Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Ira Sulistia
"Asuransi Syariah atau yang dikenal dengan Takaful mempunyai esensi usaha saling melindungi dan sating menolong di antara sejumlah orang/peserta melalui kontribusi dana yang disebut tabarru'. Sedangkan asuransi jiwa syariah mempunyai kekhasan produk yang bersifat tabungan atau investasi yang pengelolaannya diamanahkan kepada perusahaan asuransi. Tujuan karya akhir ini adalah untuk menganalisis aspek pajak penghasilan premi asuransi jiwa syariah di Indonesia pada akad mudharabah dan akad tabarru'. Metode analisis diawali dengan pemahamam esensi asuransi syariah, bagaimana prinsip akad/transaksi pada asuransi syariah, penenmaan premi, kepemilikan, alokasi, pengelolaan, sampai pada pembayaran klaim atau pada pengembalian dana premi yang diinvestasikan termasuk bagi hasil investasinya dengan studi kasus produk Takaful Dana Pendidikan PT Asuransi Takaful Keluarga. Dari pemahaman tersebut dapat ditemukan beberapa perbedaan prinsip antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional, diantaranya pada sisi akad/transaksi, pengakuan pendapatan pada premi, alokasi dan pengelolaan premi, sumber dana klaim, sampai pada pemberian hasil investasi dana premi. Perbedaan-perbedaan yang ada terutama perbedaan akad tersebut berimplikasi pada perbedaan penghitungan secara akuntasi sampai pada perbedaan penghitungan dan ketentuan pajak penghasilannya. Analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa ketentuan pajak penghasilan yang berlaku pada saat ini yaitu Pasal 4 ayat (1) huruf n Undang-Undang Nomor 17/2000 yang menyatakan bahwa premi yang diterima perusahaan asuransi merupakan objek pajak, kurang relevan apabila dikenakan terhadap seluruh premi asuransi syariah karena premi yang diterima perusahaan asuransi syariah bukan merupakan pendapatan, namun merupakan amanah yang harus dikelola. Oleh karena itu dan hasil analisis penulis berkesimpulan bahwa akan lebih tepat apabila yang dimaksud dengan objek pajak dalam hal ini adalah hasil investasi dana premi, bukan premi itu sendiri. Sedangkan untuk bagi hasil yang diberikan perusahaan asuransi syariah kepada peserta diperlakukan sebagai non-deductible expense apabila berasal dan hasil investasi dana tabungan, dan diperlakukan sebagai deductible expense apabila berasal dan investasi dana peserta/tabarru'. Penulis berharap akan terwujudnya fair treatment dalam regulasi perpajakan atas premi asuransi syariah. Hal tersebut diharapkan dapat membantu perkembangan bisnis asuransi syariah khususnya dan meningkatkan daya saing industri umumnya untuk menarik lebih banyak investor yang kemudian ikut membantu pertumbuhan sektor riil, dan pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan pajak dan sektor riil tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T24483
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sinambela, Mansyur
"Sebagai salah satu bagian dimia dan mempakan negara berkembang pembangiman saat ini sedang ditingkatkan. Melalui peningkatan sumber pendanaan yang diperlukan dalam membiayai seluruh pengeluaran pemerintah. Pemerintah memerlukan dana yang tidak sedikit oleh sebab itu diperlukan peian seluiuh masyarakat dalam iloit mendanai pembangunan tersebut. Tea haven bukan lagi hal yang bam dan akan terns ada oleh kaiena ada kebutuhan akan negara tersebut. Kompetisi dalam hal tarif pajak akan semakin ketat, karena pajak yang terlalu tinggi juga akan membuat para pengusaha akan berusaha untuk meminimalkan hutang pajaknya. Negara akan mengalami keragian kuangan yang semakin besar lagi karena adanya kemimgkinan pajak yang tidak dapat ditagih dan akhimya iklim investasi akan semakin tidak menarik lagi bagi investor
As a part of the dynamic and formidable development of developing countries, development is currently being improved. By increasing the sources of funding needed to finance all government expenditures. The government requires a large amount of funds, therefore it is necessary for the entire community to participate in funding the development. Tea haven is no longer a new thing and will continue to exist because there is a need for this country. Competition in terms of tax rates will be even tighter, because taxes that are too high will also make entrepreneurs try to minimize their tax debts. The country will experience even greater financial losses due to the possibility of uncollectible taxes and ultimately the investment climate will become increasingly unattractive to investors."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2009
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Lolita R.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2007
T 24507
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Nasrun
"Tesis ini membahas bagaimana regulasi Risk Bases Capital (RBC) atau batas Tingkat Solvabilitas Minimum membatasi dan mengarahkan keputusan keuangan, praktik akuntansi serta pada gilirannya aspek perpajakan perusahaan asuransi. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Ketentuan RBC banyak bersinggungan dengan aspek investasi perusahaan, Implikasi yang ditemukan terkait dengan penilaian kekayaan perusahaan asuransi, penilain risiko yang melekat pada kekayaan tersebut, pelaporan kekayaan dalam mata uang asing, serta aspek mitigasi risiko mismatch perusahaan asuransi. Selain itu muncul permasalahan akibat adanya kesenjagnan ketentuan RBC dengan ketentuan perpajakan yang berlaku hingga saat penulisan tesis ini. Penelitian ini menyarankan perlunya penelitian lebih jauh atas hubungan manajemen risiko dengan aspek perpajakan pada lembaga-lembaga keuangan. Lembaga keuangan mempunyai potensi pajak yang besar, namun trade off antara tujuan regulator yang cenderung konservatis dan tujuan sistem perpajakan merupakan masalah tersendiri."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2009
T27070
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dalauleng, B. Rizki
"Globalisasi ekonomi, bisnis, dan Investasi mempersubur tumbuh dan berkembangnya perusahaan multinasional. Kemajuan pesat secara serentak yang berlangsung di bidang teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi mengakibatkan arus perdagangan barang, modal, dan tenaga kerja di dunia melampaui batas-batas negara dan mendorong meningkatnya transaksi lintas batas (cross border transaction) antar negara. Peningkatan volume transaksi internasional oleh perusahaan multinasional menyebabkan transfer pricing untuk tujuan perpajakan teiab dan akan menjadi salah satu isu perpajakan yang sangat penting. Dalam era perekonomian yang teiah mendunia. transfer pricing telah menjadi isu penting baik bagi Wajib Pajak maupun otoritas pajak.
Ilmu pengetahuan telah menjadi faktor kunci dalam memacu pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Wujud dari keberadaan ilmu pengetahuan tersebut dalam faktor-faktor produksi adalah teknologi. Teknologi dalam konteks transfer pricing berupa pemikiran, penelitian. dan pengembangan yang berkembang dalam sebuah operasi, proses, atau produk. Output dari pemikiran, penelitian, dan pengembangan inilah yang kemudian didefinisikan sebagai "intangible property" of a company. Teknologi sebagai media transfer pricing memberikan kesempatan pada perusahaan multinasional untuk me-manage arus kas dan tarif pajak efektif.
Mengingat globatisasi, aktifitas perusahaan multinasional dan Indonesia yang menganut sistem ekonomi terbuka mengakibatkan transaksi tidak hanya ditinjau sebagai hubungan antar subjek ekonomi tetapi juga interaksi antar Negara yang berkepentingan. Dalam praktik di Indonesia sehari-hari, walau diyakini penerapan transfer pricing banyak dilakukan, dipastikan kepatuhan pada ketentuan yang berlaku belum memadai. Dalam kaitannya dengan transfer pricing, belum ada aturan yang bersifat khusus dalam mempertimbangkan adanya transfer intangible asset.
Karya akhir inl bertujuan untuk menganalisis apakah pernturan perpajakan Indonesia mampu mengidentifikasikan dan menentukan kepemilikan atas intangible property, dampak transfer pricing of intangible property terhadap Indonesia sebagai negara berkembang dan apa kemungkinan dampak yang ditimbulkan praktik tersebut terhadap penerimaan pajak negara serta bagaimana pelaksanaan transfer pricing rule di Indonesia dafam transaksi yang melibatkan
technology intangible asset.
Transfer pricing of technology merupakan masalah yang kompleks dan membutuhkan pertimbangan yang seksama. Di negara-negara maju misalnya Amerika Serikat maupun Kanada ataupun di beberapa negara berkembang seperti China dan Argentina, masalah ini sudah mendapatkan perhatian khusus dengan diterbitkannya beberapa kebijakan perpajakan terkait dengan masalah tersebut Sedangkan di Indonesia, regulasi yang mengatur tentang transfer pricing. intangible property maupun mengenai technology intangible asset masih sangat kurang. Hal ini bukan saja melepaskan potensi pajak yang scharusnya bisa dioptimalkan tetapi juga tidak memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak karena memberikan peluang penafsiran yang sangat Juas kepada otoritas pajak berkaitan dengan regulasi tersebut.
Pemerintah Indonesia dalam hat ini Direktorat Jenderal Pajak seharusnya mengambil langkah kungkret dengan melakukan penguatan atas ketentuan-ketentuan yang berlaku saat ini termasuk diantaranya dengan menegaskan dan menjabarkan secara lebih rinci beberapa konsep dasar dalam transfer pricing termasuk mengenai transfer pricing of technology intangible asset sehingga dapat meningkatkan pemahaman mengenai transfor pricing dan bisa memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak serta menjaga kepentingan Indonesia sendiri dari kemungkinan penghindaran atau penggelapan pajak melalui skema transfer pricing baik yang bersifat cross-border maupum domestik.

Economic globalization, business and lnvestment prospered the growth and development of multinational businesses. Quick simultaneous development happening at the information technology field. communication and transportation resulted in a flow of trade, capital and labor in the world, passing through countries border and pushing the increase of cross border transactions. The increase of international transactions volume by multinational companies causing transfer pricing for tax purposes. has been and will be one of a very important tax issue. In a global economy era, transfer pricing became an important issue for the taxpayer as well as for the tax authorities.
Science has become a key factor in accelerating the economy growth in a country, The substance of said science presence in production factors is techology. Technology in the context of transfer pricing is the thought, research and development in an operation, process or produce The output of thoughts, research and development is later on defined as "intangible property of a company", Technology through the medium of transfer pricing provides considerable opportunities for a multinational company to manage its cash flow and global effective tax rates.
Regarding globalization, activities of multinational companies and Indonesian, which very much practices the open economy system, causes the transaction not only to be seen as a relation between economical subjects but also as an interaction between the countries concerned. In daily practice in Indonesia, although assured that transfer pricing is often done, it is certain that obeying the valid provisions are not yet adequate. 1n its connection to transfer pricing, there are not yet special rules for taking into consideration the transfer intangible asset
This thesis is aimed at analyzing whether the Indonesian tax system will be able to identify and determine the ownership of intangible property, the lmpact of transfer pricing of intangible property towards Indonesia as a developing country and what are the possibilities of the impact resulting from said practice to the country's revenues and how will be the execution of transfer pricing rule in Indonesia in transactions involving technology intangible asset.
Transfer pricing of technology became a complicated problem, needing meticulous consideration. In developed countries, for example, the United States of America or Canada or sorae developing countries like China and Argentina, this problem has already got special attention through the establishing of a few tax policies connected to the problem.
While in Indonesia the regulations regulating transfer pricing intangible property as well as technology tangible asset is still insufficient. This fuct not only decreases the tax potentials which should be optimal. but also doesn't give judicial certainty to the taxpayer, because it gives an opportunity for a very broad interpretation to the tax authorities concerned with this regulations.
The Indonesian Government, in this case the Directorate General of Taxes should take concrete steps by strengthening the provisions valid at present, including clarifying and describing in more detail a few basic concepts in transfer pricing including the transfer pricing of technology intangible asset, so that a understanding of transfer pricing can be increased and the taxpayer obtains a judicial certainty while taking care of the well-being of Indonesia from the possibility of evasion and embezzlement of taxes through good transfer pricing schemes either cross border or domestic.
"
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2009
T 27007
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Asqolani
"Perusahaan-perusahaan multinasional banyak menggunakan berbagai tehnik untuk mengalihkan penghasilannya dari negara dengan tarif pajak tinggi ke negara dengan tarif pajak rendah. Banyak negara mengenakan pajak kepada wajib pajak dalam negerinya (WPDN) atas penghasilan dari dalam maupun luar negeri. Selain itu banyak negara-negara tersebut memberlakukan pihak bukan penduduk atau perusahaan di luar negeri tertentu misalnya anak perusahaan sebagai entitas yang terpisah. Sebagai hasilnya, WPDN tersebut dapat menahan atau menunda pemajakan atas penghasilan yang diperoleh di luar negeri melalui entitas tersebut. Penundaan oleh WPDN atas pengenaan pajak dari penghasilan yang diperoleh perusahaan di luar negeri yang dimiliki WPDN tersebut sulit untuk dibenarkan.
Penundaan akan mendorong WPDN untuk mengalihkan penghasilannya ke perusahaan di luar negeri yang dikendalikannya (CFC) yang didirikan di negara dengan tarif pajak rendah dan mengakumulasikannya tanpa mendistribusikan ke induk perusahaan. Hal tersebut bertentangan dengan prinsip equity dan capital export neutrality. Banyak negara memiliki ketentuan tertentu untuk memerangi berbagai bentuk penghindaran pajak. Penggunaan ketentuan tersebut, paling tidak, dapat mencegah penggunaan tax haven oleh perusahaan multinasional seperti CFC rule. Ketentuan ini ditujukan untuk mencegah atau membatasi keinginan WPDN menggunakan perusahaan di luar negeri, biasanya di negara tax haven, untuk menghindari atau menahan pengenaan pajak dalam negeri. CFC rule juga dapat digunakan untuk mencegah mengikisan dasar pengenaan pajak dalam negeri melalui transfer pricing.
Pasal 18 (2) UU PPh menyebutkan Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek. Ketentuan ini secara implisit merupakan CFC rule Indonesia. Konsekuensinya, WPDN yang memenuhi persyaratan memiliki CFC harus memasukkan penghasilan sesuai bagian kepemilikan saham atas penghasilan CFC yang belum didistribusikan dianggap sebagai dividen. Tesis ini bertujuan untuk menganalisis dan meneliti secara kritis ketentuan CFC rule Indonesia berdasarkan Teori Perpajakan Internasional yang banyak diterapkan oleh negara lain. Penulis menggunakan data perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang menyampaikan laporan keuangan tahun 2004 untuk memperoleh informasi mengenai jumlah CFC dan kemungkinan penerapan CFC rule secara statistik. Dari perbandingan dengan ketentuan dasar CFC rule, otoritas perpajakan di Indonesia diharapkan dapat mengetahui kelemahan-kelemahan CFC rule-nya. Jika tidak maka WPDN akan dengan mudah menghindari ketentuan CFC rule, misalnya penempatan melalui perantara perusahaan holding company antara WPDN dengan penghasilan dari perusahaan di luar negeri, karena tidak adanya ketentuan kepemilikan atau penguasaan tidak langsung atau ketentuan constructive ownership.

Multinational enterprises have used a variety of techniques to shift income from high-tax countries to tax havens or to low-tax regimes. Most countries tax residents on their worldwide income. Similarly, most countries treat non-resident corporations and certain other foreign entities like subsidiaries as taxable entities separate from their resident. As a result, residents can defer or postpone residence country taxation of foreign source income by establishing a non-resident corporation or other entity to earn such income.
The unlimited deferral of residence country tax on the income of foreign corporations owned by residents is difficult to justify. Deferral encourages residents to divert income to Controlled Foreign Companies or Controlled Foreign Corporations (CFC) in low-tax countries and to accumulate such income in those CFCs rather than repatriate the funds to the parent corporation. It violates the fundamental principles of equity and capital export neutrality on which worldwide taxation are based. Many countries have general rules to combat various forms of tax avoidance. Some of these rules apply, at least potentially, to restrict the use of tax havens and lowtax regimes by multinational enterprises, such as CFC rules. CFC rules are intended to prevent or limit the ability of residents of a country to use foreign corporations, especially those established in tax havens, to avoid or defer domestic tax. CFC rules are also necessary to prevent the erosion of the domestic tax base by transfer pricing.
Article 18 (2) Undang-Undang No. 17 Year 2000 on The Third Amendment to Law Number 7 Year 1983 On Income Tax (UU PPh) stated that The Minister of Finance shall be authorized to stipulated the moment of acquisition of dividends by resident taxpayers from capital participation in business entities abroad than business entities selling on the stock exchange. This rule is implicitly known as Indonesia?s CFC rule. Consequently the resident shareholders of certain CFCs must include in their income their pro rata share of some or all of the undistributed income of the CFCs as deemed dividend. This paper analyzes and critically examines the Indonesia?s CFC rule based on International Tax Theory that most countries adopted. The writer used publicly listed companies on Jakarta Stock Exchange (BEJ) that reported annual financial statement in 2004, to obtain information about CFC and possibility adaptation of CFC rule statistically. From comparability with basic CFC rule, the tax authorities of Indonesia can identify the weaknesses of our CFC rule. Otherwise the resident taxpayers would be easy to avoid the consequences of the application of CFC rules by interposing an intermediary holding company between the resident taxpayer and the income-earning foreign entity, for example, because of the absence of indirect ownership or control rules or constructive ownership rules."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2007
T23830
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Soegiyan Noer
"Apabila penghasilan dari Perseroan yang sudah dikenakan pajak di tingkat Perseroan dan dikenakan pajak lagi terhadap Orang Pribadi sebagai Pemegang Saham pada saat penghasilan tersebut diterima sebagai dividen maka akan terjadi dua kali pemajakan atas penghasilan yang sama. Fenomena pemajakan atas penghasilan yang sama lebih dari sekali tersebut dinamakan sebagai economic double taxation. Fenomena economic double taxation juga dialami oleh Orang Pribadi yang menerima dividen atas kepemilikan sahamnya pada suatu Perseroan di Negara Indonesia. Pemilik saham berstatus Perseorangan akan menanggung pajak agregat lebih dari 50% atas dividen yang diterimanya, yang meliputi pemajakan di tingkat Perseroan atas laba dan pemajakan di tingkat Orang Pribadi atas dividen yang diterima.
Pajak Agregat yang relatif tinggi disebabkan Indonesia menganut sistem pemajakan klasikal dimana tarif pajak di tingkat Perseroan adalah sudah cukup tinggi ditambah dengan pajak di tingkat Orang Pribadi yang juga tinggi. Pajak agregat atas dividen yang diterima oleh Orang Pribadi tersebut lebih dikenal dengan Beban Pajak Efektif (Effective Tax Rate), hal ini menjadi pertimbangan mendasar bagi pemilik modal/kekayaan untuk menanamkan modalnya dalam suatu bentuk usaha Perseroan. Ada beberapa metode untuk mengurangi/menghilangkan domestic economic double taxation. Metode yang umum diterapkan adalah imputation system, dividend deduction system, split-rate system, dan schedular tax system.
Apabila Negara Indonesia menerapkan sistem pemajakan yang berbeda, maka Beban Pajak Efektif atas dividen yang diterima oleh Orang Pribadi adalah lebih rendah dibandingkan dengan Beban Pajak Efektif yang diterima oleh Orang Pribadi dengan menggunakan Sistem Klasikal yang saat ini diterapkan di Negara Indonesia. Hal ini disebabkan oleh sistem pemajakan di luar Sistem Klasikal memberikan keringanan pemajakan atas penghasilan dividen yang diterima oleh Orang Pribadi.
Dalam Karya Akhir ini juga memperbandingkan sistem pemajakan atas dividen yang diterima oleh Orang Pribadi di beberapa Negara Asia Tenggara, meliputi: Malaysia, Philipina, Singapura, Thailand, dan tentunya Indonesia. Tujuannya adalah untuk mengetahui besaran Beban Pajak Efektif yang ditanggung oleh Orang Pribadi atas penghasilan dividen yang diterimanya di masing-masing Negara Asia Tenggara yang diperbandingkan. Tujuan final dari Karya Akhir ini adalah untuk mengetahui kemungkinan diterapkannya sistem pemajakan yang berbeda atas dividen yang diterima oleh Orang Pribadi sehingga Beban Pajak Efektif yang ditanggung oleh Orang Pribadi di Negara Indonesia tidak terlalu memberatkan dan relatif sama dengan Negara-negara Asia Tenggara yang diperbandingkan.

If the income after tax in the Corporate level and still incur the tax to individual as the share holder at the time the income received as dividend, it would be doubled in taxation for the same income. The phenomena of taxation of the same income more than once is so called as economic double taxation. The economic double taxation phenomena is also experienced by individual who received dividend fot the ownership of shares in one Corporate in Indonesia. The owner of shares in individual status will bear the aggregate tax more than 50% on the dividend received that consists of taxation on Corporate level on income and the taxation in the level of individual on the received dividend.
The relatively high aggregate tax because Indonesia carries out Classical Taxation System whereas the tax rate in the Corporate level is high enough plus the tax in the individual level that is more popular known as Effective Tax Rate, this case becomes basic consideration to the owner of capital or property to invest his capital in one kind of Corporate. There are some methods to eliminate/reduce the domestic economic double taxation. The general method carried out is Imputation System, Dividend Deduction System, Split Rate System, and Schedular Tax System.
If Indonesia carries out different taxation system, thus Effective Tax Rate on the dividend received by individual is lower compared to Effective Tax Rate received by individual by using Classical System that now is carried out in Indonesia. It is because the taxation system out of the Classical System give the taxation priority on the income received by individual.
In this thesis also try to compare the taxation system on the dividend received by individual in some countries of South East Asia, include Malaysia, Philippine, Singapore, Thailand and of course Indonesia. The objective is to know to what extend the Effective Tax Rate bared by individual on the dividend income received in each of South East Asia Countries that compared. The final objective of this thesis is to know the possibility of the application of the different taxation system on the dividend received by individual thus the Effective Tax Rate that bared by individual in Indonesia not too weighten, but relatively similar with the countries compared."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2007
T23808
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library