakin besar.
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Lodewijk
Abstrak :
ABSTRAK
ketatanegaraan Indonesia sejak bergulirnya Reformasi tahun 1998 mengalami perubahan-perubahan yang mendasar, setelah disadari kegagalan penyelenggaraan ketatanegaraan terletak pada kerancuan terhadap pelaksanaan dan kurangnya materi muatan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamr penyelenggaraan negara secara seimbang dan saling mengontrol guna mencapai cita-cita bemegara.
Salah satu penambahan materi muatan ke dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dibentuknya Lembaga Negara Mahkamah Konstitusi disamping Lembaga Negara Mahkamah Agung. Permasalahannya adalah seberapa jauh pengaruh dan dampak kehadiran Mahkamah Konstitusi terhadap sistem penyelenggaraan negara ditinjau dari aspek kenegaraan dan tugas-tugasnya sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Dasar Tahun 1945 pasal 24 C jo pasal7.
Dari hasil penelitian kepustakaan dan studi perbandingan antar beberapa negara didukung oleh hasil-hasil wawancara dengan tokoh-tokoh politik di Dewan Perwakilan Rakyat diperoleh hasil, bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara pelaksana kedaulatan rakyat sehingga setiap keputusannya mengikat lembaga-lembaga tinggi negara Iainnya, dengan dernikian mendorong terciptanya penyelenggaraan negara yang seimbang dan saling mengontrol (checks and balances) dan menempatkan hukum (konstitusionalisme) sebagai pedoman / landasan fundamental dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia.

Lembaga Negara Mahkamah Konstitusi akan bertindak sebagai pengawal dan pengarah Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 agar masing-masing lernbaga tinggi negara bergerak dan berperan searah dengan visi pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ABSTRAK
2003
D1115
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suliati Rachmat
Abstrak :
ABSTRAK
Perkembangan kegiatan wanita dalam masyarakat dewasa ini makin banyak menarik perhatian berbagai kalangan antara lain mengenai hal-hal seperti peranan wanita, peningkatan jumlah wanita pekerja, pertumbuhan industri dan masalah perburuhan (perlindungan kurang memadai).

Tujuan dalam penelitian ini adalah 1). menempatkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum dari peraturan-peraturan pelaksanaan perlin=dungan hukum wanita pekerja harian di perusahaan industri swasta. 2). Memperoleh gambaran yang jelas mengenai efektivitas pelaksanaan peraturan-peraturan perlindungan hukum wanita pekerja harian tersebut di atas mengenai kedudukan/statusnya, upah minimum serta waktu kerja dan istirahat. 3). Menyempurnakan peraturan pelaksanaan tersebut diatas agar sesuai dengan amanat Pasal 27 ayat (1) dan (2) sebagai upaya peningkatan perlindungan hukum wanita pekerja harian di perusahaan swasta umumnya dan khususnya industri.

Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dan empiris. Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitis dengan metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara analisis dokumen, sumber penelitian sebelumnya yang berkaitan, wawancara mendalam dengan responden, wawancara lisan dengan informan kunci dan pengamatan terbatas.
1995
D1116
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library