Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ardi Juardiman
"Kondisi bangsa Idonesia akhir-akhir ini merupakan gambaran keseluruhan dari kondisi manusia Indonesia seutuhnya. Dengan intensitas konflik yang teramat tinggi dan rentannya keadaan bangsa untuk terciptanya konflik tersebut menggambarkan sebuah kondisi bahwa betapa rendahnya kualitas moral bangsa ini, khususnya moral keagamaan. Hermeneutika sebagai suatu studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dijadikan metode dalam penulisan skripsi ini. Pemikiran kebebasan eksistensial-religius Kierkegaard diinterpretasikan sebagai suatu jalan yang dapat membawa bangsa ini pada tingkat kedewasaan moral keagamaannya. Pemikirannya yang asosial dapat dijadikan dasar eksistensial seorang individu untuk menuju kepada kehidupan sosialnya. Pemikiran Kierkegaard diinterpretasikan sebagai suatu pemikiran yang dapat menjadikan masyarakat Indonesia mampu mencapai tingkat kedewasaan moralnya. Untuk menciptakan suatu babak baru kedewasaan moral keagamaan pada bangsa ini dibutuhkan suatu keseriusan dan komitmen dari setiap individu yang ada di bangsa ini, keseriusan untuk mau berubah dan komitmen untuk menuju kepada keadaan yang lebih baik.

The Condition for the Idonesia nation lately was the picture of the whole of the condition for Indonesian humankind entirely. With the intensity of his very high and susceptible conflict the nation situation for this conflict creation depicted a condition that how low is the moral quality of this nation, especially moral piety. Hermeneutika as a study about principles metodologis the interpretation was made the method in the writing of this thesis. Freedom thinking eksistensial-religious Kierkegaard was interpreted as a road that could bring this nation in the level of the moral maturity of his piety. His thinking that was asocial could be made the foundation eksistensial an individual to head to his social life. Kierkegaard thinking was interpreted as a thinking that could make the Indonesian community could achieve the level of his moral maturity. To create a new round the moral maturity of piety was to this nation needed by a seriousness and the commitment from each available individual in this nation, seriousness to want to change and the commitment to head to the better situation."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S16082
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ricko Nofriansah
"Multikulturalisme mendambakan tatanan masyarakat yang berbeda-beda identitas serta harmonis di dalam berbagai perbedaan tersebut. Akan tetapi, dalam sukacita perbedaan ini, masih terdapat konflik yang terjadi di berbagai kelompok masyarakat di dunia. Salah satu kasusnya yaitu fenomena konflik di Papua. Konflik panjang yang terjadi di Papua ini telah berlangsung sejak integrasi Papua ke dalam bagian Republik Indonesia sampai saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara filosofis dan memberikan pemaknaan terhadap konflik di Papua dengan menggunakan pemikiran Charles Taylor, salah satu filsuf yang memberikan banyak sumbangan pemikiran bagi multikulturalisme. Menurutnya, esensi atau inti yang paling dalam dari wacana multikulturalisme adalah perjuangan untuk mendapatkan pengakuan (rekognisi). Politik rekognisi mendorong masyarakat untuk memperjuangkan lahirnya tindakan untuk mempertahankan identitas yang unik di tengah perbedaan identitas dan budaya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, tinjauan kepustakaan melalui pendekatan analisis kritis. Berdasarkan tinjauan kepustakaan, disimpulkan bahwa konflik di Papua dilatarbelakangi oleh tiga diskursus, yaitu diskursus identitas, kekuasaan dan kebebasan yang berimplikasi terhadap terjadinya tindak kekerasan. Langkah dan kebijakan negara dalam penyelesaian konflik di Papua menjadi catatan penting dalam penelitian ini, utamanya agar selaras dengan semangat multikulturalisme di Indonesia.

Multiculturalism craves a different and harmonious social order within these differences. However, in the joy of this difference, there are still conflicts that occur in various groups of people in the world. One case is the phenomenon of conflict in Papua. This long conflict in Papua has been ongoing since the integration of Papua into parts of the Republic of Indonesia to the present. This study aims to analyze philosophically and give meaning to the conflict in Papua by using the ideas of Charles Taylor, one of the philosophers who made many contributions to multiculturalism. According to him, the essence or the deepest core of multiculturalism discourse is the struggle for recognition (recognition). The politics of recognition encourages people to fight for the birth of actions to maintain a unique identity amid differences in identity and culture. The research method used is a qualitative method, literature review through a critical analysis approach. Based on a literature review, it was concluded that the conflict in Papua was motivated by three discourses, namely the discourse on identity, power and freedom that had implications for violence. The steps and policies of the state in resolving conflict in Papua are important notes in this study, especially in order to be in harmony with the spirit of multiculturalism in Indonesia."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ari Saptahadi
"ABSTRAK
Berbagai macam kasus kerusakan lingkungan alam yang marak terjadi diduga
bersumber pada kesalahan fundamental dalam pemahaman atau cara pandang
manusia dalam berinteraksi dengan alam dan keseluruhan ekosistem. Kesalahan
tersebut terdapat pada cara pandang manusia yang antroposentris sehingga perilaku
dan tindakan manusia lebih eksploitatif bahkan destruktif terhadap alam. Hal tersebut
membuktikan bahwa manusia mendominasi atas alam, dimana manusia merasa
kedudukannya lebih tinggi daripada alam dan merasa hanya manusia yang memiliki
nilai. Terkait dengan berbagai krisis lingkungan yang diakibatkan oleh perilaku dan
tindakan manusia, fenomena pemanasan global muncul sebagai dampak dari perilaku
dan tindakan manusia yang terwujud dalam kegiatan pembangunan dan industri
kapitalistis yang telah berlangsung sejak revolusi industri. Kegiatan tersebut
memberikan kontribusi negatif berupa emisi gas rumah kaca (GRK) yang
konsentrasinya semakin lama semakin meningkat di atmosfer sehingga menyebabkan
pemanasan global. Pemanasan global merupakan krisis lingkungan global yang
berpotensi menimbulkan dampak yang berbahaya (catastrophic) bagi lingkungan
alam dan mahluk hidup di bumi termasuk manusia. Maka diperlukan suatu perubahan
baik sikap, perilaku, dan tindakan untuk menanganinya. Pendekatan dialektis Marx
mengenai suatu pemulihan dan kelangsungan alam perlu dipertimbangkan untuk
menangani permasalahan ini. Selain itu, peran etika lingkungan sangat berpengaruh
dan bisa dijadikan landasan dalam merubah pola pikir dan cara pandang yang baru
terhadap alam supaya relasi antara manusia dan alam bisa terjalin dengan baik dan
harmonis.

ABSTRACT
Many cases of natural environment destruction which is occurred based on
fundamental mistakes in understanding or insight of human beings in doing
interactions with nature and the whole ecosystems. Those mistakes are in the human
being's insight which is anthropocentric so that the human's habits and attitudes in
doing something are more explorative, even destructive against the nature. It proves
that human being is dominating upon the nature, whereas they think that human being
has more precious things than the nature and human being only which has value.
Based on the various crisis of environment which is caused by human being?s
attitude, global warming phenomenon appears as an impact by human being?s
attitude. It appears which caused by human being?s action in development and
capitalistic industry since the beginning of Industry Revolution. Those actions have
given negative contributions such as greenhouse gases (GHG) emission which have
more concentration in the atmosphere so it makes global warming. Global warming is
a global crisis of environment which can make dangerous impacts (catastrophic) for
natural environment and all living being in the earth as well as human being.
Therefore some changes are needed to handle such as attitude changes and habit
changes. Dialectic Marx?s approaching about some recoveries and some continuity of
the nature is needed to be considered to solve these problems. Besides, the role of the
environment ethics is very influencing and can be a basic about mind changing and a
new insight to the nature so that the relation between human being and the nature can
be a good combination well and harmonic.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43647
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Pati Hadikara
"Keberagaman merupakan suatu ciri khas identitas yang selalu melekat pada nilai-nilai sosial
budaya masyarakat Indonesia. Keberagaman juga menjadi motto bangsa Indonesia yang mempersatukan perbedaan yang ada, dalam nilai-nilai multikulturalisme. Namun pemahaman atas makna keberagaman ini tampak belum bisa membawa masyarakat Indonesia mengerti hingga ke akar pengertian atas keberagaman itu sendiri. Hingga sering sekali, kita melihat banyaknya perpecahan dan salah pengertian tentang bentuk keragaman yang ada didalam masyarakat Indonesia itu sendiri. Dengan demikian penulis mencoba untuk memberikan sedikit pandangannya terhadap persoalan atas ragam yang ada dengan menulis sebuah artikel ilmiah. Dengan menggunakan metode Dekonstruksi Jacques Derrida, teori Dekonstruksi Jacques Derrida digunakan dalam penelitian ini untuk membongkar dan merekonstruksi ulang makna keberagaman. Hal tersebut akan memperkaya pemahaman dan pengertian atas bentuk keberagaman yang ada di dalam masyarakat Indonesia itu sendiri. Dengan begitu masyarakat Indonesia dengan sendirinya bisa paham dan mengerti lebih baik tentang makna keberagaman. Dengan hasil penelitian bahwa perlunya rekonstruksi pemaknaan ulang makna keberagaman dengan sikap kritis, revitalisasi budaya hingga Pendidikan multikultural.
Diversity is a characteristic of identity that is always attached to social values Indonesian culture. Diversity is also the motto of the Indonesian nation which unites existing differences, in the values ​​of multiculturalism. However, this understanding of the meaning of diversity does not seem to be able to bring Indonesian people to understand the roots of the understanding of diversity itself. Until very often, we see many divisions and misunderstandings about the forms of diversity that exist within Indonesian society itself. Thus the author tries to provide a bit of his views on the problem of the existing variety by writing a scientific article. By using Jacques Derrida's Deconstruction method, Jacques Derrida's Deconstruction theory is used in this study to dismantle and reconstruct the meaning of diversity. This will enrich the understanding and understanding of the forms of diversity that exist within Indonesian society itself. That way the Indonesian people themselves can better understand and understand the meaning of diversity. With the results of the research that it is necessary to reconstruct the meaning of diversity with a critical attitude, cultural revitalization to multicultural education."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anand Amanta
"Penelitian ini berfokus pada analisis kritis serta upaya menawarkan teori Etika Keadilan Ekologis sebagai landasan filosofis dalam pelaksanaan Corporate Social Responsibilities (CSR) oleh perusahaan. Pemikiran etika keadilan ekologi dari Holmes Rolston III menjadi teori yang dianalisa dan direfleksikan pada tulisan ini. Pelaksanaan CSR yang mayoritas masih terpaku dengan paradigma antroposentrisme dan pandangan dualistik yang berakibat pada kerusakan lingkungan, memerlukan transformasi paradigma yang lebih ekosentris tanpa merusak suprastruktur ekonomi. Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yang didasarkan pada kajian pustaka yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa etika keadilan ekologis dapat menjadi landasan filosofis serta kerangka kerja yang komprehensif serta inovatif dalam pelaksanaan CSR. Etika ini tidak hanya berfokus pada keuntungan ekonomi, tetapi juga pada keadilan dan keberlanjutan lingkungan.

This research focuses on critical analysis as well as efforts to offer ethical theories of ecological justice as a philosophical foundation in the implementation of Corporate Social Responsibilities (CSR) by companies. The ethical thought of ecological justice from Holmes Rolston III is a theory that is analyzed and reflected in this paper. The implementation of CSR, the majority of which is still fixated on the anthropocentric paradigm and dualistic views that result in environmental damage, requires a more ecocentric paradigm transformation without damaging the economic superstructure. In this paper, the author uses qualitative research methods based on the review of relevant literature. The results show that the ethics of ecological justice can be a philosophical foundation as well as a comprehensive and innovative framework in the implementation of CSR. This ethic focuses not only on economic gain, but also on environmental justice and sustainability."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Idrus Wintama
"Penelitian ini berfokus kepada pembahasan mengenai pencarian makna hidup di balik penderitaan dalam karya light novel Re: Zero Kara Hajimeru Isekai Seikatsu karangan Nagatsuki Tappei.  Analisis terhadap novel ini dilakukan dengan menggunakan pemikiran eksistensialisme Viktor Frankl. Di tengah populernya permasalahan sosial seperti fenomena N.E.E.T, diperlukan sebuah mutiara kehidupan terutama untuk para remaja terkait dengan semangat untuk mencari makna hidup. Dalam penulisan artikel tugas akhir ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu metode kajian literatur dengan menggunakan literatur kepustakaan sebagai basis dalam mengumpulkan sumber data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis terhadap novel Re: Zero dengan menggunakan pemikiran Viktor Frankl mengantarkan pada penemuan akan sikap pantang menyerah yang ditunjukkan oleh Natsuki Subaru dalam menemukan makna di balik penderitaan dapat berlaku untuk semua kalangan. Karakter Natsuki Subaru juga dapat menjadi inspirasi khususnya bagi para remaja dalam menyikapi penderitaan hidup secara konstruktif; dengan menumbuhkan sikap optimisme dalam menghadapi berbagai rintangan yang penuh dengan penderitaan.

This research focuses on the discussion of the search for the meaning of life behind suffering in the light novel Re: Zero Kara Hajimeru Isekai Seikatsu by Nagatsuki Tappei using the thought of existentialism Viktor Frankl. In the midst of the popularity of the social problems such as the N.E.E.T., an insight is needed especially for teenagers related to the spirit to find the meaning of life. In writing this final project article, the author uses qualitative research methods namely literature review methods using literature as a basis for collecting data sources. The results showed that there is a compatibility between Natsuki Subaru's character and Viktor Frankl's thinking, and how Natsuki Subaru's persistence in finding the meaning behind suffering can be applied for all ages. Natsuki Subaru's character can also be an inspiration especially for teenagers in responding to dynamic life development. By always instilling an attitude of optimism and never giving up even though you have to face various obstacles that are very suffering."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Galih Kubro Saputro
"Carok merupakan tradisi masyarakat Madura yang digunakan untuk menyelesaikan konflik. Carok dilakukan dengan adu duel (menggunakan senjata celurit) hingga ada korban yang mati atau luka berat. Faktor penyebab terjadinya carok antara lain perempuan, warisan, dendam lama, dan sengketa tanah. Penelitian ini bertujuan menganalisis budaya carok dalam sudut pandang etika. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, kepustakaan, Thought Experiments. Kerangka teori dari penelitian ini yaitu pedekatan etika Joseph Butler tentang egoism, benevolence, and conscience. Teori tersebut digunakan dalam menjelaskan tindakan moral dalam carok. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa terdapat penyimpangan dalam carok; pertama, tidak ada perjanjian yang ditentukan bersama; kedua, tidak mengutamakan musyawarah dengan tujuan damai; ketiga, hanya atas dasar emosi dan nafsu; ke empat, perbedaan pandangan; ke lima, tidak menggunakan senjata celurit sebagai salah satu aturan dalam carok. Dari sudut pandang Joseph Butler, seseorang yang melakukan carok karena ia tidak dapat merefleksikan pikirannya sehingga nafsu dan doronggan lain diluar kehendak menguasainnya. Butler memberikan solusi terhadap tindakan carok, yaitu konsep self-love yang merupakan bagian dari hati nurani yang mengatur segala tindakan. Jadi, ketika ingin melakukan carok, setiap orang harus mempertimbangakan pilihan yang lain berdasarkan hati nurani.

Carok is a tradition of Madurese people who are used to resolve conflicts. Carok is carried out by dueling (using sickle weapons) until there are victims who die or are seriously injured. Factors causing carok include women, inheritance, old revenge, and land disputes. This study aims to analyze carok culture in an ethical perspective. The research method used is qualitative methods, literature, Thought Experiments. The theoretical framework of this study is Joseph Butlers ethical approach to egoism, benevolence, and conscience. The theory is used in explaining moral actions in carok. The results of this study are that there are deviations in carok; first, there is no agreement that is determined jointly; second, do not prioritize deliberations with peaceful purposes; third, only on the basis of emotion and lust; fourth, different views; fifth, not using celurite weapons as one of the rules in carok. From the point of view of Joseph Butler, someone who does carok because he cannot reflect his mind so that lust and other impulses are beyond the will to master it. Butler provides a solution to carok actions, namely the concept of self-love which is part of a conscience that governs all actions. So, when you want to do carok, everyone must consider other choices based on conscience."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ronaldo David
"Tulisan ini membahas Film The Act of Killing.  Persoalan yang diteliti adalah relasi kekerasan, kekuasaan, dan banalitas kejahatan melalui pemikiran Hannah Arendt. Arendt melihat kekuasaan harus dibebaskan dari kekerasan, sebab penggunaan kekerasan dalam kekuasaan mendorong negara terperangkap dalam totalitariasnime. Kekerasan demi kekerasan dalam masyarakat berpotensi memunculkan ketakutan, hilangnya ruang publik, dan intersubjektivitas. Akibatnya, bagi masyarakat kejahatan akan dilihat sebagai hal biasa yang dalam istilah Arendt sebagai banalitas kejahatan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tendensi totalitarianisme tampak ketika negara memutuskan untuk melakukan pembantaian atas pengikut PKI dan etnis Cina melalui kekuasaan yang mengedepankan kekerasan. Kebersatuan antara kekuasaan dan kekerasan dalam film dokumenter ini tidaklah memperlihatkan relasi yang ideal. Para pelaku pembantaian (Anwar Congo dan Adi) adalah algojo-algojo negara yang memandang dan melakukan kejahatan (pembantaian) sebagai hal yang biasa. Sikap demikian menunjukkan dengan jelas terwujudnya banalitas kejahatan dimana keberpikiran, pertimbangan nurani, sebagai akibat kepatuhan buta terhadap kebijakan negara menghilang.

This paper discusses The Act of Killing Film which focused on the issue of violence, power, and banality of crime through the thoughts of Hannah Arendrt. Arendt sees violence must be released from power, because the use of violence in power will encourage the state to be caught up in totalitarianism. Violence for the sake of violence that occurs in society will create fear, loss of public space, and intersubjectivity. As a result, crime for the community will be seen as a normal thing so that it will easily to act as a banal criminal, namely the situation of ignorance, the emergence of obedience to blindness and death of conscience. The results of the study shows that the tendency of totalitarianism was apparent when the state decided to carry out massacres of PKI followers and Chinese ethnic through power that promoted violence. The unity between power and violence in this film does not show an ideal relationship. The perpetrators of the massacre (Anwar Congo and Adi) are state executioners who view crime as a normal thing. Such an attitude shows clearly the realization of a banality of crime where the thought, conscience, is lost due to blind obedience to state policy."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nathaniel Bagas Pranadhitama
"Penelitian ini berfokus pada bagaimana kendaraan bermotor pribadi dapat menciptakan ruang abstrak dan mengalienasi pejalan kaki. Alienasi di perkotaan dapat terjadi akibat dominasi ruang abstrak yang merupakan ruang yang dihasilkan dari imajinasi para elite. Melalui pembentukan ruang perkotaan, para elite dapat memenuhi imaji mereka akan ruang alih-alih membangun ruang bagi masyarakat yang hidup di dalam ruang. Ruang yang diciptakan pun lebih akomodatif kepada kendaraan bermotor pribadi, yang secara otomatis akan mempengaruhi bentuk ruang di perkotaan. Dengan metode standpoint epistemologi, penelitian ini berusaha mengangkat pentingnya pengalaman dan kebutuhan para pejalan kaki sebagai minoritas kota yang masih tersingkir dari ruang-ruang kota, akibat abainya para elite penguasa kota terhadap mereka. Hasilnya, dapat ditemukan gap epistemlogis antara pejalan kaki dengan mereka yang merencanakan pembentukan ruang kota. Gap ini tercipta karena pejalan kaki sering tidak dilibatkan dalam perencanaan ruang kota, yang membuat para elite perkotaan tidak mengetahui pengalaman subjektif dari para pejalan kaki. Pejalan kaki pada akhirnya tersingkir dan merasa teralienasi dari lingkungan perkotaan yang lebih akomodatif terhadap kendaraan bermotor pribadi.

This research focuses on how private motorized vehicles can create abstract spaces and alienate pedestrians. Alienation in urban areas can occur as a result of the domination of abstract spaces which are spaces created by the imagination of the elites. Through the formation of urban space, the elites can fulfill their image of space instead of building space for people who live in space. The space created by the elites is also more accommodating to private motorized vehicles, which will automatically affect how urban spaces are shaped. Through the method of standpoint epistemology, this study seeks to highlight the importance of the experiences and needs of pedestrians as an urban minority who are still excluded from urban spaces, due to the neglect of the urban ruling elites towards them. As a result, an epistemological gap can be found between pedestrians and those who plan the formation of urban spaces. This gap is created because pedestrians are often excluded when urban spaces are planned, which makes urban elites unaware of their subjective experience. Pedestrians are eventually eliminated and feel alienated from urban environments that are more accommodating to private motorized vehicles.

"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Adi Saputro
"Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman suku, budaya, dan ras. Akan tetapi, pluralitas yang ada saat ini sedang diuji dalam penyelesaian terhadap permasalahan Papua. Salah satu peristiwa yang menjadi awal perdebatan adalah hasil dari Perjanjian New York tahun 1962. Konflik Papua telah ada sejak masa transisi dari orde lama ke orde baru. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh militer dalam upayanya untuk menyelesaikan konflik Papua seringkali menjadi cara untuk meredam justru memperpanjang konflik. Sejak masa orde baru penggunaan kekuatan militer semakin meningkat dan hingga saat ini pendekatan militeristik masih gencar dilakukan. Tidak hanya berhenti di situ saja, isu lain yang menjadi persoalan di Papua adalah kemiskinan yang terjadi. Persoalan lain yang muncul adalah diskriminasi dan rasisme yang ditujukan kepada orang asli Papua. Dengan menggunakan konsep rekognisi dari Axel Honneth. Rekognisi adalah perjuangan untuk pengakuan untuk mengubah kondisi yang ada di dalam masyarakat. Penelitian ini berusaha untuk mengungkap permasalahan fundamental dan merefleksikan konflik Papua dalam pendekatan filosofis. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis konseptual, refleksi kritis, dan abduksi. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konflik Papua telah menjadi patologi sosial dan orang asli Papua itu sendiri juga harus terlibat aktif sebagai subjek yang mengemansipasi dirinya dan bukan lagi sebagai objek pembangunan semata.

Indonesia is a country that has ethnic, cultural and racial diversity. However, the current plurality is being challenged in solving the Papuan problem. One of the events that started the debate was the outcome of the 1962 New York Agreement. The Papuan conflict has existed since the transition from the old order to the new order. Violent acts carried out by the military in its efforts to resolve the Papuan discord are often a way to dampen and prolong the conflict. Since the New Order era, the use of military force has been increasing and until now, the militaristic approach is still being carried out vigorously. It doesn't just stop there, an additional issue in Papua is the problem of poverty. That results in discrimination and racism directed at indigenous Papuans. Using the concept of recognition from Axel Honneth. Recognition is struggle for changing the reality that happens in society. This study seeks to uncover fundamental problems and reflect on the Papuan conflict in a philosophical approach. The method used in this research is conceptual analysis, critical reflection, and abduction. The results of this study indicate that the Papuan conflict has become a social pathology and the indigenous Papuans themselves must also be actively involved as subjects who emancipate themselves and are no longer mere objects of development.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>