Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siregar, Yuanita Aprilandini
"Penelitian bertujuan untuk melihat bagaimana proses reproduksi patriarki berjalan melalui penguatan identitas perempuan peranakan Arab, interseksi identitas, gender dan etnik pada perempuan peranakan Arab menghasilkan keragaman derajat oppresi, serta strategi perempuan peranakan Arab untuk melawan derajat keragaman oppresi terhadap dirinya dengan beragam latar. Penelitian ini akan menggunakan 2 kerangka teori utama, yakni teori interseksi dan identitas. Serta, menggunakan 2 konsep tambahan yakni gender interseksi dan patriarki.
Penelitian desertasi ini menggunakan metodologi kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara mendalam, observasi terlibat dan data sekunder. Informan di dalam penelitian ini berjumlah 26 orang dengan beragam karaktersitik dan kategori, yakni 17 perempuan peranakan Arab dan 9 orang laki-laki Arab. Pemilihan perempuan Arab berdasarkan keragaman umur (lintas generasi), orientasi pernikahan (endogami/eksogami), keragaman profesi, lokasi tempat tinggal (kampung Arab Condet dan Empang Bogor), serta faktor ketokohan. Kesembilan laki-laki Arab yang dijadikan informan merupakan data pelengkap sekaligus sebagai triangulasi data.
Temuan penting penelitian ini adalah semakin menguatnya identitas perempuan peranakan Arab mengakibatkan reproduksi patriarki. Peran perempuan (Ummi) menjadi sentral karena fungsi perempuan tidak hanya sebatas reproduksi biologis tetapi juga reproduksi sosio-kultural. Hal tersebut berkaitan dengan pemurnian darah leluhur (purityness) dari garis keturunan Alawiyyin. Kedua, Perbedaan narasi sejarah dan narasi keagamaan kelompok Alawiyyin dan Al-Irsyad disebabkan oleh faktor ideologi organisasi. Pergerakan dan ketokohan kaum perempuan Al-Irsyad yang beraliran Islam pembaharuan (modernis) lebih terlihat dibandingkan Rabithah.
Berdasarkan temuan ini maka penulis menggunakan teori interseksi untuk melihat irisan antara identitas, etnisitas dan gender. Penguatan identitas kaum perempuan Arab Alawiyyin dengan penikahan sekufu (endogami) melanggengkan budaya patriarki. Bentuk reproduksi patriarki tradisional masih tetap dipertahankan dan betransformasi menjadi neopatriarki berbasis media sosial digital. Interseksi etnik dan agama menjadi double oppression bagi kaum perempuan Alawiyyin namun menjadi social prestige bagi kaum laki-laki Arab Alawiyyin. Strategi yang dilakukan oleh kaum perempuan Arab di dalam mengubah kultur patriarki adalah melakukan protes secara frontal, semi frontal, dan moderat (negosiasi). Perempuan yang dapat melakukan ketiga bentuk strategi tersebut memiliki karakteristik perempuan Arab terdidik, menikah eksogami, serta berafiliasi dengan organisasi yang beraliran pembaharuan.

The purpose of this study described the process of patriarchal reproduction through peranakan Arab women, how the intersection of identity, sex and ethnicity in peranakan Arab women produced on diversified level of oppression, and how they defined strategies for negotiating their culture in different fields. This study using 2 major theoretical backgorund , the theory of intersection and identity theories, and 2 additional concepts namely gender intersection and patriarchy.
This research used qualitative research by collecting in-depth interview data, involved observation and secondary data. The informant in this study consists of 26 people with various characteristics : 17 person peranakan Arab women and 9 person Arab men. The selection of Arab women based on age diversity (across generations), marriage typology (endogamy / exogamy), professional backgorud, and residencial areas (Arabian Condet and Empang Bogor). Finally, The nine Arab men who were being interviewed also in order to get validity and triangulation datas.
The main findings of this research that strengthening identity on peranakan Arab women produced patriarchal cultures. The role of women (ummi) is central because women's functions are not only limited to biological reproduction but also socio-cultural reproduction. This is connected to the purityness issues from the Alawiyyin family. Second, the differences in historical narratives of the Alawiyyin and Al-Irshad religious groups are influenced by organizational ideology. The women movement from Al-Irsyad women are more visible than Rabithah.
Based on these findings, the authors used intersection theory to see the fields between identity, ethnicity and gender. Strengthening the identity of Alawiyyin Arab women by sekufu married (endogamy) produced patriarchal culture. Traditional patriarchy still consist but also transform into neopatriarchy on digital social media. Ethnic and religious intersection became a double oppression for Alawiyyin women but produce social prestige for Alawiyyin men. The strategy of Arab women to contesting patriarchal culture through frontal, semi-frontal protest and moderate negotiation. The Arab women who use these strategies characterized by higher educated women, married to non Arab men, and affiliated in modernist organizations.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
D2557
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustina Multi Purnomo
"Penelitian terdahulu menemukan pengembangan wisata kuliner akan memberikan kesempatan bagi pelaku usaha bermodal kecil jika dikembangkan di pedesaan atau di tempat yang dirancang khusus sebagai destinasi wisata kuliner. Penelitian ini dilakukan di kota dan tidak dirancang khusus sebagai destinasi wisata kuliner. Ruang wisata akan menjadi produksi ruang yang bercirikan kontestasi dan selalu dimenangkan oleh pemodal besar. Makanan lokal merupakan daya tarik wisata yang akan membangun ruang wisata bagi pedagang bermodal kecil. Diajukan argumen, penambahan makanan lokal sebagai daya tarik wisata kuliner akan menjadi kekuatan pembentuk ruang lokal, ruang untuk pelaku usaha bermodal kecil penjual makanan lokal. Penelitian menggunakan analisis dialektika triadik conceived-perceived-lived produksi ruang Lefebvre, konsumsi dalam wisata Urry, pemetaan spasial kota dan survey online konsumsi pengunjung pada 1259 responden. Hasil penelitian menunjukkan Lefebvre gagal menjelaskan mengapa ruang wisata kuliner dominan tidak menghasilkan konsumsi dominan dan Urry gagal menjelaskan mengapa konsumsi dominan tidak menjadi ruang wisata dominan. Penambahan makanan lokal berhasil membangun ruang quasi dominan sebagai segmen dari ruang dominan. Penelitian ini mengajukan untuk memposisikan kembali pelaku usaha bermodal kecil sebagai kelompok yang tidak selalu setara dan kemungkinan makanan lokal sebagai komoditas bagi pedagang makanan lokal. Dua hal yang menyebabkan penambahan makanan lokal dalam produksi ruang wisata kuliner hanya membangun ruang quasi dominan dan gagal membangun ruang lokal.

Previous research has found that culinary tourism development will be providing opportunities for small capital entrepreneurs if it is developed in rural areas or in places that were specifically designed as culinary tourism destinations. This research was conducted in a city that is not specifically designed as a culinary tourism destination. The tourism space establishment will be a production of space characterized by contestation and always won by big capital entrepreneurs. Local food is a tourist attraction that will build a tourist space for traders with small capital. The argument is local food addition as a culinary tourism attraction would be a strength to forming local space, space for small-capital entrepreneurs to sell local food. This research used triadic dialectic analysis of conceived-perceived-lived production of space by Lefebvre, consumption in tourism by Urry, city spatial mapping, and an online survey of visitor consumption on 1259 respondents. The results showed that Lefebvre failed to explain why the dominant culinary tourism space did not produce dominant consumption and Urry failed to explain why dominant consumption did not become the dominant tourism space. Local food consumption has succeeded in building a quasi-dominant space as a dominant space segment but failed to build a local space. This study proposes to reposition small capital entrepreneurs as always an equal group and local food possibility for being a commodity in tourism. Those two things were causing the local food addition in tourism production space was only succeeded to build a quasi-dominant space and failed to prove a local space."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Uden Kusuma Wijaya
"Ekosistem sepak bola Indonesia mengalami transformasi besar di era komputer dan internet saat ini. Berbagai aspek sepak bola terpengaruh oleh perubahan ini, termasuk cara klub berinteraksi dengan penggemar dan pemanfaatan teknologi digital. Industri sepak bola tidak lagi terbatas pada produksi bahan baku seperti jersey dan bola sepak, tetapi juga menghasilkan produk tambahan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan atlet dan kebesaran klub. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dan mengidentifikasi model terbaik bagi ekosistem industri sepak bola Indonesia, serta mengidentifikasi stakeholder yang terlibat di dalamnya. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan melakukan wawancara dalam forum diskusi kelompok, observasi, dan studi pustaka berdasarkan penelitian terdahulu. Hasil penelitian menunjukkan peran penting suporter dalam mendukung klub favorit mereka dan memberikan pendapatan bagi klub tersebut. Selain itu, media digital juga dimanfaatkan secara luas untuk membangun citra klub dan menarik minat penonton. Video Streaming juga memiliki dampak besar terhadap antusiasme penonton dalam ekosistem sepak bola Indonesia. Penelitian ini juga memberikan wawasan tentang bagaimana sebuah klub dapat memberikan kesejahteraan bagi atlet yang dinaunginya. Dengan demikian, penelitian ini memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang dinamika industri sepak bola dalam konteks pendapatan klub, pemanfaatan media digital, dan kesejahteraan atlet. Implikasi penelitian ini dapat membantu klub sepak bola Indonesia untuk mengoptimalkan potensi ekosistem industri sepak bola di era digital saat ini.

The transformation of the Indonesian football ecosystem has been significant in the current era of computers and the internet. Various aspects of football have been influenced by these changes, including how clubs interact with fans and utilize digital technology. The football industry is no longer limited to producing raw materials such as jerseys and footballs but has also expanded into creating additional products aimed at enhancing the well-being of athletes and the greatness of clubs. This research aims to answer and identify the best model for the Indonesian football industry ecosystem and to identify the stakeholders involved. The research methodology used is qualitative, involving interviews in group discussion forums, observations, and a literature review based on previous research. The results of the research indicate the vital role of supporters in supporting their favorite clubs and providing income to those clubs. Additionally, digital media is widely utilized to build a club's image and attract viewers' interest. Video streaming also has a significant impact on the enthusiasm of viewers within the Indonesian football ecosystem. This research also provides insights into how a club can enhance the well-being of the athletes it sponsors. Thus, this research offers a deeper understanding of the dynamics of the football industry in the context of club revenue, digital media utilization, and athlete well-being. The implications of this research can help Indonesian football clubs optimize the potential of the football industry ecosystem in the current digital era."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Aminah
"Studi ini mempelajari interelasi negara, pasar, dan masyarakat melalui kajian pembangunan BRT-Transjakarta. Penulis tidak bermaksud menguji teori/konsep interelasi negara, pasar, dan masyarakat yang dibangun oleh para teoretisi, tetapi digunakan untuk membantu dalam memahami dinamika interelasi yang berkembang menuju kontestasi dan kolaborasi menggunakan metode penelitian kualitatif.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa interelasi negara, pasar, dan masyarakat mengalami pergeseran dari gaya dominasi (state authority) ke gaya pasar (competition). Bergesernya interelasi itu tampak dalam pembangunan BRT-Transjakarta. Negara dikondisikan oleh logika kuasa bisnis yang dilatari oleh kepentingan pemerintah untuk mengontrol operator dalam rangka mewujudkan transportasi berkelanjutan. Ekonomi pasar tidak dapat berjalan tanpa negara yang bertindak sebagai regulator dan penentu kebijakan politik.
Kolaborasi negara dan pasar merupakan preskripsi kebijakan dan jalan keluar yang baik untuk menciptakan transportasi berkelanjutan. Namun, tanpa keterlibatan masyarakat, kolaborasi negara dan pasar/swasta tidak dapat menjadi preskripsi yang dapat diandalkan.
Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan melalui desakannya kepada negara untuk memberikan jaminan pelayanan minimum yang dapat menjadi dasar bagi masyarakat untuk turut mengontrol peran negara secara tepat.
Kesimpulan studi ini adalah BRT-Transjakarta sebagai proyek hegemoni kekuatan pemerintah yang didukung oleh birokrasi untuk mensubordinasi kekuatan operator dan masyarakat. Logika pengelolaan dan pengembangan BRT-Transjakarta merupakan cermin dari menguatnya dominasi negara dalam interelasi dengan pasar dan masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dari regulasi yang dibuat oleh pemerintah untuk memberi kemudahan bagi dirinya sendiri untuk merealisasi kepentingan ekonomi politik dan budaya. Operator menjadi tersubordinasi karena tidak menjadi pemain bebas, tapi dikendalikan oleh regulasi yang dibuat oleh pemerintah sebagai representasi dari negara. Semuanya itu menjadi fenomena demi terciptanya transportasi yang berkelanjutan, yang oleh masyarakat dipahami sebagai transportasi yang aman, nyaman, selamat, dan terjangkau. Intervensi negara dalam bentuk pemberian subsidi yang besar, telah menjadikan BRT-Transjakarta sebagai komoditas kolektif yang terus berkembang menjadi sumberdaya ekonomi, politik, dan budaya yang diperebutkan oleh para aktornya.

The study analyzes the interrelation among state, market and society in the development of BRT-Transjakarta. The writer did not intend to examine the theory/ concept of interrelation among state, market and society established by theorists. Rather he employed the theories to help understanding the dynamics of the interrelation which leads to contestation and collaboration using qualitative research methodology.
The results of the study show that the interrelation among state, market, and society experienced a shift from domination style (state authority) to market style (competition).
This is shown by the development of BRT Transjakarta. The state was conditioned by the logic of business power where the local government has the interests in controlling the operator in order to have a sustainable transportation. The market economy cannot function without the existence of the state as the regulator and the political policy maker.
The collaboration or alliance between the state and the private sector is the prescribed policy and a good way out to create a sustainable transportation. However, without the involvement of the society, the alliance between the state and the market/private sector will not be a dependable prescription. The involvement of the society is shown through its demand to the state to provide the minimum guaranteed service which can be the basis for the society to control the role of the state properly.
The study concluded that BRT-Transjakarta as a project that shows the hegemony of government power supported by the bureaucracy to subordinate the power of the operator and the society. The logic of the management and the development of BRT Transjakarta is a reflection of the strengthened domination of the state in its interrelation with the private sector and the civil society. This is reflected by various regulations set by the government to facilitate its economic, political and cultural interests. Operators are subordinated and cannot be free agents because they are controlled by the regulations set by the government as the representative of the state. It is all committed to create a sustainable transportation, which the society perceives as a safe, comfortable, and affordable transportation. The state?s intervention in the form of huge subsidies has made BRT-Transjakarta as a collective commodity which continues to grow to become economic, political and cultural resource that is being contested by its actors.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
D1192
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jacob Peniel Ninu
"ABSTRAK
Kota merupakan pusat kegiatan ekonomi, pemerintahan, pendidikan, politik, sosial dan budaya. Kota, dengan demikian menjadi pusat industrialisasi dan tempat terkonsentrasinya penduduk serta tempat pendistribusian barang dan jasa. Sebagai pusat kegiatan manusia, kota tidak statis tetapi terus berkembang. Perkembangan kota ke pinggiran kota membawa dampak terhadap kehidupan warga lokal dan dinamis. Berbagai perubahan sosial dialami oleh warga lokal, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya dan bidang politik. Untuk menjelaskan perubahan sosiail di pinggiran kota, peneliti menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa perubahan sosial yang dialami oleh warga lokal yakni: i). Dalam bidang ekonomi, yaitu berubahnya okupasi warga lokal yakni dari pertanian ke non-pertanian dan hilangnya mata pencaharian sampingan warga. Dalam hal kepemilikan lahan, berubahnya sistem kepemilikan lahan secara budaya (sistem warisan), status hukum, luas dan fungsi atau tata guna lahan). ii). Dalam bidang budaya yaitu: memudarnya mepu nekmese, berubahnya nilai belis dari nilai budaya ke nilai ekonomis, makna budaya (komunikasi) dalam oko mama berubah menjadi nilai ekonomis dan politik, serta berubahnya gaya hidup (life style) dari berbagai lapisan sosial. Dalam bidang stratifikasi sosial ditandai dengan hilangnya peran elit lokal di dalam bidang pemerintahan (sistem marga) dan meningkatnya status sosial warga. Perubahan dalam bidang relasi sosial ditandai dengan berubahnya relasi sosial yang berbasis kultur ke ekonomi, serta munculnya relasi sosial dengan berbagai institusi. iii). Dalam bidang politik ditandai dengan adanya kebebasan warga dalam menggunakan hak politik baik dalam menyampaikan aspiranya maupun dalam kepengurusan suatu partai politik.

ABSTRACT
The city is a center of economic activities, government, education, politic, social and culture. The city is also a place of industry center, citizen and the place of distribution of good and servise. As a center of people activitities, the city not static, but always develop. Urbnization to the sub-urban to bring consequence to the local society. There are social changed in the economic, social, culture and politic. To explan social change in the sub-urban, researcher use the qualitative method and case study. There are many social change in the local society : i). In the economic, there are occupation change from the agriculture to the non-agriculture and disappear addition occupation. In the own of the land, thera a change in the status of the owner of the land. ii). In the culture, there is a faint of ?mepo nekmese?, the chaged of ?belis? ,? oko mama? value, politic participation, life style and social stratification. In the social stratification, disappear local society ( sistem marga) in the government and social mobility of local society. In the social relation, there are a change in social relation from cultural to economic and there is a social relation with NGO. iii). In the politic, the citizens have the freedom to use the politic right and free to give opinion."
Depok: 2012
D1355
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
M. Ramli AT
"Disertasi ini membahas keterkaitan dinamika spasial dan kekuasaan yang melibatkan elemen komunitas lokal perkotaan, pengembang, dan negara. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika politik spasial komunitas lokal sebagai reaksi terhadap ekspansi pengembang, serta dampaknya pada akses komunitas ke spasial perkotaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Hasilnya menunjukkan bahwa regionalisasi yang secara bertahap dilakukan melalui pemindahan komunitas lokal ke daerah belakang menunjukkan ketidakberdayaan komunitas secara politik dalam mengakses ruang. Ekspansi perkotaan yang kemudian meniscayakan terjadinya gentrifikasi peri-urban, lebih tampak sebagai proses rekonsentrasi kemiskinan dan pembentukan kembali isolasi sosial baru bagi kelompok tidak mampu.

This dissertation discusses the relationship between spatial dynamics and political power that involves elements of urban local communities, housing developers, and the state. The study aims to examine political dynamics of the spatial local communities and its impact on communities' accessibilty to urban spatial. This research employs the qualitative approach.
The study found that the gradual regionalization through displacement of local communities to back region demonstrates the political powerlessness of the local urban communities to access the space. The urban expansion allows the peri-urban gentrification in which generates that the process of re-concentration of poverty and re-establishment of new social isolation to the poor communities.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
D1375
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Wahyudi
"Berbagai literatur mutakhir mengenal resolusi konflik menunjukkan bahwa persoalan konflik tidak hanya mengenai bagaimana mengakhiri konflik bersenjata (perang), namun juga mengenai hal bagaimana membangun perdamaian pasca penyelesaian perang. Penelitian ini bertujuan untuk menyajikan gambaran bagaimana konflik di Aceh mentransformasikan dirinya, kemudian memberikan kerangka kerja yang memungkinkan pihak-pihak yang saling bermusuhan melakukan rekonsiliasi dan mentransformasikan pertentangan mereka ke dalam kegiatan tanpa kekerasan yang diikuti dengan tindakan pemeliharaan perdamaian yang lebih luas, yang meliputi usaha-usaha untuk mentransformasikan ketidakadilan dan menjembatani posisi yang berseberangan.
Data di lapangan menunjukkan bahwa cakupan resolusi konflik adalah lebih luas ketimbang upaya pengakhiran konflik, dan dengan cara pandang demikian, kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan GAM adalah sebatas sebuah pengakhiran konflik bersenjata antara kedua belah pihak namun belurn tentu pengakhiran konflik antara pihak-pihak yang bertikai di Aceh. Apalagi membangun perdamaian, mentransformasikan keadilan dan menjembatani posisi yang berseberangan. Telah terjadi pergeseran konflik di Aceh, dari konflik yang bersifat vertikal antara 'Aceh' dengan 'Jakarta', ke konflik horizontal antar masyarakat Aceh sendiri (Aceh GAM dengan Aceh RI). Pergeseran ini menunjukkan bahwa MoU Helsinki masih menyisakan permasalahan integrasi sosial yang potensial untuk menjadi bahan bakar konflik berikutnya dan mengancam integrasi nasional. Pergeseran konflik juga bisa dilihat dari cara pandang masing-masing pihak yang bertikai. Dari sisi GAM, perjuangan GAM belumlah dianggap selesai dengan konsensi-konsensi dalam MoU Helsinki. Kesejahteraan rakyat Aceh (GAM menyebutnya 'bangsa Aceh') dan hak-hak politik masih perlu diperjuangkan. Sedangkan dari pihak Jakarta dan masyarakat Aceh RI melihat perjuangan GAM ini sebagai pemberontakan dan pemberontakan ini telah mengalami transformasi, dari pemberontakan bersenjata ke pemberontakan simbolik.
Data menunjukkan bahwa penyelesaian konflik yang komprehensif masih perlu waktu karena hambatan-hambatan sebagai berikut : sentimen etnis dan kedalaman konflik (dikotomi Aceh dan Jawa), perbedaan kepentingan dan harapan warga Aceh terhadap perdamaian dan perubahan struktur aktor konflik serta potensi konflik laten (simasi anomi). Hambatan-hambatan ini menujukkan bahwa penyelesaian konflik membutuhkan peran serta warga Aceh secara luas termasuk unsur-unsur diluar GAM karena aktor-aktor konflik juga telah berubah, bukan antar 'siapa' namun bisa meluas menjadi antar 'situasi'. Langkah-langkah yang disarankan untuk menuju penyelesaian konflik yang komprehensif menuju perdamaian positif adalah fokus ke rekonsiliasi (fluiditas) dan transformasi konflik, dalam hal ini adalah transformasi konteks, transformasi struktural, transformasi aktor, transformasi persoalan, transformasi kelompok dan personal.
Resolusi konflik secara sosiologis adalah bagaimana mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial yakni terpenuhinya secara berkesinambungan penghidupan dan berbagai kebutuhan hidup sebagian besar warga masyarakat serta terbukanya peluang bagi tiap warga masyarakat untuk mengaktualisasikan diri masing-masing. Perubahan kemasyarakatan dan pembangunan sosial-ekonomi serta politik merupakan katalisator dan lingkungan pemampu (enabling environment) untuk rekonsiliasi dan transformasi konflik. Oleh karena itu, peneliti menyarankan perlunya integrasi antara pembangunan perdamaian (kesejahteraan) di Aceh melalui upaya rekonsiliasi dan transformasi konflik (peace and development). Langkah-langkah integrasi itu antara lain transformasi ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan akses politik.

Some text-books in conflict resolution have shown that conflict-related problems are not only concerning with how to stop violence, but also dealing with sustaining peace through development. This research is aimed at a description of conflict transformation in Aceh and to develop a framework for the actors to transform their conflict into a non-violence effort and addressing the root of the conflict that created injustice in the society.
Field data confirmed that the scope of conflict resolution is more than an effort to end war. With this regard, peace agreement between GAM and Govemment of Indonesia could be seen as an agreement to end violence but not to solve the conflict's problem. Based on the analysis, there is a shift of the conflict in ACeh, from a vertical conflict (between Jakarta and GAM) to a horizontal conflict between community groups. This shift has proven that social integration related problems are beyond MoU Helsinlci's imagination. A shift also can be seen from each stand point; GAM believes that their holy mission has not completed yet although MoU Helsinki gives significant benefits to GAM. Welfare of the people of Aceh and their political rights are not fully met. ln the other hand, Jakarta still considers GAM is a separatist, rebellion, and GAM has changed their strategy to a symbolic rebellion.
Based on field data, a comprehensive conflict resolution in Aceh is still far away because of some barriers such as ethnic sentiment, fragmented expectations and interests among community groups, and changes in the structure and actors of the conflicts. A comprehensive conflict resolution requires collective efforts from non- GAM groups as well because the conflict is merely between Jakarta and GAM but also between 'different situation'. Suggested actions for this is focusing on conflict transformation i.e. transformation of context, structural transformation, actors transformation, transformation of issues, and transfomiation of individual and groups.
Societal change and socio-economic development is the catalyst and an enabling environment for conflict transformation. This research recommends that an integration between peace building and development (peace through development) is a central issue in addition to economic transfonnation, education, socio-culture development, and access to political structure.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
D977
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Liesda Dachlan
"ABSTRAK
Studi tentang dominasi ruang sosial perkotaan di 2 dua Kecamatan dalam kota Makassar bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana proses pembentukan dan dominasi ruang sosial di Makassar. Seperti apakah pola dominasi ruang sosial yang terjadi, serta apa penyebab dominasi ruang sosial di Makassar. Untuk bisa mendapatkan informasi yang mendalam dan lebih luas yang dianggap bisa menjelaskan masalah penelitian ini, metode penelitian kualitatif, etnografi, dipilih secara purporsive. Studi ini menemukan bahwa proses pembentukan dan dominasi ruang sosial di Makassar cukup dipengaruhi oleh kebijakan para pemimpin, baik Raja, pemerintah Kolonial maupun para Walikota di era kemerdekaan. Kebijakan penataan ruang sosial di 3 tiga era ini berbeda-beda sehingga menghasilkan pola pembentukan dan dominasi ruang sosial yang juga berbeda. Dari bentuk egaliter berubah jadi sangat hierarkhis atau dari bentuk kontinuitas, era kerajaan ke era kolonial, menjadi diskontinuitas di era reformasi. Dominasi ruang sosial perkotaan di 2 dua lokasi penelitian secara etnis, terutama di 2 dua walikota terakhir, sangat tinggi. Dari 85,39 persen dan 74,06 persen di tahun 2006 berubah menjadi 74,22 persen dan 81,04 persen di tahun 2016, oleh etnis tertentu yang kuat secara ekonomi.

ABSTRACT
The domination study on the urban social space in Makassar tries to find out and describe how the construction and the domination process on the social space in Makassar in 3 three era were. What rsquo s kind of the domination pattern on the social space and the cause of domination in Makassar. The research method which is appropriately regarded, to this study, is qualitative one. This study found that the process of construction and domination on the social space in Makassar was quite influenced by the leaders policy, the King, the Colonial government and the Majors in the era of independence. The spatial structuring policies in these 3 three era were different that result a different domination type as well. An egalitarian type and a very hierarchy one are the output of their policies, from continuity form becomes discontinuity one. The egalitarian type was applied in the kingdom and colonialism periodes, then becomes a very hierarchy in the reformation era. The domination on the strategic urban social space in 2 two research locarions, especially in the last 2 two mayors, is very high. It is 85.39 percent and 74.06 percent in 2006. Then, it becomes 74.22 percent and 81.04 percent in 2016 by certain ethnic who are economically strong. "
2017
D2425
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Axel Putra Hadiningrat
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh modal sosial, inovasi serta motivasi yang berhubungan langsung maupun tidak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat di Labuan Bajo. Pendekatan yang dilakukan adalah metode campuran (Explanatory Sequential Mixed Method) dengan 2 fase. Fase pertama menggunakan pendekatan kuantitatif dengan mengumpulkan jawaban kuesioner terstruktur dari 303 responden. Hasil data kuantitatif dianalisis dengan software Lisrel. Fase kedua dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui observasi dan indepth interview terhadap 10 orang informan yang diolah dengan software Dedoose. Modal Sosial berpengaruh signifikan pada masyarakat di Labuan Bajo memanfaatkan modal sosial untuk tolong menolong dan gotong royong berlandaskan kepercayaan, saling berbagi informasi positif. Masyarakat juga memperlihatkan ada motivasi yang melahirkan inovasi. Dengan demikian, inovasi masyarakat sangat berkorelasi erat dengan motivasi yang mereka memiliki.

This study aims to analyze the influence of social capital, innovation and motivation that are directly or indirectly related to the welfare of the community in Labuan Bajo. The approach taken is a mixed method (Explanatory Sequential Mixed Method) with 2 phases. The first phase used a quantitative approach by collecting structured questionnaire answers from 303 respondents. The results of quantitative data were analyzed with Lisrel software. The second phase was carried out with a qualitative approach through observation and in-depth interviews with 10 informants processed with Dedoose software. Social Capital has a significant effect on the community in Labuan Bajo utilizing social capital to help and mutual assistance based on trust, sharing positive information. The community also shows that there is a motivation that gives birth to innovation. Thus, people's innovation is closely correlated with the motivations they have."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuliman Gamal
"ABSTRAK
Disertasi ini membahas faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prolingkungan pada masyarakat kota Jakarta Selatan sebagai peraih penghargaan Adipura. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan beberapa uji hipotesis. Hasil penelitian ini menolak ?The Economic Contigency Hypothesis? yakni bahwa perilaku prolingkungan disebabkan oleh alasan ekonomi khususnya untuk wilayah Jakarta Selatan. Hasil penelitian ini juga menyarankan semua pihak khususnya pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi untuk mendukung upaya aktivasi perilaku prolingkungan melalui: sikap proteksi lingkungan, motif lingkungan, dan serta memperbaiki orientasi perilaku ke arah perilaku prolingkungan.

ABSTRACT
This disertation describes the factors influence proenvironmental behavior in South of Jakarta City Society as a winner of Adipura. This research is a quantitative research with several hypothesis. The result is refusal toward ?The Economic Contigency Hypothesis? that stitution needed to support the activation efforts the proenvironmental behavior through environmental protection attitude, environmental motive, and improving behavior orientation toward proenvironmental behavior."
Depok: 2009
D974
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>