Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Parhusip, Santi Sumihar Rumondang
"Latar belakang : Inflamatory Bowel disease (IBD) merupakan penyakit autoimun yang insidens dan prevalensinya meningkat terus setiap tahunnya. Modernisasi dan kemajuan industri suatu wilayah selalu diikuti dengan perubahan pola hidup termasuk pola diet cepat saji (western diet) yang tinggi protein dan karbohidrat serta rendah serat dan buah. Diet, dapat merubah komposisi mikrobiota usus (dysbiosis), suatu bakteri komensal yang menjaga homeostasis dan sistim imun mukosa usus sehingga dapat memicu timbulnya IBD serta peningkatan aktifitas penyakitnya (flare).IgG yang meningkat setelah makan, merupakan suatu antibody neutralisasi sebagai bagian toleransi imun pada orang sehat dimana pada IBD makanan dapat dikenali sebagai antigen yang melalui ikatan antigen-antibodi reaksi hypersensitivitas tipe III, kemungkinan dapat menyebabkan inflamasi usus terus menerus dan mempengaruhi aktifitas penyakit.
Tujuan : Untuk mengetahui hubungan antara IgG antibodi spesifik makanan dan aktivitas penyakit klinis pada pasien IBD
Metode: Studi potong lintang, melibatkan 113 pasien IBD yang diagnosisnya telah dikonfirmasi dengan kolonoskopi. Pada pasien yang setuju dilakukan pemeriksaan serum IgG spesifik makanan untuk 220 jenis makanan menggunakan teknik Elisa dan Immunoarray. Aktivitas klinis pada Kolitis Ulseratif (KU) dinilai menggunakan Indeks Mayo sedangkan pada Penyakit Crohn dinilai menggunakan Indeks Aktivitas Penyakit Chrons (Crohn Disease Activity Index)
Hasil: Proporsi antibodi IgG spesifik makanan tertinggi pada kelompok penyakit Crohn adalah kacang polong (100%), barley (97,9%), telur (95,9%), susu (81,6%), jagung (75,5%), agar-agar (69,4). %), kacang mede (69,4%) gandum (67,3%), oat (61,2%) dan almond (59,2%), sedangkan pada Kolitis Ulseratif adalah jelai (98,4%), kacang polong (96,8%), putih telur (92,2%), jagung (82,8%), plum (78,1%), kacang mede (67,2%), susu sapi (65,6%), gelatin (59,4%), almond (50%), kacang merah (48,4%) dan gandum (46,9%). Dari 220 jenis antigen makanan, pada KU didapatkan korelasi negatif yang cukup kuat pada jenis kacang mede dengan r = -0,347 (p=0,041) dan kacang Arab dengan r = -0.473 ( p=0.017); sementara di kelompok PC didapatkan korelasi positif yang cukup kuat pada jenis jelai dengan r = 0,261 ( p= 0,042).
Kesimpulan: Terdapat hubungan korelasi negative lemah antara antibodi IgG spesifik kacang mede, dan kacang Arab dengan aktifitas IBD, serta korelasi positive lemah antara antibody IgG spesifik jelai dengan aktivitas klinis IBD

Background : Inflammatory Bowel disease (IBD) is an autoimmune disease whose incidence and prevalence is increasing every year. Modernization and industrial progress of a region are always followed by changes in lifestyle, including a fast food diet (western diet) which is high in protein and carbohydrates and low in fiber and fruit. Diet, can change the composition of the gut microbiota (dysbiosis), a commensal bacteria that maintains homeostasis and the intestinal mucosal immune system so that it can trigger IBD and increase its disease activity (flare). IgG which increases after eating, is a neutralizing antibody as part of immune tolerance in humans. In healthy people, food IBD can be recognized as an antigen by triggering the antigen-antibody binding type III hypersensitivity reaction, possibly causing persistent intestinal inflammation and influencing disease activity.
Objective : To determine the relationship between food-specific IgG antibody and clinical disease activity in IBD patients
Methods: Cross-sectional study, involving 113 IBD patients whose diagnosis was confirmed by colonoscopy. In patients who agreed, food-specific IgG serum was examined for 220 types of food using the Elisa and Immunoarray technique. Clinical activity in Ulcerative Colitis (KU) was assessed using the Mayo Index while in Crohn's Disease was assessed using the Crohn Disease Activity Index.
Results: The highest proportion of food-specific IgG antibodies in the Crohn's disease group were peas (100%), barley (97.9%), eggs (95.9%), milk (81.6%), corn (75.5%), agar (69,4). %), cashews (69.4%) wheat (67.3%), oats (61.2%) and almonds (59.2%), while in Ulcerative Colitis were barley (98.4%), peas (96.8%), egg whites (92.2%), corn (82.8%), plums (78.1%), cashews (67.2%), cow's milk (65.6%), gelatin (59.4%), almonds (50%), kidney beans (48.4%) and wheat (46.9%). Of the 220 types of food antigens, the KU showed a strong negative correlation with cashew nuts with r = -0.347 (p=0.041) and chickpeas with r = - 0.473 (p=0.017); while in the PC group, there was a fairly strong positive correlation on the type of barley with r = 0.261 (p = 0.042).
Conclusion: There is a weak negative correlation between cashew and chickpea specific IgG antibodies and IBD activity, and a weak positive correlation between barley specific IgG antibodies and IBD clinical activity
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Prasna Pramita
"Latar Belakang: Cutaneous Adverse Drug Reaction (CADR) dapat memengaruhi tatalaksana infeksi TB. Hal ini berdampak pada bukan hanya morbiditas dan mortalitas tapi juga resistensi kuman. Untuk itu, proporsi CADR dan faktor-faktor yang berhubungan pada penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) perlu ditentukan demi tatalaksana pasien yang komprehensif.
Tujuan: Mengetahui gambaran kejadian CADR terkait pemberian OAT dalam bentuk proporsi, analisis peran faktor pejamu yang berkaitan dengan kejadian tersebut, dan OAT yang paling sering menimbulkan CADR. Metode: Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif dengan menggunakan rekam medik pasien Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo selama 1 Januari 2014
hingga 30 Juni 2015. Sampel diperoleh dengan metode konsekutif yang diseleksi berdasarkan kriteria penelitian. Data kemudian dianalisis untuk menilai hubungan antara CADR dengan usia, jenis kelamin, status HIV, status gizi, dan riwayatmlkojuujhjh Adverse Drug Reaction (ADR). Hasil: Proporsi CADR pada pemberian OAT mencapai angka 5,5%. Dari kelima variabel independen, variabel usia (RR=6,510; IK95% 2,036-20,819 p=0,008) dan riwayat ADR (RR=5,174; IK95% 1,500-17,838; p=0,009) berpengaruh terhadap kejadian CADR. OAT yang paling sering menyebabkan kejadian CADR adalah
rifampisin. Analisis Cochran Mantel-Haenszel menunjukkan bahwa risiko relatif terjadinya CADR untuk faktor usia adalah 7,267 (IK95% 2,093-25,235 p <0,001) dan risiko relatif terjadinya CADR untuk faktor riwayat ADR adalah 5,880 (IK95% 1,552-22,273 p=0,003). Simpulan: Proporsi kejadian CADR setelah pemberian OAT adalah 5,5%. Variabel usia dan riwayat ADR bermakna secara statistik dan klinis terhadap kejadian CADR. Rifampisin adalah OAT tersering yang menimbulkan CADR.

Background: Cutaneous Adverse Drug Reaction (CADR) affected the therapy of TB, which impacted not only its morbidity and mortality but also its resistance. Therefore, the incidence of CADR and the factors associated during the
administration of Anti Tuberculosis Drugs (ATDs) needed to be determined in order to achieve comprehensive treatment.
Objective: To know CADR events on ATD administration by finding the incidence, analyzing the host factors associated with those events, and searching the most common ATD that caused CADR. Methods: This study used retrospective cohort by accessing medical record registered in Cipto Mangunkusumo Hospital from January 1st 2014 until June 30th 2015. Samples were collected consecutively, selected by certain criteria. The data were then analyzed to determine the association between CADR and age, sex, HIV infection, nutritional status, and history of Adverse Drug Reaction (ADR). Results: The incidence of CADR after the administration of ATD was 5.5%. Among the five variables, age (RR=6.510; 95%CI 2.036-20.819, p=0.008) and past history of ADR (RR=5.174; 95%CI 1.500-17.838; p=0.009) were statistically and clinically correlated to CADR. The most frequent drug that triggered CADR was rifampicin. Cochran Mantel-Haenszel showed that the relative risk of CADR according to age was 7,267 (IK95% 2,093-25,235 p <0,001), while the relative
risk according to the past history of ADR was 5,880 (IK95% 1,552-22,273 p=0,003). Conclusions: The incidence of CADR after ATDs administration was 5.5%. Age and past history of ADR were significantly associated with CADR. The most common ATD causing CADR was rifampicin.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library