Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ita Rosalyna
"Astenopia adalah kondisi kelelahan mata yang ditandai oleh kumpulan gejala yang disebabkan usaha berlebihan dari sistem penglihatan untuk memperoleh ketajaman penglihatan optimal. Pekerja konveksi merupakan salah satu pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dan kerapihan dalam melakukan pekerjaan detil sehingga dapat menyebabkan astenopia yang diakibatkan oleh karena konvergensi dan akomodasi yang berlebihan. Tesis ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kuat pencahayaan dan faktor resiko lain terhadap astenopia pada penjahit perempuan di konveksi PT. X Jakarta.
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain potong lintang yang dilakukan pada 92 responden menggunakan kuesioner dan mengukur nilai Near Point of Accomodation dan Near Point of Convergence responden. Hasil penelitian mendapatkan prevalensi astenopia setelah bekerja 5 jam sebanyak 75%. Gejala terbanyak yang dikeluhkan penjahit di konveksi X terkait astenopia adalah mata merah, mata berair, mata gatal dan kering. Penelitian ini menemukan tidak adanya hubungan bermakna antara kuat pencahayaan, usia, tingkat pendidikan, unit kerja dan status gizi terhadap astenopia.

Asthenopia is a condition characterized by a collection of symptoms caused by excessive work of the visual system to obtain optimal visual acuity. Garment workers require precision and neatness in doing detailed work that can cause asthenopia due to excessive convergence and accommodation. This thesis aims to determine the relationship of lighting intensity and other risk factors to asthenopia on female tailors in garment fabric PT. X Jakarta.
This research is a quantitative research with cross-sectional design conducted in 92 respondents using a questionnaire and measuring the value of Near Point of Accommodation and Near Point of Convergence. This study reported prevalence of asthenopia after working 5 hours is 75%. Female tailors mostly complained red eyes, watery eyes, itchy and dry eyes. This study found no significant relationship between lighting intensity, age, level of education, nutritional status, work units and asthenopia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annes Waren
"Latar Belakang: Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra. Pengendara ojek memiliki risiko pterigium karena faktor risiko utamanya antara lain paparan sinar ultraviolet, iritasi kronis debu, angin. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh penggunaan face shield (helm) serta faktor lain yang berhubungan terhadap kejadian pterigium pada pengendara ojek.
Metode: Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahap, desain penelitian yang digunakan pada tahap pertama adalah potong lintang dan disain penelitian tahap kedua adalah kasus kontrol dengan matching kelompok umur, dan jumlah responden sebanyak 131 pengendara ojek yang diambil secara total sampling. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah dengan kuesioner (mengisi sendiri), daftar tilik (observasi), dan pemeriksaan fisik mata. Variabel yang digunakan meliputi umur, tingkat pendidikan, riwayat konsumsi antioksidan, kebiasaan merokok, masa kerja, lama kerja, jenis helm, pengetahuan, sikap, dan perilaku penggunaan face shield (helm).
Hasil: Dari 131 responden diperoleh prevalensi pterigium sebesar 19.1%. Faktor yang mempengaruhi kejadian pterigium pada pengendara ojek adalah tingkat pendidikan (p=0.029, OR=3.310), riwayat konsumsi antioksidan (p=0.018, OR=5.087), pengetahuan penggunaan face shield helm (p<0.001, OR=10.286), perilaku penggunaan face shield helm (p<0.001, OR=11.156).
Kesimpulan dan Saran: Untuk mengurangi terjadinya pterigium pada pengendara ojek dapat dilakukan dengan penggunaan face shield (helm) dengan baik.

Background: Pterygium is triangle form of fibrovascular tissue that grows from conjunctiva to cornea in interpalpebra area. Ojek drivers are at risk of pterygium because its risk factors such as ultraviolet exposure, chronic irritation of dust, and wind. The aim of this study is to determine the effect of face shield (helmet) and other factors related to pterygium on ojek driver.
Method: The Research was conducted in two stages, the first stage was cross sectional study and the second stage was case control study with age group matching. The participant was 131 ojek driver taken from total sampling. Instruments used in data collection are self-administered questionnaires, check list (observation), and eye/cornea examination. The variables used in this study were age, level of education, history of antioxidant consumption, smoking habit, work period, time length of work, helmet type, knowledge, attitude and behavior of wearing face shield (helmet).
Result: The results showed that the prevalence of pterygium was 19.1%. Effecting factors of pterygium in ojek drivers were level of education (p=0.029, OR=3.310), history of antioxidant consumption (p=0.018, OR=5.087), knowledge of wearing face shield helmet (p<0.001, OR=10.286), behavior of wearing face shield helmet (p<0.001, OR=11.156).
Conclusion and Recommendation: To reduce the occurrence of pterygium on ojek drivers can be done with wearing face shield (helmet) properly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Maulida
"ABSTRAK Penelitian ini bertujuan membandingkan prediktabilitas refraksi kelompok sudut tertutup primer dengan katarak yang menjalani fakoemulsifikasi berdasarkan perhitungan kekuatan lensa tanam menggunakan formula Hoffer-Q dan SRK/T. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Dilakukan analisis pada 46 mata dari 42 orang, dua puluh tiga mata pada masing-masing kelompok. Sebelum operasi, dilakukan pemeriksaan biometri pertama dengan IOL Master untuk tiap kelompok dan pada 2/3 minggu pasca operasi dilakukan pengukuran BCVA. Proporsi dalam 0,5 D 56,52% pada kelompok Hoffer-q dan 52,18% pada SRK/T, Mean Absolute Error (MAE) 0,58 ± 0,39 D pada kelompok Hoffer-q dan 0,59 ± 0,34 D pada SRK/T, Mean Refractive Error (MRE) -0,39 ± 0,59 D pada kelompok Hoffer-q dan -0,41 ± 0,54 D pada SRK/T. Formula Hoffer-q dan SRK/T memiliki prediktabilitas refraksi yang sebanding pada kelompok sudut tertutup primer dengan katarak.

ABSTRACT
This study is aimed to compare refractive predictability of 2 formula; Hoffer-q and SRK/T in primary angle closure disease with cataract. This is a Randomized Clinical Trial. Analysis was done in 46 eyes from 42 subjects, which divided into 23 eyes in each group. The first biometry with IOL Master was done before the surgery and BCVA was done at 2 or 3 weeks after the surgery. Proportion within 0,5 D is 56,52% for Hoffer-q and 51,18 for SRK/T, Mean Absolute Error (MAE) was 0,58 ± 0,39 D for Hoffer-q dan 0,59 ± 0,34 D for SRK/T, Mean Refractive Error (MRE) was -0,39 ± 0,59 D for Hoffer-q and -0,41 ± 0,54 D for SRK/T. Hoffer-q and SRK/T have comparable refractive predictability in primary angle closure disease with cataract.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagalung, Aurora Sicilia
"Edema makula diabetik (EMD) merupakan penyebab tersering hilangnya penglihatan
pada pasien retinopati diabetik. Anti vascular endothelial growth factor (VEGF)
diketahui dapat memberikan perbaikan anatomi dan tajam penglihatan pada EMD.
Namun mayoritas kasus membutuhkan injeksi anti-VEGF berulang. Penelitian ini
menilai perubahan central macular thickness (CMT) dan tajam penglihatan setelah
terapi kombinasi intravitreal Bevacizumab (IVB) dan panretinal photocoagulation
(PRP) dibandingkan dengan monoterapi IVB berulang pada EMD. Dua puluh delapan
mata dengan EMD pada Nonproliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) berat
dirandomisasi ke dalam kelompok IVB berulang (n=14) dan kelompok IVB + PRP
(n=14). CMT dan best-corrected visual acuity (BCVA) dinilai sebelum dan 1, 2 dan 3
bulan setelah terapi. Median CMT menurun secara signifikan pada kelompok IVB
berulang (-136.5 μm) dan kelompok IVB + PRP (-114 μm). Median BCVA
meningkat secara signifikan pada kelompok IVB berulang (9 hutuf) dan kelompok
IVB + PRP (9 huruf). Tidak ditemukan perbedaan CMT dan BCVA yang bermakna
antara kedua kelompok studi pada akhir follow-up."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Citra Susanti
"ABSTRAK
Mendapatkan nilai standar normal pemeriksaan elektroretinografi multifokal dan
mencari perbandingan nilai tersebut berikut tingkat kenyamanan pasien menggunakan
elektroda Jet, Dencott dan Dawson-Trick-Litzkow pada populasi orang Indonesia
dewasa di RSUPNCM. Melalui metode convenient sampling dari 49 subjek orang
Indonesia berusia 19-49 tahun dengan kedua mata normal, dilakukan pengukuran
amplitudo dan latensi gelombang berdasarkan rekomendasi ISCEV. Pengukuran
meliputi gelombang N1 dan P1 pada ring 1 sampai 5. Terdapat perbedaan signifikan
nilai standar normal pemeriksaan elektroretinografi multifokal pada populasi orang
Indonesia dewasa secara statistik antara elektroda dengan amplitudo gelombang lebih
tinggi dan latensi lebih panjang pada elektroda Jet dan Dencott dibandingkan dengan
DTL. Elektroda DTL dan Jet dirasakan lebih nyaman daripada elektroda Dencott bagi
orang Indonesia dewasa normal untuk pemeriksaan elektroretinografi multifokal.
Elektroda DTL memberikan amplitudo gelombang yang paling rendah, latensi yang
apling pendek dan tingkat kenyamanan yang paling tinggi dibandingkan elektroda Jet
dan Dencott dalam pemeriksaan elektroretinografi multifokal pada orang Indonesia
dewasa normal.

ABSTRACT
To establish normal values of multifocal electroretinography (ERG) and to compare
the values and the comfort level using Jet, Dencott and DTL electrode in Indonesian
Adult. Through convenient sampling 49 normal Indonesian subjects between 19 and
49 yeras oldwere selected. Multifocal ERG amplitudes and implicit time values were
measured according to recommendation by the International Society for Clinical
Electrophysiology of Vision. Evaluation consisted of N1 and P1 wave in ring 1 to 5.
after the examination, all subjects filled in a questionnaire about comfort level,
adopted from the visual analog scale. We observed a statistically significant
difference in multifocal ERG normal values between electrode with higher wave
amplitudes and longer implicit time in Jet and Dencott electrodes compared to DTL
electrodes. Jet and DTL electrodes are more comfortable than Dencott electrodes for
Indonesian adults in multifocal ERG. DTL electrodes give the lowest wave amplitude
and the shortest implicit time and are the most comfortable electrode compared to Jet
and Dencott electrodes, in multifocal ERG in Indonesian adults."
2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adisti
"Latar Belakang: Bertambahnya jumlah penderita miopia di dunia menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah pengguna Lensa Kontak Lunak (LKL). Di Indonesia, prevalensi miopia sebesar 26.1% pada tahun 2002 dan diperkirakan akan meningkat setiap tahunnya. Pemaikaian LKL memiliki efek samping berupa terjadinya inflamasi pada kornea dan konjungtiva, yang ditandai oleh peningkatan kadar Interleukin-6 (IL-6) pada air mata. Tujuan: Mengevaluasi peningkatan kadar IL-6 pada air mata pada pengguna LKL harian tipe hidrogel konvensional dan LKL mingguan tipe silikon hidrogel serta meninjau korelasinya dengan tingkat inflamasi konjungtiva. Metodologi (Method): Penelitian ini merupakan suatu uji eksperimental randomisasi acak terkontrol dengan desain dua kelompok paralel, yaitu satu subjek miopia yang diterapi menggunakan LKL Hydrogel Nefilcon-A harian di satu mata, dan menggunakan LKL Silicone Hydrogel Lotrafilcon-B mingguan di mata lainnya, selama 14 hari. Tindakan foto konjungtiva, dan pengambilan sampel air mata untuk IL-6 dilakukan sesaat sebelum pemakaian LKL dan 14 hari setelah pemakaian LKL. Hasil: Seratus mata dari 50 pasien dilibatkan dalam penelitian ini. Dari seluruh subjek tersebut, 80,8% adalah perempuan dan 18,2% laki-laki dengan usia rata-rata 22,18±1,79 tahun. Median delta IL-6 sebelum dan setelah penggunaan LKL adalah 6,37 (0,05 — 1115,80) pg / mL untuk silikon hidrogel dan 4,46 (0,01 - 685,40) pg / mL untuk hidrogel konvensional. Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kadar IL-6 pra dan pasca LKL pada kedua grup (p=0,117). Kesimpulan: Kadar IL-6 pada air mata mengalami peningkatan signifikan setelah 14 hari penggunaan LKL pada kedua kelompok. Tetapi peningkatan kadar IL-6 pada air mata tersebut tidak disertai dengan peningkatan hiperemia konjungtiva.

Background: The increasing number of myopia patient in the world, causes growth in Soft Contact Lenses (SCL) users. In Indonesia, the prevalence of myopia was 26.1% in 2002 and is expected to increase every year. SCL usage has proven to increase cytokine production, especially Interleukin-6 (IL-6) which accompanied by inflammation of the ocular surface such as conjunctival hyperemia. Objective: Comparing IL-6 tear levels and their correlation with conjunctival inflammation scale between overnight wear silicone hydrogel SCL and daily wear hydrogel SCL. Methods: This study is a randomized controlled trial between two parallel groups. A myopia subject, who has never used SCL before, being treated using daily Hydrogel (Nefilcon-A) SCL in one eye, and overnight Silicone Hydrogel (Lotrafilcon-B) SCL in the other eye, for 14 days. The slit lamp examination, conjunctival photographs, and tear sampling for IL-6 were done before and 14 days after SCL usage. Results: One hundred eyes from 50 patients were included in this study. Of those patients, 80,8% were female and 18,2% male with mean age 22,18±1,79 years old. Median of IL-6 delta (pre-post) SCL usage was 6,37 (0,05 — 1115,80) pg / mL for silicon hydrogel and 4,46 (0,01 - 685,40) pg / mL for conventional hydrogel (p = 0,117). There were no significant difference between the initial and final conjunctival hyperemia scales in both groups (p=1,000). The correlation between IL-6 tear levels and conjunctival hyperemia was not significant (p = 0.234). Conclusion: There were a significant increase of IL-6 tear levels after 14 days of SCL usage in both groups. But the marked escalation of tear IL-6 levels was not accompanied by increasing scales of azconjunctival hyperemia."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Cleveriawan Arviputra
"ABSTRAK
Nama : Andi CleveriawanProgram studi : Ilmu Kesehatan MataJudul : Perbandingan Hasil Trabekulektomi MMC Dengan Dan Tanpa Viskoelastik Sodium Hyaluronat Terhadap Morfologi Bleb Pada Glaukoma PrimerPembimbing : Widya Artini, Joedo Prihartono Penelitian ini bertujuan mengetahui manfaat pemberian viskoelastik sodium hyaluronat pada pasien glaukoma primer yang dilakukan bedah trebekulektomi dengan mitomicin C di RSCM. Desain penelitian ini adalah uji klinis prospektif tersamar tunggal. Sebanyak 34 mata 33 pasien yang masing- masing terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu 17 mata diberikan viskoelastik dan 17 mata pada kelompok yang diberikan tanpa viskoelastik. Pemeriksaan Tekanan bola mata TIO diukur pada hari 1, minggu 1, minggu 2, dan minggu ke 4 pasca operasi. Penilaian bleb dengan menggunakan Moorfield Bleb Grading System MBGS dilakukan pada minggu ke 4.Setelah 1 bulan pasca operasi, pada pemeriksaan MBGS area sentral, area maksimal, ketinggian, dan vaskularitas pada kedua kelompok tidak ditemukan perbedaan bermakna. Namun pada pemeriksaan TIO minggu 1 didapatkan terdapat perbedaan bermakna pada kelompok viskoelastik sebesar 8,94 3,36 dan pada kelompok tanpa viskoelastik sebesar 11,41 3,72 p = 0,034 . Meskipun pada TIO pada minggu ke 4 tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kelompok viskoelastik sebesar 11,70 2,46 dan tanpa viskoelastik sebesar 12,35 3,08 p = 0,504 . Perubahan TIO pada kelompok viskoelastik didapatkan sebesar 21,88 12,29 dan tanpa viskoelastik sebesar 23,29 9,25 p = 0,352 . Pada pemeriksaan OCT ketinggan bleb pada kedua kelompok juga tidak didapatkan perbedaan bermakna yaitu 1,28 0,325 dan 1,17 0,324 p = 0,321 .Tekanan intra okular dan morfologi bleb pasca tindakan trabekulektomi MMC dengan penambahan viskoelastik tidak berbeda bermakna statisik namun memiliki kecenderungan lebih baik dibandingkan tanpa vikoelastik. Kata kunci :Glaukoma primer, MBGS, sodium hyaluronat, trabekulektomi, viskoelastik

ABSTRACT
Name Andi CleveriawanStudy Program OphthalmologyTitle Comparison Of Trabeculectomy MMC With And Without Sodium Hyaluronate Viscoelastic Results To Bleb Morphology In Primary GlaucomaCounsellor Widya Artini, Joedo Prihartono To determine the benefits of viscoelastic sodium hyaluronate in primary glaucoma patients performed by trebeculectomy surgery with mitomycin C in RSCM. Clinical prospective single blinded clinical trial. A total of 34 eyes 33 patients , each split into 2 groups, 17 eyes were given viscoelastic and 17 eyes in the group administered without viscoelastic. Examination of Eye Pressure IOP was measured on day 1, week 1, week 2, and week 4 postoperatively. Assessment of bleb using Moorfield Bleb Grading System MBGS was performed at week 4. After 1 month postoperatively, MBGS examination of central area, maximal area, height, and vascularity in both groups found no significant difference. However, at week 1 IOP examination, there were significant differences in the viscoelastic group of 8.94 3.36 and in the no viscoelastic group of 11.41 3.72 p 0,034 . Although in the IOP at week 4 there was no significant difference in the viscoelastic group of 11.70 2.46 and without viscoelastic at 12.35 3.08 p 0,504 . IIO changes in the viscoelastic group were found to be 21.88 12.29 and without viscoelastic at 23.29 9.25 p 0.352 . In the OCT examination, bleb height in both groups also did not get significant difference that is 1.28 0.325 and 1.17 0.324 p 0.321 . Intraocular pressure and bleb morphology post trabeculectomy MMC action with viscoelastic addition did not differ significantly statistically but had a better tendency than without vicoelastic. Keywords MBGS, primary glaucoma, sodium hyaluronate, trabeculectomy, viscoelastic"
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wida Setiawati
"Tujuan: menilai prevalensi katarak terinduksi radiasi, serta menghubungkannya dengan dosis paparan radiasi dan penggunaan perlengkapan proteksi radiasi.
Metode: Studi potong lintang dan studi kasus-kontrol. Seratus delapan puluh subyek
berpartisipasi dalam penelitian. Prevalensi katarak terinduksi radiasi dinilai menggunakan analisis Scheimpflug pada alat Pentacam® Oculus. Dosis paparan radiasi kumulatif dan penggunaan perlengkapan proteksi radiasi pada subyek diidentifikasi melalui kuesioner dan personal dosimeter"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niluh Archi Sri Ramandari
"Penelitian ini bertujuan menilai dan membandingkan efektivitas injeksi subkonjungtiva bevacizumab dosis 5 mg dengan dosis 2.5 mg dalam menurunkan area neovaskularisasi kornea. Sampel adalah dua puluh empat pasien dengan neovaskularisasi kornea oleh karena berbagai etiologi. Pemeriksaan pada sampel dilakukan sebelum, satu minggu setelah injeksi dan empat minggu setelah injeksi yang meliputi penilaian area neovaskularisasi kornea dengan menggunakan image J analysis, pemeriksaan tajam penglihatan tanpa dan dengan koreksi, derajat kekeruhan kornea serta kadar vascular endothelial growth factor (VEGF) air mata. Pada satu minggu dan empat minggu paska injeksi perubahan area neovaskularisasi kornea pada dosis 5 mg (5.21% dan 5.37%) lebih besar dibandingkan dosis 2.5 mg (3.77% dan 4.13%). Hasil yang serupa juga didapatkan pada etiologi non-infeksi dan area neovaskularisasi kornea yang melibatkan lebih dari dua kuadran kornea. Pada keluaran sekunder yaitu tajam penglihatan, derajat kekeruhan kornea dan kadar VEGF air mata di kedua dosis cenderung stabil jika dibandingkan sebelum dan sesudah injeksi. Injeksi subkonjungtiva bevacizumab dosis 5 mg menurunkan area neovaskularisasi kornea lebih banyak dibandingkan dosis 2.5 mg terutama pada etiologi non-infeksi dan keterlibatan kuadran kornea yang meliputi lebih dari dua kuadran.

This study aim to assess and compare the effectiveness of subconjunctival bevacizumab injection 5 mg with 2.5 mg in decreasing the area of corneal neovascularization. Samples consist of twenty-four patients with corneal neovascularization due to various etiologies. The examinations were taken at each visit before injection, 1 week after injection and 4 weeks after injection . Changes in neovascularization evaluated by using image J analysis, visual acuity, density of corneal haziness and level of vascular endothelial growth factor (VEGF) in tears were documented every visit. At 1 week and 4 weeks after injection, changes of neovascularization were higher in 5 mg (5.21% and 5.37%) compare to 2.5 mg (3.77% and 4.13%). The same results were also found in non-infection patient and patient involving more than two quadrants cornea. All of the secondary outcomes showed a stable result before and after injection between the two injections dose. Subconjunctival bevacizumab injection 5 mg is more effective in decreasing corneal neovascularization compare to 2.5 mg especially in non-infection patient and patient involving more than two quadrants cornea. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wida Setiawati
"Tujuan: menilai prevalensi katarak terinduksi radiasi, serta menghubungkannya
dengan dosis paparan radiasi dan penggunaan perlengkapan proteksi radiasi.
Metode: Studi potong lintang dan studi kasus-kontrol. Seratus delapan puluh subyek
berpartisipasi dalam penelitian. Prevalensi katarak terinduksi radiasi dinilai
menggunakan analisis Scheimpflug pada alat Pentacam®-Oculus. Dosis paparan
radiasi kumulatif dan penggunaan perlengkapan proteksi radiasi pada subyek
diidentifikasi melalui kuesioner dan personal dosimeter.
Hasil: Prevalensi katarak terinduksi radiasi sebanyak 16.7%. Median dosis radiasi
kumulatif berdasarkan kuesioner menunjukkan median 0,8 (0.1- 35.6) Gy. Hubungan
korelasi positif didapatkan antara dosis radiasi kumulatif dengan densitas lensa (R
Spearman= 0.64). Sebanyak 83.9% subyek menggunakan tabir pada 71-100% masa
kerjanya, tetapi mayoritas subyek penelitian (40.6%), tidak menggunakan kacamata
pelindung. Peningkatan risiko katarak terinduksi radiasi meningkat secara bermakna
seiring dengan kepatuhan penggunaan proteksi radiasi yang kurang. Subyek dengan
proteksi tabir radiasi 31-50% dari masa kerjanya meningkatkan risiko katarak 10.80
kali lipat (IK 95% 1.05-111.49, p=0.044). Sementara itu, kelompok proteksi tabir
radiasi 51-70% meningkatkan risiko katarak 8.64 kali lipat (p=0.001). Subyek yang
tidak memakai kacamata pelindung memiliki OR 164.3 (IK 95% 19.81-1363)
dibandingkan dengan kelompok pengguna kacamata pelindung.
Kesimpulan: Katarak terinduksi radiasi pada pekerja radiasi bidang kardiologi
intervensi tergantung pada dosis paparan radiasi dan penggunaan proteksi radiasi.
Oleh karena itu, kepatuhan pekerja radiasi perlu ditingkatkan sesuai ketentuan
proteksi radiasi.

Objectives: to determine the prevalence of radiation-induced cataract and correlate
with radiation exposure dose and radiation protection use among radiation workers of
interventional cardiology.
Methods: A cross-sectional and retrospective case-control study. One hundred and
eighty subjects were included. Prevalence of radiation-induced cataract was assessed
using Scheimpflug analysis on the Pentacam®-Oculus. Individual cumulative
radiation exposure dose and radiation protection use of subjects were identified from
questionnaire and personal dosimeter.
Results: The prevalence of radiation-induced cataract was 16.7%. Median cumulative
radiation dose was 0.8 (0.1-35.6) Gy. A positive correlation was found between
cumulative radiation dose and lens density (RSpearman=0.64). This study showed that
83.9% of subjects used ceiling-suspended shield in 71-100% of their working period,
however the majority of subjects (40.6%) did not wear protective eyewear.
Statistically significant increasing risk of cataract was found along with unresponsive
use of radiation protection. The subjects using ceiling-suspended shield in 31-50% of
their working period were increasing their cataract risk by 10.80 times (95% CI 1.05-
111.49, p=0.044). Meanwhile, the subjects using protective eyewear in 51-70% of
their working period were increasing their cataract risk by 8.64 times (p=0.001).
Subjects who did not wear protective eyewear had an OR 164.3 (95% CI 19.81-1363)
compared to those who wore protective eyewear.
Conclusion: Radiation-induced cataract among radiation workers of interventional
cardiology was depend on radiation exposure dose and radiation protection.
Therefore, the compliance of radiation safety recommendation should be improved."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>