Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nur Nina Rosrita
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang : Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyakit ini mempunyai beberapa komorbid seperti osteoporosis, gagal jantung, diabetes dan depresi. Depresi merupakan gangguan emosional yang sering terjadi pada penderita PPOK dan makin menurunkan kualitas hidup penderita namun sering tidak terdiagnosis di pelayanan kesehatan. Objektif : Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan angka prevalens depresi pada pasien PPOK stabil di RSUP Persahabatan Jakarta dan hubungannya dengan kualitas hidup. Metode : Desain penelitian ini adalah potong lintang. Pasien PPOK stabil berkunjung ke poliklinik Asma/PPOK RSUP Persahabatan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Subjek dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis dan spirometri untuk memastikan diagnosis PPOK dan pembagian grup dilanjutkan dengan wawancara menggunakan MINI ICD 10 (Mini International Neuropsychiatric Interview - International Classification of Disease 10) kemudian dilakukan analisis statistik. Hasil : Subjek terbanyak adalah laki-laki (92,9%) dengan kelompok usia > 65 tahun (48,9%). Jumlah depresi adalah 27 orang dari total 141 subjek dengan prevalens 19,1%. Penelitian ini mendapatkan bahwa nilai CAT sedang berat (≥ 10) mempunyai kualitas hidup yang lebih rendah dan berisiko 14 kali terjadi depresi dibanding CAT ringan (p<0,001). Penelitian ini mendapatkan hubungan bermakna pada grup PPOK yang dibagi berdasarkan gejala (p<0,001), penderita PPOK yang depresi dengan status terpajan rokok (p<0,007) dan indeks Brinkmann (p<0,026) namun tidak pada grup PPOK yang dibagi berdasarkan risiko (p>0,799) dan hambatan aliran udara yang diukur dengan spirometri. Kesimpulan : Prevalens depresi pada pasien PPOK stabil di RSUP Persahabatan Jakarta adalah 19,1%. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara kualitas hidup dengan depresi pada pasien PPOK stabil, grup PPOK yang dibagi berdasarkan gejala dalam meningkatkan risiko depresi, status merokok dan indeks Brinkmann, tidak ditemukan hubungan grup PPOK yang dibagi berdasarkan risiko dan hambatan aliran udara yang dinilai dengan spirometri.ABSTRACT Background : Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a major cause of morbidity and mortality in the world. This diesease is one the main diseases problem in Indonesia. It can cause comorbid such as osteoporosis, heart failure, diabetes and depression. Depression is a common comorbid affecting COPD patients that influence quality of life but unfortunatelly this comorbid often mis or underdiagnosed. Objective : The purpose of this study is to get the prevalence of depression in stable COPD patients in Persahabatan Hospital Jakarta and its relation to the quality of life. Methods : The study design was cross-sectional. Stable COPD patients who visited the Asthma/COPD clinic in Persahabatan Hospitals Jakarta who met the inclusion and exclusion criteria. Subjects were asked for history of disease, physical examination and spirometry then underwent MINI ICD 10. Results : Most subjects were male (92,9%), in the age group > 65 years (48,9%). Prevalence of depression was 19,1%. Subjects with moderate-high CAT (≥ 10) has lower quality of life compared to subjects with mild CAT (< 10) and 14 times higher risk in having depression (p<0,001). In this study there was statistically significant relationship in COPD group that divided by symptomps (p<0,001) in causing depression, smoking status (p<0.007) and Brinkmann index (p<0,026). This study also suggests that there is no statistically relationship in COPD group that divided by risk (p>0,799) and airflow limitation that measured by spirometry (p>1,000). Conclusion : The prevalence of depression in stable COPD patients in Persahabatan Hospital Jakarta is 19.1%. There is statistically significant relationship between quality of life with depression in stable COPD patients, COPD group that is divided by symptomps in causing depression, smoking status and Brinkmann index, there is no statistically significant relationship in COPD grup that is divided by risk and airflow limitation.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
Sp-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Carlamia H. Lusikooy
Abstrak :
ABSTRAK
Penggunaan rokok elektrik di Indonesia dan kekhawatiran terhadap kesehatan masyarakat kian meningkat seiring dengan bertambahnya pengguna rokok elektrik. Upaya pencegahan cukup terbatas karena akses terhadap perangkat rokok elektrik cenderung mudah, dan studi preliminer telah menemukan bahwa rokok elektrik memiliki potensi untuk penggunaan zat psikoaktif lainnya. Dengan demikian, tujuan studi ini adalah melihat jika ada hubungan antara karakteristik demografi dan pola penggunaan rokok elektrik terhadap NAPZA lain dalam sampel Jakarta (n=422) melalui survei elektronik atau online dari Februari hingga Mei 2019. Ditemukan hanya beberapa hubungan signifikan antara demografi responden (jenis kelamin, status kerja, tingkat pendidikan) dan penggunaan rokok elektrik (alasan menggunakan, frekuensi menggunakan) terhadap penggunaan alkohol (p>0.05) namun tidak pada NAPZA lainnya. Pembahasan dilakukan dengan fokus kepada berbagai keterbatasan metode dan literatur dalam studi ini, sehingga terdapat acuan untuk penelitian selanjutnya.
ABSTRACT
The use of electronic cigarettes (e-cigarettes) in Indonesia along with public health concerns continues to rise with increasing reports of electronic cigarette users. Prevention attempts are limited due to easy access of electronic cigarette devices, and a premilinary has found that electronic cigarettes potentiate the use of other psychoactive substances. This study aims to see whether an association exists between demographic characteristics and e-cigarette use patterns toward risk of drug use in a Jakarta sample (n=422) through an electronic or online survey from February to May 2019. The study found only several significant associations between demographic variables (gender, work status, education level) and e-cigarette use pattern (reason and frequency of use) towards risk of alcohol use (p>0.05). A discussion is made based on this study's methodical and literary limitations, to provide guidelines for future studies.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59128
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Mirsyam Ratri Wiratmoko
Abstrak :
Merokok dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.World Health Organization (WHO) memprediksi pada tahun 2020 penyakit yang disebabkan oleh rokok akan menyebabkan kematian sebanyak 8.4 juta orang di dunia dan setengahnya berasal dari Asia. Varenicline, sebagai agonis parsial reseptor α4β2 nikotin asetilkolin, memiliki potensi yang cukup baik pada program berhenti merokok dengan cara melepaskan withdrawal effect dari nikotin dan menurunkan kebutuhan akan nikotin. METODE. Uji acak tersamar ganda antara bulan Juli 2012 sampai dengan Desember 2012 dengan 12 minggu waktu terapi dan 12 minggu waktu pengamatan status merokok. 80 laki-laki perokok yang bersedia mengikuti penelitian dibagi kedalam kelompok varenciline dan kelompok plasebo.Varenicline dititrasi hingga 2x1 mg (n=40) dan plasebo (n=40) ditambah konseling mingguan. HASIL. Pada pengamatan 4 minggu (minggu 1-4) setelah 12 minggu terapi menunjukkan 55% peserta kelompok varenicline berhenti merokok dibandingkan kelompok plasebo sebesar 27,5%. (Prevalence Ratio [PR] 2,0). Pada pengamatan minggu ke 5-8, 52.5% peserta pada kelompok varenicline masih berhenti merokok dibandingkan dengan 20% pada kelompok plasebo (PR, 2,6). Pada pengamatan minggu 9-12, 47,5% peserta pada kelompok varenicline masih berhenti merokok dibandingkan 17,5% pada kelompok plasebo (PR, 2,7). Rerata hari pertama bebas rokok pada kelompok varenicline adalah 40,63 hari, sedangkan pada kelompok plasebo 56,43 hari. Efek samping yang paling banyak pada penggunaan varenicline adalah mual yang terdapat pada 9 peseerta (22,5%). Rerata kadar CO awal adalah 18,46 ppm, rerata Fagerstrom test untuk ketergantungan nikotin adalah 6,4 dan rerata indeks Binkman adalah 317,9. KESIMPULAN. Varenicline memiliki efikasi yang baik, aman dan dapat ditoleransi baik sebagai farmakoterapi program berhenti merokok. ......Smoking has increased risk of morbidity and mortality. World Health Organization predicts that by 2020, disease caused by smoking will result in the deaths of around 8.4 million people in the world and half of these deaths from Asia. Varenicline, a partial agonist at the α4β2 nicotinic acetylcholine receptor, has the potential to aid smoking cessation by relieving nicotine withdrawal symptoms and reducing the rewarding properties of nicotine. METHOD. A randomized, single-blind, placebo controlled trial conducted between July 2012 and December 2012 with a 12 week treatment period and 12 week follow-up of smoking status. 80 male adult smokers who volunteered for the study divide into varenicline and placebo group. Varenicline titrated to 1 mg twice daily (n=40) or placebo (n=40) for 12 weeks, plus weekly smoking cessation counseling. RESULT. During 4 weeks (weeks 1-4) after 12 weeks of treatment, 55% of participants in the varenicline group were continuously abstinent from smoking compared with 27.5% in the placebo group (Prevalence Ratio [PR] 2,0). For weeks 5 through 8, 52.5% of participants in the varenicline group were continuously abstinent compared with 20% in the placebo group (PR, 2,6). For weeks 9-12, 47.5% of participants in the varenicline group were continuously abstinent compared with 17.5% in the placebo group (PR, 2,7). Mean of first day free of smoking used Varenicline for smoking cessation was 40,63 days and mean of first day free of smoking used placebo was 56.43 days. The most adverse event with varenicline was nausea, which occurred in 9 Participants (22,5%). Mean of CO level was 18,46 ppm, mean of Fagerstrom score for nicotine dependence was 6,4, and mean of Brinkman index was 317,9. CONCLUSION. Varenicline is an efficacious, safe, and well-tolerated smoking cessation pharmacotherapy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Indriyani
Abstrak :
Gangguan penggunaan opioid merupakan suatu penyakit kronis dan kambuhan dengan konsekuensi ekonomi, personal, dan terhadap kesehatan masyarakat. Tingkat komorbiditas psikiatrik dan fisik ditemukan tinggi pada penggunaan opioid. Penggunaan rumatan buprenorfin jangka panjang telah terbukti dapat meningkatkan fungsi dan kualitas hidup pasien. Waktu minimal yang direkomendasi untuk mencapai manfaat klinik bagi pasien yaitu 12 bulan. Terlihat efek positif terapi berupa penurunan penggunaan opioid, perilaku berisiko terinfeksi HIV atau Hepatitis C, tindak kriminal dan mortalitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan psikopatologi, retensi dalam terapi dan kualitas hidup pasien terapi rumatan buprenorfin di RS. Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta. Penelitian dengan desain potong lintang pada bulan Maret-Mei 2019. Pengambilan sampel secara simple random sampling; menggunakan WHOQOL-BREF untuk menilai kualitas hidup serta SCL-90 untuk menilai psikopatologi. Retensi dalam terapi merupakan lamanya pasien mengikuti terapi buprenorfin, dibagi 2 kelompok yaitu ≤ 1 tahun dan > 1 tahun. Dari 105 sampel, mayoritas laki-laki, usia rerata 39 tahun, sudah menikah, tamat SMA, bekerja paruh waktu dan 40,9% memiliki psikopatologi. Ditemukan hubungan bermakna antara kualitas hidup dengan ada tidaknya psikopatologi pada pasien. Kualitas hidup ranah psikologik, hubungan sosial dan lingkungan secara signifikan lebih tinggi pada kelompok pasien tanpa psikopatologi. Temuan ini serupa dengan penelitian lainnya, yaitu terdapat hubungan antara psikopatologi dan kualitas hidup. 97,1% sampel memiliki retensi terapi > 1 tahun dengan rerata 4 tahun. Tidak ditemukan adanya perbedaan rerata kualitas hidup pasien pada masing-masing ranah yang dihubungkan dengan retensi dalam terapi, dengan p > 0,05. Hal ini dapat dipengaruhi oleh sedikitnya jumlah subjek penelitian pada kelompok retensi ≤ 1 tahun. Penelitian jangka panjang mengenai efektivitas terapi buprenorfin dengan sampel yang lebih besar dan beragam, khususnya terkait kepatuhan berobat perlu dilakukan sebagai studi lanjutan. Penelitian dengan keterlibatan jenis individu yang lebih beragam serta inklusi jenis adiksi lainnya perlu dilakukan sebagai studi lanjutan. ......Opioids use disorders are chronic relapsing diseases with many negative consequences on economic, personal, and public health. Psychiatric and general medical comorbidity were high among opioids users. Long term buprenorphine maintenance had been proven could increase patient's functioning and quality of life. Recommended length in order to achieve clinical benefits was 12 months. The overt positive impacts were decreases in frequency of using, high-risk using behavior, mortality, and criminal behavior. This cross-sectional study aimed to identify the relationship between psychopatology, retention in therapy, and quality of life of buprenorphine maintenance therapy patients in Jakarta Drug Dependence Hospital. The period of observation was on March to May 2019 to samples chosen by simple-random. The instruments used were WHOQOL-BREF and SCL-90, to measure quality of life and psychopatology, respectively. For treatment retention status sample were divided into 2 groups (the up-to-1-year group and the more-than-1-year group). Of the 105 samples, the majority were males with mean age of 39 y.o., married, high-school graduated, and part-timers, also 40.9% of them already had psychopatologies. There was a significant relationship between quality of life and the existance of psychopatology. Psychological and social and environmental relationship domains of quality of life were significantly higher on without-psychopatology group. This finding is similar to other studies whom found that there was a relationship between psychopatology and quality of life. Most samples (97.1%) had retained for at least more than 1 year in therapy, with average of 4 years. No difference in each domains of quality of life found between groups (p >0.05). This may be influenced by the small number of samples whom had retained for at least 1 year. Long-term study on buprenorphine therapy effectivity and medication adherence with more varied samples needs to be conducted.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58656
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniella Satyasari
Abstrak :
Latar Belakang: Penilaian ketergantungan nikotin dapat memengaruhi tatalaksana. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan instrumen untuk menilai ketergantungan nikotin seseorang secara objektif dan terukur, yaitu instrumen CDS-12 versi Bahasa Indonesia dan melakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen tersebut. Metode: Penelitian potong lintang pada subjek perokok di Unit Rawat Jalan Paru Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Juli hingga Desember 2018 (N=120, usia 18 hingga 59 tahun) dengan sampling konsekutif dan sampling sistematik untuk tes ulang (N=20), melakukan penerjemahan yang disesuaikan dengan budaya Indonesia, penerjemahan balik, uji validitas isi, konstruksi dan reliabilitas test-retest instrumen CDS-12 versi Bahasa Indonesia. Hasil: Uji validitas isi memperoleh hasil I-CVI sebesar 0.96, S-CVI sebesar 0.916 dan CVR setiap butir bernilai 1, kecuali butir kedelapan yang bernilai 0.3. Hasil Exploratory Factor Analysis mengekstraksi dua faktor dan jumlah kumulatif persentase varians 65.614% dengan susunan muatan yang berbeda dari konstruksi aslinya. Hasil Confirmatory Factor Analysis tidak mengonfirmasi model tersebut sehingga diperlukan modifikasi. Model akhir yang dimodifikasi memiliki dua faktor yang masing-masing terdiri dari delapan butir dan dua butir yang memiliki nama faktor baru dengan Chi-Square 0.014, RMSEA 0.076, GFI 0.934, dan CFI 0.977. Hasil koefisien Cronbach's alpha sebesar 0.916 dan 0.913 untuk model yang baru, serta ICC test-retest sebesar 0.931 dan 0.914 untuk model yang baru. Diskusi: Belum ada instrumen pembanding ketergantungan nikotin di Indonesia, hasil validitas konstruksi yang perlu dimodifikasi. Simpulan. CDS-12 versi Bahasa Indonesia layak digunakan karena memiliki nilai psikometrik yang sahih dan andal dengan memerhatikan pertimbangan terkait validitas konstruksinya. ......Background: Assessment of nicotine dependence will have impact on it's treatment This study aims to obtain an instrument to assess nicotine dependence objectively and measurably, CDS-12 Indonesian version and to evaluate the validity and reliability of the instrument. Methods: This is a cross-sectional study on smokers subject, conducted in the Lung Clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital from July to Desember 2018. Subjects were recruited through consecutive sampling (N = 120, aged 18-59 years old). The instrument was translated, adapted to Indonesian culture, and back-translated. Content validity and test-retest reliability (N = 20 using systematic sampling) of CDS-12 Bahasa Indonesia version were evaluated. Results: I-CVI is 0.96, S-CVI is 0.916 and CVR for each butir is 1, except 0.3 for butir 8. Exploratory Factor Analysis extract two factors and explains 65.614% of variance with different factor loading configuration from that of the original construct. Confirmatory Factor Analysis with last modified model given two factors with new name consists eight and two items each, with two items removed. New model given Chi-Square 0.014, Root Mean Square Error of Approximation 0.076, Goodness Fit Index 0.934 and Comparative Fit Index 0.977. For reliability, Cronbach's alpha is 0.916 and 0.913 for the new model along with ICC 0.931 and 0.914 for the new model. Discussion: Currently there is no other instrument assessing nicotine dependence in Indonesia and the result of modified construction validity. Conclusion: The CDS-12 Indonesian version is acceptable for use to measure nicotine dependence with good psychometric properties which reliable and valid by considering certain reasoning regarding its construct validity.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambun, Jubilate Edward Iruanto
Abstrak :
Latar Belakang: Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif untuk melakukan tugas-tugas eksekutif yang kompleks dengan baik dalam mencapai tujuan sehingga berhubungan erat juga dengan aspek perilaku. Setiap orang termasuk anak, memiliki kapasitas fungsi eksekutif yang berbeda dan tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh status sosial maupun ekonomi. Gangguan fungsi eksekutif pada anak SD cukup tinggi. Defisit fungsi eksekutif dapat menyebabkan masalah yang serius pada anak. Pada anak usia sekolah dasar (SD), defisit fungsi eksekutif yang tidak teridentifikasi dapat meningkatkan risiko seorang anak mengalami hambatan dalam perilaku sehari-hari dan performa akademik sehingga menimbulkan kebingungan dan kecemasan pada orang tua dan guru. Anak dengan fungsi eksekutif rendah cenderung kesulitan mengenali tanda-tanda sosial, kesulitan mengatur perilaku, dan bermasalah pada kemampuan belajar. Oleh karena itu, intervensi terhadap fungsi eksekutif pada anak menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan. Intervensi berupa pelatihan fungsi eksekutif menggunakan gim berbasis komputer merupakan intervensi yang banyak dikembangkan belakangan ini. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas intervensi prototipe gim berbasis komputer Indonesia terhadap peningkatan fungsi eksekutif anak SD. Metode: Penelitian ini berbentuk kuasi-eksperimental yang menggunakan desain penelitian time series. Subjek penelitian akan dilakukan penilaian menggunakan BRIEF-BI format guru sebanyak 4 kali, yaitu pre-intervensi, post 5 sesi intervensi, post 10 sesi intervensi, dan 1 bulan pasca intervensi. Analisis statistik dilakukan dengan uji non-parametrik Friedman dilanjutkan dengan analisis post-hoc dengan uji Bonferroni. Hasil: Subjek penelitian ini berjumlah 14 orang anak SD berusia 11-12 tahun. Dari hasil analisis didapatkan peningkatan di seluruh ranah fungsi eksekutif yang diukur dengan membandingkan skor BRIEF sebelum dan sesudah intervensi. Perubahan skor GEC setelah intervensi (p<0,001), skala inhibisi (p<0,001), skala adaptasi (p<0,001), skala kontrol emosional (p=0,003), skala inisiasi (p<0,001), skala memori kerja (p<0,001), skala perencanaan (p<0,001), pengorganisasian material (p<0,001), dan monitor (p<0,001). Hasil analisis post-hoc menunjukkan bahwa peningkatan fungsi eksekutif secara umum terjadi setelah 10 sesi intervensi dan tetap bertahan pada pengukuran satu bulan setelah selesai intervensi. Simpulan: Pelatihan dengan intervensi Prototipe Gim Berbasis Komputer Indonesia dapat meningkatkan fungsi eksekutif anak SD yang bukan GPPH pada seluruh ranah fungsi eksekutif yang dinilai dengan BRIEF-BI format guru. Peningkatan fungsi eksekutif pada anak SD bertahan setelah satu bulan pasca pelatihan. ......Background: Executive function is the cognitive ability to perform complex executive tasks well in order to achieve a goal, so that it is also closely related to behavioral aspects. Every person, including children, has a different capacity of executive functions and is not entirely affected by social or economic status. Impaired executive functions in elementary school children remain high. Executive function deficits can cause a serious problem in children. In elementary school-aged children, an unidentified executive function deficit can increase the risk of hindrance in daily behavior and academic performance, causing confusion and anxiety in parents and teachers. Children with weak executive functions tend to have difficulties in recognizing social signs, controling behavior, and have problems with learning abilities. Therefore, intervention on executive function in children is important to be performed. Inteventions in the form of executive function training using computer-based games have been developed recently. This study aims to determine the effectivity of Indonesian computer-based game protoype intervention in improving the executive function of elementary school children. Methods: This study was conducted using a quasi-experimental design with time-series analysis. Research subjects was assessed using BRIEF-BI teacher format in a total of 4 times, including pre-intevention, post-5 intervention sessions, post-10 intervention sessions, and 1-month post-intervention. Statistical analysis was performed using Friedman non-parametric test followed by post-hoc analysis with Bonferroni test. Results: The subjects of this study were 14 children in elementary school aged 11-12 years old. Results from the analysis showed improvement in all areas of executive function measured by comparing BRIEF score before and after the intervention. Changes in GEC score after intervention (p<0.001), the inhibit scale (p<0.001), the shift scale (p<0.001), the emotional control scale (p=0.003), the initiate scale (p<0.001), the working memory scale (p<0.001), the plan/organize scale (p<0.001), the organization of materials scale (p<0.001), and the monitor scale (p<0.001). Results of the post-hoc analysis showed that the improvement of executive function generally occured after 10 intervention sessions and persisted in the measurement of one month after the intervention has been completed. Conclusion: Training with the intervention of Indonesian computer-based game prototype can improve the executive function of elementary school children without ADHD in all areas of executive function measured by the BRIEF-BI teacher format. The improvement of executive function in elementary school children persisted after one month post-intervention.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nindya Nisita
Abstrak :
Ketergantungan benzodiazepin merupakan kondisi yang berhubungan dengan kejadian hendaya kognitif. Hendaya kognitif pada pasien ketergantungan benzodiazepin merupakan fenomena multifaktorial, kerap dikaitan dengan karakteristik sosiodemografik, pola penggunaan benzodiazepin dan komorbiditas. Hendaya kognitif pada individu yang menggunakan benzodiazepin ditemukan pada berbagai ranah kognitif, mencakup ranah verbal, memori, visuospasial, atensi dan fungsi eksekutif. Hendaya kognitif merupakan masalah yang penting karena berhubungan dengan penurunan fungsi dan respon tatalaksana ketergantungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi profil ranah kognitif pada pasien ketergantungan benzodiazepin. Penelitian dilakukan secara potong lintang pada sampel yang diterima secara konsekutif dari berbagai jenis layanan kesehatan mencakup rumah sakit, rehabilitasi dan puskesmas. Pengambilan data meliputi proses wawancara menggunakan instrumen MINI-ICD 10 dan Addiction Severity Index serta pemeriksaan profil ranah kognitif menggunakan Cognistat Bahasa Indonesia. Pasien ketergantungan benzodiazepin dalam penelitian ini sebagian besar mengalami hendaya kognitif. Hendaya kognitif yang paling banyak ditemukan pada pasien ketergantungan benzodiazepin adalah hendaya memori. Terdapat hubungan antara penggunaan benzodiazepin sebelum usia 18 tahun terhadap kejadian hendaya memori pada pasien ketergantungan benzodiazepin (p<0,05). Penggunaan benzodiazepin sebelum usia 18 tahun dibandingkan dengan lebih dari 18 tahun berisiko 4,4 kali lipat mengalami hendaya memori (RO=4,397). Terdapat hubungan antara penggunaan jenis benzodiazepin terhadap kejadian hendaya kalkulasi pada pasien ketergantungan benzodiazepin (p<0,05). Penggunaan benzodiazepin kerja lambat dibandingkan dengan benzodiazepin kerja menengah berisiko 0,2 kali lipat mengalami hendaya kalkulasi (RO=0,192). Terdapat faktor-faktor yang ditemukan berhubungan dengan kejadian hendaya kognitif pada pasien ketergantungan benzodiazepin. Temuan ini penting untuk diimplementasikan dalam layanan kesehatan termasuk upaya pencegahan hendaya kognitif maupun tatalaksana pasien ketergantungan benzodiazepin. ......Benzodiazepine dependence associated with cognitive impairment. Cognitive impairment among benzodiazepine dependent patients is a multifactorial phenomenon, often associated with sociodemographic characteristics, patterns of benzodiazepin use and comorbidities. Impairments were found on various cognitive domains including verbal, memory, visuospacial, attention and executive function. Cognitive impairment is an important matters due to its concequences such as psychosocial dysfunction and treatment response. This study aims to find factors associated with profiles of cognitive domains among benzodiazepin dependent patients This is a cross-sectional study conducted in patients with benzodiazepin dependence from hospital, drug rehabilitation and primary health care. Data collections includes MINI-ICD 10 and Addiction Severity Index interview, followed by cognitive domains assessment using Cognistat. Cognitive impairments found on majority of benzodiazepine dependent patients, distinctly on memory function. Memory impairment significantly associated with benzodiazepine use under the age of 18 (p<0,05). Risk of memory impairment is 4.4 times on first time benzodiazepine use under the age of 18, compared with above the age of 18 (OR=4,397). Calculation imparment significantly associated with types of benzodiazepine (p<0,05). Risk of calculation impairment is 0,2 times on long-acting benzodiazepin use, compared with moderate-acting benzodiazepine (OR=0,192). Factors associated with cognitive impairments among benzodiazepin dependent patients were identified in this study. Implication of the result should be address on health care system. This includes cognitive impairment preventions and treatments of benzodiazepine dependence.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinambela, Yenny Siti Yanti
Abstrak :
Saat ini belum ditemukan angka prevalensi gambling disorder di Indonesia namun dalam praktik klinis kunjungan pasien yang mengalami GD semakin meningkat sehingga diperlukan instrumrn yang sahih dan andal yaitu South Oaks Gambling Screen (SOGS) versi Indonesia. Penelitian dilakukan dengan penyebaran googleform ke seluruh Indonesia melalui jejaring Internet dan media sosial pada 18 April hingga 15 Mei 2021 ( N= 5810, usia 18 hingga 59 tahun) dengan cara non propbability sampling, sampling insidental, melakukan penerjemahan yang disesuaikan dengan budaya Indonesia, penerjemahan balik, uji validitas isi, kontruksi dan uji reliabilitas instrumen SOGS versi Indoensia. Pada uji EFA seluruh butir yang ada di dalam SOGS versi Indonesia memiliki faktor muatan yang baik yaitu > 0.4. Nilai Kaise – Meyer- Olkin ( KMO) 0,913 dan nilai p Bartlett Test of Sphericity (BTS) < 0.001 sehingga jumlah sampel dan korelasi antar item dipastikan adekuat.Berdasarkan hasil uji EFA didapatkan hasil 4 domain yang memiliki eigenvalue lebih dari satu dan secara kumulatif dapat menjelaskan 62,42% varian. Hasil CFA model 3 yang dipilih menunujukkan keadaan goodness of fit yang baik ( Chi-square = 1270 ; df=166 ; p-value= 0,0000 ; RMSEA = 0,048 ; CFI= 0,99 ; AIC= 1358,72; TLI= 0,99; SRMR= 0,031). Pada uji reliabilitas didapat satu butir pertanyaan SOGS yang memiliki nilai corrected item total correlation < 0,3 yaitu 0,261. Nilai alpha cronbach dari SOGS versi Indonesia adalah sebesar 0.879 dengan atau tanpa penghapusan item SOGS 4. Prevalensi gambling disorder (GD) ditentukan dengan menggunakan SOGS versi Indonesia dengan N= 5810 dengan poin 8 didapat 57 subjek alami GD sehingga dapat disimpulkan prevalensi GD di Indonesia 1 %. SOGS versi Indonesia memiliki 20 pertanyaan dan terdapat 4 domain yang memenuhi kriteria DSM. SOGS versi Indonesia memiliki validasi dan reliabilitasi yang baik sehingga dapat dipastikan baik untuk menskriining permasalahan judi di Indonesia ......To date, the prevalence of gambling disorder (GD) is Indonesia remains unknown. However, the number of patients with GD has been increasing in clinical practice. There is a need for a valid and reliable instrument to assess gambling disorders, namely the Indonesian version of South Oaks Gambling Screen (SOGS). We distributed Google forms nationwide through the internet and social media from April 18 to May 15, 2021 to subjects (n = 5810, age 18 to 59 years) selected using non-probability sampling and incidental sampling. We performed forward translation, back translation, and cultural adaptation to suit the questionnaire to the Indonesian culture. We also performed content validity, construct validity, and reliability tests to the Indonesian version of SOGS. Exploratory factor analysis (EFA) showed that all items in the Indonesian version of SOGS were found to have good content factor of > 0.4. The Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) value was 0.913 dan and the p value of Bartlett Test of Sphericity (BTS) was less than 0.001, indicating adequate sample size and inter-item correlation. The EFA conducted revealed 4 domains with an eigenvalue of >1, cumulatively contributing to a variance of 62.42%. Confirmatory factor analysis of the chosen model showed goodness of fit (chi-square = 1270 ; df=166 ; p-value= 0.0000 ; RMSEA = 0.048 ; CFI= 0.99 ; AIC= 1358.72; TLI= 0.99; SRMR= 0.031). The reliability test showed one corrected item in the Indonesian version of SOGS with a total correlation of less than 0.3 (0.261). The Cronbach’s alpha value of the Indonesian version of SOGS was 0.879 with or without omitting item SOGS 4. The prevalence of gambling disorder (GD) was determined using the Indonesian version of SOGS. With a sample size of 5810, with point 8 included, 57 subjects suffered from GD. Therefore, we concluded that the prevalence of GD in Indonesia was 1%. The Indonesian version of SOGS consists of 20 questions with 4 domains corresponding to the DSM criteria for gambling disorder. The Indonesian version of SOGS has good validity and reliability, indicating good performance for gambling disorder screening in Indonesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Hermawanto
Abstrak :
Amfetamin merupakan salah satu NAPZA yang paling banyak digunakan di Indonesia. Salah satu komponen penting dalam penatalaksanaan penggunaan stimulan tipe amfetamin (STA) adalah mencegah terjadinya gejala putus zat. Penggunaan repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (rTMS) dapat digunakan sebagai salah satu modalitas terapi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penggunaan rTMS untuk mencegah gejala putus zat pada pengguna STA. Penelitian ini dilakukan secara kuasi eksperimental dengan 18 pria pengguna STA. Subjek dikelompokkan menjadi 2 kelompok. Kelompok perlakuan mendapatkan terapi rTMS 10 Hz selama 10 sesi dalam 2 periode, masing-masing 5 sesi. Evaluasi gejala putus zat dilakukan pada hari pertama, keenam dan ketiga belas. Penelitian ini menemukan adanya perbedaan signifikan gejala putus zat pada hari keenam pada kedua kelompok (p: 0,003; effect size: 1,163; 95% CI: 0,457-1,869). Pada kelompok perlakuan, gejala putus zat secara signifikan berkurang pada hari keenam (p: 0,047) dan dipertahankan hingga hari ketiga belas (p: 0,015). Sedangkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan gejala putus zat pada hari keenam dan baru mengalami penurunan yang signifikan pada hari ketiga belas (p: 0,002). Studi ini menyimpulkan bahwa penggunaan rTMS efektif dalam mempercepat terjadinya perbaikan gejala putus zat pada pengguna STA. ......Amphetamines are one of the most widely used drugs in Indonesia. One of the important components in amphetamine-type stimulants (STA) therapy is to prevent withdrawal symptoms. The repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (rTMS) can be used as a therapeutic modality. The aim of this study was to determine the effectiveness of using rTMS to prevent withdrawal symptoms in STA users. This study was conducted in a quasi-experimental with 36 male STA users. Subjects were grouped into 2 groups. The treatment group received 10 Hz rTMS therapy for 10 sessions in 2 periods, 5 sessions each. Evaluation of withdrawal symptoms was carried out on the first, sixth and thirteenth days. This study found a significant difference in withdrawal symptoms on the sixth day between two groups (p: 0.003; effect size: 1.163; 95% CI: 0.457-1.869). In the treatment group, withdrawal symptoms were significantly reduced on the sixth day (p: 0.047) and maintained until the thirteenth day (p: 0.015). Meanwhile in the control group, there was an increase in withdrawal symptoms on the sixth day and only experienced a significant decrease on the thirteenth day (p: 0.002). This study concludes that the use of rTMS is effective in accelerating the improvement of withdrawal symptoms in STA users.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tetra Arya Saputra
Abstrak :
Latar Belakang: Pandemi coronavirus disease 2019 (COVID-19) dihubungkan dengan peningkatan kejadian gangguan psikiatri. Tenaga kesehatan sebagai barisan terdepan dalam penanganan pasien COVID-19 memiliki risiko tinggi untuk mengalami gangguan cemas. Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi gangguan cemas pada tenaga kesehatan saat pandemi COVID-19 di RSUP Persahabatan dan mengetahui faktor-faktor yang memengaruhinya. Metode: Desain penelitian ini adalah studi deskriptif potong lintang dengan melakukan wawancara kepada dokter dan perawat yang bertugas di ruang perawatan COVID-19 serta memenuhi kriteria inklusi. Penelitian ini menggunakan Instrumen Penilaian Gangguan Jiwa MINI ICD-10 (Mini International Neuropsychiatric Interview Version ICD-10), kuesioner PSQI (Pittsburgh Sleep Quality Index) dan kuesioner peristiwa hidup Holmes-Rahe. Penelitian dilakukan pada periode Januari-Oktober 2021 dengan Teknik pengambilan sampel secara consecutive sampling sampai seluruh sampel tercakup dalam penelitian. Hasil: Didapatkan 106 subjek penelitian dengan rerata usia adalah 30,57±4,8 tahun. Terdiri dari 34 orang dokter dan 72 perawat. Jumlah subjek yang mengalami gangguan cemas sebanyak 23 orang (22%). Jenis gangguan cemas yaitu agorafobia (10,4%), gangguan panik (5,7%), sosialfobia (4,7%), gangguan obsesif kompulsif (0,9%), gangguan cemas menyeluruh (9,4%) dan stres pasca trauma (0,9%). Berdasarkan analisis bivariat didapatkan hubungan bermakna antara pekerjaan dengan gangguan cemas (p=0,025) namun tidak didapatkan hubungan bermakna antara peristiwa hidup dengan gangguan cemas. Analisis multivariat didapatkan faktor-faktor yang memengaruhi gangguan cemas pada tenaga kesehatan di masa pandemi COVID-19 adalah ruang perawatan dan komorbid. Kesimpulan: Prorporsi gangguan cemas pada tenaga kesehatan yang bekerja di ruang perawatan COVID-19 di RSUP Persahabatan adalah 22% dengan jenis gangguan cemas terbanyak adalah agorafobia. Faktor-faktor yang memengaruhi gangguan cemas yaitu ruang perawatan dan komorbid. ......Background: Coronavirus disease 2019 (COVID-19) pandemic associated with an increased incidence of psychiatric disorder. Healthcare workers as a frontliner in caring COVID-19 patients have a high risk experiencing anxiety disorder. The aim of study is to determine the proportion of anxiety disorder in healthcare workers during COVDI-19 pandemic in RSUP Hospital and influencing factor. Methods: The design of study was descriptive cross sectional study with interview to doctor and nurse who discharge in COVID-19 ward and met the inclusion criteria of the study. This study used questionnaire MINI ICD-10 (Mini International Neuropsychiatric Interview Version ICD-10) questionnaire, PSQI (Pittsburgh Sleep Quality Index) questionnaire, and Holmes-Rahe questionnaire. The research was conducted from January to October 2021 with convenience sampling. The data was processed using SPSS 25 for statistic test. Results: Total subject 106 were recruited in this study with the mean age was 30,57±4,8 years old. Subject were of 34 doctors and 72 nurses. There were 23 subject (22%) experienced anxiety disorders. The types of anxiety disorders were agoraphobia (10,4%) panic disorder (5,7%), social phobia (4,7%), obsessive compulsive disorder (0,9%), general anxiety disorder (9,4%). Based on bivariate analysis, there was a significant association between health care workers with anxiety disorder (p=0.025) but there was no significant association between life event with anxiety disorder. The multivariate analysis that the influencing factors of anxiety disorder in medical healthcare workers during COVID-19 pandemic were working unit and comorbidities. Conclusion: The proportion of anxiety disorder in healthcare workers during COVID-19 pandemic in RSUP Persahabatan was 22% with the most type of anxiety disorder is agoraphobia. The influencing factor of anxiety disorder were working unit and comorbidities.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>