Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 31 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Richsan Suprayogo
"Notaris dan PPAT sebagai Pejabat Umum yang diberikan kewenangan oleh negara untuk membuat akta otentik sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 untuk Notaris dan PP 37 Tahun 1998 untuk PPAT seringkali dihadapkan dengan permasalahan yang menyangkut peran dan tanggung jawabnya sebagai pejabat umum dalam pembuatan Akta Jual Beli Tanah (AJB) dan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) terkait dengan keterangan palsu yang diberikan oleh para pihak dalam pembuatannya terlebih apabila kedua akta tersebut bertautan dengan perjanjian kredit. Dalam skripsi ini penulis mengkaji peran dan tanggung jawab Notaris dan PPAT dalam pembentukan Akta Jual Beli dan APHT dan penerapan asas praduga sah (presumption iustae causa) dan asas kehati-hatian pada pelaksanaan tugas jabatan notaris dalam keadaan para pihak beritikad tidak baik, serta status dan kedudukan kedua akta tersebut setelah diketahuinya adanya itikad tidak baik dari para pihak. Adanya itikad tidak baik dari para pihak merupakan suatu hal materiil yang tidak perlu dibuktikan oleh Notaris/PPAT, terhadap akta tersebut apabila dapat dibuktikan adanya cacat materiil di dalamnya maka akta tersebut berkedudukan sebagai akta dibawah tangan. Notaris/PPAT dalam pelaksanaan tugas jabatannya perlu memperhatikan penerapan asas Praduga Sah dan Asas-Asas lainnya guna menjamin integeritas mereka dan terlebih memberikan perlindungan terhadap-nya
Public Notary and Land Deed Official as Public Officers are authorized by the state to make an authentic deed as set out in Law No. 2 of 2014 jo. Law No. 30 of 2004 for the Notary and PP 37 of 1998 for Land Deed Official as legal standing are often confronted with issues relating to its role and responsibilities as the public officer in the making of the Contract of Sale (AJB) and the Mortgage Deed (APHT) in relation to false evidence provided by the parties in their making when that two deeds are linked to a credit agreement. In this thesis the author examines the role and responsibilities of the Notary and PPAT in the drafting of Contract of Sale and Mortgage Deed and the application of Presumption of Legitimacy (Presumptio Iustae Causa) and the principle of caution due to the performance of the public notary and Land Deed Official in the event of adverse parties, as well as the status and the second position of the deed after being aware of bad faith from the parties. The existence of a bad faith by the parties is a material matter which the Public Notary / Land Deed Official does not need to prove, if it can be proven that there is a material defect that decrease is status as Authentic Deed to Privately Made Deed. The Public Notary / Land Deed Ofccial in running it’s duties should consider the application of the Presumption of Legitimacy and other Fundamentals to ensure their integrity and provide extra protection amongst them."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhasanah Saniyya Kesuma Wardhana
"

Ketentuan dalam Pasal 1175 KUH Perdata telah membatasi objek jaminan hipotek, yakni hanya diperuntukkan atas benda-benda yang sudah ada sehingga menjadi permasalahan apabila debitur memberikan jaminan berupa kapal sedang dibangun. Kreditur selaku penerima hipotek merupakan pihak yang semestinya memperoleh perlindungan hukum jika sewaktu-waktu debitur cidera janji, terlebih jaminan hipotek atas kapal yang diberikan sedang dibangun. Oleh karena penelitian ini membutuhkan bahan-bahan hukum tertulis yang mengacu pada norma hukum dalam peraturan perundang-undangan, maka Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan dilengkapi dengan wawancara kepada pihak terkait. Berdasarkan metode penelitian yang digunakan oleh Penulis, diperoleh hasil bahwa dalam hukum positif telah memperbolehkan pembebanan hipotek atas kapal yang sedang dibangun, mengacu pada Pasal 314 ayat (3) KUH Dagang yang merupakan konsideran dari Pasal 14 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 39 Tahun 2017. Kapal yang sedang dibangun dikatergorikan sebagai benda yang sudah ada apabila kapal tersebut sudah terdaftar dan pembangunan kapal paling sedikit secara fisik telah mencapai tahap penyelesaian bangunan lambung, geladak utama, dan seluruh bangunan atas. Meskipun telah diatur dalam hukum positif, dalam prakteknya kurang memberikan perlindungan hukum kepada kreditur jika mengharuskan eksekusi benda jaminan mengingat kapal bukan merupakan benda yang likuid sehingga tidak mudah untuk dicairkan. Rendahnya nilai jaminan berupa kapal yang sedang dibangun dan adanya hak retensi yang dimiliki oleh galangan kapal juga merupakan hal yang harus dipertimbangkan kreditur ketika akan memberikan fasilitas kredit kepada debitur. 


Article 1175 of the Civil Code limits the object of collateral mortgage, that is only for existing objects therefore it becomes a problem if the debtor provides collateral in the form of an under-construction vessel. The creditor as the recipient of the mortgage is the party that should get legal protection if at any time the debtor breaches the contract, especially when the collateral mortgage is on an under-construction vessel. Because this research requires written legal materials that refer to legal norms in legislation, the author uses normative juridical research method equipped with interviews with related parties. Based on the research method used by the author, the results show that positive laws have allowed the imposition of mortgages on under-construction vessel, referring to Article 314 paragraph (3) of the Commercial Code which is a consideration of Article 14 of the Regulation of The Minister of Transportation Number 39 of 2017. Under-construction vessel is categorized as an existing object if the ship has been registered and construction of the ship has at least physically reached the completion stage of the hull, main deck, and the entire upper structure. Although it has been regulated in positive law, in practice it doesn’t provide enough legal protection to creditors if it requires the execution of collateral objects considering the ship is not a liquid object so it’s not easy to be disbursed. The low value of collateral in the form of an under-construction vessel and the existence of retention rights owned by shipyards is also a matter that must be considered by creditors when providing credit facilities to debtors.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Veren Natalera
"Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan berdampak langsung pada peningkatan permintaan terhadap barang thrift di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Barang thrift merupakan barang bekas pakai maupun barang cacat produksi yang tidak lolos standar pabrik. Daripada dibuang dan berujung menjadi sampah, barang thrift yang dinilai masih layak pakai kemudian dijual dengan harga yang lebih murah. Hal ini tentu menarik di mata konsumen karena dapat memperoleh barang dengan lebih ramah lingkungan dan harga yang lebih murah. Akan tetapi, pemerintah telah menetapkan larangan untuk impor barang bekas dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Larangan ini dibuat karena barang bekas dianggap sampah dan berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Ditambah lagi, muncul permasalahan baru karena barang thrift yang dijual seringkali dibawah standar yang berlaku di masyarakat sehingga kemudian merugikan konsumen. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui pengaturan perlindungan konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena adanya hak konsumen yang dilanggar dalam peristiwa ini. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat sanksi bagi pelaku usaha yang merugikan konsumen barang thrift. Akan tetapi, masih terdapat kekosongan hukum dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terkait standarisasi penjualan barang bekas sehingga kemudian menjadi celah bagi pelaku usaha untuk melarikan diri dari kewajibannya bertanggung jawab.

The increasing awareness towards environmentally friendly sustainable development has a direct impact on increasing demand for thrift goods throughout the world, including in Indonesia. Thrift goods are used goods or rejected goods that do not pass factory standards. Instead of being thrown away and ending up as trash, thrift goods that are considered fit for use are then sold at a lower price. This is certainly attractive in the eyes of consumers because they can obtain goods that are more environmentally friendly and at lower prices. However, the government has stipulated a ban on the import of used goods in the Regulation of the Minister of Trade of the Republic of Indonesia Number 40 of 2022 concerning Amendments to the Regulation of the Minister of Trade Number 18 of 2021 concerning Export Prohibited Goods and Import Prohibited Goods. This ban was made because used goods are considered trash and dangerous to public health. In addition, new problems arise because thrift goods sold are often below the standards prevailing in society, which then harm consumers. Therefore, it is important to know about consumer protection arrangements in Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection because consumer rights were violated in this event. Based on the research results, there are sanctions for business actors who harm consumers of thrift goods. However, there is still a legal vacuum in the laws and regulations in Indonesia regarding the standardization of the sale of used goods so that it becomes a loophole for business actors to escape from their responsibilities."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Keziah Christiangie
"Tindakan-tindakan notaris yang dikategorikan sebagai kelalaian penerapan prinsip kehati-hatian pada pembuatan akta autentik dapat menjadi dasar timbulnya sengketa yang disidangkan dalam perkara perdata. Tindakan-tindakan notaris yang merupakan kelalaian penerapan prinsip kehati-hatian pada pembuatan akta perjanjian bangun bagi dan akta-akta lain terkait bangun bagi dan akibat hukum yang timbul dari kelalaian penerapan prinsip kehati-hatian pada pembuatan akta autentik berdasarkan kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjungpinang Nomor 39/Pdt.G/2016/PN Tpg merupakan permasalahan yang diangkat dalam tulisan ilmiah ini. Metode penelitian yang digunakan pada tesis ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian problem identification. Tindakan-tindakan notaris yang dapat dikategorikan sebagai kelalaian penerapan prinsip kehati-hatian terdiri dari pelanggaran terpenuhinya syarat subjektif dan objektif sebuah perjanjian, serta ketidakberwenangannya pejabat umum. Akibat hukum yang dapat terjadi terhadap kelalaian-kelalaian yang terjadi adalah sebuah akta autentik dapat dibatalkan dalam hal terdapat pelanggaran syarat subjektif, sebuah akta autentik batal demi hukum dalam hal terdapat unsur pelanggaran syarat objektif, serta terdegradasinya kekuatan pembuktian sebuah akta autentik menjadi akta dibawah tangan dalam hal terdapat unsur ketidakwenangan pejabat umum pembuat akta.

The Notary misconduct on applying the prudent principle during the making process of a notarial deed could be the cause of a legal dispute. Categorizing notary’s misconduct on making Joint Development Agreement (JDA) for construction and other deeds regarding the JDA and the consequence to the deeds that had misconduct based on the Tanjungpinang’s District Court Verdict on court file number 39/Pdt.G/2016/PN Tpg are discussed on this research. The method used in this research is the normative legal research using the problem identification typology. The negligence to implement the subjective and objective terms of an agreement and the incompetency of the officer are the results of the research other than the possibility of the deeds can be declared as voidable in terms of the violation of agreement’s subjective terms or void in terms of the objective terms of an agreement are violated. The authentication of a notarial deed could degrade when the deeds are made by an unauthorized officer."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Saskia Khairunisa
"Tesis ini membahas perkara pembagian harta bersama dalam perkawinan campuran pada Putusan No. 162/Pdt.G/2017/PN.Mtr atas tanah dan bangunan yang merupakan atas nama Tergugat namun dipinjam namanya oleh WNA untuk kemudian dijual kepada pihak lainnya yang merupakan WNI. Oleh karena itu permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai pengaturan pembagian harta bersama dalam perkawinan campuran atas tanah dan bangunan yang terikat nominee agreement dan penerapan hukum oleh Majelis Hakim pada perkara a quo. Bentuk metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian yuridis-normatif dengan statues dan case approach yang mana data penelitian kemudian dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pembagian harta bersama atas putusnya perkawinan campuran karena perceraian tanpa adanya perjanjian perkawinan didasarkan atas Pasal 17 AB jo. Pasal 37 UU Perkawinan dengan memperhatikan agama para pihak dan keabsahan kepemilikan harta benda. Dapat disimpulkan pula bahwa penerapan hukum oleh Majelis Hakim pada Putusan No. 162/Pdt.G/2017/PN.Mtr dalam aspek hukum perdata materiil kurang tepat sebab Penggugat Intervensi bukanlah pemilik karena bukan pembeli yang beriktikad baik namun dalam aspek hukum perdata formil, penerapan hukum telah dilakukan dengan cukup baik mengingat lingkup perkara perdata ditentukan para pihak yang bersengketa. Oleh karena itu pelaku perkawinan campuran hendaknya menyusun perjanjian perkawinan melalui notaris secara jujur dan terbuka mengenai pemisahan harta selain dilakukannya amandemen terhadap peraturan-peraturan terkait.

This thesis discusses the case of division of matrimonial property in mixed marriages in Decision No. 162/Pdt.G/2017/PN.Mtr on land and buildings that are in the name of the Defendant but acted as nominee for WNA to be later sold to other party who are WNI. Therefore, the problem studied in this study is about the arrangement of the division of matrimonial property in mixed marriages on land and buildings bound by the nominee agreement and the application of law by the Judiciary in a quo case. To answer these problems, the research is conducted in a normative form in which the research data is then analysed qualitatively with a prescriptive approach. Based on the results of the study, it can be concluded that the division of matrimonial property on the dissolution of a mixed marriage due to divorce without a marriage agreement is based on AB jo. Article 37 of the Marriage Law by paying attention to the religion of the parties, the existence of common property.. It can also be concluded that the application of the law by the Judges in Decision No. 162/Pdt.G/2017/PN.Mtr in the aspect of material civil law is less appropriate because the Intervention Plaintiff is not the owner because he is not a good faith buyer but in the aspect of formal civil law, the application of the law has been done fairly well given that the scope of civil cases is determined by the disputing parties. Therefore, the author recommends that the perpetrator of a mixed marriage enter into a marriage agreement through a notary honestly and openly regarding the separation of property in addition to the amendment of the relevant regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Apriyanti
"Pembuatan akta jual beli yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) tanpa surat kuasa yang sah (studi kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 472/PK/PDT/2019) diangkat karena banyak PPAT yang terjerat di Pengadilan baik perkara perdata maupun pidana, salah satunya karena terjadinya perbuatan melawan hukum.  Dalam putusan Mahkamah Agung No. 472/PK/PDT/2019, Notaris yang juga menjabat sebagai PPAT dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu karena telah membuat akta jual beli yang dalam pembuatannya dilakukan dengan blangko kosong yang diberikan oleh PPAT, kemudian pembuatan akta jual beli dilakukan tanpa adanya surat kuasa yang sah, dan dilakukannya jual beli tanah tersebut pada saat status tanah masih dalam penyitaan pengadilan.  Permasalahan dalam tesis ini adalah implikasi keabsahan surat kuasa terhadap keabsahan akta jual beli dan tanggung jawab PPAT dalam pembuatan akta jual beli yang dibuat dengan tanpa surat kuasa yang sah dalam Putusan Mahkamah Agung nomor 472/PK/PDT/2019.  Bentuk penelitian yang akan digunakan, yaitu yuridis normatif, dengan menganalisis Putusan Peninjauan Kembali No. 472 PK/PDT/2019.  Hasil penelitian ini menyatakan bahwa implikasi terhadap keabsahan surat kuasa yang tidak sah terhadap keabsahan akta jual beli mengandung suatu kecacatan hukum dan mengakibatkan akta jual beli tanah tersebut batal demi hukum.  Berdasarkan surat kuasa membeli yang tidak sah maka telah dianggap melakukan perbuatan melawan hukum, maka PPAT dapat dikenakan sanksi dalam jenis pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban yaitu akan diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya dan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan Ikatan Pejabat Pebuat Akta Tanah (“IPPAT”). 

The preparation of sale and purchase deed made before the land deed official (PPAT) without valid power of attorney (case study supreme court decision number 472 PK/PDT/2019).  This is because many PPATs have been entangled in courts in both civil and criminal cases, one of which is because of unlawful acts.  In the decision of the supreme court No. 472/PK/PDT/2019, the notary who also served as PPAT was declared to have committed an unlawful act, namely because had made a deed of sale and purchase which was made in a blank form provided by PPAT, then made a deed of sale and purchases without valid power of attorney, and the sale and purchase of land is carried out while the land status still in court confiscation.  The problem in this thesis is how is the validity of the sale and purchases deed made without a valid power of attorney and how is the responsibility of the PPAT in making the sale and purchase deed made without a valid power of attorney in the supreme court decision number 472/PK/PDT/2019.  The results of this study state that the implications of the validity of an invalid power of attorney on the validity of the sale and purcahse deed contain a legal defect and cause the land sale and purchase deed to be null and void.  Based on an unauthorized purchase power of attorney, it is deemed to have committed and unlawful act, then PPAT may e subject to sanctions in the type of serius violation of the porhibition or obligation, namely being dishonorably dismissed from the position and dishonorably dismissed from membership of the Ikatan Pejabat Pebuat Akta Tanah (“IPPAT”)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Ayu Made Widhasani
"Akta Notaris dalam pembuatannya harus memerhatikan asas-asas hukum yang salah satunya adalah asas kehati-hatian. Tujuan penggunaan asas kehati-hatian oleh Notaris dalam pembuatan akta adalah untuk mencegah turunnya keotentisitasan akta akibat kurangnya syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan akta. Terdegradasinya akta Notaris yang dalam pembuatannya kurang menerapkan asas kehati-hatian bisa menjadi akta di bawah tangan maupun batal demi hukum. Akibatnya, akta tersebut dapat mengakibatkan Notaris terlibat ke dalam Perbuatan Melawan Hukum karena telah menimbulkan kerugian bagi para pihak yang bersangkutan. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai status akta perjanjian kesepakatan tentang pengalihan saham dan aset perseroan yang dibuat dengan tidak terpenuhinya unsur dalam perjanjian pada Pasal 1320 KUH Perdata serta tanpa adanya dasar dari RUPS sesuai dengan ketentuan UUPT dan Anggaran Dasar Perseroan. Dalam rangka menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif-analisis. Hasil penelitian dari analisis ini adalah mengenai hal-hal apa saja yang harus diperhatikan oleh Notaris dalam membuat akta supaya status akta yang dibuat tetap terjaga keotentisitasannya sehingga tidak merugikan pihak manapun maupun Notaris bersangkutan. Kemudian akibat hukum yang diterima apabila Notaris terbukti bersalah, dalam hal ini berupa sanksi perdata dan sanksi administratif. Keterlibatan Notaris dalam suatu kasus tentunya akan mengurangi rasa kepercayaan masyarakat kepada Notaris pada umumnya, untuk itu prinsip kehati-hatian harus selalu diterapkan

Notaries in making a deed must pay attention to legal principles, one of which is the principle of prudence. The purpose of using the precautionary principle by a Notary in making a deed is to prevent a reduction in the authenticity of the deed due to the non- fulfillment of the requirements in making the deed. The degradation of a notary deed that does not apply the principle of prudence can become a private deed or be null and void by law. As a result, the deed can result in the Notary being involved in an unlawful act because it has caused harm to the parties concerned. The issues raised in this study are regarding the status of the deed of agreement regarding the transfer of shares and assets of the company made by not fulfilling the elements in the agreement in Article 1320 of the Civil Code and without the basis of the GMS in accordance with the provisions of the Company Law and the Company's Articles of Association. To answer these problems, the method used is normative juridical research with descriptive-analytical research. The results of this analysis are about what things must be considered by the Notary in making the deed so that the status of the deed made is maintained its authenticity so that it does not harm any party or the Notary concerned. Then the legal consequences received if the Notary is proven guilty, in this case in the form of civil sanctions and administrative sanctions. The involvement of a Notary in a case will certainly reduce the public's sense of trust in a Notary in general, for that the precautionary principle must always be applied."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindya Mulia Kencana
"Kewajiban seorang Notaris diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, yang apabila dilanggar, maka dapat diberikan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Penulisan ini menjawab dua permasalahan utama mengenai tanggung jawab hukum Notaris yang membuat addendum akta sewa menyewa yang diduga palsu serta akibat hukum dari addendum akta sewa menyewa yang telah dibuat oleh Notaris yang diduga palsu dengan menganalisis Putusan Nomor 08/PTS/Mj.PWN.Prov.DKIJakarta/IX/2021 yang dikeluarkan oleh Majelis Pengawas Wilayah Notaris DKI Jakarta. Metode penelitian yang dipergunakan yaitu yuridis-normatif melalui studi kasus serta menelaah teori, konsep, dan asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan. Adapun data yang digunakan untuk menganalisis permasalahan berupa data sekunder yang diperoleh dari studi pustaka dan wawancara dengan narasumber. Kesimpulannya, berdasarkan metode penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 (tiga) bentuk tanggung jawab yang dapat diberikan kepada Notaris yang membuat akta yang diduga palsu yaitu berupa sanksi administrasi, perdata, dan pidana. Sementara akibat hukum dari akta yang telah dibuat oleh Notaris namun diduga palsu yaitu dapat dibatalkan dengan pembuatan Akta Pembatalan apabila para pihak setuju untuk membatalkannya, atau apabila tidak menemukan titik terang maka dapat dimintakan pembatalan ke Pengadilan oleh pihak yang merasa dirugikan.

The responsibilities of a Notary are regulated in Law No. 30 of 2004 concerning Notary Profession, whereby in the event of a violation, will be subject to sanctions as a form of a Notary’s accountability. This legal thesis address two main issues regarding the legal responsibility of a Notary who allegedly falsifies an addendum in making lease deed and the legal consequences that applies to the act of falsifying a lease deed, by analyzing the Decision Number 08/PTS/Mj.PWN.Prov.DKIJakarta/IX/2021 issued by the Supervisory Council of Notary of DKI Jakarta Region. This legal thesis employs a normative juridical method, which means that the research will be conducted by examining case studies, theories, concepts, legal principles, and legislation. The data used in analyzing the underlying issues are secondary data obtained from literature studies and interviews. In conclusion, pursuant to the said research method, it can be concluded that there are 3 (three) forms of responsibility that can be given to a Notary who allegedly falsifies a deed, particularly in the form of administrative, civil, and criminal sanctions. Meanwhile, the legal consequences of an allegedly falsified deed that has been made by a Notary can be cancelled by making a Deed of Cancellation if the parties agree to cancel it, or if it is not possible, the aggrieved party can subject to a request for cancellation to the Court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldian Kukuh Trisetyadi
"PPAT adalah mitra dari BPN tetapi tidak termasuk dalam kategori pegawai kantor
pertanahan sehingga PPAT tidak menerima gaji setiap bulan hanya penghargaan,
penghargaan yang dimaksud yaitu pemberian uang jasa yaitu paling besar 1% dari nilai transaksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 32 ayat (1) PJPPAT. Pada tahun 2021 Menteri ATR/BPN mengeluarkan aturan Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 33 tahun 2021 Tentang Uang Jasa
Pembuatan Akta yang membagi nilai dari 1% itu menjadi 4 bagian. Terdapat 2 (dua)
rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu pertama, mengenai pengaturan tarif uang jasa dan sanksi terhadap Permen ATR/BPN No. 33 Tahun 2021, dan kedua, mengenai pelaksaan sanksi apabila PPAT melanggar aturan tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan tipologi penelitian eksplanatoris. Hasil dari penelitian ini pertama, menganalisis pengaturan besaran uang jasa pembuatan akta PPAT secara lebih jelas karena adanya klasifikasi yang sudah diatur dalam Permen tersebut dan Permen ini juga menyebutkan pengaturan sanksi yang menyatakan apabila seorang PPAT melanggar ketentuan terhadap uang jasa maka sanksi pelanggaran yang dikenakan berupa pemberhentian sementara paling lama 6 bulan. Kemudian yang kedua, mengenai penerapan pelaksanan sanksi aturan Permen ATR/BPN No. 33 Tahun 2021 melewati prosedur teguran dan peringatan dan langsung pada pemecatan sementara, prosedur pemberhentian atau pemecatan tidak diatur secara rinci di dalam Permen No. 33 Tahun 2021, sedangkan dalam Kode Etik IPPAT apabila seorang PPAT melanggar ketentuan perundang-undangan lainnya yang dengan kewajiban PPAT maka ia melanggar juga Kode Etik, maka tata cara pemberian sanksi dapat menggunakan aturan Kode Etik.

Land Deed Making Officers (PPAT) is a partner of BPN but is not included in the category of land office employees so that PPAT does not receive a salary every month only awards, the award in question is the provision of service money, which is a maximum of 1% of the transaction value as stipulated in the provisions of Article 32 paragraph (1) of PJPPAT. In 2021 the Minister of ATR/BPN issued a regulation of the Minister of Agrarian affairs and Spatial Planning/Head of the National Defense Agency Number 33 of 2021 concerning Deed Making Services Money which divides the value of the 1% into 4 parts. There are 2 (two) formulations of problems in this study, namely first, regarding the regulation of service money rates and sanct ions against the Minister of ATR/BPN Regulation No. 33 of 2021, and second, regarding the implementation of sanctions if PPAT violates these rules. The research method used is normative juridical with explanatory research typology. The results of this study first, analyze the regulation of the amount of service money for making PPAT deeds more clearly because of the classification that has been regulated in the Regulation and this Regulation also mentions sanctions arrangements that state that if a PPAT violates the provisions for service money, the violation sanctions imposed are in the form of temporary suspension for a maximum of 6 months. Then the second, regarding the
application of sanctions for the regulation of the Minister of ATR /BPN Regulation No. 33 of 2021 through reprimand and warning procedures and directly on temporary dismissal, the procedure for dismissal or dismissal is not regulated in detail in Regulation No. 33 of 2021, while in the IPPAT Code of Ethics if a PPAT violates other statutory provisions that with the obligations of the PPAT then he also violates the Code of Ethics, then the procedure for sanctioning can use the rules of the Code of Ethics.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidya Rahmawati
"Putusan hakim yang diterbitkan berlaku sebagai undang-undang, dan mempunyai daya eksekutorial. Terhadap putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, dapat diajukan peninjauan kembali untuk kembali melakukan pemeriksaan terhadap sebuah perkara. Dalam praktik, dapat terjadi titik singgung diantara dua kamar peradilan yang menerbitkan putusan yang saling bertolak belakang seperti yang terjadi pada putusan Nomor Perkara 162 PK/TUN/2015 dan 1053 PK/PDT/2019. Kedua putusan tersebut memutuskan diantara PT Pasir Prima Coal Indonesia dan PT Mandiri PT Mandiri Sejahtera Energindo Indonesia (PT MSEI) yang berhak mengelola wilayah izin usaha pertambangan di kabupaten Penajam Paser Utara. Dari latarbelakang tersebut menimbulkan pertanyaan, langkah apakah yang dapat ditempuh oleh para pihak atas terdapatnya titik singgung diantara kedua putusan tersebut serta langkah apa yang dapat diambil oleh pemerintah selaku pemegang wewenang pengelolaan mineral dan batubara apabila para pihak tidak mau menempuh penyelesaian secara hukum acara yang berlaku di Indonesia. Penelitian ini menggunakan cara penelitian yuridis normative dengan pendekatan kasus dan perbandingan yang bertujuan untuk menganalisis bagaimana pertimbangan hakim di dua kamar peradilan dalam perkara sengketa mengenai wilayah izin usaha pertambangan serta bagaimanakah penyelesaian perkara tersebut dari hukum acara serta apa tindakan pemerintah agar tetap dapat menjalankan fungsinya. Dari penelitian tersebut didapat hasil bahwa para pihak dapat menempuh upaya peninjauan kembali kedua merujuk kepada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 dengan komposisi majelis hakim dari kamar perdata, kamar tata usaha negara, dan dari unsur pimpinan Mahkamah Agung. Hasil kedua yang diperoleh dari penelitian ini adalah pemerintah pusat yang telah memiliki kewenangan pengelolaan mineral dan batubara dapat melakukan evaluasi perizinan berdasarkan prinsip first come first serve, kriteria administrative berdasarkan Permen ESDM Nomor 43 Tahun 2015, serta pengujian berdasarkan Pasal 53 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

The court’s verdict is valid as law, and has executorial power. To against a court’s verdict that has permanent legal force, a reconsideration can be submitted to re-examine a case. In practice, there can be a tangent point between two judicial chambers that issue contradictory decisions, as happened in the decisions of Case Number 162 PK/TUN/2015 and 1053 PK/PDT/2019. The two decisions decided between PT Pasir Prima Coal Indonesia (PT PPCI) and PT Mandiri Sejahtera Energindo Indonesia (PT MSEI) which party had the right to manage the mining business permit area in North Penajam Paser Regency. From those background, the question that arises is what kind of legal effort can be taken by the parties regarding the tangent point between the two verdicts and actions can be taken by the government as the holder of the mineral and coal management authority if the parties refuse to take legal settlements based on procedural law in Indonesia. This study uses a normative juridical research method with a case and comparison approach which aims to analyze how the judge’s consideration in the two judicial chambers in dispute cases related to the mining business permit area and how the case is resolved from procedural law and what government actions can be decided to carry out its functions. From the research, it was found that the parties could take a second reconsideration, referring to the Circular Letter of the Supreme Court Number 5 of 2014 with the composition of the panel of judges from the civil chamber, the state administration chamber, and from the chairman of the Supreme Court. The second result obtained from this study is that the central government which has the authority to manage minerals and coal can evaluate the licenses based on the principle of first come first serve, administrative criteria based on the Minister of Energy and Mineral Resources Number 43 of 2015, and testing the licenses decree itself based on Article 53 paragraph (2) letter (a) Act Number 5 Year 1986."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>