Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Situmorang, Bernadet Rosinta Nirmala
Abstrak :
Penelitian ini berangkat dari keinginan untuk memperkaya kritik sastra feminis Indonesia dengan deskripsi orientasi dan pilihan menjadi lesbian dalam teks naratif fiksi, serta keinginan untuk membongkar pengkotakan, mitos, stereotipe, peran, dan posisi perempuan. Yang dianalisis adalah bias sistem gender dalam menggambarkan identitas, relasi, pemikiran perilaku, dan komunitas tokoh lesbian. Sumber data adalah Lines, Kumpulan Cerita Perempuan di Garis Pinggir karya Ratri M. (2000) dan novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini (2000). Penelitian ini menemukan bahwa pertimbangan dan keputusan untuk menjadi lesbian merupakan pilihan hidup, pilihan politis, proses pembelajaran, dan merupakan bakat alamiah atau genetis. Lesbian dicitrakan sebagai perempuan yang otonom dan sadar akan eksistensinya, tidak ragu untuk melakukan perlawanan dan pendobrakan terhadap nilai-nilai budaya. Debat di seputar peran jender atau peran feminin dan maskulin dalam semua cerita tidak mendapat porsi yang signifikan karena tidak merupakan pembagian yang kaku dan mutlak kebenarannya. Semua teks menunjukkan komitmen untuk melawan patriarki dan seksisme dengan melakukan dekonstruksi budaya heteropatriarkal, terutama heteroseksual. Dengan menampilkan ide dan mitos yang berbeda, teks juga membuka wacana bagi budaya androgini, mengakomodasi model peran yang beragam, mempromosikan persaudaraan, dan menumbuhkan kesadaran.
Content Analysis from Feminist Perspective and Deconstruction of Lesbianism Thinking on Fiction Narrative Texts in Lesbian's Subject MatterThis research is intended to enrich feminist literary critique in Indonesia by describing the orientation and choice to be lesbian, who was found in fiction narrative texts, and by deconstructing myths, stereotypes, roles, and positions of women. I analyse gender system bias in describing lesbians' identities, relations, opinions, attitudes, and communities. Sources of data are Lines, Kumpulan Cerita Perempuan di Garis Pinggir by Ratri M. (2000) and Tartan Bumi by Oka Rusmini (2000). This research finds that consideration and decision to be lesbian are choice of life, politics' choice, learning process, and nature or genetic. Lesbians' images are autonomous, aware of their existence, strongly to resist, and deconstruct cultural values. Debates regarding gender roles or feminine and masculine roles in the texts are not important, because those roles are discussable and flexible. All of texts show the commitment to fight patriarchy and sexism by deconstructing heteropatriarchal culture, especially heterosexual. Texts are open for androgyny's culture, various role models, promoting sisterhood and consciousness raising by presenting different ideas and myths.
2001
T9015
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosihan Fahmi
Abstrak :
Istilah 'Self' dalam filsafat Barat Modern menunjukkan sebagai identitas yang melekat pada diri seseorang. Konsepsi tentang 'Self' berbeda-beda sesuai dengan pendekatan yang digunakan masing-masing filsuf dalam memaknainya. Namun secara umum dapat dikatakan, perdebatan tentang konsepsi 'Self' dalam Filsafat Barat Modern, mengarah kepada autentisitas esensialis dan eksistensialis. Ketika dikaitkan masalah konsepsi 'Self' dalam filsafat Barat Modern dengan wacana Orientalisme "Timur" dan "Barat" yang dirumuskan oleh Edward W. Said, dalam bukunya Orientalisme, bisa jadi stereotype-stereotype seperti, rasional, beradab, dan dewasa, diciptakan "Barat" tentang keberadaannya atau identitasnya merujuk pada salah satu atau beberapa gagasan konsepsi filosofis tentang 'Self' apakah itu bersifat deteministik, anti-deterministik, atau mungkin pragmatisme. Karena, konsepsi 'Self' dalam filsafat Barat Modern secara umum, memungkinkan adanya pembenaran akan eksploitasi terhadap sesuatu yang berada diluar seperti benda-benda, alam semesta, dan bahkan manusia yang dilainkan sebagai objek. Konstruksi identitas yang dibangun "Barat" atas "Timur" oleh Edward W. Said, berhasil dikupas menjadi sebuah persoalan yang sebelumnya dianggap tidak ada dan ditiadakan yaitu persoalan kekuasaan imperialistik yang dibingkai oleh corak kebudayaan yang orientalistik. Secara epistemologis, Edward W. Said berhasil membongkar, menyikap, menelanjangi kebusukan kultural yang diklaim secara ilmiah oleh kekuasaan koloni. Sementara itu, ditingkat ontologi Edward W. Said berhasil membongkar, menyibak, dan menelanjangi pula penyebab akhir kekuasaan imperialistik yang dibingkai oleh nilai-nilai kemanusiaan, yaitu sifat-sifat yang secara menyeluruh dan mendasar adalah antikemanusiaan itu sendiri. Konsepsi 'Self' dan identitas manusia yang selama ini dianggap netral, terjadi dengan sendirinya, dan universal berhadapan dengan fakta yang dikemukakan Said. Maka 'Self', tidak bisa tidak harus dipahami, dalam konsepsi hibriditas dan autentisitas. Kesadaran akan kemungkinan terjadinya fundamentalisme kebudayaan inilah yang menjadikan kritik Said hanya sebagai gerbang bagi peninjauan ulang konsepsi 'Self' bagi manusia. Dalam upaya meredefinisi identitas, aspek autentisitas dan hibriditas menjadi rumusan yang tidak bisa dihindari, baik bagi "Timur" dan "Barat". Namun disisi lain, Said sendiri tidak melakukan perumusan atau menceritakan upaya Timur dalam merumuskan identitasnya. Dengan kata lain, Said seperti menyetujui bahwa Timur memang tak memiliki kemampuan untuk merumuskan atau menceritakan diri selain melalui suara orientalis dan kritikus- orientalis seperti Said.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
T15363
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosa Tosaini
Abstrak :
Indonesia merupakan negara terbesar yang mempunyai jumlah anak jalanan atau anak terlantar, di mana umumnya mereka tidak bersekolah atau putus sekolah. Krisis ekonomi yang terjadi diyakini berpengaruh besar terhadap peningkatan jumlah anak ini. Pada tahun 1998, Menteri Sosial menyatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah anak jalanan sekitar 400%. Pengaruh globalisasi yang berkembang dengan pesat, serta teknologi yang berkembang pesat, transfer ilmu pengetahuan dapat berkembang dan berpengaruh pada sistem pendidikan yang ada, baik antar negara maupun antar bangsa. Hal ini dapat dilihat dari realitas masalah pendidikan anak di Indonesia. Berdasarkan Iatar belakang tersebut, pokok pemasalahan dalam tesis ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana mengaitkan konsep pedagogi pengharapan Paulo Freire dengan solusi pemecahan masalah pendidikan anak jalanan? Permasalahan pokok tersebut akan diuraikan menjadi dua masalah, yaitu: Pertama, apa konsep pendidikan Paulo Freire tentang pedagogi kaum tertindas itu? Kedua, kenapa pedagogi pengharapan Paulo Freire dapat digunakan sebagai transformasi sosial anak jalanan? Kerangka teori yang digunakan, yaitu konsep pendidikan Paulo Freire didasarkan pada pandangan mengenai manusia dan dunia Menurutnya, kodrat manusia itu tidak hanya "berada-dalamm-dunia", melainkan juga "berada-bersama-dengan-dunia" (being in and with the world) (Paulo Freire, 1972: 71). Di samping itu, bahwa pengharapan sebagai kebutuhan ontologis, menurut Paulo Freire, memerlukan praktik supaya dapat menjadi sesuatu yang konkret historis (Paulo Freire, 1999: 8). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pertama, berdasarkan filsafat pendidikan kontemporer dan paradigma pendidikan kritis Paulo Freire, konsep pendidikan Paulo Freire tentang kaum tertindas dapat dijelaskan dengan memahami empat unsur, yaitu dengan memahami budaya bisu kaum tertindas, konsientisasi pedagogi kaum tertindas, pendidikan hadap-masalah sebagai pembebasan kaum tertindas, dan pendidikan pengkodean sebagai praksis kaum tertindas. Kedua, pedagogi pengharapan, menurut Paulo Freire, mempunyai dua unsur. Pertama, sikap kritis, atau tidak puas, dengan kenyataan yang sudah ada Kalau kita tidak kritis dan sudah puas, pengharapan tidak dibutuhkan, hanya menyesuaikan diri dengan status quo. 2) Kepercayaan. Dalam pendidikan kaum tertindas, kepercayaan dipahami sebagai dunia yang penuh dengan penderitaan orang tertindas yang dapat berubah. Karena itu, konsep pedagogi pengharapan Paulo Freire dapat menjadi altematif pemecahan masalah pendidikan anak jalanan melalui munculnya kesadaran dan pengharapan yang didasarkan pada transformasi sosial dari struktur-struktur yang tidak adil kepada dunia yang lebih adil dan baik.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
T15373
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muh. Adlan N.
Abstrak :
Wacana Hak Asasi Manusia (HAM) mengemuka saat berbagai kekerasan, penindasan dan pelecahan terhadap kemanusiaan mengemuka dalam sejarah hidup umat manusia. Rezim-rezim totaliter di abad modern tidak jauh beda dengan pola kepemimpinan abad pertengahan dan primitif. Saat itu, manusia menjadi objek eksploitasi oleh manusia Iain. Subordinasi dan superioritas yang terjalin antara penguasa (ruler) dan masyarakat (ruled) tidak henti-hentinya menjadi cerita Iaten sebuah bangsa.

Telah banyak kesepakatan yang dibuat untuk menempatkan posisi relasi antarmanusia. Khususnya yang mengatur batas-batas kewenangan pemimpin dan warga negara. Bahkan sebelum modemitas menyapa dunia. Namun, hal itu tidak terlalu membawa dampak signifikan, meski asumsi moral pun telah diajukan. Dalam kondisi tersebut, diperlukan respon global yang menyeluruh pentingnya pengakuan atas hak-hak asasi manusia. Tidak hanya sekedar motivasi moral, namun juga memiliki kekuatan hukum dan politik.

Kulminasi desakan kepentingan tersebut berada pada titik saat berkumandangnya Universal Declaration of Human Right (UDHR), Deklarasi Semesta Hak Asasi Manusia, pada tahun 1948 yang dikodifikaslkan pada tahun 1966 dalam Kesepakatan lnternasional hak sipil dan Politik (lnternational Covenant on Civil and Poltical Rights) serta Kesepakatan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economics, Social and Cultural Rights).

Gagasan liberalisme Barat menjadi penopang utama pentingnya hak asasi manusia. Sebab ia memiliki Iandasan pengakuan atas kebebasan dan kesetaraan. Sebagai salah satu ideologi besar di dunia, ia menyeru bahwa setiap individu memiliki hak atas kebebasannya dan diberikan kesempatan yang sama untuk mengekspresikan kebebasan tersebut. Asumsi universalitas pun patut ditekankan, saat tak ada celah bagi pihak Iain untuk menolaknya, atas dasar kemanusiaan.

Tentu saja gagasan ideal ini memiliki makna dan cita-cita yang luhur. Namun, ketika ia memasuki ranah hukum dan politik, maka muncul perbedaan sekaligus penentangan dari pihak Iain. Khususnya budaya dan tradisi Iain yang tidak berangkat dari asumsi liberal Barat. Salah satunya adalah Islam. Ia berangkat dari tradisi doktrin keagamaan yang bersumber pada Al-Quran dan Hadis. Keduanya terkumulasi dalam sistem hukum dan politik.

Pembahasan dalam tesis ini secara umum hendak memperoleh jawaban sejauh mana eksistensi HAM dalam perspektif Islam yang memiliki realitas budaya yang berbeda dengan Barat. Masalah pokok ini dijabarkan dalam sub-sub masalah sebagai berikut: Apa asumsi yang mendasari wacana HAM dalam pemikiran Barat dan Islam? Bagaimana eksistensi hak asasi manusia dalam perspektif Barat dan Islam? Sejauh mana efek kedudukan Tuhan dan manusia melandasi wacana HAM dalam perspektif Barat dan Islam?

Jenis penelitian memakai pendekatan kualitatif. Hasil data yang diperoleh dari operasional metode kualitatlf dengan menggunakan metode deskriptif-analitis. Penelitian ini juga bersifat Iiterer (library research), sumber data penelitian ini sepenuhnya berdasarkan kepada riset kepustakaan, mengandalkan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan wacana Hak Asasi Manusia (HAM) dalam perspektif Barat dan Islam, serta dengan tulisan-tulisan lain yang relevan, dengan menggunakan dua metode pembahasan; deskriptif dan analitis.

Metode deskriptif melukiskan keadaan secara obyektif. Wacana HAM dalam perpeklif Barat dan Islam diteropong secara objektif. Dengan demenelisik asumsi-asumsi HAM dalam pemikiran modern serta berbagai tinjauan atas relativise budaya dalam pemikir kontemporer. Demikian pula penerimaan atas pemikiran Islam reformis dalam pemikiran kontemporer Islam.

Metode analitis dilakukan dalam meneopong kedua wacana tersebut dalam bingkai filosofls. Urutan-urutan kronologis kemunculan HAM dibahas sesuai dengan dasar-dasar filosofis yang dikandungnya. Tokoh-tokoh semisal Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau menjadi pilar utama penggerak prinsip HAM yang menjadi acuan bagi dideklarasikannya HAM universal. Selain itu, juga dipakai dalam menganalisa konsep hak asasi manusia dalam perspektif Islam yang bersumber dari ayat-ayat Al-Quran dan Hadis.

Penemuan penting dalam tesis ini adalah bahwa wacana HAM dalam Islam tidak memiliki penjelasan yang eksplisit. Bahkan pembicaraan HAM tersebut diajukan setelah pemikiran Barat mulai menyentuh wacana tersebut. Layaknya dokumen pedoman, pemikiran HAM dalam Islam merupakan upaya menyesuaikan gagasan HAM Barat dengan informasi yang dimuat oleh Al-Qur?an dan Hadis.

Dari penyesuaian tersebut, ditemukan bahwa hakikat HAM dalam Islam memiliki karakteristik khas, bersifat teosentris. Tuhan adalah motivasi mutlak dari segala sesuatu. Dia adalah pusat orientasi dan segala motivasi. Manusia adalah sosok mukallaf (dipenuhi kewajiban), sedangkan hak utama hanya milik Tuhan. Hal ini berbeda dengan konsep Barat yang anstroposentristik, berorientasi pada eksistensi manusia sebagai tujuan. Mementingkan perlindungan pada HAM dan kemerdekaan individu.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17230
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muh. Adlan N.
Abstrak :
Wacana Hak Asasi Manusia (HAM) mengemuka saat berbagai kekerasan, penindasan dan pelecahan terhadap kemanusiaan mengemuka dalam sejarah hidup umat manusia. Rezim-rezim totaliter di abad modern tidak jauh beda dengan pola kepemimpinan abad pertengahan dan primitif. Saat itu, manusia menjadi objek eksploitasi oleh manusia lain. Subordinasi dan superioritas yang terjalin antara penguasa (ruler) dan masyarakat (ruled) tidak henti-hentinya menjadi cerita laten sebuah bangsa. Telah banyak kesepakatan yang dibuat untuk menempatkan posisi relasi antar manusia. Khususnya yang mengatur batas-batas kewenangan pemimpin dan warga negara. Bahkan sebelum modernitas menyapa dunia. Namun, hal itu tidak terlalu membawa dampak signifikan, meski asumsi moral pun telah diajukan. Dalam kondisi tersebut, diperlukan respon global yang menyeluruh pentingnya pengakuan atas hak-hak asasi manusia. Tidak hanya sekedar motivasi moral, namun juga memiliki kekuatan hukum dan politik. Kulminasi desakan kepentingan tersebut berada pada titik saat berkumandangnya Universal Declaration of Human Right (UDHR), Deklarasi Semesta Hak Asasi Manusia, pada tahun 1948 yang dikodifikasikan pada tahun 1966 dalam Kesepakatan Internasional hak sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Poltical Rights) serta Kesepakatan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economics, Social and Cultural Rights). Gagasan liberalisme Barat menjadi penopang utama pentingnya hak asasi manusia. Sebab ia memiliki landasan pengakuan atas kebebasan dan kesetaraan. Sebagai salah satu ideologi besar di dunia, ia menyeru bahwa setiap individu memiliki hak atas kebebasannya dan diberikan kesempatan yang sama untuk mengekspresikan kebebasan tersebut. Asumsi universalitas pun patut ditekankan, saat tak ada celah bagi pihak lain untuk menolaknya, atas dasar kemanusiaan. Tentu saja gagasan ideal ini memiliki makna dan cita-cita yang Iuhur. Namun, ketika ia memasuki ranah hukum dan politik, maka muncul perbedaan sekaligus penentangan dari pihak lain. Khususnya budaya dan tradisi lain yang tidak berangkat dari asumsi liberal Barat. Salah satunya adalah Islam. la berangkat dari tradisi doktrin keagamaan yang bersumber pada AI-Qur'an dan Hadits. Keduanya terkumulasi dalam sistem hukum dan politik. Pembahasan dalam tesis ini secara umum hendak memperoleh jawaban sejauh mana eksistensi HAM dalam perspektif Islam yang memiliki realitas budaya yang berbeda dengan Barat. Masalah pokok ini dijabarkan dalam sub-sub masalah sebagai berikut: Apa asumsi yang mendasari wacana HAM dalam pemikiran Barat dan Islam? Bagaimana eksistensi hak asasi manusia dalam perspektif Barat dan Islam? Sejauh mana efek kedudukan Tuhan dan manusia melandasi wacana HAM dalam perspektif Barat dan Islam? Jenis penelitian memakai pendekatan kualitatif. Hasil data yang diperaleh dari operasional metode kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif-analitis. Penelitian ini jugs bersifat literer (library research), sumber data penelitian ini sepenuhnya berdasarkan kepada riset kepustakaan, mengandalkan tulisan-tuiisan yang berkaitan dengan wacana Hak Asasi Manusia (HAM) dalam perspektif Barat dan Islam, serta dengan tulisan-tulisan lain yang relevan, dengan menggunakan dua metode pembahasan; deskriptif dan analitis. Metode deskriptif melukiskan keadaan secara obyektif. Wacana HAM dalam perpektif Barat dan Islam diteropong secara objektif. Dengan demenelisik asumsiasumsi HAM dalam pemikiran modern serta berbagai tinjauan atas relativisme budaya dalam pemikir kontemporer. Demikian Pula penerimaan atas pemikiran Islam reformis dalam pemikiran kontemporer Islam. Metode analitis dilakukan dalam meneopong kedua wacana tersebut dalam bingkai filosofis. Urutan-unitan kronologis kemunculan HAM dibahas sesuai dengan dasar-dasar filosofis yang dikandungnya. Tokoh-tokoh semisal Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau menjadi pilar utama penggerak prinsip HAM yang menjadi acuan bagi dideklarasikannya HAM universal. Selain itu, juga dipakai dalam menganalisa konsep hak asasi manusia dalam perspektif Islam yang bersumber dari ayat-ayat AI-Qur'an dan Hadits. Penemuan penting dalam tesis ini adalah bahwa wacana HAM dalam Islam tidak memiliki penjelasan yang eksplisit_ Bahkan pembicaraan HAM tersebut diajukan setelah pemikiran Barat mulai menyentuh wacana tersebut. Layaknya dokumen pedoman, pemikiran HAM dalam Islam merupakan upaya menyesuaikan gagasan HAM Barat dengan informasi yang dimuat oleh AI-Qur'an dan Hadits. Dari penyesuaian tersebut, ditemukan bahwa hakikat HAM dalam Islam memiliki karakteristik khas, bersifat teosentris. Tuhan adalah motivasi mutlak dari segala sesuatu. Dia adalah pusat orientasi dari segala motivasi. Manusia adalah sosok mukallaf (dipenuhi kewajiban), sedangkan hak utama hanya milik Tuhan. Hal ini berbeda dengan konsep Barat yang anstroposentristik, berorientasi pada eksistensi manusia sebagai tujuan. Mementingkan perlindungan pada HAM dan kemerdekaan individu.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17230
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Adji
Abstrak :
Karya sastra sebagai hasil refleksi manusia dapat menjadi media yang strategis untuk dijadikan alat pendobrak atau petanggeng sistem patriarki. Hal ini diyakini oteh pemikiran feminisme yang tidak pernah lepas dari satu persoatan utama, yaitu adanya kesadaran bersama bahwa terjadi ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dalam hubungannya dengan taki-Laki. Akar permasatahannya adalah pada sistem patriarki yang beroperasi dengan berbagai media, terutama melalui pemikiran filsafat Barat. Berangkat dari hat itu, penelitian ini berusaha mengkaji karya sastra Djenar Maesa Ayu dalam kajian filsafat dengan menggunakan epistemologi feminis. Pertanyaan-pertanyaan yang memandu penelitian ini adalah (1) apa dan bagaimana Djenar Maesa Ayu menulis dalam subjektivitasnya sebagai perempuan (2) sejauh mana tulisan Djenar dapat dimasukkan ke dalam kerangka pemikiran feminisme (3) apakah tulisan Djenar masuk dalam feminine writing atau masculine writing dilihat dari kerangka pemikiran Helene Cixous dan (4) apakah tulisan Djenar mengandung subjektivitas perempuan dalam kacamata filsafat. Penelitian ini mengungkapkan bahwa tulisan Djenar memuat tema-tema yang berhubungan dengan pengalaman konkret perempuan dalam kaitannya sebagai the other, yaitu melalui tema-tema seksualitas, kekerasan seksual, merjinalisasi, dan moralitas. Hasil penetitian memperlihatkan bahwa tulisan Djenar memperlihatkan perlawanan terhadap sistem patriarki yang dalam berbagai cara dan media selalu mengobjektivikasi atau mendudukkan perempuan dalam posisinya sebagai the other. Selanjutnya, tulisan Djenar dapat dilihat juga sebagai bentuk tulisan perempuan (feminine writing) dalam kerangka pemikiran Helene Cixous, terutama lewat keberaniannya menyuarakan pengalaman perempuan dan upayanya untuk keluar dari masculine writing. Tulisan Djenar pada tataran yang tebih jauh tagi dapat dilihat sebagai tulisan yang mengandung nilai-nilai subjektivitas perempuan. Subjektivitas manusia yang diusung oleh filsafat Hegel menekankan pada "Diri" yang terpusat dan kehendak atas yang lain sehingga hubungan yang terbentuk adalah hubungan melalui dominasi dan negasi. Bentuk hubungan seperti inilah yang diyakini sebagai cikal bakal dari imperialisme, eksploitasi alam, dan penyeragaman terhadap perbedaan. Sementara itu, subjektivitas perempuan lebih menekankan keberadaan dirinya dalam hubungannya dengan yang lain sehingga hubungan yang terbentuk adalah hubungan yang saling mengafirmasi.
Literature works, as the product of human reflection, may be strategic media employed to either demolish or sustain a patriarchic system. This is a conviction of feminism thoughts that is inevitably related to one main problem, that is, the existence of common awareness that women have been suffering inequality in their relation to men. The root problem is that patriarchic system that operates in various media, particularly through Western philosophic thoughts. Against the background above, this research tried to investigate Djenar Maesa Ayu's literature work in a philosophic study by using feminism epistemology. The questions that guided this research were (1) what and how Djenar Maesa Ayu wroute in her subjectivity as a woman; (2) to what extent Djenar's writing could be included into a feminism frame of thoughts; (3) does Djenar's writing falls into feminine writing or masculine writing as seen from Helene Cixous's frame of thoughts; and (4) does Djenar's writing contains woman's subjectivity by philosophic terms. This research revealed that Djenar's writing contains women's concrete experiences-related contents in its connection as the other, that is, sexuality, sexual violation, marginalizing, and morality themes. The results of this research that Djenar's writing shows a revolt against patriarchic system that in various ways and by various media always objectifies or positions women as the other. Furthermore, Djenar's writing could also be seen as a form of feminine writing in a Helene Cixous's frame of thoughts, particularly by her courage to tell women's experience and her efforts to be out of masculine writing. Djenar's writing could, at a higher level, be seen as a writing that contains feminine subjectivity. Human subjectivity the Hegelian philosophy put an emphasis on "Self" that is centered and intention over the other so that the establisher relation is a relation by domination and negation. Such relationship is believed as the origin of imperialism, natural exploitation, and convergence of differences. Meanwhile, feminine subjectivity put more emphasis on the existence of self in relation to the other so the establisher relationship is a mutually affirmative relationship.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17224
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thita Moralitea Mazya
Abstrak :
Konsep kebebasan merupakan istilah kunci dalam konsep negara-bangsa modern, khususnya terkait dengan demokrasi dan hak asasi manusia. Asumsi ini berangkat dari pemikiran Locke yang menegaskan bahwa seluruh individu dikaruniai oleh alam hak yang inheren atas kehidupan, kebebasan dan harta, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dipindahkan dan dicabut oleh negara (Scott Davidson, 1994:3). Namun demikian, dalam perkembangannya terjadi kerumitan konseptual khususnya dalam hal keharusan menyelaraskan antara konsep kebebasan individu dan otoritas negara. Di satu sisi, kebebasan merupakan prasyarat mutlak bagi terwujudnya masyarakat non dominasi, sementara di sisi lain konsep otoritas kelembagaan berarti memberi hak kepada negara untuk menerapkan kekuasaan terhadap individu-individu dan membuat keputusan yang mengikat mereka. Berdasarkan latar belakang tersebut, seorang filsuf Australia, Philip Noel Pettit mencoba memformulasikan teorinya mengenai kebebasan negatif yang ia sebut kebebasan Non Dominasi sebagai altenatif. Sebagai pokok permasalahan dalam tesis ini dapat dirumuskan sebagai berikut; Bagaimana konsep republikanisme ideal menurut Philip Pettit? Bagaimana konsepsi kebebasan non dominasi menjadi solusi alternatif diantara konsep-konsep kebebasan yang ada sebelumnya. Dan, Bagaimana konteks pemikiran republikanisme Pettit dalam wacana demokrasi modern. Untuk itu kerangka teori yang digunakan tentu menggunakan teori kebebasan kebebasan positif dan negatif Isaiah Berlin , konsep kebebasan Non Interferensi Skinner serta teori pemerintahahan Locke. Menurut Pettit, kebebasan Non Dominasi itu harus bisa melepaskan individu dari segala bentuk interferensi yang semena-mena, termasuk kapasitas seseorang yang hendak melakukakannya. Melalui kerangka teori tersebut akhirnya dapat disimpulkan bahwa konsep kebebasan non dominasi Pettit sebenarnya sangat kaya akan cita-cita politik, terutama dalam mewujudkan suatu instutitusi yang berimplementasikan non dominasi di wilayah republik. Pettit mencoba menempatkan non dominasi sebagai sebuah nilai moralitas. Jika moralitas tersebut menjadi bagian dari cara berfikir, berperilaku dan bertindak atau menjadi norma, dalam tubuh institusi akan menghasilkan kebijakan yang menempatkan warganya sebagai manusia yang berkualitas, defensif, dan memiliki pencitraan diri yang kuat terhadap sesamanya. Akan tetapi, persoalan pada konsepsi kebebasan positif negatif sebelumnya tidak jauh berbeda dari persoalan yang diungkapkan Pettit, bisa jadi justru menjadikannya lebih komplikasi lagi. Pettit tidak memiliki kontradiksi yang mencolok dengan kebebasan negatif klasik. Dalam arti ia tidak membedakan interferensi dengan sesuatu yang lebih berbeda, sehingga tidak dirasa perlu menghadirkan sebuah teori baru. Induksi dari kesimpulan ini akhirnya memperlihatkan jika sesungguhnya konsep non dominasi Pettit belum bisa menggantikan kebebasan negatif klasik dan ini berarti konsepnya belum sepenuhnya layak dijadikan solusi alternatif Namun setidaknya, teorinya ini dapat menjadi suplemen bagi wacana kebebasan diantara teori teori kebebasan yang sudah ada. Konsepsinya jugs bisa menjadi ajang perdebatan secara filosofis dan memberikan pengetahuan baru bagi lingkungan pendidikan filsafat khususnya.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17218
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herdis Herdiansyah
Abstrak :
Kegagalan modernitas memberikan kehidupan yang lebih baik kepada kehidupan manusia dipakai sebagai momentum kebangkitan era baru, era posmodernis. Pergeseran pola-pola konsumsi dan berubahnya tanda menyebabkan hubungan manusia dengan manusia yang lain ditandai dengan perubahan yang revolusioner. Perubahan ini terkait dengan perkemtangan lime pengetahuan dan teknologi. Seksualitas sebagai satu medium hubungan manusia dalam posmodemisme dilakukan dengan keragaman wacana, irnpressif dan bahkan dianggap melanggar tabu yang telah dibakukan. Tabu seksualitas ini adalah prinsip esensialisme yang beranggapan bahwa kodrat biologis manusia menyebabkan orientasi individu ditentukan oleh organ biologisnya. Laki-laki hanya boleh berhubungan dengan perempuan dalam satu ikatan resmi (heteroseksual-monogami). Penelitian ini mempergunakan metodologi analisis deskriptif, komparasi dan (khusus pada bab IV) dengan metode dekonstruksi. Grand-narrative dalam seksualitas terbentuk lewat etika Victorian, dimana seksualitas dibungkam dan diarahkan harrya untuk beribadah dan bekerja keras (puritanisme). Pemahaman Victorianisme bermula dari doktrin kepercayaan Gereja pada abad pertengahan dimana doktrin Gereja beranggapan bahwa tubuh dan seksualitas adalah sesuatu yang kotor. Doktrin ini beranggapan tubuh dan seksualitas harus diarahkan sedemikian rupa untuk penyatuan diri dengan Tuhan. Grand-narrative seksualitas juga terbangun dengan negasi the others Sarterian. Hubungan dengan yang lain (the others) adalah musuh bagi subjek. Kondisinya saling mengobjekan dengan yang lain. Melampaui grand-narrative dari seksualitas, -sebagai fondasi teoritis- seksualitas posmodernis terbangun melalui klasifikasi Freudian, yakni libido menjadi penggerak dalam kehidupan seseorang. Pemahaman Freudian mengharuskan ego sesuai dengan realitas, tapi bagi Lacan justru ego dibawah kendali realitas. Realitas hasrat ini berbentuk pada pencarian dari libido dalam pelbagai aktivitas kehidupan. Kenikmatan tubuh juga senantiasa bisa bergeser menjadi kenikmatan literal yang bersifat subversif. Marquis de Sade dan Sacher van-Mashoc berusaha untuk melawan moralitas dari modernitas berupa pengekengan dan pengendalian rnenjadi satu bentuk kejahatan sampai batasan yang ekstrim, salah satunya berupa kejahatan atas tubuh melalui teks. Senada dengan Sade dan Mashoc, Battaile beranggapan bahwa tabu dianggap sebagai penghalang dari kehidupan. Untuk mendapatkan kenikmatan maka tabu harus dilanggar dimana tabu ini adalah pengetatan dari sistem sosial. Teoritisasi yang dipakai dalam penelitian ini memakai analisa Butler, dimana tidak ada identitas asali selain proses pengulangan demi pengulangan. Proses pengulangan adalah imitasi tanpa henti sehingga tidak ada koherensi organ genital dengan preferensi seksual. Dari analisa Foucault, seksualitas merupakan arena kompleks relasi kekuasaan, pengetahuan dan kenikmatan, Seksualitas diatur dan diarahkan untuk membentuk individu yang patuh. Bagi Foucault, apapun peraturan dan tabu yang dipakai, seksualitas akan selalu mencari jalan keluar "penyimpangan" dari aturan yang dilakukan. Dari analisa Foucault, seksualitas tidak bisa dibatasi dan diatur dalam keketatan peraturan dan larangan. Teoritisasi terakhir memakai Baudrillard. BaudrilIard melihat seksualitas posmodernis kini tergantikan menjadi kenikmatan imajinasi dan bergesernya tubuh menjadi mesin, Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin cepat menyebabkan logika hasrat dan politik bujuk rayu menggeser kenikmatan ragawi menjadi proses konsumsi kenikmatan tanpa henti, yang kemudian dikenal dengan zaman post-seksualitas. Refleksi kritis dan dekonstruksi seksualitas posmodernis dalam wacana seksualitas kontemporer memberikan peluang yang sarna untuk kalangan marginal (feminis sampai minoritas seksual/homoseksualitas) dalam menentukan batasan kenikmatan, rangsangan dan Cara memperoleh kenikmatannya sendiri. Begitupula dengan pornografi yang menjadi salah satu probiematika masyarakat. Ketika memang tidak ada dehumanisasi, eksploitasi objek dan dilakukan lengan kesadaran objek sebagai pilihan dari kebebasannnya, maka pornografi adalah satu perbuatan legal dan patut dihormati, Tapi ketika terjadi eksploitasi dan dehumanisasi maka delik pidana mutlak dikenakan dengan sanksi yang berat bagi pelaku (produser). Penelitian ini akhirnya menghasilkan kesimpulan bahwa seksualitas posmodernis yang konsep-konsep filosofisnya salah satunya terbangun dengan plularitas wacana, denaturalisasi, dan polimorfisme hasrat (disamping fondasi teoritis pada bab 11) adalah berupa keharusan untuk memberikan penghormatan atas aktivitas-aktivitas seksualitas di luar esensialisme (heteroseksual-monogami). Sebagai bentuk kesadaran dan kebebasan, seksualitas posmodernis akan selalu mencari bentuk pelepasan hasrat. Dengan kondisi ini, maka normalisasi, pengawasan yang membatasi, pengaturan yang ketat justru akan membuat aktivitas seksualitas masyarakat posmodernis semakin beragam, ekspresif, dan subversif Pengakomodiran dan penghormatan aktivitas-aktivitas di luar essensiaiisme mutlak untuk dilakukan, Seksualitas posmodernis juga tidak akan menimbulkan satu kondisi kacau berupa penjungkir balikan nilai-nilai yang selama ini diyakini, tetapi maiah menimbulkan sate kohesi sosial yang positif karena ditopang oleh penghormatan dan pengafirmasian wacana seksualitas diluar apa yang satu individu lakukan. Satu kondisi dimana wacana seksualitas ini sebatas tidak terjadinya satu eksploitasi dan dehumanisasi pihak yang lain.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17377
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariyanto
Abstrak :
Akhir-akhir ini media massa begitu berani menayangkan fenomena homoseksualitas (gay, lesbian, waria) di Indonesia. Terutama sekali dari media elektronik seperti televisi. Melalui program khususnya masing-masing apakah itu program ?Duduk Perkara?, ?Kupas Tuntas?, ?Metro Malam?, ?Fenomena?, atau program khusus dari stasiun televisi lainnya ? mereka seolah tiada segan dan tabu lagi menampilkan fenomena homoseksualitas ini apa adanya. Bahkan terkesan ?vulgar? dan berani mendobrak tatanan seksualitas yang selama ini dianggap mapan atau ?normal?. Dengan demikian, jika seksualitas sebelumnya dianggap urusan pribadi dan tidak perlu dikemukakan ke publik, kini dengan pemberitaan di media massa sudah menjadi konsumsi umum. Tentu saja ini sebuah fenomena menarik. Jika sebelum era reformasi praktik media lebih membludak pada kekuasaan order daripada tuntutan kebenaran, kini praktik media justru melakukan sebuah resistensi atas wacana kebenaran yang diproduksi kekuasaan. Perlu diketahui, akibat dari kesantunan modern selam ini membicarakan soal seks sangat ditabukan, apalagi seks yang dianggap menyimpang. Namun seiring bergulirnya era reformasi, sedikit demi sedikit hal tabu ini menjadi lumrah serta berani membicarakan dan menyiarkannya ke publik.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
T17898
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andini Murti
Abstrak :
Skripsi ini membahas consumer society dari pemikiran Jean Baudrillard dan Herbert Marcuse dan melakukan analisa komparasi terhadap pemikiran kedua filsuf tersebut. Marcuse merupakan filsuf teori kritis dari Mazhab Frankfurt yang mengkritik masyarakat industri maju mengenai yang memiliki suatu gaya hidup konsumtif akibat tendensi totalitarian dari teknologi. Individu pada masyarakat industri maju telah terbuai oleh kemudahan-kemudahan yang dihasilkan oleh teknologi dan terbuai oleh barang-barang yang berlimpah yang dihasilkan oleh teknologi serta terbuai oleh iklan-iklan yang terus menerus mengondoktrinasikan individu untuk terus menerus mengkonsumsi kebutuhan palsu (false needs) yaitu kebutuhan yang tidak benar-benar dibutuhkan oleh konsumen. Marcuse berpendapat bahwa gaya hidup konsumtif tersebut merupakan gaya hidup yang disenangi oleh masyarakat industri maju, sehingga individu pada masyarakat industri maju telah kehilangan kekuatan untuk berpikir kritis dan untuk mengadakan perlawanan terhadap teknologi dan gaya hidup konsumtif tersebut. Baudrillard merupakan filsuf postmodern yang mencoba menganalisa mengenai consumer society dalam relasinya dengan sistem tanda. Menurutnya, dalam consumer society yang dikonsumsi bukanlah komoditas, melainkan mengkonsumsi tanda. Tanda itu berupa pesan dan citra yang dikomunikasikan lewat iklan. Menurut Baudrillard, yang berfungsi sebagai sarana untuk mengkomunikasikan tanda kepada konsumen adalah iklan dan yang dikonsumsi oleh consumer society bukanlah kegunaan dari suatu produk, akan tetapi citra atau pesan yang ditawarkan oleh produk tersebut melalui iklan. Baudrillard berpendapat bahwa konsumsi tidak lagi dilakukan karena kebutuhan, dan konsumsi juga tidak dilakukan untuk mendapatkan kepuasan atau kenikmatan akan tetapi konsumsi ditujukan untuk mendapatkan status sosial tertentu. Marcuse dan Baudrillard sama-sama membicarakan mengenai consumer society, namun ada beberapa perbedaan mendasar dari pemikiran mereka. Kedua filsuf tersebut memiliki perbedaan mengenai konsep logika yang mendasari consumer society. Marcuse berpendapat bahwa ada suatu logika totalitarian yang membentuk consumer society, sedangkan Baudrillard berpendapat bahwa yang membentuk consumer society adalah suatu logika sosial diferensiasi. Menurut Marcuse, teknologi memproduksi barang-barang yang berlimpah, yang kemudian dipaksakan kepada konsumen lewat iklan-iklan. Tendensi totalitarian dari teknologi tersebut membuat masyarakat industri maju memiliki suatu gaya hidup yang konsumtif, gaya hidup untuk terus menerus mengkonsumsi kebutuhan-kebutuhan palsu. Berbeda dengan Marcuse, menurut Baudrillard yang membentuk consumer society adalah logika sosial diferensiasi, yaitu keinginan individu untuk terns menerus mengkonsumsi dengan tujuan untuk mencapai status sosial tertentu atau gaya tertentu. Konsekuensi logisnya adalah, Marcuse menyatakan bahwa individu tidak memiliki kesadaran dalam mengkonsumsi, sedangkan Baudrillard menyatakan bahwa individu memiliki kesadaran dalam mengkonsumsi. Dampak dari adanya kesadaran tersebut, Baudrillard mengatakan bahwa konsumen dapat melakukan penolakan terhadap konsumsi, sementara Marcuse mengatakan konsumen tidak dapat melakukan penolakan terhadap konsumsi. Di samping perbedaan-perbedaan tersebut, kedua filsuf ini memiliki persamaan, yaitu konsumsi merupakan sesuatu yang dipaksakan kepada konsumen dan iklan merupakan sarana untuk memanipulasikan produk-produk kepada konsumen. Pemikiran kedua filsuf tersebut sangat relevan pada masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang terperangkap antara logika totalitarian dan logika sosial diferensiasi. Pada masyarakat agraris yang tingkat pendidikannya rendah dan tingkat kemiskinannya tinggi berlaku logika totalitarian, sedangkan pada masyarakat komputer yang tingkat pendidikannya tinggi berlaku logika sosial diferensiasi.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
S15994
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>